Pesan Rahbar

Home » » Ketetapan Sunnahtullah

Ketetapan Sunnahtullah

Written By Unknown on Thursday 5 May 2016 | 19:06:00


Apakah yang Dimaksud dengan Sunnatullah?

Di dalam surat Al-Ahzab [33], ayat 62, Al-Qur’an mengemukakan bahwa salah satu dari sunah-sunah Ilahi yang tidak pernah mengalami perubahan adalah masalah penghancuran kaum munafik dengan sebuah serangan umum. Dan hal ini pernah terjadi pula pada umat-umat sebelumnya.

“Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum[mu], dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah”.

Ungkapan-ungkapan semacam ini ditemukan pula di dalam Al-Qur’an dalam masalah-masalah yang lainnya. Salah satu di antaranya, dalam surat Al-Ahzab [33], ayat ke 38, setelah turun izin untuk menghancurkan kebiasaan salah jahiliyah mengenai pengharaman (memperistri istri anak angkat yang telah ditalak), Allah berfirman, “[Allah telah menetapkan yang demikian] sebagai sunah-Nya pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah adalah suatu ketetapan yang pasti berlaku.”

Dalam surat Fathir [35], ayat ke 43, setelah mengancam kaum-kaum kafir dan pembuat kerusakan dengan kematian, Allah berfirman, “Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan [berlakunya] sunah [Allah yang telah berlaku] bagi orang-orang yang terdahulu. Maka, sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan pada sunah Allah dan sekali-kali tidak akan [pula] menemui penyimpangan dalam sunah Allah ini.”

Dalam surat Al-Ghafir [40], ayat 85, setelah menegaskan bahwa keimanan orang-orang kafir yang keras kepala dan pembangkang dari kaum-kaum sebelumnya -setelah menyaksikan turunnya azab dari Allah swt.- tidaklah akan memberikan manfaat yang berarti, Dia menambahkan dengan firman-Nya, “Itulah sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan pada waktu itu, binasalah orang-orang kafir.”

Dan dalam surat Al-Fath [48], ayat 23, setelah mengemukakan kemenangan kaum mukmin dan kehancuran orang-orang kafir, serta terputusnya persahabatan di antara mereka dalam peperangan, Allah menambahkan dengan firman-Nya, “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah ini.”

Demikian juga dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 77, ketika menceritakan siasat orang-orang kafir dalam mengasingkan dan menghancurkan Rasulullah saw., Allah menambahkan, “Apabila terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak akan tinggal kecuali hanya sebentar saja. [Kami menetapkan yang demikian] sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan tidak akan kamu dapati perubahan pada ketetapan Kami ini.”

Dari rangkaian seluruh ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa maksud dari sunah dalam masalah semacam ini adalah hukum-hukum yang konstan dan merupakan prinsip takwînî atau tasyrî’î Ilahi yang tidak akan pernah mengalami perubahan di dalamnya. Dengan kata lain, Allah swt mempunyai hukum-hukum paten di alam takwînî (cipta) dan tasyrî’î (tinta)-Nya. Tidak sebagaimana hukum-hukum prinsip dan norma budaya dalam masyarakat dunia yang bisa direduksi, hukum-hukum Allah ini berlaku atas kaum-kaum masa lalu, saat ini dan juga atas kaum-kaum di masa datang.

Pertolongan para nabi, kekalahan orang-orang kafir, kelaziman mengamalkan perintah-perintah Ilahi sekalipun tidak menyenangkan bagi lingkungan, dan ketiadaan manfaat dari taubah pada saat turunnya azab Ilahi, semuanya ini merupakan sunah Ilahi yang abadi.
_________________________________________

Merenungi Sunnatullah, Cara Kerja Allah


Saat dunia ini mengalami ketidakseimbangan, maka dengan sendirinya dunia akan mencari jalan untuk menyeimbangkan diri lagi. Hal ini terjadi karena sunnatullah, yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.

Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam mengatur alam dunia. Di dalam Alquran surah Ar-rahman dikatakan, ”Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).” (QS Ar-Rahman [55]:7).

Meskipun tidak asing dengan isitilah ini, sebagian umat Islam mungkin masih ragu terhadap istilah sunnatullah. Karena itu, sunnatullah perlu untuk dikaji dan dipahami lebih dalam lagi, bahwa sunnatullah merupakan kebiasaan atau cara kerja Allah dalam menyelenggarakan alam ini.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa dari segi bahasa sunnatullah terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata “sunna” berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. (Tafsir Al-Misbah Vol.13. hlm. 205).

Secara istilah, kamus besar Indonesia juga mendefinisikan bahwa sunnatulah sebagai hukum-hukum Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam Alquran, dan hukum alam yang berjalan tetap dan otomatis.

Dalam Alquran kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak 13 kali. Seluruh kata tersebut mengacu kepada hukum-hukum Allah yang berlaku kepada masyarakat. Semisal dalam surah QS Al-Ahzab [33]: 38, 62), QS Al-Fathir [35]; 43), dan QS Ghafir [40]: 85).

Di dalam Ensiklopedi Islam, sunatullah diartikan sebagai jalan, perilaku, watak, peraturan atau hukum, dan hadis. Sunatullah merupakan ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, atau ketetapan-ketetapan Allah SWT yang berlaku di alam semesta. (Ensiklopedi Islam Jilid IV).

Sejak alam ini diciptakan, Allah SWT telah menentukan hukum-hukumnya, sehingga alam bertingkah laku sesuai dengan hukum yang ditetapkan-Nya tersebut. Tunduk dan patuhnya alam terhadap hukum yang ditetapkan Allah SWT tersebut diterangkan di dalam Alquran surah an-Nahl ayat 17, yang artinya:

“Dan Dia menundukkan malam dan siang , matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).”(QS an-Nahl [16]: 17).
_________________________________________

“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Fathir: 43).

Beberapa ayat lain yang berhubungan dengan sunnatullah (hukum cipta Allah) juga dijadikan sebagai bukti. Kurang lebih kita mempunyai 10 ayat yang membicarakan bahwa sunnatullah tidak berubah. Menurut mereka mukjizat (bermakna adat; Baca kebiasaan) merupakan misdaq dari sunnatullah yang tidak dapat berubah berdasarkan kejelasan ayat Quran.


Kritik

1. Perdebatan penafian perkara di luar kebiasaan –sebagaimana yang telah dikaji –merupakan faham naturalis yang menyakini bahwa setiap keberadaan terbatas pada perkara-perkara tabi’i dan materialis serta dapat diketahui secara empiris. Persoalan mendasar mereka adalah sebelum berhubungan dengan pengetahuan eksistensi, terlebih dahulu berhubungan dengan epistemologi. Jawaban pandangan ini telah dibahas dalam pembahasan imkan ‘ijaz dan pernyataan para ahli ilmu empirik.

Dari sisi lain seseorang tidak dapat dikatakan beriman pada agama para Nabi, kitab-kitab langit dan Quran, dikarenakan meragukan mukjizat para Nabi sebagai fenomena-fenomena pasti untuk membuktian kenabian, sebagaimana Quran berulang kali menjelaskan hal itu. Sedangkan keberadaan mukjizat bagi para Nabi as merupakan keharusan dalam agama islam dan Quran.

Mukjizat Nabi Ibrahim as, “Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (Al-Anbiyaa: 69).

Nabi Musa as, “wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku. Fir’aun menjawab: “Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar” (Al-‘Araf: 105-106).

Nabi Isa as, “Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata” (Al-Maidah: 110).

Nabi Nuh as, “Berkata Nuh: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?. Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui” (Huud: 28-19).

Nabi Sholeh as, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih” (Al-‘Araf: 73).

Demikian pula dengan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, yakni Quran yang di dalamnya ada ayat-ayat tahadi (tantangan) sehingga simbol dan kiasan fenomena-fenomena yang telah disebutkan melazimkan penafian Quran dan kenabian.

2. Apakah mukjizat para Nabi memiliki ‘ilal tabi’i (sebab-sebab alami) atau tidak, atau bahkan pengaruh dari sebab-sebab metafisik? Di sini kami terpaksa mengingatkan poin berikut ini, bahwa maksud dari ilal tabi’i adalah ilal muta’arif (sebab-sebab luar biasa) yang bisa didapatkan dengan ikhtiar manusia secara umum –walaupun dengan usaha, experimen, pencarian nalar dan pelatihan jiwa.

Dengan memperhatikan makna tersebut, jelas bahwa mukjizat tidak memiliki sebab-sebab tabi’i. Sebagaimana asal-usul dasar wahyu dan ilmu para Nabi yang berhubungan dengan alam metafesis dan gaib sebagai fondasi kekuatan ‘ijaz mereka. Terbelahnya lautan dengan isyarat tongkat Nabi Musa as dan terbentuknya jalan dengan tembok dari air dan tanpa adanya lumpur sampai bani Israil menyebrangi lautan. Kemudian hancurnya tembok-tembok air hingga menenggelamkan musuh-musuh Bani Israil. Bagaimana semua ini dapat dikatakan hasil dari kerja sama manusia, kekuatan alam dan penemuan manusia?

Demikian pula dengan ucapan seorang bayi yang masih baru lahir, tidak bisa dikatakan hasil dari kekuatan alami manusia. Karena ucapan yang sarat dengan makna memerlukan waktu lama dan membutuhkan persiapan-persiapan jismi, pikiran, perasaan dan iradah. Akan tetapi perkataan tersebut adalah mukjizat yang berhubungan dengan ilmu para Nabi. Walaupun bisa jadi ada tafsiran sahih tersendiri –yang akan kita bahas nanti –namun, jika maksud dari mukhatab, perkataan ini adalah para Nabi dengan ilmu ilahinya mengetahui sebagian dari hukum-hukum, formula-formula dan temuan manusia, yang lambat laun manusia juga dapat mengetahui dan meraih kemahiran dan pengalaman yang diperoleh mereka. Sudah barang tentu hal ini termasuk penafsiran yang salah atas kekuatan mukjizat Nabi Saw dan penafian keagungan mukjizat para Nabi.

Dari sini teori relativitas mukjizat (mungkin saja di suatu zaman disebut sebagai mukjizat dan di zaman lainnya tidaklah demikian) tidak dapat diterima. Karena mukjizat para Nabi dengan memperhatikan kehususan yang ada padanya, sama sekali tidak dapat berubah. Perbuatan Nabi Musa as dalam membumihanguskan perlengkapan tukang sihir (Fira’un), sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan pengetahuan-pengetahuan manusia dan usaha-usaha temuan manusia. Mukjizat Ibrahim, Isa, Musa dan Nabi Muhammad Saw tidak akan pernah ada tandingannya dan kemukjizatannya senantiasa terjaga. Walaupun kemajuan ilmu dan pengetahuan empirik manusia hari demi hari bertambah pesat.

3. Pembuktian terhadap pengakuan para Nabi, khususnya sisi keinsanan mereka dan pengingkaran manusia terhadap mukjizat iqtirahi mereka untuk menakwil mukjizat terhitung semacam mughalatah dan penyembunyian kebenaran. Jika para Nabi menganggap dirinya juga memiliki sifat-sifat insani, maka mereka juga pasti mengatakan kenabian dan hubungan gaib mereka.

Sebagaimana pola penolakan mukjizat merupakan keinginan manusia untuk mengingkari mukjizat para Nabi juga tidak membuahkan hasil, walaupun asas falsafah ‘ijaz adalah menyingkap hakikat dan menetapkan (isbat) kebenaran risalahnya. Para Nabi juga tidak harus menjawab segalah permintaan manusia. Terlepas dari analisa jenis permintaan manusia yang menunjukan motif yang ada pada diri mereka bahwa mukjizat iqtirahi kebanyakan permintaan dari orang banyak, penguasa dholim, pelecehan dan permusuhan terhadap kebenaran serta bukan karena ingin mencari kebenaran. Bahkan lebih dari itu, permintaan-permintaan mereka juga menunjukan kekerdilan dirinya sendiri. Bahkan mereka mengabaikan kemampuan dan kecerdasannya, menuntut suatu perkara yang perealisasiannya sia-sia dan hal-hal yang konyol, sepeti; permintaan turunnya Tuhan, mendatangkan malaikat dan langit, sumber air dan kebun anggur serta yang lainnya.

Sebagaimana Quran menceritakan permintaan mereka, “Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami, Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul? (Isra: 90-93).

4. Pembuktian dengan ayat-ayat yang menyatakan ketetapan sunnatullah untuk menafikan atau menakwil mukjizat juga tidak berdasar, baik dari sisi kajian ayat sebelum dan sesudahnya serta konteks ayat yang berhubungan dengan sunan menunjukan bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan takdir seluruh manusia. Dengan demikian muatan ayat-ayat tersebut, memberitahukan hubungan sebab-akibat antara amalan orang-orang sholeh dan jahat serta nasib dan takdir mereka. kesimpulanya bahwa orang-orang yang mengikuti jalan para Nabi akan mendapatkan keberuntungan dan kenikmatan, sementara kelompok yang membangkang akan mendapatkan kerugian dan siksaan.

“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka[1329] dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: “Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir” (Al-Ghafir: 43-45).

“Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu” (Al-Fath: 22-23).

Dari sisi lain asumsi keumuman sunan ilahi (hukum cipta Allah) terhadap seluruh hukum-hukum yang mendominasi alam semesta dan mukjizat juga termasuk bagian dari sunnatullah, yang terlaksana dengan pemberian hidayah tasyri’i pada manusia sesuai dengan pengutusan dan risalah para Nabi.

(Al-Shia/Muslim-Syiah/Republika/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: