Pesan Rahbar

Home » » Quran dan Hukum Kausalitas serta Teori Kausalitas

Quran dan Hukum Kausalitas serta Teori Kausalitas

Written By Unknown on Thursday 5 May 2016 | 18:31:00


Berdasarkan hukum kausalitas, akibat tidak akan berbeda dengan sebabnya sendiri, oleh karena itu bagaimanakah ikhtiar dan kehendak manusia memiliki kesesuaian dan sejalan dengan hukum itu?


Pertanyaan:

Dalam pembahasan hukum kausalitas dikatakan bahwa setiap perkara yang baru tercipta dan realitas yang mungkin-ada niscaya memiliki suatu sebab. Sebab-sempurna dari sesuatu yang akan tercipta itu (baik yang bersifat benda maupun perbuatan) mesti ada kemudian sesuatu itu akan hadir dan mengada, karena sesuatu sebelum mencapai derajat ‘kemestian dan kewajiban eksitensinya’ tidak akan mengada. Yakni akibat tidak akan terpisah dari sebabnya sendiri. Dengan perhitungan seperti ini, bagaimana ikhtiar dan kehendak manusia bisa diterapkan dan dianalisa berdasarkan hukum kausalitas ini? Karena asumsinya adalah (sebagaimana apa yang kita rasakan sendiri secara alami) bahwa manusia bisa melakukan suatu perbuatan dan juga bisa meninggalkannya. Irâdah, kehendak, dan rencana manusia adalah juga suatu perkara yang bersifat mungkin-ada dan mungkin-tercipta, dan hal ini berkonsekuensi logis kepada kemestian dan kebutuhan akan adanya suatu sebab-sempurna. Jika kita menyatakan bahwa salah satu dari bagian-bagian (atau syarat-syarat dan kondisi-kondisi) sebab-sempurnanya adalah tidak lain dari ikhtiar manusia, maka ikhtiar manusia pun juga merupakan perkara yang mungkin-ada dan membutuhkan suatu sebab yang dengan keberadaan sebab itu ikhtiar dan kehendak manusia mustahil terpisah darinya dan senantiasa mengada. Berpijak pada realitas ini, apakah hal ini menyebabkan adanya kelemahan dan pengecualian hukum kausalitas?


Jawaban Global:

Tolok ukur ikhitiarnya perbuatan-perbuatan bukanlah dari aspek kemandirian dalam keberadaannya yang bersifat mesti dan wajib, karena tidak ada satupun di alam yang memiliki kemandirian hakiki selain Tuhan.

Tolak ukur determinisme dan ikhtiar perbuatan-perbuatan dalam pandangan Hikmah Muta’aliyah adalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada irâdah dan kehendak, bukan merupakan rangkaian atau berada dalam cakupan hukum kausalitas.


Jawaban Detil:

Hukum kausalitas tidak mengandung kelemahan dan juga tidak menerima pengecualian, akan tetapi, sekedar mengetahui secara umum dan bersifat permukaan masalah ini tidak akan cukup untuk memahami secara mendalam problematika yang sedang dibahas ini.

Para teolog dalam menjawab persoalan ini menyangka bahwa kaidah tentang ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ hanya terkhusus kepada sebab-sebab yang terpaksa dan tidak berkehendak, dan pelaku-pelaku (sebab-sebab) yang berkehendak seperti manusia – yang merupakan tema pertanyaan sekarang ini – tetap memiliki ikhtiar dan kebebasannya walaupun setelah adanya segenap bagian-bagian sebab-sempurna, sementara kaidah akal tidak akan menerima sejenis pengecualian.[1]

Jika kaidah ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ adalah sejenis keterpaksaan, maka keterpaksaan yang ada di seluruh tempat dan alam adalah benar dan jika sejenis ikhtiar maka mencakup dan meliputi semua pelaku. Akan tetapi, sejatinya adalah bahwa tolak ukur determinisme dan keberadaan perbuatan-perbuatan adalah sedemikian sehingga tidak ada pertentangannya dengan pembahasan kausalitas dalam Hikmah Muta’aliyah dan kebergantungan hakiki segenap makhluk dan ketidakmandirian mereka terhadap Tuhan Sang pencipta.

Adalah benar bahwa irâdah manusia merupakan suatu realitas yang pada akhirnya berujung pada Tuhan sebagai sebab-akhirnya dan manusia terpaksa dalam keberikhtiarannya. Namun pertanyaan di sini adalah apakah hal ini akan menyebabkan manusia menjadi terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya sendiri? Dan perbuatan-perbuatan ini tidak bisa dinisbahkan dan dialamatkan kepada manusia? Jawabannya adalah negatif. Adalah benar bahwa irâdah-takwini (irâdah dalam penciptaan segenap keberadaan) Tuhan berdasarkan tauhid-perbuatan yang mencakup perkara-perkara yang ada di alam, namun ini tidak bertentangan dengan irâdah-tasyri’i (irâdah dalam penetapan hukum-hukum agama seperti wajib, halal, haram, mustahab, makruh, dan mubah) Tuhan. Irâdah-tasyri’i Tuhan tidak lain terkait dengan perintah-perintah Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik dan memberikan kepada manusia suatu ikhtiar dan kebebasan untuk memilih kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan. Oleh karena itu, walaupun seluruh perbuatan itu tidak terpisah dan mustahil mandiri dari kodrat Ilahi secara takwini dan alami, atau dalam ungkapan lain, termasuk qadha (ketentuan) Tuhan, namun keridhaan Tuhan hanyalah meliputi perbuatan-perbuatan yang baik dan akhlak yang mulia. Manusialah yang berkehendak untuk memilih berbuat perbuatan-perbuatan yang buruk dan akhlak yang tercela.

Dengan penjelasan lain, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan adalah tidak terkait dengan kemandirian dalam keberadaan, karena tidak satupun makhluk di alam ini yang berada secara mandiri selain Tuhan, segenap makhluk bergantung secara mutlak kepada Tuhan. Namun, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan dalam perspektif Mulla Sadra hanyalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada suatu irâdah dan kehendak, bukan dalam ranah bahwa perbuatan itu berada dalam cakupan hukum kausalitas dan bergantung mutlak kepada Tuhan.

Berdasarkan kaidah ‘prinsipalitas wujud’ dan ‘kesatuan wujud’ dalam filsafat Mulla Sadra, segala makhluk memiliki satu kesamaan dalam cahaya tunggal Tuhan yang “mengalir” dalam hakikat segala makhluk. Setiap makhluk-makhluk ini adalah citra dan citra-citra Tuhan termasuk manusia.

Irâdah, ikhtiar, dan perbuatan-perbuatan manusia mengikuti keberadaannya. Oleh karena itu, manusia itu sendiri memiliki suatu tingkatan ikhtiar yang sederajat dengan tingkatan wujudnya sendiri, dan ini tidak lain adalah perkara yang Mulla Sadra katakan: irâdah dan ikhtiar manusia adalah rangkaian menurun dari irâdah Tuhan. Dengan demikian, hukum kausalitas dari perspektif ini adalah sesuai secara sempurna dengan irâdah dan ikhtiar manusia (karena ikhtiar itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada setiap makhluk sesuai dengan derajat keberadaannya); jika kebergantungan manusia semakin tinggi (yakni manusia secaa eksistensial semakin dekat kepada Tuhan) maka manisfestasi irâdah dan kehendaknya pun semakin tinggi, bukan malah semakin terjebak dalam keterpaksaan.

Kesimpulannya, ikhtiar memiliki tingkatan dan ikhtiar yang tertinggi dimiliki oleh Tuhan, karena bukan hanya Dia tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal melainkan Dia pun suci dari kecenderungan-kecenderungan internal yang saling berkontradiksi. Tingkatan dibawah-Nya dimiliki oleh makhluk-makhluk nonmateri-sempurna, karena semata-mata hanya dipengaruhi oleh irâdah Tuhan, namun masih mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan internal yang saling kontradiksi dan berkuasanya salah satu dari kecenderungan atas kecenderungan-kecenderungan yang lain. Sementara jiwa-jiwa yang terkait dengan alam materi (seperti jiwa manusia) memiliki tingkatan ikhtiar yang lebih rendah dan kurang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Akan tetapi, jika manusia memberikan perhatian yang sangat penting kepada pensucian jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan yang buruk, maka akan mencapai derajat ikhtiar yang tinggi hingga pada tingkatan irâdah Ilahi.

Manusia akan bisa melebihi tingkatan yang dimiliki oleh makhluk nonmateri-sempurna dan menggapai suatu derajat irâdah dan tingkatan ikhtiar tertinggi yang bisa dimiliki oleh makhluk Tuhan. Perspektif inilah juga menegaskan bahwa ikhtiar - dengan makna khususnya - adalah suatu amanat Tuhan dan mencakup ikhtiar yang paling luas di alam penciptaan[2] yang terkhusus dicapai oleh makhluk bernama manusia.

Lebih lanjut, berdasarkan perspektif Hikmah Muta’aliyah (khususnya berpijak pada kaidah gradasi wujud dan irâdah) yang telah dijelaskan di atas, jawaban lain atas persoalan tersebut bisa dijabarkan melalui pendekatan irfani terkait dengan hakikat irâdah dan ikhtiar manusia.

Sepanjang manusia belum mengetahui posisi hakikat keberadaannya di alam penciptaan – yakni maqam khilafah Ilahi – maka mustahil ia bisa memahami secara hakiki maqam tertinggi ikhtiar kemanusiaannya sendiri, dan ia senantiasa terjebak dalam keterpaksaan-keterpaksaan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari pengaruh faktor-faktor yang bukan pengetahuan hakiki, hal-hal yang tidak diinginkan, dan terus berada dalam kebingungan. Model pandangan ini akan berujung pada kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia, karena manusia senantiasa memandang dirinya sendiri terpaksa dalam segala sesuatu dan tidak merasa memiliki sedikitpun tanggung jawab. Hal ini akan sangat berbeda jika manusia memiliki pandangan bahwa sebab-sempurna irâdah manusia adalah manusia itu sendiri atau hakikat wujudnya sendiri.

Di sini irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan atau irâdahnya adalah irâdah Tuhan itu sendiri sebagaimana manusia sempurna dinamakan sebagai manifestasi irâdah Tuhan dan manusia yang memiliki irâdah adalah manusia yang menempatkan dirinya pada maqam manifestasi irâdah Tuhan dan ia memandang tanggung jawabnya bersumber dari irâdah Tuhan (yakni tanggung jawab utamanya adalah memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasul-Nya).

Pada dasarnya, hakikat kedirian kita tersembunyi di balik perspektif-perspektif yang keliru dan salah tentang hakikat irâdah manusia, kekeliruan perspektif ini hanya bisa tersingkap jika manusia mengetahui hakikat jiwa dan dirinya sendiri secara tepat. Dengan dasar inilah manusia pada akhirnya akan mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah khalifah Tuhan dan seorang yang menerima irâdah agung dari sisi Tuhan. Berkaitan dengan manusia sebagai penanggung jawab (karena sebagai khalifah dan penerima irâdah Ilahi maka ia bertanggung jawab untuk memperbaiki dirinya sendiri dan bertugas mengatur segenap makhluk di alam ini), maka kesempurnaannya terletak pada sejauh mana ia menerima dan menjalankan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Jika tidak demikian, maka ia terus menerus terpenjara dalam berbagai jenis keterpaksaan-keterpaksaan. Karena manusia telah tercerahkan, maka ia dapat mengubah segala keterpaksaan itu menjadi kebebasan dan ikhtiar. Dan pada dasarnya, manusia sendirilah yang memilih dan berikhtiar untuk meniti jalan keterpaksaan dan memenjarakan dirinya sendiri dalam perspektif keterpaksaan di alam keberadaan ini. Jadi manusialah yang berikhtiar untuk tetap berkehendak atau berada dalam keterpaksaan. Atau manusia terpaksa untuk berikhtiar dan berkehendak.

Manusia akan mencapai pengetahuan hakiki tentang hakikat keberadaannya melalui pengenalan yang tepat terhadap dirinya sendiri, yakni ia mendekati maqam imamah dan kekhalifaan (yang merupakan manifestasi sempurna Tuhan di alam penciptaan ini). Dengan demikian, bukan hanya ia dapat mengontrol dan mengendalikan jiwanya sendiri, melainkan ia juga memiliki kemampuan luar biasa (kodrat Ilahi) untuk mengubah dan mengatur selain dirinya. Di sinilah irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan dan manusia menggapai derajat ikhtiar yang paling tinggi. Ini tidak lain adalah kodrat dan kekuatan yang karenanya manusia diciptakan oleh Tuhan di alam ini, namun sangat disayangkan bahwa mayoritas manusia tidak mengetahui tujuan penciptaannya itu.

Oleh karena itu, hukum kausalitas di sini adalah bermakna Ilahi dan hukum tentang kebergantungan mutlak eksistensi manusia kepada Tuhan yang tidak hanya bernuasa keterpaksaaan melainkan diartikan sebagai ikhtiar itu sendiri. Mengenai hubungan antara sebab dan akibat yakni hubungan antara Tuhan dan khalifah Tuhan adalah bersifat murni ikhtiar dengan segenap keberadaan yang dalam tradisi irfan dinamakan sebagai ‘cinta’.

Catatan Kaki:
[1]. Mishbah Yazdi, Âmusyesy-e Falsafeh, jil. 2, hal. 58. Teheran: Syerkat-e Cob wa Nasyr-e Bainul Milali Wobasteh beh Intesyarat Amir Kabir, Cetakan Kelima, Zemistan 1385 S.
[2]. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).” (Qs. Ahzab: 72).
___________________________________________

Analisa Aqli dan Quran

Dengan memperhatikan hukum-hukum aql, kami menyaksikan hukum kausalitas dan kesesuian antara sebab dan akibat, yang menjadi pertanyaan apakah menerima konsep mukjizat tidak akan menciptakan kekacauan pada sistem kausalitas? Dan pada akhirnya, apakah mukjizat persoalan yang mungkin terjadi atau mustahil? Sebagaimana yang kami saksikan dalam menjawab persoalan ini, sekelompok orang di samping menyakini mukjizat dan kekuasaan mutlak tuhan, juga mengimani kepastian hukum kausalitas. Sementara sekelompok lainnya di samping menetapkan kesistematisan alam semesta dan kekokohannya, juga mengingkari mukjizat dengan takwilan dan pembenaran tertentu. Akan tetapi dengan mengkaji satu persatu menjadi jelas bahwa konsekuensi pandangan-pandangan tersebut tidak ada satupun darinya yang dapat terwujud antara dua hakikat yang tidak diragukan keharmonisan dan kedamaiannya.

Sekarang kami akan menjabarkan pembahasan ini dari sisi lain. pertama kami akan berusaha menjelaskan unsur-unsur dan bagian-bagian yang berhubungan dengan pembahasan hingga menjadi jelas bahwa tidak ada kontradiksi antara mukjizat kenabian dengan hukum aql dan tidak ada sama sekali pengecualian serta pengelakan sistem kausalitas.


Quran

Dalam rangka menjawab pertanya tersebut, apakah menerima konsep mukjizat melazimkan penafian hukum kausalitas? Mari kita teliti kembali agama-agama para Nabi dan mereka-mereka yang mengklaim memiliki mukjizat, apakah pendapat mereka tentang hukum kausalitas?

Meskipun jelas bahwa kosa kata illat, ma’lul dan illiat diambil dari istilah fafsafah. Dan kami tidak tahu apakah istilah-istilah tersebut dapat dijumpai dalam literatur-literatur agama atau tidak?

Illat secara uruf bermakna motif dan tujuan, adapun dalam filsafat memiliki dua pengertian. Pertama bermakna konsep umum (mafhum ‘aam), yakni segalah sesuatu yang memiliki pengaruh pada sesuatu yang lain. Misalnya, air, tanah dan cahaya berpengaruh dalam menumbuhkan biji-bijian. Yang kedua konsep khusus (mafhum khas) yakni pencipta suatu fenomena.

Illat pada dua makna yang telah disebutkan di atas, dapat dibuktikan secara rasional dan tekstual (Quran). Bukti-bukti rasional keberadaan tuhan seluruhnya berdasarkan konsep hukum kausalitas. Seperti tauhid af’ali dan pengaruh bebas (muatsiriat istiqlali) tuhan yang berarti bahwa semua fenomena alam semesta keabadian wujudnya bergantung pada Tuhan.

Adapun hukum kausalitas (illiat) secara umum (segalah sesuatu yang memberikan pengaruh pada fenomena lain) juga terdapat dalam Quran dengan gamblang dan lebih luas lagi. Quran tidak hanya memperhatikan berbagai macam misdaq hukum kausalitas, yang diketahui manusia melalu jalan eksperimen. Bahkan menjelaskan sebab-sebab lain, yang belum diketahui dan didapatkan manusia secara empiris.

Sebagaimana dalam ayat-ayat Quran dijelaskan hubungan sebuah fenomena materi dengan fenomena lainnya. Misalnya material penciptaan langit adalah asap, bahan-bahan penciptaan manusia adalah tanah dan permulaan materi setiap wujud yang hidup adalah air.

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap” (Al-Fusilat: 11).

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat” (Al-Anbiya: 30).

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (Al-Shaffat: 11).

Lebih jauh lagi ada ayat-ayat yang membicarakan pengaruh wujud-wujud non materi, seperti; peran dan pengaruh perbuatan para malaikat dan lainnya.

“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)” (Al-Fathir: 1).

“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)” (Al-Naziaat: 1-5).

“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia” (Al-Naas: 4-6).

Dari sisi lain Quran juga menjelaskan keajaiban dari pengaruh besar amal perbuatan manusia atas takdir dan nasibnya, keluarga dan kerabatnya, masyarakat sekitarnya, dan bahkan lingkungan tempat dia tinggal.
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Al-Najm: 39).

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya” (Yunus: 9).

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Al-Nisa’: 9).

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Al-‘Araf: 96).

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi” (Al-Ruum: 41).

Di akhir pembahasan ini kami akan mengutip perkataan Allamah Thabathaba’i dalam tafsir surat Thalaq ayat ke-3. Beliau mengatakan bahwa Allah Swt akan melakukan apa yang Dia dikehendaki dan tidak akan ada yang mampu menghalangi perbuatannya (Innallaha baligu amrih). Akan tetapi perbuatannya tidak bertentangan dengan wujud segalah sesuatu dan fenomena-fenomena yang terbatas, yang memiliki kualitas dan kuantitas tertentu serta macam-macam hubungan, kondisi, batasan, ruang dan waktu –yang masing-masing darinya terealisasi melalui kanal-kanal wujudnya dan sebab-sebabnya.

“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Al-Thalaq: 3).

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu” (Al-Hijr: 21).


Aql dan Imkan Penerimaan Mukjizat

Jika kita menerima hukum kausalitas dan keteraturan alam semesta, apakah mukjizat termasuk sebuah pengecualian dari hukum-hukum pasti tersebut? apakah mukjizat yang keluar dari kebiasaan melazimkan sebuah kemustahilan? Jika kita mengkaji ulang penggunaan kosa kata muhal, maka kita akan mendapatkan jawaban yang lebih tepat lagi.

Terkadang muhal yang dimaksud adalah muhal dzati, yakni hipotesa yang mengandung kontradiksi. Sebagaimana yang kita ketahui dalam logika (mantiq) bahwa dua hal yang kontradiksi (naqidhain) sama seperti wujud dan adam (ada dan tiada). Misalnya mengasumsikan sebuah gunung di saat dia benar-benar gunung, tetapi hanya sebuah atom, artinya; gunung di saat dia gunung, tetapi bukan gunung. Bagaimanapun juga hal seperti ini, tidak ada realitanya di luar.

Atau mengasumsikan tuhan sebagai makhluk, dengan pengertian tuhan di saat dia tuhan, bukan tuhan. Dengan demikian mustahil berkumpulnya dua hal yang kontradiksi (wujud dan adam) dengan kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana kemustahilan menghilangkan dua hal yang kontradiksi.

Adapun mengasumsikannya sebagai muhal wuqu’i dengan makna bahwa hipotesanya tidak mengandung kontradiksi, tetapi terealisasinya hipotesa ini melazimkan kontradiksi. Misalnya, mengasumsikan sebuah akibat (ma’lul) di saat dia sebagai akibat tanpa ada penyebab tertentu. Terkadang muhal semacam ini juga disebut dengan muhal ghairi, yang melazimkan kontradiksi, yakni asumsi semacam ini salah dan tidak akan pernah terjadi karena ma’lul di saat dia ma’lul bukan ma’lul.

Pada akhirnya jenis lain dari muhal adalah dengan mengasumsikannya selain dari muhal dzatan dan wuqu’an. Akan tetapi muhal yang dikenal secara urf dan ‘adat. Misalnya, sebuah fenomena yang secara ‘adat tercipta dari sebab-sebab tertentu, tetapi secara rasional dapat ditemukan dengan perantara sebab-sebab yang lain. Muhal semacan ini pada dasarnya bukan muhal, karena sesuai dengan asumsi mumkinul wuqu’ dan disebut dengan muhal hanya karena toleran saja.

Sekarang pertanyaannya mukjizat dari pembagian yang ada masuk dalam katagori mana? Jelas bahwa hipotesa terjadinya mukjizat bukan muhal dzati dan juga tidak melazimkan muhal wuqu’i, akan tetapi hanya (muhal urfi dan musamihi), yakni pengetahuan biasa yang diperoleh manusia. Sebagaimana ia menyaksikan sekelompok fenomena (akibat) mengekori fenomena-fenomena lain (sebab). Namun, apakah fenomena yang kedua satu-satunya penyebab tunggal keberadaan fenomena yang pertama atau tidak? Di sini tidak ada suatu kepastian, karena ada kemungkinan bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh sebab-sebab yang lain yang tidak kita ketahui.
____________________________________________

Teori Kausalitas Baqir Al Shadr


Oleh: Syilvia Yani

Adalah fakta yang nyata bahwa filsafat Islam merupakan hasil kreasi atau ijtihad kaum Muslimin. Bermacam tradisi dan kebudayaan bangsa memiliki kontribusi atas pengembangan dan pengkayaan filsafat Islam. Peradaban Islam pada masa puncaknya bukan hanya tidak memblokir arus ilmu pengetahuan, tapi juga mengamini dan mendukungnya. Dan jauh dari menentang filsafat, ia disambut dan dipeluk dengan rentangan tangan terbuka. Islam menyambut berbagai macam opini dan pandangan dari setiap sudut dan warna. Islam mengajak manusia untuk mengobservasi dan merenungi misteri, menantang diskusi dan penelitian serta membuka kebebasan berpikir.

Salah satu issu besar dalam tradisi filsafat Islam yang hangat diperdebatkan filosof Muslim adalah seputar kausalitas. Kausalitas merupakan salah satu persoalan fundamental dalam filsafat. Pada abad pertengahan, para filosof Muslim disibukkan perdebatan yang produktif tentang kausalitas yang dipandang semata-mata dari perspektif filsafat dan teologi Islam. Puncak perdebatan yang produktif tersebut ditandai saling silang pendapat dan tuduh menuduh antar filosof, seperti Al-Ghazali dengan kitabnya al tahāfut al falāsifah yang segera dibantah oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya tahāfut al tahāfut. Al-Ghazali mendebat (menyanggah) pandangan para filosof (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang berpendapat bahwa ada hukum kepastian (dharūry) antara sebab dan akibat dalam peristiwa-peristiwa alami. Al-Ghazali berargumen bahwa hubungan sebab dan akibat tidak bersifat kepastian karena Allah Swt. adalah Pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan. Sebab itu, Allah Swt. adalah sebab lain dibalik peristiwa-peristiwa alami yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru merupakan sebab hakiki. [1]

Al-Ghazali kemudian mengaitkan persoalan kausalitas yang dipegangi filosof dengan mu’jizat para nabi. Menurutnya padangan filosof itu dapat mempengaruhi keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi, mu’jizat yang diartikannya sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam akan dilemahkan oleh pandangan kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa alami mesti mempunyai sebab yang pasti dalam alam itu sendiri. Karena itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa hubungan-hubungan kausalitas sebagai hubungan-hubungan di antara objek-objek alamiah itu sendiri, dan objek-objek itu berada di luar dan tidak tergantung dari kehendak Allah Swt. Allah Swt. adalah Pencipta segala yang wujud termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Dengan gagasannya ini, Al-Ghazali menegaskan keyakinan teologis Islam dengan mengatasi perdebatan tentang kausalitas yang alamiah dengan mengedepankan kemahakuasaan Allah Swt.

Menurut Ibnu Rusyd bahwa sanggahan Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya hubungan kemestian antara sebab dan akibat merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan hati nurani mereka. [2] Namun begitu, Ibnu Rusyd mengakui bahwa persoalan ini sangat pelik dan untuk memecahkannya membutuhkan renungan mendalam. Menjawab kekhawatiran Al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd secara sederhana menjalaskan bahwa pendirian para filosof tentang kausalitas tidak akan merusak keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi. Ia kemudian merumuskan dua macam mu’jizat, yakni mu’jizat al barrāniy dan mu’jizat al jawwāniy.[3] Pada zaman modern sampai saat ini, pandangan, pemikiran dan pengetahuan manusia tentang kausalitas menjadi salah satu faktor dasar penentu perkembangan kemajuan sains dan teknologi. Ditangan sains dan teknologi, perdebatan tentang kausalitas menjadi bersifat materialistik dan dialektik. Kausalitas menjadi sebatas objektivitas persepsi inderawi yang bersifat mekanik dan statis. Karena itu, kausalitas kehilangan aspek spiritual atau ke-Tuhan-annya. Faktor perkembangan ini menyebabkan pendangkalan dan penyelewengan dalam kesadaran bahwa kausalitas adalah bagian dari hukum-hukum kekuasaan Tuhan menjadi lingkaran sempit sekularitas dunia inderawi manusia modern. Penyelewengan ini pulalah yang menyebabkan terperangkapnya manusia modern dalam berbagai penderitaan psikis dan spiritual yang berujung pada kerusakan lingkungan dan alam.

Segera muncul pemikir-pemikir, khususnya di kalangan Islam, yang mengkritik secara tajam pandangan materialistik dan dialektik dalam sains modern tersebut terhadap prinsip kausalitas. Dalam bahasan inilah dijumpai urgensi pemikiran seorang Muhammad Baqir Ash – Shadr, tokoh yang menjadi fokus penelitian makalah ini. Secara khusus dalam pemikiran dan karya-karyanya, ia mengarahkan kiritk terhadap kepicikan pandangan sains modern tersebut, tetapi secara strategis memberi warna dan pembaharuan tertentu paham keagamaan Islam kontemporer dengan penekanan pada pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis dalam menundukkan kekacauan sekularisme dan agnotisisme.

Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.[4]

Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Mehammad Baqir Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin menyajikan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.[5]

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1 Maret 1931 M dari keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.[6]

Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya Ushul ilm al-fiqh ( asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qurâ’an, Hadis, Ijmaâ dan Qiyas ). Pada usia sekitar enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-Ushūl (pemikiran puncak dalam Ushul). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Muhammad Baqir Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980, barangkali ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting.[7]

Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh pemerintahan Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya Shadr bagi gerakan bawah tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang orientalis muda Jerman. Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia Syiâah dan di dunia Muslim pada umumnya.

Secara etimologi kata kausalitas dalam bahasa inggris: causality, berarti “hubungan sebab dan akibat”.[8] Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab” yang mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain.[9] Orang-orang Arab Aqhah (yang masih murni bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian: “Siapa yang takut pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga. Meski dia menemukan jalan ke langit melalui tangga”.

Pengertian di atas sama dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman artinya: “Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit”). (QS. Shad [38]: 10)

Allah SWT juga berfirman di dalam al-Quran artinya: “Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS al-Mu’min [40]: 36-37)

Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan terhadap murka Allah), dan contoh lainnya. Begtu juga dalam istilah ahli ushul fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan pemberitahuan disyariatkannya hukum.[10]

Juga dikatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.

Dengan demikian, perantara yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab, sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat. Kaidah Kausalitas adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. Kausalitas merupakan landasan dalam menjalankan berbagai aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula, tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat ataupun jauh.

Seiring dengan itu, dalam Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan hukum kausalitas ialah sesuatu yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara gejala-gejala. Satu gejala tersebut disebut sebab yang menentukan yang lainnya yang disebut akibat atau konsekwensi [11]. Dalam bahasa sederhana hukum kausalitas dapat kita artikan sebagai sebuah hukum sebab-akibat.

Dalam periode perkembangan sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum kausalitas ini sangat terkait erat dengan teori yang membicarakan masalah proses penciptaan alam, fenomena-fenomena yang berhubungan manusia dan alam serta berlanjut dengan lahirnya teori sains dan ilmu pengetahuan dalam islam.

Seperti disinggung di pendahuluan, diantara tokoh yang sangat populer dalam membicarakan masalah kausalitas ini dalam sejarah pemikiran Islam pada zaman kalsik adalah Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut Al-Falasifah. Al-Ghazali mempermasalahkan apakah hukum kausalitas ini adalah sebuah hal yang pasti dan sebuah keniscayaan? Hal ini dilandasinya pada konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada, termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan yang disebut mu’jizat. Menurut al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidaklah bersifat dharury atau kemestian.

Dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing mempuanyai individualitasnya sendiri. Sebagai contoh kertas tidak mesti terbakar oleh api dan basah oleh air, semua ini hanya adat kebiasaan alam bukan suatu kemestian. Karena terjadinya sesuatu dialam ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.[12] Dapat diperkirakan pemikiran al-Ghazali tidak bisa kita lepaskan dari paham teologi Asy’ari yang tekenal dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan dapat juga kita pahami bahwa al-Ghazali ingin mempertahankan akidah umat islam agar tidak terjebak pada paham kausalitas yang menurut filosof tedahulu terkesan menafikan adanya penyebab utama dari hukum sebab akibat ini yaitu Allah.

Terkait dengan teori al-Ghazali ini pada sejarah pemikiran Islam terdapat bantahan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut al Tahafut yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara sebab dan akibat. Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya sebuah kemestian atau pengingkaran akan adanya sebab yang melahirkan akan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tida logis.[13] Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda yang terdapat dalam alam ini mempunyai sifat dan zat tertentu yang di sebut dengan sifat zatiah. Bahwa untuk terwujudnya segala sesuatu kemestian mesti ada daya atau kekuatan yang ada sebelumnya. Seperti api mempunyai sifat zatiah membakar sedangkn air mempunyai zatiah membasahi. Sifat zatiyah inilah yang membedakan antara api dan air.[14]

Dilihat dari substansinya, perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan adanya Allah swt. sebagai penyebab utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas dalam filsafat Islam menjadi teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif demikian menjadi sumber utama kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal bahwa kausalitas materialisme telah memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan modern yang bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun demikian, seperti akan dilihat dalam uraian berikut, menurut Shadr pendekatan logika dan filsafat spekulatif sangat diperlukan dalam memahami prinsip kausalitas agar manusia tidak terjerumus pada paham materialisme yang membawa kepada paham ateisme, karena menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt yang menyebabkan terjadinya sebab akibat.

Dalam karayanya falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang telah diungkapkan oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas, yang menyatakakan bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di dunia ini, telah terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk mempertanyakan segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya. Sebagai contoh manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi? Serta sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya sebab yang lain di luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi sebab terhadap wujud tersebut, dan tidak yakin akan adanya sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.

Terkait dengan prinsip-prinsip kausalitas yang diungkapkan oleh kaum empiris dan matrealis Ash Sadr mengawali kritikannya dengan memakai beberapa argumen yang dipakai mereka yaitu: pertama, mengenai pembuktian realitas objektif persepsi indrawi, kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen, ketiga, kemungkinan penyimpulan-penyimpulannya dalam bidang filsafat maupun ilmu.

[1] Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi indrawi

Menurut Ash Shadr pertama, persepsi indrawi tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan bukan tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua, mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu ketetapan yang niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak perlu tahu terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan realisme. Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat terjadi dengan berdasarkan prinsip kausalitas.

Sebagai contoh: ketika manusia dalam keadaan sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau membayangkan hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa mengetahui realitas objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.


[2] Kausalitas dan teori-teori ilmiah

Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasinal, menurut Ash Shadr secara umum pada dasarnya bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada beberapa bentuk hukum kausalitas diantaranya:
[1] Prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
[2] Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
[3] Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.

Dalam ketiga komponen teori ilmiah dan kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena sangat erat kaitannya satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang berhubungan dengan eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan menafikan adanya sebuah kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang sangat mendukung argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya berkaitan erat yaitu berupa hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat diterima sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya sebelum teori dan hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan.[15]

sebagai contoh sadr mengambil teori eksperimen seorang ilmuan terhadap roda-roda mobil kayu dimana di antara roda-roda itu kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Dan bila didinginkan kerangka-kerangka besi itu akan mengerut dan akan mengetup diroda-roda kayu. sadr menganggap bahwa para ilmuan ini telah berkali-kali menguji eksperimenya yang pada akhir eksperimennya tidak akan bisa lepas dari pertanyaan selama anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak anda uji itu juga bisa memuai karena panas? Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas, akal yang tidak mau menerima keserampangan dan kebetulan.

Tetapi menerangkan alam semesta berdasarkan kausalitas dan hukum-hukumnya. Termasuk hukum keselarasan dan keniscayaan, mendapati dan eksperimen-eksperimen yang terbatas, dari contoh ini telah jelas alasan untuk menerima teori umum yang menyataka: benda-benda di alam bisa memuai karena panas, artinya ilmuan hanya mengambil kesimpulan secara umum dari beberapa benda yang bisa memuai karena panas seperti besi dan benda jenis logam lainnya, karena ada zat yang menyelaraskan antara zat panas dan besi. Dengan catatan tidak semua benda bisa memuai karena panas seperti kayu.


[3] Kausalitas dan inferensia

Ketika kita ingin memberikan sebuah pembuktian terhadap suatu eksperimen, menurut Shadr baik dengan cara filsafat maupun melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu. kalau tidak dengan prinsip kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal ini. jadi setiap pemaparan sangat bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Bahkan penolakan terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan oleh para filosof dan ilmuan juga berdasarkan prinsip kausalitas.

Dari uraian diatas sadr menyimpulkan:
[1] Menurutnya prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
[2] Prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip kausalitas.
[3] Prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan tehadap prinsip kausalitas ini.

Selanjutnya hal yang sangat penting dalam karyanya falsafatuna Shadr memaparkan empat teori penting yang berhubungan dengan prinsip kausalitas untuk menepis pemahaman kaum empiris dan matrealis yang menafikan adanya sebab utama dari sebab-sebab yang ada didunia ini yaitu Allah. Teori ini diawali shadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab?[16]


Teori pertama: Teori Wujud (eksistensi)

Teori ini menyatakan bahwa agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari kebutuhan tersebut, karena kebutuhan tersebut adalah misteri yang tersembunyi didalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah bersebab.


Teori kedua: Teori penciptaan

Yaitu teori yang menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya menuntut adanya sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada. Jadi pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong utama yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan dengan setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. berdasarkan teori tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu, jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan permanen dan tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan akan sebab dan tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.

Teori ini berlebihan dalam membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki pembenaran dari segala filsafat. Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. karena pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh manapun proses perpanjangan itu.


Teori ketiga: Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan Eksistensial

Dua teori ini menyatakan bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi perbedaan filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori ketiga ini Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud yaitu sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis berhubungan dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan pena yang ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.


Teori keempat: Fluktuasi Antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas

Dengan teori ini Shadr bermaksud menjelasnya bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan tanpa melibatkan sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan.[17] Kehidupan dan sejarah, seperti dikatakan Shadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari ketidak pastian antara kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam (internal). Sebagai contoh, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik.

Beberapa aspek dari pemikiran Shadr tentang kausalitas yang menarik disimak antara lain kontribusinya dalam memberi warna pada pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Tidak mengikuti para filosof Islam klasik, penjelasan Shadr tentang kausalitas tidak hanyut dalam ranah teologik dan metafisik, tetapi lebih dekat pada realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik pendirian empirisme dan materialisme dalam prinsip kausalitas dengan mengatakan bahwa inderawi saja tidak cukup untuk mengungkapkan adanya realitas objektif.

Dalam hal pembaharuan pemikiran Islam, Shadr mengemukakan kritiknya dengan mangatakan, yang salah satunya, bahwa dalam fenomena-fenomena di alam semesta intervensi Tuhan tidak berlaku secara mutlak. Hal itu karena secara kausalitas dapat dijelaskan perkembangan dan pertumbuhan timbul dari adanya kontradiksi-kontradiksi dialektis dalam proses alamiah. Semua itu, dimaksudkan bukan hanya dalam rangka merespon perkembangan pemikiran manusia dalam sains tetapi berperan memberikan kiritik-kritik terhadap jalannya sains yang cenderung lari dari kenyataan metafisik.

Catatan Kaki:
[1] Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah Kerancuan Para Filosuf, diterjemahkan dari judul asli Tahafut al-Falasifah oleh Ahmadie Thaha, (Jakarta: Panjimas, 1986), h. 199; lihat juga Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 174
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ibid, h. 232
[3] Mu’jizat al barraniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis ini boleh jadi pada suatu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapnya, ia tidak lagi dipandang sebagai mu’jizat. Mu’jizat al jawwaniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis inilah mu’jizat yang sesungguhnya, karena tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan manapun dan kapanpun. Ibid, h. 237
[4] Chibli Mallat, Menyegarkan Islam: Kajian Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash Shadr, terj, dari judul asli: The Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001),h.26
[5] Ibid, 27
[6] Muhammad Baqir Ash Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, terj, (Bandung: Mizan, 1993), h. 11
[7] Ibid, h.12
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 103
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 161
[10] Samir ‘Azzam, Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam Kehidupan Muslim, artikel internet
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996), h. 399
[12] Sirajuddin Zar,op.cit., h. 175
[13] Ibid,h. 232
[14] Ibid, h. 233
[15] Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna, op.cit.,h.211
[16] Ibid, h. 216
[17] Ibid, h. 221
______________________________________________

Akal dan Konsep Ketuhanan

Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.

Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Merka beralasan dengan adanya sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra'yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep ketuhanan.

Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.


Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?

Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.

Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu Allah Ta'ala.

Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah.

Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.

Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofis.

Pada kesempatan ini Insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.


Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala

1. Burhan Nidham (Keteraturan)

Burhan ini dibangun atas beberapa muqaddimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas ('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal).
Keempat, "sebab" atau 'illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu "sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.

Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab" yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.

Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?

Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab" tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab" segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta'ala.

2. Burhan al-Huduts (Kebaruan)

Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa hal:
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena "sebab" sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu dengan sebutan Allah Ta'ala.


Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan wujud Allah Ta'ala

A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu:
- Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.

- Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika 'ada' disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika 'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).

- Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain).

- Daur (siklus atau lingkaran setan). Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ad tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima'un naqidhain (lihat Mumtani').

Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B kebradaannya tergantung membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikin pula C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya.

- Tasalsul, yaitu susunan sejumlah 'illat dan ma'lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi 'illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya.

Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa point berikut ini :
Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil.
Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah 'sebab' dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau 'illatul 'ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta'ala.


B. Burhan ash-Shiddiqin 

Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlibait as. yang berbunyi,"Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya." (Doa Shabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahli mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan.

Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Di antaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, "Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua , adalah selain wujud yang wajib, yaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan -Nya. (Nihayah al-Hikmah, hal. 269).

Allamah al-Hilli , dalam kitab Tajrid al-'I'tiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, "Diluar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala) , dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (ntuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib , maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya.

Kitab Rujukan:
1. Nihayah al Hikmah, karya Allamah Thabathabai.
2. Kasyf al-Murad fi Syarh at-tajrid, karya Allamah al-Hilli.
3. Bab al-Hadi 'Asyr, karya Allamah al-Hilli
4. Al-Ilahiyyat, karya Syekh Ja'far Subhani.
5. Muhadharah fi Ilmi al-Kalam (kaset), ceramah Sayyid Kamal Haydari.
_____________________________________

Berdialog dengan Asy’ariyah dan Mu’tazilah

Dialog interfaith dan intrafaith merupakan dialog yang harus intens dikembangkan pada setiap pemeluk kepercayaan. Keyakinan yang dianut oleh sebuah agama atau mazhab untuk mampu berjajal dengan realitas harus dikomunikasikan dan diekspresikan pada bursa ideologi. Karena ketika keyakinan atau kredo itu dipandang sebagai sebuah pilihan, setelah melakukan penelusuran dengan menggunakan piranti akal dan nurani, ia harus dipandang sebagai sebuah kebenaran yang menyediakan lahan bagi para pemeluknya untuk melesak meraih kesempurnaan insani dan kebahagiaan hakiki. Karena mencapai dan meraup kesempurnaan merupakan tuntutan fitrah manusia, apapun agamanya.

Islam yang merupakan sebuah agama samawi semenjak kemunculannya menyambut dawuh dialog interfaith dan intrafaith ini. Islam yang diyakini oleh para pemeluknya tidak terkecuali harus turut dikomunikasi dan diekspresikan. Mengingat keyakinan kepada sesuatu berpotensi membahagiakan sekaligus menelantarkan. Namun bagaimana menemukan formula dan teraju untuk menjamin bahwa keyakinan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang 100 % mengandung kebenaran dan tak lekang oleh panas serta tak lapuk oleh hujan. Artinya ia harus kokoh dengan argumen-argumen rasional dan filosofikal, dalam berjajal dengan agama-agama lainnya. Islam menantang setiap agama-agama untuk menyodorkan argumen dengan nada “Qul Haatu Burhanakum inkuntum Shadiqin.” Sodorkan argumenmu sekiranya engkau merupakan orang yang benar.”

Demikian juga termasuk kepada pemeluk agama Islam sendiri, karena titah Ilahi ini bersifat umum, diseru kepada siapa saja karena keyakinan bukan warisan dari leluhur dimana hal ini sangat dicela oleh kitab suci agama Islam. Keyakinan harus Anda rengkuh sendiri dengan argumen sederhana sekalipun. Sebagaimana seorang renta pemintal benang ditanya oleh Nabi Agung Saw bagaimana engkau mengenal Tuhan, sang renta menjawab bahwa benang yang aku pintal ini menunjukkan aku sebagai pemintalnya dimana tidak mungkin ia ada dan tertata rapi tanpa aku yang mengadakan dan merapikannya apatah lagi semesta raya yang serba canggih ini tentu menunjukkan kepada sosok yang menciptakannya dan kita sebut sosok itu sebagai Tuhan Sang Pencipta.

Di samping ajakan untuk berdialog ini, Islam juga mengajarkan tata cara dan etika berdialog, dimana dawuh Ilahi menegaskan “Jadilhum billati Hiya Ahsan” Berdialog dan berdialektikalah kalian dengan mereka (siapapun) dengan cara yang lebih baik.

Pembaca yang budiman, kolom diberi judul Teologi Komparatif yang stressing lebih pada poin-poin ajaran penting dari setiap agama, ajaran dan isme dan perbandingannya dengan Islam atau mazhab pilihan. Perbandingan ini tentu saja meniscayakan telaah dan kajian dari obyek yang dikaji. Pada kesempatan ini, kita akan melakukan komparasi antara teologi mazhab yang ada dalam Islam, dimana tiga pokok keyakinan yang menjadi obyek komparasi, Determinisme-Kebebasan Mutlak-In Between, Teori Kasb dan Tauhid dalam Penciptaan Asy’ariah, Mu’tazilah dalam sorotan teologi Imamiyah. Dimana dalam tulisan ringan ini, penulis juga berusaha menjelaskan (tabyin) dua pokok pemikiran Asy’ariah terkait dengan kebebasan manusia dan determinisme yang bertautan erat dengan masalah hukum kausalitas sekaligus melakukan perbandingan dua pokok pemikiran Asy’ariah secara global dengan mazhab Imamiyah. Tulisan ringan ini sengaja diturunkan buah dari “dialog intrafaith” dengan salah seorang pengguna budiman site ini namun di samping menjelaskan, karena pengguna yang dimaksud belum mengelaborasi dua pokok pemikiran yang dibelanya ini, dan menanggapi pandangan pengguna tersebut, tulisan ini juga bersifat impersonal artinya dialamatkan kepada siapa saja yang berselera mengetahui konsep-konsep pemikiran Asy’ariah, minimal ihwal konsep determinisme dan dua konsep yang dimaksud. Adapun ayat yang disebutkan pada tanggapan bag. Pertama tidak lebih dari sekedar menukil dan membacakan ayat bagi penulis yang kemudian tetap disebut sebagai klaim oleh penulis. Pembuktian yang dimaksud tidak disertai dengan argumen-argumen logis dan filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seperti penukilan bahwa Tuhan itu pencipta segala sesuatu, bahwa dengan izin Tuhan segala sesuatu berlaku, dan semisalnya tanpa mengelaborasi bahwa yang dimaksud pencipta dan penciptaan di sini apa? Dengan izin Tuhan segala sesuatu itu berlaku, maksudnya apa? Etc. Namun penulis berharap penanggap dapat menyediakan hal tersebut supaya melepaskan diri Anda dari tudingan klaim, menukil dan sekedar membacakan ayat sahaja. Ala Kulli Hall…


Masalah Kebebasan Mutlak, Determinisme dan In Between

Kalau tidak salah, beberapa postingan telah lewat ihwal Kebebasan dan Determinisme ini. Namun di sini dengan corak dan warna yang berbeda, kepada pembaca disuguhkan pandangan-pandangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang digagas oleh para pembesar mereka dengan sandaran kitab-kitab induk teologinya, sekaligus kritikan dari Imamiyah.

Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar(kebebasan memilih), berkata pada Rabi’ah ar-Ra’i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): “Andakah yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?” Rabi’ah segera menjawab: “Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?” Demikian juga pada suatu hari terjadi baku gea (dialektika), antara Abu Ishaq al-Farayini, pendukung aliran jabariyah (determinisme), yang duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, dan al-Qadhi Abdul-Jabbar yang datang ke tempat itu, seorang tokoh Mu’tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: “Subhana man Tanazzaha anil Fahsya(Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!” Ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepadaAbu Ishaq yang menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.” (Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak dikehendaki oleh Allah swt, yakni perbuatan keji dan sebagainya.Apakah Tuhan menghendaki para hamba-Nya bermaksiat? Apakah para hamba lebih unggul dari Tuhan dan melakukan maksiat? Katakan kepadaku apakah jika Tuhan menahan hidayah dariku dan memutuskan aku terpuruk dalam jurang kebinasaan, apakah Dia melakukan kebaikan atau keburukan bagiku?[1]

Baku gea (dialektika) ini merupakan singgungan salah satu masalah yang terpenting dalam pembahasan teologi yang senantiasa menyita perhatian seluruh manusia khususnya kaum agamawan. Apakah manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam perbuatannya? Apakah kehendak dan kemauan manusia tidak dikalahkan oleh kehendak dan kemauan Tuhan? Apakah kehendak Tuhan termasuk seluruh perisitiwa dan perbuatan dan tiada satu pun dari peristiwa dan perbuatan ini keluar dari kehendak Tuhan?Apabila kehendak Tuhan bersifat umum, lantas bagaimana menjelaskan kebebasan manusia? Qadhi ‘Abdul Jabbar Mu’tazili meyakini kebebasan mutlak manusia dan memandang bahwa seluruh perbuatan mandiri dan bebas manusia berada di luar kekuasaan Tuhan. Sebagai kebalikannya, Abu Ishaq al-Farayini meyakini bahwa kehendak umum dan tanpa kecuali Tuhan, qadha dan qadar(dengan penafsiran deterministiknya) dengan redaksi “Subhana man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.”(Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) merupakan sindiran yang ditujukan kepada Qadhi Abdul Jabbar yang beranggapan bahwa segala sesuatu berada di luar kekuasaan Tuhan. Dan tukasan dan isykalan Qadhi terhadap Abu Ishaq adalah bahwa apabila kehendak dan kemauan Tuhan kita pandang sebagai kehendak umum dan tiada satu pun perbuatan yang keluar dari ranah perbuatan Tuhan, dimana konsekuensi dari cara berkeyakinan seperti ini adalah keniscayaan penyandaran seluruh perbuatan buruk dan tercela kepada Tuhan.

Masalah determinasi dan kebebasan manusia semenjak dahulu kala merupakan masalah yang penting dalam bidang teologi. Determinisme adalah bahwa manusia dalam seluruh perbuatannya ia tidak memiliki kehendak dan kebebasan. Seluruh perbuatan manusia kesemuanyam terlaksana berkat kehendak dan kekuasaan Tuhan dimana kebebasan merupakan poin yang berseberangan secara interminis dengan pandangan ini. Seperti pada ayat “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang suatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan (dan dalil untuk masalah ini)? Kemukakanlah Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu hanyalah mengira-ngira.” (Qs. Al-An’am [6]:148) Dimana keyakinan deterministik tersebar di kalangan kaum Musyrikin yang menjadikan ayat ini sebagai pembenaran atas perbuatan-perbuatan tercela mereka. Dan juga patut disayangkan bahwa pemikiran semacam ini juga tersebar di kalangan kaum Muslimin dikarenakan beragam dalil di antara adalah alasan politis, sebagaiman yang disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], sehingga menyebabkan mereka tercengkram paham jabariyah (deterministik).


Determinisme Mutlak

Kini tiba saatnya menjelaskan paham jabariyah menurut kitab-kitab mereka. Pandangan determinisme mutlak ini disandarkan kepada Jahim bin Shafwan founding father firqah Jahimiyyah. Firqah ini adalah firqah yang pertama kali memperkenalkan ajaran determinisme mutlak. Menurut pandangan Jahimiyyah manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan dan dalam perbuatannya ia terpaksa (majbur) dan hampa kebebasan dan kehendak. Seluruh perbuatan manusia sebagaimana pengaruh-pengaruh tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk Tuhan dan manusia sama sekali tidak memiliki peran dalam mewujudkan pengaruh-pengaruh tersebut. Adapun penyandaran perbuatan itu kepada manusia merupakan penyandaran figuratif (majazi) bukan hakiki.[2]

Ucapan berikut ini adalah ucapan puak Jahimiyyah bahwa “Tiada satu pun perbuatan bagi setiap orang selain Allah dan perbuatan-perbuatan penyandarannya kepada makhluk hanya bersifat majazi.”[3]


Kasb (Perolehan)

Konsep determinisme mutlak tidak mendapatkan banyak pengikut. Banyak kelemahan dan borok dalam konsep ini dapat dijumpai dan pertentangannya dengan ayat-ayat lahir Qur’an. Sebagian berusaha, sembari bersikukuh dengan kekuasaan mutlak dan kehendak azali Tuhan, menjauh dari konsep determinisme mutlak ini. Sedemikian sehingga tetap ingin membuktikan pengaruh dan peran manusia dalam perbuatan dan pekerjaannya. Untuk menelurkan pandangan eskapis ini, teori perolehan (kasb) ini mengemuka. Mazhab teologi yang paling popular mengikuti, menyokong dan membela teori kasb ini adalah mazhab Asy’ariah, meski sebelum Asy’ariah tersebut mazhab Najjariyah (pengikut Husain bin Muhammad bin Abdullah an-Najjar(330 H) dan juga Dharuriyah (pengikut Dharar bin Amr) yang menyokong teori kasb ini.

Dasar teori ini adalah bahwa Tuhan merupakan pencipta segala perbuatan dan manusia hanya merupakan yang mewadahi dan memperoleah perbuatan-perbuatan tersebut. Dan mizan ketaatan dan maksiat juga bersandar kepada teori kasb (perolehan) ini, bukan penciptaan. Sejatinya, setiap perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sisi:
1. Penciptaan yang bersumber dari Tuhan dan disandarkan kepada-Nya.
2. Perolehan (kasb) dari sisi manusia dan dinisbahkan kepadanya.

Dalam menjelaskan secara utuh teori perolehan atau wadah ini, terdapat banyak penafsiran dimana di sini kita akan menyebutkan sebagian dari penafsiran tersebut kemudian melakukan kajian kritis atas setiap penafsiran tersebut.

1. Asy’ari[4] menyatakan bahwa hakikat kasb adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan hadis (yang dihasilkan) manusia yang merupakan pelaku dari perbuatan tersebut. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa perolehan pengaruh kekuasaan (kekuatan) yang bersumber dari manusia dalam mewujudkan sebuah perbuatan.

2. Fadhil Qausyaji berkata bahwa “kasb adalah simultannya perbuatan manusia dengan kekuasaan dan kehendak manusia; artinya Tuhan secara bersamaan dan simultan dengan kekuasaan dan kekuatan manusia mengadakan sebuah perbuatan, tanpa adanya pengaruh atau interfensi kekuasaan manusia dalam mengadakan perbuatan tersebut.”[5]

3. Qadhi Baqilani (wafat 403 H) berkata: “Setiap perbuatan terdiri dari dua sisi: 1. Wujudnya perbuatan. 2. Julukan atau titel perbuatan yang merupakan turunan atas perbuatan tersebut dan kekuasaan manusia tidak memiliki kelayakan pengaruh pada wujud dan terolahnya perbuatan, melainkan hanya memiliki pengaruh pada julukan perbuatan. Atas alasan ini pengaruh pada julukan yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan ganjaran atau hajaran. Sejatinya, wujudnya perbuatan makhluk Tuhan dan julukan perbuatan misalnya, julukan atau titel menunaikan shalat, berdusta, dan sebagainya merupakan perolehan manusia dan disandarkan kepada manusia. Baqilani dalam menjelaskan definisi yang diutarakan berkata: “Setiap orang orang menemukan perbedaan nyata di antara dua jumlah kalimat: A. mengadakan, kalimat seperti shalat (shalli), mengerjakan puasa (shama), dan berdiri (qama). Yang layak disandarkan kepada Tuhan kalimat-kalimat dan karakteristik bagian pertama dan julukan-julukan bagian kedua tidak patut disandarkan kepada Tuhan, melainkan disandarkan kepada manusia.”[6]

4. Taftazani menulis: “Kasb, penyandaran kekuasaan dan kehendak dari sisi manusia dan terciptanya perbuatan setelah itu dari sisi Tuhan, penciptaanya. Di sini maqdur (yang dikuasai) yang tunggal berada di bawah dua kekuasaan, akan tetapi dengan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, perbuatan dari sisi penciptaan yang dikuasai (maqdur) berasal dari Tuhan dan dari sisi wadah yang dikuasai berasal dari hamba (manusia).”[7]

Pada kesempatan ini, tentu tidak memungkinkan bagi kita untuk membahas dan mengkritisinya secara detil dan jeluk seluruh redaksi para pembesar Asy’ariah tentang teori wadah atau perolehan ini. Kita hanya akan menyinggung beberapa poin yang layak untuk dipertimbangkan.


Mengkaji Penafsiran Kasb

Masing-masing dari penafsiran kasb yang disampaikan di atas memiliki cela dan borok dimana di sini kita akan menyinggung sebagian darinya. Sebagaimana yang telah disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], bahwa memahami teori kasb ini sama peliknya dengan memahami konsep trinitas dalam tradisi agama Kristen. Namun berdasarkan dari definisi yang disebutkan di atas mari kita lihat betapa rancunnya teori kasb ini.

Dalam mengkritisi penafsiran pertama, kita boleh bertanya apa peran kekuasaan yang dihasilkan manusia? Apabila penciptaan dan pengadaan perbuatan dalam artian yang sebenarnya kembali kepada Tuhan dan penyandaran kepada selain Tuhan adalah tidak benar, maka bagaimana kekuasaan yang dihasilkan manusia dapat berpengaruh? Apabila kekuasaan manusia memiliki pengaruh maka hal ini meniscayakan perbuatan itu juga merupakan ciptaan manusia. Dengan kata lain, apabila kekuasaan manusia disejajarkan secara vertical dengan kekuasaan Tuhan, maka ucapan puak-puak Asy’ariah meniscayakan bergabungnya dua kekuasaan atas sesuatu atau satu perbuatan (maqdur, yang dikuasai) dimana hal ini merupakan perkara yang absurd dan perbedaan sisi atau dimensinya tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Dan apabila dipandang kekuasaan manusia berada secara vertikal, top-down dengan kekuasaan Tuhan maka hal itu memestikan secara hakiki bahwa manusia juga memiliki kekuasaan dalam mengadakan sebuah perbuatan dan inilah konsep kebebasan (ikhtiar) dimana hal ini ditolak dan diingkari oleh puak-puak Asy’ariah.

Dalam mengkritisi penafsiran kedua dapat dikatakan bahwa, berdasarkan penafsiran ini, peran manusia hanya bersamaan dan simultan kehendak dan kekuasaanya dengan pengadaan perbuatan. Dan simultannya kehendak dan kekuasaan manusia dengan terwujudnya sebuah perbuatan yang merupakan makhluk Tuhan, tidak dapat menjadi pembenaran atas penyandaran perbuatan manusia, ganjaran (tsawab) dan hajaran (’iqab). Apabila puak-puak Asy’ariah menerima bahwa kehendak dan kekuasaan manusia dalam proses ini, kehendak dan kekuasaan sejatinya, maka dalam hal ini mereka harus mengakui bahwa manusia secara hakiki berada dalam silsilah sebab-sebab (‘ilal) terwujudnya perbuatan. Dan perbuatan tidak melulu merupakan makhluk Tuhan dan namun sayang seribu sayang, puak Asy’ariah tidak menerima keniscayaan ini. Namun apabila kehendak dan kekuasaan manusia ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang real oleh puak Asy’ariah, maka mereka harus menerima figuratifnya kehendak dan kekuasaan manusia dan memandang ada dan tiadanya kehendak dan perbuatan manusia itu harus dipandang sama dan sebagai konsekuensinya bermuara pada determinisme mutlak.

Kini mari kita beralih ke penafsiran ketiga. Isykalan yang patut diacungkan kepada Qadhi Baqilani dan orang-orang yang sepaham dengannya adalah apabila titel-titel yang mengikut pada perbuatan-perbuatan haruslah perkara eksistensial, dalam hal ini (berdasarkan pandangan Asy’ariah dalam masalah tauhid dalam penciptaan) titel-titel ini merupakan makhluk-makhluk Tuhan dan manusia secara asasi tidak memiliki peran dalam terwujudnya sebuah perbuatan, namun apabila titel-titel ini merupakan perkara-perkara mental (dzihni), yang memang demikian adanya, maka teori kasb ini juga akan kosong dari segala realitas dan semata-mata merupakan perkara wahmi (delusif) dan non-real yang dikembangkan dan disebarkan oleh puak-puak Asy’ariah.

Adapun kritik atas penafsiran keempat juga seperti isykalan-isykalan di atas. Sejatinya menyandarkan kehendak dan kekuasaan, dalam pengadaan perbuatan pengaruh dan interfensi real atau tidak real meniscayakan sesuatu yang telah dijelaskan pada kritikan atas penafsiran pertama dan kedua, juga dapat diacungkan kepada penafsiran keempat ini.

Dengan memperhatikan poin-poin di atas akan menjadi jelas bahwa pertentangan teori kasb dengan akal sehat atau tidak kompatibelnya teori kasb dengan akal sehat. Masalah ini terkadang secara selintasan diakui oleh pembesar Asy’ariah; misalnya Taftazani dengan redaksi di bawah ini mengakui kekurangan dalam menjelaskan dan memahamkan teori kasb ini. Ia berkata “Makna yang kami berikan atas teori kasb (di atas) sekedar yang penting saja, kendati kami tidak mampu meringkas redaksi dari hakikat bahwa perbuatan-perbuatan manusia yang memiliki kekuasaan, kehendak dan kebebasan yang ia miliki merupakan makhluk Tuhan.”[8]

Pelbagai isykalan yang tergeletak pada teori kasb ini telah menyebabkan sebagian ulama besar Asy’ariah mengingkari dan menafikan teori ini; misalnya Imam al-Haramain Abu al-Mu’ali Juwaini yang menegaskan adanya pengaruh real kekuasaan manusia dalam perbuatan dan keberadaan selaksa kausalitas di alam semesta, sebagaimana Imamiyah. Dan menafikan kekuasaan dan peran mandiri manusia dalam perbuatannya adalah bertentangan dengan akal sehat dan perasaan.[9] Syaikh Sya’rani (w 973) juga senada dengan Juwaini menerima pandangan ini.[10] Demikian juga, tokoh seperti Muhammad Abduh (w 1323) yang menolak teori kasb ini dan mengakui pengaruh, peran dan kekuasaan real manusia dalam penciptaan perbuatan. Ahmad Amin memandang teori kasb ini sebagai istilah dan bentuk baru dari determinisme (mutlak).[11]


Tafwidh

Mu’tazilah bertolak belakang sine qua non dengan Asy’ariah yang memilih konsep tafwidh (pendelegasian). Berdasarkan pandangan ini Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahkan kekuasaan dan kebebasan untuk mengerjakan segala perbuatan. Tuhan dalam hal ini telah mendelegasikan (tafwidh) kekuasaan dan kebebasan kepada manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan segala sesuatu dan keberpengaruhan didelegasikan kepadanya dan dengan demikian, Tuhan tidak memiliki peran pengaruh sama sekali dalam hukum kausalitas.[12]

Berdasarkan pandangan ini seluruh manusia dalam mengerjakan perbuatannya merdeka dan manusia sebagai satu-satunya sebab dari seluruh perbuatannya. Konsekuensinya adalah Tuhan sama sekali tidak ada campur tangan dalam pengadaan perbuatan manusia.Tuhan menghendaki bahwa seluruh manusia beriman kepada kebebasan yang dimilikinya. Demikian juga memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauh dari perbuatan buruk. Manusia juga dengan kebebasan yang ia miliki mengerjakan perbuatan baik dan menjauh dari perbuatan buruk. Dengan penjelasan ini pertama Tuhan terbebas dari perbuatan-perbuatan buruk; kedua, fungsi taklif, janji dan ancaman, ganjaran dan hajaran manusia tetap terpelihara.

Mu’tazilah dalam membela pemikiran dan keyakinannya mengemukakan pelbagai argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Sebagaimana Jurjani menulis, argumen rasional Mu’tazilah berpijak pada landasan bahwa apabila manusia dalam mengerjakan seluruh perbuatannya tidak merdeka dan bebas, maka taklif akan rontok dan gugur. Demikian juga mengajarkan adab kepada manusia yang menjadi tujuan penciptannya akan runtuh; karena manusia apabila ia tidak merdeka dan bebas, secara asasi perbuatannya tidak akan dapat disandarkan kepadanya. Dan pengutusan para nabi akan sia-sia. Karena asumsinya adalah manusia bukan pelaku atas setiap perbuatannya dan dengan demikian ia tidak layak untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran. Demikian juga penyandaran seluruh perbuatan buruk kepada Tuhan.

Mu’tazilah, di samping argumen rasional, juga berpijak pada dalil-dalil referensial (naqli) misalnya, “ Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri..” (Qs. Al-Baqarah [2]:79), “ Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu..” (Qs. At-Taubah [9]:105), “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:11)

Argumen-argumen rasional dan referensial Mu’tazilah mendapatkan kritikan tajam dari puak teolog Asy’ariah.[13] Pada kesempatan lain kita akan membahas ayat-ayat yang dijadikan sandaran referensial. Namun sandaran rasionalnya patut mendapatkan perhatian sebagaimana poin di bawah ini:

A.Keniscayaan keyakinan tafwidh adalah manusia berada pada tataran kepelakuan mutlak dan sama sekali tidak memiliki hajat kepada Tuhan dimana hal ini tidak selaras dengan tauhid perbuatan; karena menjadi penyebab pembuktian dualisme dan sesuai redaksi Mulla Shadra membuktikan mitra dan sekutu yang tak berbilang bagi Tuhan. Mulla Shadra berkata bahwa keyakinan tafwidh lebih buruk dari keyakinan bahwa berhala-berhala mampu memberikan syafaat.[14]

B.Manusia dan segala perbuatan, segala fenomena dan dimensi yang berasal darinya merupakan bagian dari mumkinul wujud, dan perkara mumkinul wujud untuk mewujudkan dirinya ia berhajat kepada wajibul wujud. Apabila seluruh perbuatan manusia (mumkinul wujud) – kendati melalui pelaku merdeka – tidak bersandar kepada Tuhan (wajibul wujud), sekali-kali perbuatan ini tidak akan pernah terwujud. Maka tiada jalan lain selain menyandarkan perbautan manusia kepada Tuhan (wajibul wujud). Penyandaran ini sebagaimana yang akan dijelaskan ke depan adalah penyandaran vertical dan tidak berujung kepada determinisme.

C.Penyandaran perbuatan buruk kepada Tuhan dapat terjadi apabila seluruh perbuatan buruk itu kita sandarkan kepada Tuhan tanpa media, akan tetapi dengan perantara manusia merdeka sekali-kali perbuatan buruk tersebut tidak dapat disandarkan kepada manusia. Pada hakikatnya, Tuhan menghendaki manusia melakukan perbuatan baik sesuai dengan kebebasan yang ia miliki dan melarangnya untuk tidak melakukan perbuatan buruk sesuai dengan kebebasan yang ia miliki.


Kebebasan

Kini mari kita telisik pandangan yang tidak menafikan kebebasan juga tidak memutlakkan kebebasan. Dengan mengadopsi posisi in between ini tauhid perbuatan dan keadilan Ilah dapat tetap terjaga sekaligus kebebasan manusia serta menghindar dari keniscayaan invalidnya seperti invaliditas pengutusan para nabi, penetapan taklif (dalam pandangan Asy’ariah) dan syirik dan dualism (dalam pandangan Mu’tazilah).

Para teolog Imamiyah dengan inspirasi dari ajaran Ahlulbait As memilih konsep al-amr baina amrain. Sebuah konsep dimana untuk memahaminya secara jeluk harus dikuliti dalam sebagian pembahasan pelik filsafat, namun kandungan dari konsep tersebut dapat dijelaskan secara sederhana bahwa perbuatan-perbuatan manusia secara hakiki dapat dinisbatkan kepada manusia sekaligus kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia dapat disandarkan kepada manusia karena berdasarkan kekuasaan dan kehendak perbuatan itu terjewantahkan. Dan sekaligus dapat disandarkan kepada Tuhan lantaran seluruh eksistensi dan pengaruh manusia – sebagai akibat Tuhan- bergantung kepada Tuhan dan bersumber darinya. Pada hakikatnya, manusia sebagai penyebab dan pelaku dari perbuatannya dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, secara hakiki, namun tidak sejajar secara horizontal dengan kesebaban Tuhan, melainkan berdiri secara vertikal, top-down dan bergradasi. Untuk menjelaskan perbedaan pandangan tiga mazhab teologi terbesar dalam Islam ini, ada baiknya kita memperhatikan contoh yang baik yang diutarakan oleh salah seorang teolog dan juris Imamiyah, Ayatullah Khui Ra:

Anggaplah seseorang lantaran penyakit syaraf tangannya senantiasa bergetar sedemikian sehingga ia tidak memiliki kendali atas tangannya sendiri. Dan apabila sebilah pedang diletakkan di tangannya kapan saja pedang tersebut bisa jatuh dan melukai orang di sekitarnya. Kini apabila seseorang dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap realitas ini, diletakkan sebilah pedang di tangannya dan pedang tersebut terjatuh sehingga merebut nyawa seseorang lainnya, dalam kasus ini yang bertanggung jawab adalah orang tersebut karena pedang tersebut berada di tangannya, bukan pada orang yang tidak memiliki kontrol atas anggota badannya.

Sekarang perkara ini kita ilustrasikan pada seseorang yang sehat dan mampu mengendalikan seluruh anggota badannya. Apabila pedang ditaruh di tangannya dan ia juga terjerembab dalam perbuatan membunuh, pembunuhan ini disandarkan kepadanya bukan kepada orang yang diletakkan pedang di tangannya. Dan terakhir, anggaplah seseorang yang tangannya tidak bergetar, melainkan secara keseluruhan lumpuh dan tidak lagi bekerja secara aktif. Namun alat elektronik diberikan kepadanya dan ia dapat apabila alat tersebut menyala, maka ia dapat menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Anggaplah tombol untuk memfungsikan alat tersebut berada di tangan orang lain sedemikian sehingga sepanjang orang tersebut tidak menekan ON pada tombol tersebut, maka alat itu tidak akan beroperasi. Apabila seseorang yang memegang remote control mengoperasikan alat elektronik itu dan orang yang lumpuh seluruh anggota badanya melakukan perbuatan membunuh maka dalam hal ini perbuatan itu disandarkan kepada keduanya; lantaran ia sendiri memilih untuk menggunakan alat tersebut dan dengan kebebasan yang ia miliki ia melakukan tindakan pembunuhan ini. Dari sisi lain, disandarkan kepada orang yang memegang remote kontrol karena ia telah mengoperasikan seseorang yang lumpuh kekuataannya dan ia dapat kapan saja mematikan alat tersebut dan mencegah orang lumpuh itu dari perbuatannya.

Dengan memperhatikan tiga contoh kasus di atas menjadi jelas bahwa puak determinisme dan juga Asy’ariahyah – yang mengusung teologi determinisme – hubungan manusia dengan perbuatannya seperti contoh kasus pertama dan Mu’tazilah pada contoh kasus kedua. Adapun Imamiyah dapat ditinjau pada contoh kasus ketiga. Pandangan ini mungkin dapat dijelaskan dalam frame sistem filsafat Hikmah Muta’aliyah dengan tiga kaidah utama seperti berikut ini:

a.Wujud yang memiliki kehakikian (asil) bukan mahiyyat (kuiditas). Pada hakikatnya, yang diciptakan secara esensial dan hakiki adalah wujud. Dan tiada sesuatu yang lain kecuali pemahaman yang menjadi penjelas batasan-batasan seluruh wujud mumkin.

b.Wujud segala mumkinul wujud (seluruh makhluk di alam semesta) adalah ain rabt (murni hubungan) dan faqir mutlak; artinya seluruh makhluk tidak lain bersandar, bergantung dan berhubungan dengan wajibul wujud. Dan berangkat dari hal ini, ia tidak memiliki kemandirian dalam keberadaanya dan keberadaan seluruh makhluk itu tidak dapat digambarkan tanpa adanya ketergantungan kepada wajibul wujud.

c.Penciptaan atau pengadaan merupakan cabang dari wujud. Sebagaimana esensi dan keberadaan mumkinul wujud (seluruh makhluk) adalah ain rabt dan bergantung sepenuhnya kepada wajibul wujud, pengaruh dan perbuatan seluruh makhluk tersebut demikian adanya; karena sebuah fenomena sebagaimana ia maujud juga merupakan sumber pengaruh. Dengan demikian, apabila mereka mandiri dalam dzatnya, maka dalam kepelakuan juga akan memiliki kemandirian. Dan apabila pada dzatnya seluruh makhluk merupakan ain rabt (murni hubungan) dan bergantung, maka dalam kepelakuannya juga demikian adanya. Oleh karena itu, asumsi kemandirian sebuah fenomena dalam arsy perbuatan dan asumsi hubungan dan kebergantungannya pada tataran dzat merupakan dua asumsi yang kontradiktif dan tidak masuk akal.

Dari ketiga kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia disandarkan kepada manusia pada saat yang sama disandarkan kepada Tuhan; karena perbuatan-perbuatan manusia merupakan turunan dari keberadaanya dan tanpa syak bahwa keberadaannya di samping ia merupakan wujudnya sendiri, merupakan ain rabt dan bersandar kepada Tuhan.

Berdasarkan hal ini, manusia adalah ain rabt dan bergantung kepada Tuhan dan pada setiap detiknya memerlukan emanasi energi, kekuatan dan kehidupan darinya. Dengan demikian manusia pada detik ia mengerjakan sebuah perbuatan, dengan energi dan kehidupan ia melakukan perbuatan yang bersumber dari emanasi energi dan emanasi kehidupan dari Tuhan. Sejatinya perbuatan yang dilakukan manusia memiliki dua sandaran hakiki; Pertama, bersandar kepada manusia; karena bersumber dari dirinya sendiri dan berdasarkan kebebasan dan kekuasaan yang ia miliki; Kedua, bersandar kepada Tuhan; karena Tuhan pada setiap detiknya, bahkan detik ketika perbuatan itu dilakukan Dia menganugerahkan kehidupan dan kekuasaan kepada manusia. Dari sini perbuatan manusia merupakan perbuatannya sendiri pada saat yang sama juga merupakan perbuatan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini keberadaan manusia tidak lain kecuali hubungan mutlak kepada Tuhan.[15]Secara asasi di seantero semesta dari dimensi bahwa mereka bergantung dan berhubungan mutlak, mereka merupakan manifestasi kekuasaan dan kehendak, ilmu Tuhan dan inilah maksud al-amru baina amrain, manzilah baina manzilatain yang termaktub dalam riwayat.[16]
Tauhid dalam Penciptaan

Kendati masalah ini telah dibahas pada postingan sebelumnya, namun nampaknya kini pembahasan tersebut harus dikuliti lagi di sini sembari menyebutkan beberapa penafsiran dari tiga mazhab besar teologi dalam Islam.

Tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang mendapat penegasan al-Qur’an dan Sunnah. Tauhid dalam penciptaan ini disepakati oleh seluruh firqah dan mazhab teologi dalam Islam; akan tetapi yang menjadi titik perbedaan, bagaimana menafsirkan dan menginferensi ajaran ini. Secara umum terdapat tiga penafsiran penting berkenaan dengan masalah ini. Penafsiran Asy’ariah, Mu’tazilah dan Imamiyah. Telaah global dari penafsiran ini menunjukkan bahwa penafsiran yang disuguhkan Asy’ariah merupakan penafsiran yang berbau deterministic. Dan penafsiran Mu’tazilah menyangsikan keumuman kekuasaan Ilahi dan tauhid dalam penciptaan.


Penasiran Asy’ariah

Sebelumnya telah dikemukakan teori kasb yang diintrodusir oleh puak-puak Asy’ariah dalam membela dan mempertahankan “kemurnian” tauhid dalam penciptaan. Menurut Asy’ariah pengadaan dan penciptaan secara mutlak terbatas kepada Tuhan dan dalam tataran wujud, tiada satu pun yang berpengaruh dan berkreasi selain Tuhan. Segala sesuatu selain-Nya tidak memilik peran dan pengaruh dalam penciptaan dan pengadaannya baik secara mutlak atau secara ikutan. Asy’ariah berdasarkan pandangan ini telah mangkir dari hukum kausalitas dan proses pengaruh-mempengaruhi (ta’tsir dan ta’atstsur) seluruh maujud dan segala sesuatu di alam semesta. Menurut mereka pengaruh yang terlihat pada setiap fenomena adalah bersumber dari Tuhan. Misalnya membakar bukan merupakan pengaruh dan akibat dari api dan apabila dikatakan bahwa api itu membakar hal ini hanyalah merupakan kebiasaan Tuhan yang berlaku dimana dengan adanya api maka ia akan memunculkan panas dan membakar. Kalau bukan karena kebiasaan Tuhan maka tidak aka nada hubungan antara panas dan api. Dengan demikian dalam tataran eksistensi hanya terdapat satu yang berpengaruh dan satu sebab. Tuhan tidak menunjukkan kekuasaannya melalui pengadaan mekanisme kausalitas, namun Dia menjadi pengganti seluruh sebab dan musabab. Asy’ariah memandang perkara ini berlaku pada segala hal. Dan berdasarkan pandangan ini mereka mengambil kesimpulan bahwa seluruh perbuatan manusia juga, secara langsung merupakan perbuatan Tuhan dan manusia semata-mata memperoleh (kasb) atau menjadi wadah atas perbuatan ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas teori kasb ini meniscayakan tiadanya peran dan campur tangan hakiki manusia pada seluruh perbuatannya.

Padahal, mangkir dari hukum kausalitas dan peran pengaruh manusia dan fenomena semesta pada penciptaan pada beragam masalah bertolak belakang dengan nurani, akal sehat dan penemuan syuhudi manusia; Mengapa? Karena:

1. Dalam banyak perkara kita menemukan diri kita sebagai yang berpengaruh misalnya pelaku dan pengada segala konsepsi dan pemikiran mental (dzihni) kita adalah diri kita sendiri. Jelas bahwa bukti nurani merupakan sebaik-baik dalil dalam membuktikan hukum kausalitas.

2. Ketika seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan hendak (iradah) menciptakan menara Monas dalam benaknya, ia dapat dengan mudah mengerangka sekaligus menghancurkannya dalam benaknya, mengusungnya dan menempatkannya di mana saja di belantara dunia dalam benaknya dimana hal ini menunjukkan peran mandiri pelaku orang tersebut dan wujud mental yang diciptakan tersebut eksis karena diwujudkan oleh pelaku tersebut dan hal ini membuktikan peran kekuasaan dan pengaruh pelaku manusia dalam penciptaan.

3. Menerima konsep kebebasan manusia dan hukum kausalitas, seperti klaim penanggap, namun mengingkari peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena meniscayakan kontradiksi. Menerima kebebasan manusia dan hukum kausalitas meniscayakan peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena.

4. Apabila hukum kausalitas dinafikan maka probabilitas untuk membuktikan wujud Tuhan menjadi tidak tersedia. Karena salah satu argumen dalam membuktikan wujud Tuhan adalah bersandar kepada hukum kausalitas. Karena Dialah Prima Causa (illatul ilal).

5. Penafian hukum kausalitas – atau menafikan peran kepelakuan manusia dan sepenuhnya menyandarkannnya kepada Tuhan meniscayakan gugurnya seluruh proposisi-proposisi turunnya wahyu, pengutusan para nabi, adanya ganjaran (tsawab) dan hajaran (iqab), karena semua perbuatan Tuhanlah yang melakukan.

6. Akal sehat tanpa teks-teks agama sekalipun turut menyokong hukum kausalitas. Maksudnya Anda Asy’ariahyyun tidak dapat meyakinkan kepada manusia yang tidak beragama dan tidak meyakini adanya Tuhan bahwa penyebab segala sesuatu itu adalah Tuhan, bersandarkan kepada kitab suci, bahwa Tuhan itu khaliq kullu syai, bagaimana Anda Asy’ariahyyun menjawab mereka yang tidak beriman kepada Tuhan, dengan al-Qur’an tentu meniscayakan circular reasoning (daur) dan tentu saja hal ini absurd. Namun dengan common sense, tanpa bersandar kepada teks-teks agama dapat membuktikan hal tersebut.

7. Teks-teks agama ternyata terbukti menyokong hukum kausalitas ini. Sejatinya tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang bersumber dari agama. Berangkat dari sini, harus diperhatikan bahwa apa sebenarnya pandangan al-Qur’an dalam masalah ini? Apakah penafsiran Asy’ariah selaras dan senada dengan ayat-ayat al-Qur’an atau tidak? Apakah benar-benar al-Qur’an menafikan hukum kausalitas? Dengan memperhatikan dengan seksama ayat-ayat Qur’an maka akan menjadi jelas bahwa al-Qur’an mengakui secara resmi hukum kausalitas dan peran kepelakuan fenomena. Dan dalam banyak perkara hukum kausalitas disandarkan kepada perkara-perkara natural; misalnya pada ayat “Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. (Qs. Al-Baqarah [2]:22) Ba dalam redaksi bihi (dengan perantara) di sini bermakna penyebab; artinya sebab tumbuhnya segala jenis tumbuh-tumbuhan adalah air dan apabila tidak ada air maka tidak akan ada buah-buahan. Dan juga pada ayat “Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama… “ (Qs. Ar-Ra’ad [13]:4) Redaksi “disirami dengan air yang sama” menujukkan peran penciptaan air dan pengaruhnya dalam tumbuh dan berkembangnya pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Di samping ayat-ayat yang telah disebutkan dengan beberapa pendahuluan filsafat dan logika, pada postingan Lagi tentang Determinisme dan Kebebasan Manusia, menegaskan penerimaan al-Qur’an terhadap hukum kausalitas. Dan tentu saja tidak akan menjadikan Anda musyrik sebagaimana keyakinan Asy’ariah yang telah dibuktikan absdurditasnya.


Penafsiran Mu’tazilah

Mu’tazliah berkebalikan dari Asy’ariah menerima hukum kausalitas dan pengaruh-mempengaruhi sebab di antara belantara akibat natural. Akan tetapi seluruh perbuatan mandiri manusia disandarkan hanya kepada manusia. Menurut mereka perbuatan-perbuatan manusia bukan merupakan makhluk Tuhan. Berdasarkan hal ini Mu’tazilah acapkali disebut sebagai “Mufawwidha”; karena mereka berkeyakinan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan mendelegasikan (tafwidh) kebebasan kepada manusia dalam perbuatannya. Penafsiran ini kendati memelihara peran kepelakuan sebab-sebab natural dan pelaku-pelaku insan, namun kritikan fundamental yang patut diacungkan kepada Mu’tazilah adalah mereka mengingkari tauhid dalam penciptaan; karena Tuhan tidak memiliki peran sama sekali dalam perbuatan-perbuatan mandiri manusia. Di samping itu, pensyariatan hukum-hukum, perintah dan larangan dari sisi Tuhan tidak lagi memiliki makna. Demikian juga pendelegasian (tafwidh) ini hanya dapat digambarkan ketika Tuhan tidak lagi dipandang sebagai penguasa mutlak dan kepenguasaan-Nya dinegasikan dari yang dikuasai-Nya (ma yamluk).

Nampaknya sumber kesalahan kedua penafsiran ini memandang kepelakuan dan pengaruh sebab-sebab dan pelaku-pelaku natural berada sejajar secara horizontal dengan kepelakuan Tuhan, padahal berdasarkan pada kaidah tepat akal konsepsi semacam ini adalah konsepsi salah kaprah. Sebagaimana yang akan disebutkan belakangan dengan penafsiran valid dan sahih, baik kepelakuan Tuhan dan juga kepelakuan sebab-sebab yang lain dapat tetap terjaga.


Penafsiran Imamiyah

Para teolog Imamiyah dengan ilham dan inspirasi dari ajaran para maksum As memandang bahwa penafsiran Asy’ariah ihwal tauhid penciptaan sebagai sikap ifrath dan Mu’tazilah sebagai tafrith (ekstrem). Imamiyah menawarkan konsep in between (laa jabr wa la tafwidh,,wal amru baina amrain). Menurut teolog Imamiyah dari tauhid penciptaan ini adalah bahwa tiada pencipta, pelaku mandiri mutlak dan secara esensial (dzati) selain Tuhan, dari sisi lain kepelakuan dan peran penciptaan pelaku-pelaku dan sebab-sebab natural dan manusia juga tidak dapat diingkari. Kepelakuan yang lain seperti pelaku-pelaku di antaranya manusia dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, merupakan kepelakuan hakiki dimana pada saat yang sama berada secara vertikal, top-down, dengan kepelakuan Tuhan. Dengan memperhatikan ayat dan riwayat para maksum As tauhid dalam penciptaan ini dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini:

A. Sebagaiman yang telah lewat, dengan memperhatikan ayat-ayat Qur’an akan menjadi jelas bahwa dalam banyak perkara pengaruh yang disandarkan kepada sesuatu dan perkara-perkara natural; misalnya air yang menjadi penyebab tumbuh-berkembangnnya tumbuh-tumbuhan, pepohonan dan madu sebagai penyembuh (syifa).

B. Al-Qur’an menisbatkan perbuatan-perbuatan kepada manusia dan memandang pelakunya adalah manusia dimana penyandaran secara langsung tanpa media (on the spot) kepada Tuhan adalah penisbatan salah kaprah, seperti berjalan, minum, tidur, menunaikan shalat, etc. Perbuatan-perbuatan semacam ini bertautan dengan manusia dan selainnya tiada pelaku lain.

C. Tuhan menitahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mentaati-Nya serta melarang manusia mengerjakan perbuatan buruk dan tercela. Masing-masing dari perbuatan baik ini diganjari dengan kenikmatan dan perbuatan buruk dihajar dengan azab. Nah, apabila manusia tidak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatan baik dan buruk maka niscaya keseluruhan ganjaran dan hajaran ini tidak akan memiliki makna.

Sebagaimana tiga poin berikut ini di samping ayat seperti:

قُلِ اللهُ خالِقُ كُلِّ شَيْ‏ءٍ وَ هُوَ الْواحِدُ الْقَهَّارُ

“Katankanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Qs. Ar-Raad [13]:16)

Yang menjelaskan universalitas dan keumuman kepelakuan Tuhan pada segala sesuatu dan kita sampai pada kesimpulan bahwa sistem penciptaan dan segala jenis ciptaan yang eksis di dalamnya memiliki andil dalam mewujudkan peran pengaruhnya, akan tetapi peran pengaruh ini sesuai dengan izin dan taqdir Ilahi:

وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَما تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Shaffat [37]:96)

الَّذي أَعْطى‏ كُلَّ شَيْ‏ءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدى

“Yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50)

الَّذي قَدَّرَ فَهَدى

“Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (Qs. A’la [87]:3)

Dan terakhir

وَ ما رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَ لكِنَّ اللهَ رَمى

“Bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Qs. Al-Anfal [8]:17)

Sejatinya wujud segala sesuatu dan juga perbuatan, pengaruh, gerakan, diamnya bermuara pada qadha dan qadar Ilahi yang merupakan episode selanjutnya dari silsilah pembahasan di site ini. Tuhan menciptakan mekanisme eksistensi dan menjadikannya mengikut kepada hukum kausalitas dan faktor-faktor hakiki. Dengan demikian segala sesuatu berada secara vertikal, top-down dengan kehendak Tuhan memiliki peran penciptaan dan pengaruh pada perbuatan-perbuatan tersebut. So, proposisi “ada..tapi” tentu dengan pembuktian-pembuktian di atas tiada bermasalah dengan kemurnian Tauhid pada Penciptaan. Ajakan penanggap untuk tidak mengotak-atik masalah tauhid adalah ajakan yang tidak boleh diamini, karena dalam masalah tauhid sekalipun Asy’ariah sangat bermasalah. Jadi, saran penulis alih-alih Anda menghabiskan waktu untuk merekonstruksi teologi Imamiyah ihwal Tauhid dalam Penciptaan, yang sangat logis dan argumentatif, sebaiknya Anda menyelesaikan PR sendiri berupa borok dan cela teologi Asy’ariyah tentang Tuhan, Qur’an, Nabi, nasib manusia dan lain sebagainya. Nantikan saja bagaimana kami membuktikan kemusykilan Asy’ariah dalam masalah tauhid, pandangannya terhadap al-Qur’an dan nabi, qadha dan qadar. Tapi sebelum itu, penulis meminta kepada Anda atau siapa saja yang sepaham dengan Anda untuk menyuguhkan secara sistematis pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang bakalan menjamin terpeliharanya tradisi ilmiah dan dialog interaktif. Tentunya pihak redaksi akan senang hati memuat tulisan dan pembelaan Anda atas mazhab yang Anda yakini. Wellcome.

Note:
[1]. Fathul Bari, al-Askalani, jil. 13, hal. 384, al-Qausyaji, Syarh Tajrid al-Aqa’id, hal. 340.
[2]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 78, Abul Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, jil. 1, hal. 312.
[3]. Al-Baghdadi, al-Firaq bain al-Firaq, hal. 194.
[4] . Al-Asy’ari, Abul Hasan, al-Lam’e fii ar-Rad ‘ala Ahli az-Zaigh wa al-Bida’, hal. 76.
[5] . Qausyaji, Syarh Tajrid al-‘Aqa’id, hal. 341.
[6] . Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 97-98.
[7]. Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah, hal. 117.
[8] . Syarh al-‘Aqâid an-Nasafiyah, hal. 117.
[9]. Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 98-99.
[10]. Risâlah at-Tauhid, hal. 59-62.
[11]. Dhuhâ al-Islâm, jil. 3, hal. 57.
[12] . Lub al-Atsar fi al-Jabr wa al-Qadr, hal. 38.
[13]. Sa’ad ad-Din Taftazani, Syarh al-Maqasid, jil. 4, hal. 253-362.
[14] . Shadra al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’aliyah, jil. 6, hal. 370.
[15]. Ja’far Subhani, Jabr wa Ikhtiar, hal. 289-291.
[16]. Ruhullah Khomeini Ra, Thalab wa Iradah, hal. 74.
_________________________________________

WAHYU DAN AKAL

Oleh: Ibrahim Amini

Di akhir pembahasan mengenai masalah-masalah yang terkait dengan hakikat wahyu, kami memandang layak untuk membahas secara ringkas berkenaan dengan akal dan wahyu, bukti-bukti, dan batasan-batasan keduanya serta kemungkinan terjadinya pertentangan antara hukum akal atau premis-premis logis dengan teks wahyu. Pembahasan di atas akan dipaparkan dan diteliti dalam beberapa bagian.


Definisi Akal

Akal adalah insting atau potensi yang berada dalam diri manusia dan dengan hal tersebut manusia terbedakan dari hewan. Mengenai hakikat, berpikir, pembuktian, dan pembenaran terhadap hukum atau premis-premis, muncul dari kekuatan tersebut. Seluruh manusia yang sehat memiliki kekuatan ini tetapi tidak seluruhnya sama. Namun, akal memiliki kekuatan dan kelemahan. Terkadang akal juga ditujukan untuk jiwa atau ruh manusia karena ruh dan jiwalah yang memiliki kekuatan tersebut.


Realitas dan Kerja Akal

Kerja akal adalah memahami dan dengan memfungsikan pancaindra yaitu telinga (pendengaran), mata (penglihatan), tangan (sentuhan), lidah (rasa), hidung (penciuman), dengan mudah memahami dan mengetahui sesuatu yang dapat didengar, dilihat, disentuh, dirasa, dan dicium. Menjaga dan mengingat bentuk-bentuk ini dan makna-makna parsial serta memfungsikannya juga dilakukan oleh kekuatan jiwa. Kerja lain dari jiwa adalah interpretasi umum dari parsial dan memahaminya. Kerja akal yang paling utama adalah berpikir yakni menyusun premis-premis dalam bentuk silogis, mengambil kesimpulan, dan membenarkannya.


Proposisi Aksiomatik dan Diskursif 

Proposisi-proposisi dalam benak pemikiran manusia dibagi menjadi dua: aksiomatik dan diskursif.


Aksiomatik

Proposisi aksiomatik adalah proposisi yang akal mampu menghukuminya tanpa butuh pada pembuktian seperti kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif atau menghilangkan keduanya, kemustahilan dua hal yang berlawanan, seluruh lebih besar dari sebagian, tidak ada sesuatu yang baru muncul tanpa sebab, dan keniscayaan adanya keserasian antara sebab dan akibat.

Proposisi tersebut tergolong proposisi aksiomatik. Akal dapat membenarkan proposisi tersebut tanpa membutuhkan pembuktian. Bahkan, hanya dengan membayangkan subjek dan predikat dari proposisi tersebut, akal sudah dapat membenarkannya.


Diskursif

Proposisi diskursif adalah proposisi yang dalam menetapkan predikat pada subjek butuh menyusun silogisme dan membangun pembuktian. Akal dalam pembuktian-pembuktiannya menyimpulkan hukum parsial dari hukum yang universal. Seperti contoh, dalam menetapkan huduts (baru) alam, berargumentasi sebagai berikut.

Alam materi berubah,
Setiap yang berubah adalah hadits (baru),
Maka, alam adalah hadits (baru).

Hal ini benar apabila premis mayor yang umum dapat memberikan kesimpulan dan hukum yang pasti dan meyakinkan atau proposisi itu sendiri termasuk proposisi yang pasti atau diambil kesimpulan dari proposisi yang meyakinkan. Pada akhirnya, seluruh proposisi kembali pada proposisi yang memberikan keyakinan.

Karena itu, seluruh proposisi diskursif pada akhirnya kembali pada proposisi aksiomatik. Proposisi yang menyatakan kemustahilan bersatunya dua hal yang kontradiksi atau hilangnya keduanya merupakan dasar dari seluruh proposisi dan seluruh proposisi butuh pada proposisi tersebut. Sebagai contoh, dalam proposisi: “alam berubah” dan “segala sesuatu yang berubah adalah hadits (baru)”, pada saat kita mengambil kesimpulan yang diinginkan yaitu “alam adalah hadits”, kita menerima kemustahilan bergabungnya kepastian huduts dan ketidakpastiannya. Andaikan hal ini kita masih memungkinkan bahwa alam adalah sesuatu yang hadits dan bukan hadits, maka tidak menghasilkan kesimpulan yang memberikan keyakinan.


Bergantungnya Ilmu-ilmu Observasi pada Aksiomatik

Proposisi alami dan observasi pada saat memberikan kesimpulan juga kembali dan bersandar pada proposisi logis dan aksiomatik. Seorang ilmuwan dan peneliti ilmu-ilmu observasi, jika tidak menerima hukum sebab akibat yang universal dan memungkinkan adalah kebetulan, bagaimana dan untuk tujuan apa ia melanjutkan percobaannya? Jika proposisi aksiomatik seperti hukum nonkontradiktif tidak dia terima, lalu apa manfaat yang ia peroleh dari percobaannya?

Andaikan hukum universal seperti kausalitas, keniscayaan adalah keserasian antara sebab dan akibat, proposisi hukum nonkontradiktif sebagai dasar yang kokoh dan aksiomatik tidak dapat diterima, maka seluruh pengetahuan dan penelitian bahkan ilmu-ilmu yang dihasilkan dari observasi tidaklah berdasar dan mandul karena hukum universal seperti kausalitas dan kemustahilan adanya kebetulan serta keserasian antara sebab dan akibat tidak dapat ditetapkan melalui observasi.

Jika dalam proposisi aksiomatik terdapat keraguan maka seluruh proposisi logis dan observasi yang berlandaskan padanya hendaknya kita ragukan juga. Pada akhirnya, kita berada pada lembah yang gelap dan menakutkan dan kita jatuh dalam keraguan di atas keraguan. Manakala pengetahuan-pengetahuan tidak bersandar pada pondasi yang kokoh dan meyakinkan maka tidak akan ada pengetahuan. Karena itu, seluruh manusia yang berakal mau tidak mau harus menerima proposisi aksiomatik sebagai sebuah kepastian dan hal yang diterima oleh akal serta tidak perlu dipertanyakan. Selanjutnya, menggunakan proposisi yang meyakinkan menyingkap sesuatu yang belum diketahui kepastiannya. Orang-orang yang berakal meyakini bahwa dengan membentuk silogisme dan membangun bukti-bukti logis yang bersandar pada proposisi aksiomatik mampu menyimpulkan dan membenarkan proposisi diskursif yang belum diketahui dan pada akhirnya mendapatkan pengetahuan yang meyakinkan. Dengan demikian, orang-orang yang berakal menafsirkan sesuatu yang logis adalah dengan makna seperti ini.


Tidak Adanya Kepastian Keterjagaan Akal dari Kesalahan

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang berakal pada satu sisi meyakini akal sebagai penyingkap kenyataan dan di sisi lain mereka tidak meyakini bahwa akal terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Terkadang mereka menganggap bahwa akal mungkin saja salah. Oleh karenanya, dalam menyusun silogisme atau melakukan pembuktian mereka benar-benar mewasiatkan untuk menjaga secara sempurna hukum-hukum logika. Mereka tidak mengatakan bahwa seluruh kesimpulan logika seratus persen benar dan harus diterima tanpa perlu dipertanyakan kembali. Akan tetapi, mereka memungkinkan adanya sanggahan yang benar dan berdasar. Bahkan, para penyanggah dapat saja mempertanyakan dan meneliti esensi akal dan ruang lingkup kerjanya. Bukti-bukti yang disampaikan juga dapat dibantah. Andaikan tidak mendapatkan jawaban yang diakui dan dipercaya maka hal itu tidak dapat diterima. Akan tetapi, seluruh hal ini tidak ada jalan lain kecuali melalui pembuktian yang benar dan mempercayai hukum-hukum akal.

Jika akal dengan menjaga secara sempurna dan teliti hukum-hukum logika mampu memberikan hukum yang pasti dan tinjauan kembali, sanggahan yang cermat terhadap premis-premisnya dan diagnosis-diagnosis juga menguatkan kebenarannya, maka hukum seperti ini memiliki pembuktian dan menyingkap kebenaran. Tanpa didasari argumentasi maka hal itu tidak dapat diragukan. Pada akhirnya, penyingkapan dan pembuktian hukum akal adalah satu hal yang pasti dan tidak butuh pada pembuktian. Kenyataan termasuk kekhususan dasar dan kepastian akal. Meragukan akan hal itu terhitung sebagai pengingkaran terhadap aksiomatik.

Sejak awal kehidupannya dan sepanjang sejarah, manusia menerima hakikat ini dan perkembangan dalam pengetahuan, spesialisasi, teknologi, dan filsafat serta matematika bergantung pada kemampuan akal. Apakah mungkin manusia tanpa didasari akal mampu hidup dan melanjutkan kehidupan pengetahuannya?


Akal Pendukung Wahyu

Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah ditetapkan bahwa seluruh pengetahuan dan ilmu yang dimiliki manusia bersandar pada akal dan memanfaatkan pembuktian logis dan pada akhirnya kembali pada proposisi aksiomatik. Bahkan, keberlangsungan kehidupan manusia hari demi hari bersandar pada akal. Jika akal dilenyapkan dari manusia, maka tidak ada yang tersisa dari manusia dalam kehidupan kemanusiaannya.

Demikian juga wahyu yang merupakan salah satu permasalahan yang bersandar pada akal. Andaikan wujud Sang Pencipta, sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya, keniscayaan adanya tujuan dalam penciptaan manusia dan alam nonmaterial dan kekekalan ruh manusia, keniscayaan adanya hari kebangkitan dan alam akhirat, kepastian adanya balasan dan ganjaran manusia di alam setelah kematian, keharusan adanya kenabian dan pengutusan para nabi untuk menuntun dan memberi petunjuk manusia yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat mereka, tidak dapat dibuktikan dengan pembuktian-pembuktian akal, maka wahyu tidak memiliki landasan yang kokoh.

Karena itu, akal dan pembuktian akal merupakan pendukung terbaik wahyu. Jelas, akal lebih dahulu daripada wahyu. Akallah yang memberikan legitimasi kepada wahyu dan menyatakan bahwa wahyu sebagai hal yang nyata dan memiliki pembuktian yang diakui. Untuk penjelasan masalah ini, hendaknya mempelajari buku-buku filsafat dan teologi.

Di sisi lain, wahyu juga menguatkan penyingkapan dan realitas akal, meyakini bahwa hal itu sebagai bukti batin, dan mengajak manusia untuk berpikir dan mengikuti petunjuk-petunjuk akal. Puluhan ayat al-Quran menyeru manusia untuk berpikir dan bertafakur. Orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dikecam oleh al-Quran dan digolongkan sebagai orang-orang yang buta, tuli, bahkan lebih rendah dari hewan. Sejumlah hadis juga menyebutkan dan menegaskan hal tersebut.

Al-Quran, Nabi Muhammad saw, dan juga para imam maksum menguatkan dan mengamalkan metode berpikir, mengambil manfaat dari pembuktian akal, dan mengikuti akal. Oleh karena itu, akal dan wahyu masing-masing saling menguatkan. Namun, akal secara tingkatan lebih dulu karena legitimasi dan kebenaran akal tidak bergantung pada ketetapan wahyu.


Kemungkinan Terjadinya Pertentangan antara Akal dan Wahyu

Wahyu pada media penggunaannya, yakni hati nabi yang bercahaya, seratus persen sesuai dengan realitas dan tidak ada kerancuan atau keraguan di dalamnya karena wahyu merupakan ilmu hudhuri dan penyaksian kenyataan. Selain itu juga ditetapkan dalam kitab-kitab teologi bahwa nabi pada tahap penerimaan hakikat yang memiliki nilai wahyu dan penyampaiannya kepada masyarakat terjaga dari segala bentuk kesalahan. Jika tidak demikian, maka falsafah wahyu dan pengutusan rasul tidak terealisasi. Oleh karena itu, wahyu pada tahap ini berupa ilmu yang memberikan keyakinan dan tidak terjadi pertentangan dengan akal yang pasti.

Jika terdapat kemungkinan pertentangan antara akal dan sesuatu yang dinukil atau teks yang memiliki nilai wahyu baik dalam al-Quran berlafaz, tertulis, maupun kitab-kitab hadis, maka tetap terhitung sebagai wahyu. Dalam hal ini, kita akan membahas permasalahan tersebut dengan lebih terperinci. Teks-teks yang memiliki nilai wahyu dapat kita bagi dalam beberapa kelompok.

1. Matan (teks) naqli. Pertama, bersumber dari nabi dan ditetapkan dengan pembuktian yang pasti. Kedua, sesuatu tersebut ditetapkan sebagai wahyu. Ketiga, dari sisi penunjukan memiliki kepastian.

Dengan memperhatikan kemaksuman nabi, teks seperti ini adalah pasti dan sesuai dengan kenyataan. Hukum akal yang pasti tidak ada yang bertentangan dengan hal itu sehingga dapat dimungkinkan terjadi pertentangan. Meneliti al-Quran dan kitab-kitab hadis secara cermat mampu mengantarkan pada hakikat seperti ini. Jika dugaan seperti ini terjadi, hendaknya pengantar-pengantar hukum akal yang pasti dan keberadaan syarat-syarat kepastian wahyu juga harus diteliti dan dikaji ulang.

2. Teks-teks naqli yang dari sisi sumbernya dan penunjukkannya tidak memiliki kepastian tetapi kandungannya terkait dengan hikmah perbuatan, yakni hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syar’i, sesuatu yang layak dan tidak layak secara moral dan hak-hak. Dengan demikian, jika sanad dan hadis-hadis ini diakui sesuai dengan tolok ukur musthalahul hadis dan dapat dipercaya, maka teks tersebut secara yuridis dianggap memiliki hujah. Para mukalaf (orang yang dibebani taklif atau kewajiban—penerj.) untuk mengenal kewajibannya tidak ada jalan lain selain berpegang pada teks-teks tersebut. Tentunya kemutlakan dan keuniversalannya dapat dikaitkan dan dikhususkan.

Jika terdapat dalil akal pasti yang berbeda dengan teks tersebut, kita dapat berlepas diri dari teks tersebut. Akan tetapi, keberadaan dalil akal seperti ini sangat jauh karena akal yang diskursif umumnya tidak memiliki peran dalam hal ini. Dengan istihsan atau istib’ad pun tidak mampu menafikan hujah yang diakui secara syar’i atau berusaha menakwilkannya.

3. Teks-teks yang tidak pasti mengenai pengetahuan-pengetahuan alamiah seperti mengenai makanan, bumi, binatang, tumbuh-tumbuhan, perbintangan, atau pengetahuan kemanusiaan seperti sosiologi, psikologi, ilmu pendidikan, kedokteran, kesehatan, dan sejarah. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini tidak lebih sebagai bukti dugaan. Andaikan terdapat pembuktian akal atau observasi yang pasti dan bertentangan dengan salah satu di antara hal-hal tersebut dapat menafikan makna zahir dari teks-teks tersebut. Namun, jika pembuktian yang bertentangan dengan teks juga sebatas dugaan, terjadi pertentangan dan menguatkan satu sisi dari sisi yang lainnya adalah sesuatu yang tidak beralasan. Dalam hal ini, hendaknya menunggu kesimpulan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Akan tetapi, pada akhirnya hal-hal yang berupa dugaan ini tidak dapat dinisbatkan kepada Islam secara pasti atau dengan sekedar anggapan dalam pengetahuan yang bertentangan serta merta ditarik garis kesalahan pada teks-teks tersebut.

4. Teks-teks yang tidak pasti berkenaan dengan masalah keyakinan dan keimanan. Teks semacam ini tidak lebih sebagai bukti dugaan yang dapat digunakan sebatas menuntun akal yang menghasilkan keyakinan dalam bentuk dugaan. Namun, jika terdapat pembuktian akal pasti yang bertentangan, teks-teks tersebut dapat ditakwil atau ditolak. Namun, jika bukti yang bertentangan dengan teks-teks juga berupa dugaan, terjadi pertentangan dan menguatkan salah satu dari yang lainnya sangatlah tidak beralasan.

5. Teks-teks yang dari sisi sumber memiliki kepastian tetapi dari sisi penunjukkan makna masih berupa dugaan. Teks semacam ini selama tidak ada dalil akal atau pengetahuan yang pasti, kita dapat mengamalkan makna zahir dari teks tersebut. Namun, jika terdapat bukti pasti yang bertentangan dengannya, kita harus mengelak dari makna zahir teks tersebut dan menakwilkannya. Jika bukti yang bertentangan dengan teks juga berupa dugaan, maka terjadi pertentangan. Menguatkan salah satu dari yang lainnya adalah sesuatu yang tidak beralasan.


Batasan-batasan Wahyu dan Akal

Penyingkapan dan realitas akal adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi. Manusia tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan jalan menggunakan akal. Bahkan, dalam pengetahuan yang bersifat observasi pun, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan proposisi-proposisi dalam logika. Pemeluk agama-agama langit meyakini wahyu sebagai fenomena yang sesuai dengan kenyataan dan kepastian akan hal tersebut telah dibuktikan dalam kitab-kitab filsafat dan teologi. Terlontar pertanyaan pertanyaan berikut: “Jika demikian, di manakah posisi sesungguhnya dan apa saja ruang lingkup yang dimiliki oleh masing-masing dari keduanya? Apa saja tugas yang diemban oleh wahyu dan agama yang dapat diharapkan dan apa saja tugas yang diemban oleh akal?”

Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, menurut pandangan ini disebutkan bahwa manusia di seluruh sisi keyakinan, akhlak, spiritual, ibadah, politik, sosial, dunia, dan akhiratnya butuh pada bimbingan Allah. Allah Yang Mahabijaksana juga meniscayakan kebutuhan-kebutuhan tersebut dan mencukupinya dengan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan manusia sepanjang sejarah melalui para nabi. Pada masa Nabi Muhammad saw, mengingat telah terjadi perkembangan maka pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi, undang-undang yang lebih sempurna juga telah diturunkan melalui beliau sebagai petunjuk bagi manusia dan mencukupi kebutuhannya. Karena itu, peran agama sangat luas dan posisi akal lebih terbatas. Menurut pandangan ini, akal juga merupakan salah satu dasar interpretasi hukum di sebagian masalah dan akal menjadi pembantu agama.

Pandangan kedua, menurut pandangan ini wahyu dan agama berfungsi pada hal-hal yang akal tidak mampu mencapainya. Ada dua hal yang tidak dapat dicapai oleh akal. Pertama, hal-hal yang berkenaan dengan spiritual, ibadah, kewajiban-kewajiban, sesuatu yang semestinya dan tidak semestinya yang berkaitan dengan kehidupan kejiwaan dan batin manusia yang diberikan pada manusia melalui perantara wahyu dalam bentuk perintah dan larangan. Permasalahan-permasalahan seperti ini tidak dapat dijangkau akal manusia. Oleh karena itu, butuh bimbingan Allah Swt dan para nabi.

Kedua, pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang tidak dapat dihasilkan melalui akal, seperti kondisi atau keadaan pada hari kebangkitan atau hari kiamat, mizan (timbangan), perhitungan perbuatan manusia, surga dan neraka. Manusia butuh pada wahyu mengenai hal-hal tersebut.

Adapun masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) yang mampu dijangkau oleh akal manusia, wahyu dan agama tidak memberi sesuatu apa pun. Jika wahyu dan agama menyampaikan hal-hal tersebut tidak lebih sebagai bimbingan akal.

Mereka juga menyatakan bahwa berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam hidupnya, seperti politik, pemerintahan, hak-hak, ekonomi, kesehatan, pengobatan, pengetahuan alam, matematika, aritmatika, perbintangan, dan ilmu kemanusiaan termasuk bagian dari masalah tersebut. Disebutkan bahwa untuk memperoleh ilmu-ilmu tersebut diserahkan pada akal dan pengalaman manusia sehingga manusia mau berupaya menambah pengetahuan yang dimilikinya.

Hal-hal tersebut berada di luar ruang lingkup wahyu dan agama. Agama tidak datang untuk membantu kita dalam hal kesehatan dan pengobatan atau menjelaskan manfaat makanan, obat-obatan, dan buah-buahan atau hal-hal seperti itu. Kalaupun dalam teks-teks agama hal-hal tersebut disebutkan, hal itu hanya merupakan sebuah penegasan dan penguatan hukum dan pengetahuan yang dapat digunakan sesuai dengan masanya. Atau mungkin disampaikan berdasarkan pengalaman pribadi nabi atau imam-imam maksum karena dalam hal ini tidak diragukan bahwa nabi dan para imam selain menggunakan wahyu atau pengetahuan-pengetahuan yang memiliki nilai wahyu, mereka adalah pribadi-pribadi yang istimewa dan berpengalaman di masanya. Oleh karena itu, mereka memiliki dua bentuk ucapan. Pertama, ucapan yang memiliki nilai wahyu yang terhitung sebagai agama dan kedua, ucapan-ucapan bijaksana, logis, yang bersumber dari keistimewaan pribadi dan akal mereka dan tidak terhitung sebagai bagian dari agama. Ucapan-ucapan semacam ini kendati dapat disandarkan pada kemaksuman atau keterjagaan dari kesalahan, tetapi tidak dapat tergolong sebagai bagian dari agama yang harus diterima dan ditaati.

Dengan demikian, perintah dan larangan yang terdapat dalam hal-hal seperti ini bukan termasuk perintah atau larangan penghambaan atau bersumber dari Tuhan sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum darinya berupa wajib, haram, sunnah, makruh melainkan perintah dan larangan dalam bentuk bimbingan.

Meskipun disebutkan dalam al-Quran sebagai wahyu, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari agama. Satu contoh, kendati dalam al-Quran disebutkan, Dan Kami wahyukan kepadanya (Nuh) untuk membuat perahu dengan pengawasan dan wahyu dari Kami. (QS al-Mukminun: 27) Pembuatan perahu bukan merupakan bagian dari agama.

Contoh lainnya, disebutkan dalam al-Quran, Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. (QS al-A’raf:54) Akan tetapi, terciptanya langit dan bumi selama enam periode tidak termasuk dalam agama.

Pandangan ketiga, mengenai masalah ini juga terdapat pandangan ketiga yang mungkin lebih berimbang dan lebih mendekati kebenaran. Pandangan ini lebih banyak mempelajari dan meneliti sisi internal agama dibanding sisi eksternal agama. Pandangan ini berusaha menghindari terjadinya sikap berlebihan seperti kedua pandangan di atas. Pandangan ini lebih memilih jalan tengah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pandangan ini adalah sebagai berikut.


Ritus-ritus Ibadah

Penjelasan mengenai masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan kejiwaan, kehidupan akhirat, ritus-ritus ibadah, kewajiban-kewajiban, dan sunnah-sunnah yang menyebabkan penyempurnaan jiwa dan merupakan upaya pendekatan diri pada Allah Swt. Begitu pula faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan jiwa manusia, keharaman, kemakruhan yang menyebabkan manusia semakin jauh dari Allah Swt dan akhirnya mendapatkan kesengsaraan di kehidupan akhirat.

Mereka menilai penjelasan masalah-masalah seperti ini dan seluruh masalah yang terkait dengannya hanya layak dijelaskan oleh wahyu dan agama karena akal tidak mampu memahami hal-hal tersebut. Agama berperan aktif secara luas dalam menjelaskan masalah-masalah ini dan berkembang dengan bantuan manusia. Mempelajari sisi internal agama, meneliti Al-Quran dan kitab-kitab hadis menguatkan masalah tersebut.


Akhlak

Menurut pandangan ini, penjelasan tentang kemuliaan dan nilai-nilai akhlak serta mengajak manusia untuk melakukan hal tersebut, penjelasan mengenai kerendahan akhlak yang buruk dan menyeru manusia untuk menjauhkan diri dari hal-hal tersebut, merupakan bagian dari agama dan termasuk program-program yang dilakukan oleh nabi. Berakhlak baik dan menjauhkan diri dari kerendahan tidak diragukan lagi memiliki pengaruh yang besar bagi proses penyempurnaan jiwa manusia dan kebahagiaan kehidupan manusia di dunia dan akhirat dan juga termasuk di antara tujuan diutusnya nabi. Kendati nilai dasar moralitas dan akal perilaku manusia mampu memahami sifat kebaikan dan keburukan, hal ini tidak menunjukkan bahwa manusia tidak membutuhkan petunjuk dan tuntunan dari nabi. Terutama manusia-manusia pertama yang hidup dengan kesederhanaan dan memiliki kemampuan penalaran yang dangkal.

Andaikan para nabi tidak membangkitkan kembali nilai-nilai dasar moralitas yang ada pada diri manusia dan memfokuskan akal manusia pada nilai kebaikan dan keburukan, maka manusia mengalami kerugian yang tidak dapat digantikan. Nilai-nilai moral dan perilaku-perilaku akhlak yang kita saksikan di kalangan masyarakat dan di berbagai negara, bahkan di kalangan masyarakat yang tidak beragama sekalipun, merupakan hasil dari upaya yang dilakukan oleh para nabi sepanjang sejarah. Akhirnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah Yang Mahabijaksana, dalam masalah-masalah yang terkait dengan akhlak menyerahkan, begitu saja pada manusia dan agama tidak memiliki peran dalam masalah yang sangat penting dan mendasar seperti ini. Sebaliknya, untuk mengenal sifat-sifat baik dan buruk, manusia bahkan manusia modern seperti saat ini pun, selalu membutuhkan bimbingan, dorongan, dan peringatan dari para nabi dan upaya yang terus-menerus dilakukan oleh para nabi. Anda sendiri menyaksikan bagaimana kelemahan, penyimpangan, bahkan keterpurukan nilai-nilai moral di kalangan masyarakat yang mengistilahkan dirinya sebagai masyarakat modern. Bagaimana mungkin mereka tidak membutuhkan petunjuk dan bimbingan dari para nabi?

Meneliti sisi internal agama, kitab agama terutama al-Quran dan kitab-kitab hadis Islam, juga menguatkan masalah ini. Sebagian besar dari ayat al-Quran memberi penjelasan mengenai masalah-maslah akhlak. Bahkan, di balik kisah yang disebutkan dalam al-Quran, juga terdapat nilai-nilai moral yang ingin disampaikan. Hadis-hadis mengenai akhlak sangat banyak. Nabi Muhammad saw dengan jelas mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”[252] Dengan demikian, apakah masih dapat dimungkinkan bahwa permasalahan-permasalahan akhlak bukan merupakan masalah agama?


Pokok-pokok Akidah

Menurut pandangan ini, kendati akal memiliki kemampuan memahami hakikat-hakikat yang logis dari posisinya yang tinggi dan mampu mengenal ushul (pokok-pokok) akidah serta membangun argumentasi untuk hal tersebut, tetapi pada dasarnya tidak sepenuhnya dikembalikan pada manusia. Akan tetapi, perhatian terhadap masalah pokok-pokok keyakinan dan membangkitkan kembali fitrah manusia selalu menjadi program utama para nabi.

Para nabi memfokuskan perhatian akal manusia pada wujud Allah, sifat-sifat-Nya, adanya hari kebangkitan dan alam akhirat, dan memperkenalkan diri mereka sebagi seorang nabi atau rasul. Andaikan tidak ada nabi, manusia terutama manusia-manusia pada abad-abad pertama sangat lamban untuk memahami tentang keberadaan Allah, hari akhir, dan keharusan adanya pewahyuan. Pada akhirnya, kerugian dan kesengsaraan yang tidak tergantikan harus ditanggung oleh manusia. Meskipun upaya yang dilakukan para nabi sepanjang sejarah yang mengajak manusia untuk menyembah Allah sedemikian besar dan pantang menyerah, kenyataannya dapat Anda saksikan banyak terdapat kesyirikan dan penentangan terhadap Allah di masyarakat yang modern dan maju ini. Dengan memperhatikan masalah-masalah tersebut di atas, bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa masalah pokok-pokok akidah termasuk permasalahan akal murni dan tidak butuh pada wahyu dan agama serta tidak termasuk dalam masalah agama? Meskipun para nabi berperan dalam hal ini, tetapi hanya dianggap sebagai bimbingan akal yang dapat disanggah, dipertanyakan, dan ditolak.

Tentunya kami juga menerima bahwa masalah ushul akidah adalah masalah yang logis dan memiliki pembuktian bukan dogma. Karena hal inilah, jalan argumentasi, pembuktian, kritik, dan penelitian sangat terbuka lebar sebagimana hal ini dapat kita saksikan di kitab-kitab filsafat dan teologi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa masalah ushul akidah tidak membutuhkan wahyu dan bukan termasuk bagian dari agama.


Cabang-cabang Keyakinan

Menurut pandangan ini, penjelasan mengenai pengetahuan dan cabang-cabang keyakinan butuh pada wahyu dan bimbingan para nabi. Seperti contoh, kehidupan setelah kematian, alam kubur, kondisi dan keadaan pada saat kebangkitan dan di hari akhirat, menghidupkan kembali manusia, balasan dan kesulitan hari kiamat, surga dan kenikmatannya, neraka dengan siksaannya. Mengingat pengenalan tentang masalah-masalah tersebut bukan kapasitas akal, tidak ada jalan lain selain melalui wahyu dan bimbingan dari para nabi.


Hak-hak, Hukum, Peraturan Sosial, Ekonomi, dan Politik

Dalam pandangan ini, agama langit khususnya agama Islam dalam menetapkan hukum, undang-undang hak-hak manusia, pengadilan, kepemilikan, ekonomi, keluarga, dan hubungan sosial berperan dan tidak membiarkan manusia begitu saja.

Karena tanpa adanya undang-undang dan peraturan, kehidupan manusia tidak akan berkembang dan Allah Swt Yang Mahabijaksana yang telah memberikan manusia berbagai kenikmatan agar dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan membiarkan manusia tanpa mengajarkan tatacara mencapai kehidupan yang bahagia tanpa perlu terjadi pertentangan.

Allah Swt Pencipta alam yang mengetahui egoisme dan pemanfaatan yang dimiliki manusia bagaimana mungkin membiarkan manusia membuat peraturan dan undang-undang agar tidak terjadi benturan kepentingan? Terutama manusia-manusia yang hidup di masa awal, masa para nabi yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk mengenal dan memahami kemaslahatan yang sesungguhnya, mereka lebih membutuhkan petunjuk dan bimbingan lebih besar dari para nabi. Mempelajari teks-teks dan sumber-sumber agama seperti al-Quran dan hadis akan menguatkan maslah ini karena dalam al-Quran dan hadis terdapat banyak sekali penjelasan mengenai hukum, undang-undang yang diakui mengenai masalah hak-hak, sosial, ekonomi bahkan politik. Menafikan hal-hal tersebut sebagai bagian dari agama adalah hal yang tidak beralasan.

Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa seluruh aturan dan undang-undang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam setiap sisi kehidupannya harus disebutkan secara terperinci dalam teks-teks agama. Hal ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, menyangkut masalah hak-hak dalam berinteraksi. Bagian kedua, masalah-masalah ekonomi, politik, dan pemerintahan.

Pada masalah di bagian pertama, kebanyakan hukum dan undang-undang yang dibutuhkan oleh masyarakat disebutkan dalam teks-teks agama dalam bentuk umum atau parsial. Akan tetapi, hal itu pun tidak mencakup secara keseluruhan, terdapat juga permasalahan yang tidak kita jumpai kepastian hukum tentang masalah tersebut. Untuk masalah-masalah yang tidak dijangkau teks-teks agama seperti ini, kita dapat menyebutnya sebagai wilayatul faragh (ruang lingkup yang kosong dari kepastian hukum—penerj.). Dalam hal ini, hakim syar’i Islam atau masyarakat sendiri mampu mengambil keputusan sesuai dengan aturan-aturan dasar dalam syariat Islam.

Minimal dengan mempelajari teks-teks agama dan memanfaatkannya cukup memberi penjelasan mengenai masalah hukum dan undang-undang bagian kedua. Sebagian besar masalah-masalah tersebut dikembalikan pada masyarakat sehingga dapat memanfaatkan kemampuan akal dan pengalamannya. Kemudian dengan memperhatikan perkembangan pengetahuan, dinamika kehidupan, dan kemajuan teknologi serta menjaga aturan-aturan dasar syariat, masyarakat dapat menetapkan undang-undang yang paling sesuai dan terbaik lalu menerapkannya.

Pada akhirnya, segala sesuatu yang terdapat dalam teks agama mengenai hal ini dan sesuai dengan aturan-aturan dasar syariat dapat diakui dan termasuk bagian dari agama. Menganggap hal tersebut berada di luar agama adalah sesuatu yang tidak berdasar.


Ilmu Pengetahuan Alam

Dalam teks-teks agama banyak kita jumpai penjelasan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan khasiat makanan, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, kedokteran, dan kesehatan. Terdapat juga penjelasan mengenai binatang, ilmu bumi, geometri, dan astronomi.

Masalah-masalah tersebut kendati dijelaskan melalui wahyu yang pasti atau hadis yang diakui sumber-sumbernya tetapi terlalu jauh untuk mengategorikannya sebagai bagian dari agama karena hal-hal tersebut tidak berpengaruh dan menjamin kebahagiaan akhirat manusia, kecuali agama dalam hal ini memberi penjelasan agar kita menguasainya.


Ilmu Jiwa

Dalam teks-teks agama banyak dijelaskan mengenai permasalahan terkait dengan jiwa manusia, seperti psikologi, pendidikan dan pengajaran, sosiologi, sejarah, dan ilmu kejiwaan.

Karena mampu menjamin dan membantu kebahagiaan manusia di akhirat, hal-hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari agama. Dengan demikian, jika ditetapkan melalui wahyu dan hadis-hadis yang sumbernya sudah dapat dipastikan dari manusia-manusia yang maksum dan dari sisi makna terdapat kepastian, kita dapat bersandar pada bukti-bukti tersebut.

Namun, jika terdapat bukti akal yang pasti atau bukti naqli yang pasti yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, kita dapat menakwil makna zahir dari bukti tersebut. Adapun jika bukti tersebut sumber dan penunjukkannya masih berupa dugaan, maka bukti tersebut diakui sebatas bukti dugaan. Oleh karena itu, tidak dapat disandarkan secara pasti kepada syariat.[ ]

Referensi:
[252] Mustadrak, jil.2, hal.282.

(Islam-Quest/Muslim-Syiah/Teras-Erwin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: