Pesan Rahbar

Home » , » Facebook Wahabi Setan Salafi

Facebook Wahabi Setan Salafi

Written By Unknown on Thursday, 4 August 2016 | 05:15:00


Paste dari facebook, tulisan singkat menggambarkan karater wahabi. Ada apa sebetulnya wahabi ini sampai account facebook pun menggelar nama “wahabi setan salafi” sebagai nama?

Nama Page ” Wahabi Setan Salafi” Sangar”.

Ada komentar:” Nama ini sangar”. Kami pikir ini semacam masukan , berkenaan dengan ini nampaknya memang admin ingin memberikan sedikit keterangan mengapa menggunakan nama “Wahabi Setan Salafi”.

Mengapa admin menggunakan nama page ” wahabi setan salafi”? Yang disebut sebagai sangat sangar.

Pertama admin menyukai nama itu, yang ke dua bagi admin wahabi adalah kelompok yang di sebut Nabi Saaw sebagai “tanduk setan”(Baca: Paham Wahabi Tanduk Setan Tukang Fitnah) bukan berarti bahwa tanduk secara leksikal sebagaimana setan secara eksternal apakah memang memiliki tanduk dan sebagainya.
_________________________________________

Paham Wahabi Tanduk Setan Tukang Fitnah 

NAJD, TEMPAT KEMUNCULAN TANDUK SETAN

Para ahli geografi Muslim abad pertengahan telah menghabiskan banyak waktu untuk menetapkan batas-batas yang tepat khususnya antara Hijaz dan Najd, namun secara umum penetapan batas-batas bagian barat Najd dimana pegunungan barat dan tempat lava mulai mengarah ke lereng bagian timur, dan mengatur batas-batas timur Najd di jalur sempit bukit pasir merah yang dikenal dengan sebutan gurun Ad-Dahna, sekitar 100 km(62 mil) timur dari Riyadh modern. Perbatasan selatan Najd ditetapkan dengan laut besar bukit pasir yang sekarang dikenal dengan nama Rub 'al Khali (Perempatan Kosong), sedangkan batas-batas barat daya ditandai oleh lembah-lembah; Wadi Ranyah, Wadi Bisha, dan Wadi Tathlith.

Geografi Najd adalah dataran tinggi berbatu. Hal ini berbatasan dengan pegunungan Hijaz di sebelah selatan-barat; Yordania dan Irak di utara, pantai Saudi di Teluk Persia di bagian timur yang dikenal dengan nama al-Hasa; dan perempatan kosong semenanjung Arab yang dikenal dengan nama Rub al-Khali di bagian selatan.

Najd secara politis adalah jantung negeri Arab Saudi modern, seperti diketahui dari sinilah berasal keluarga Saud yang telah menaklukkan beberapa daerah yang sekarang mendominasi negara itu. Di masa Arab Saudi Modern, Najd disebut sebagai Wilayah Tengah, yang terdiri dari 3 provinsi; Ha'il, Buraydah dan Riyadh. Berikut sejarahnya:
1745: Munculnya gerakan Wahhabi, sebagian besar wilayah ini berada di bawah pemerintahan bersama keluarga Saud.
1824: Kontrol atas Riyadh kembali ke tangan Saudi.
1891: Keluarga Rashidi Saud keluar dari Riyadh dengan bantuan dari Kekaisaran Ottoman.
1902: Ibnu Saud mengalahkan Riyadh dengan sebuah pasukan yang terdiri dari 200 personil, dan mendeklarasikan dinasti Rashidi.
1903: Ibnu Saud menyatakan dirinya sebagai Sultan atau penguasa Najd.
1932: Setelah bertahun-tahun melakukan penaklukan, Arab Saudi menyatakan wilayahnya sebagai sebuah kerajaan dan Riyadh ditetapkan sebagai ibukota baru.


Kelompok Wahabi muncul dari Wilayah Najd [kini disebut Riyadh] di Arab Saudi 

Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw Seputar Kemunculan Tanduk Setan

Hadis Sahih # 1 : Sahih Bukhari, Buku 88, hadits ke 214
Dikisahkan oleh Ibn Umar: Nabi Saw bersabda, "Ya Allah limpahkan berkat-Mu pada wilayah Syam kami! Ya Allah! Limpahkan berkat-Mu pada wilayah Yaman kami." Mereka berkata, "Dan juga berkatilah sebagai wilayah Najd kami." Beliau bersabda, "Ya Allah limpahkan berkat-Mu pada wilayah utara Syam kami. Ya Allah limpahkan berkat-Mu pada Yaman kami." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah dan juga wilayah Najd kami. Untuk ketiga kalinya Nabi Saw bersabda, "Najd adalah tempat gempa bumi dan penderitaan dan dari sana akan keluar Setan bertanduk."

Hadis Sahih # 1-a : Sahih Bukhari, Jilid 9, Buku 88, Nomor 212:
Abu Salim (ayah Salim) berkata: Nabi Saw berdiri di samping mimbar (dan menunjuk dengan jarinya ke arah Timur) dan bersabda, "Penderitaan terjadi! Penderitaan ada di sana, dimana Setan bertanduk akan keluar darinya,".

Hadis Sahih # 1-b :Sahih Bukhari, Jilid 9, Buku 88, Nomor 213:
Dikisahkan oleh Ibn Umar: Aku mendengar Rasulullah Saw ketika beliau sedang menghadap ke Timur beliau bersabda, "Penderitaan sesungguhnya ada di sana, dimana Setan bertanduk akan keluar dari sana."

Hadis Sahih # 1-c : Sahih Muslim,Buku 41, Hadis ke 6939
Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu (dari rumahnya) dan sambil menunjuk ke arah timur (Najd), beliau saw bersabda: “Gejolak itu akan muncul dari sisi ini, dimana Setan bertanduk akan muncul dari sana, dan ia mengucapkan kata-kata tersebut dua atau tiga kali, dan Ubaidillah bin Sa'ad dalam hadis tersebut mengatakan. Rasulullah saw berdiri di depan pintu rumah 'Aisyah.

Hadis Sahih # 2 : Bukhari, Buku 17, Hadis ke 147
Dikisahkan oleh Ibn Umar: (Nabi Saw) bersabda, "Ya Allah Berkatilah Syam kami dan Yaman kami." Orang-orang berkata, "(berkatilah) Najd kami juga." Nabi Saw bersabda lagi, "Ya Allah! Berkatilah Syam kami dan Yaman kami." Mereka berkata lagi, "Berkatilah Najd kami juga." Pada saat itu Nabi saw bersabda, "Tidak akan muncul dari sana (kecuali, penj) gempa bumi dan penderitaan, dan dari sana akan keluar Setan bertanduk."

Hadis Sahih # 3:Bukhari, buku 61, Hadis ke 578
Diriwayatkan Abu Said Al-Khudri: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Akan muncul beberapa orang di antara kamu yang berdoa yang akan membuat Anda dipandang rendah, dan yang puasa yang akan membuat Anda dipandang rendah, mereka rajin membacaAl-Qur'an namun itu hanya sebatas di tenggorokan mereka (mereka tidak akan bertindak sesuai Al-Qur’an) dan mereka akan keluar dari Islam sebagaimana panah dalam sebuah permainan keluar dari busurnya, dimana pemanah akan memeriksa mata panahnya tapi tidak melihat apa-apa, ia melihat panah tapi tidak melihat apa-apa, melihat bulu-bulu panah tapi tidak melihat apa-apa, dan akhirnya ia berharap dapat menemukan sesuatu di bagian bawah tanda panah."

Hadis # 4 : Imam Malik, Buku 15, Hadis ke 15.4.10
Yahyameriwayatkan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Said dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taymi dari Abu Salamah bin Abd ar Rahman bahwa Abu Said mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah Saw (semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai) bersabda, "Sekelompok orang akan muncul di antara kamu yang suka shalat, puasa dan amal lainnya yang akan membuat Anda berpikir (jika dibanding dengannya, penj) Anda lebih sedikit berdoa, bepuasa dan beramal. Mereka rajin membaca Alquran, tetapi itu hanya sebatas di kerongkongannyanya saja, dan mereka akan keluar dari agama seperti anak panah melewati busurnya. Anda melihat panah dan Anda tidak melihat apa-apa, Anda melihat poros dan Anda tidak melihat apa-apa, Anda melihat penerbangan dan Anda tidak melihat apa-apa. Dan Anda pun menjadi ragu tentang takikannya."

Hadis #5 : Bukhari, Buku 55, Hadis ke 558
Dikisahkan oleh Ibn 'Abbas: Nabi Saw bersabda, "Aku telah memperoleh kemenangan atas As-Saba (yaitu angin timur) dan kaum 'Ad telah dihancurkan oleh Ad-Dabur (yaitu angin barat)." Dikisahkan oleh Abu Said: Ali mengirimkan sepotong emas kepada Nabi Saw dan beliau membagikannya di antara empat orang: Al-Aqra bin Habis Al-Hanzali dari suku Mujashi,' Zaid bin Uyaina Badr Al-Fazari, At-Ta'i dari Bani Nahban, dan 'Alqamah bin Ulatha Al-Amir dari Bani Kilab. Kelompok Quraish dan Ansar pun marah dan berkata, "Dia (yaitu Nabi Saw,) memberikannya kepala Najd saja dan tidak memberikan kepada kita." Nabi Saw bersabda, "Aku memberi mereka dengan tujuan menarik hati mereka (kepada Islam)." Kemudian seorang pria dengan mata cekung, pipi menonjol, dahi mengkerut, jenggot tebal dan kepala gundul, datang (di depan Nabi Saw) dan berkata, "Takutlah kamu kepada Allah, hai Muhammad!" Nabi Saw bersabda:"Siapa yang taat kepada Allah jika aku saja mendurhakai-Nya? (Apakah adil itu) sementara Allah telah mempercayakan semua penduduk bumi kepadaku, apakah Anda tidak mempercayaiku?" Seseorang -saya pikir itu Khalid bin Al-Walid- meminta Nabi untuk mengizinkannya memotong kepala orang itu, namun beliau tidak mengizinkannya. Ketika orang itu pergi, Nabi Saw bersabda, "Di antara keturunan dari orang ini akan muncul mereka yang rajin membaca Alquran tetapi Alquran tidak akan melampaui tenggorokan mereka (yaitu mereka akan membaca seperti burung beo saja, tidak akan mengerti maksudnya dan tidak bertindak sesuainya), dan mereka akan murtad dari agama seperti anak panah melewati busurnya. Mereka akan membunuh kaum Muslimin namun membiarkan orang-orang musyrik. Jika aku harus hidup sezaman dengan mereka aku akan membunuhnya sebagaimana kaum `Ad tewas dibunuh (yaitu saya akan membunuh mereka semua). "

Hadis # 6 :Bukhari, Buku 61, Hadis ke 577
Dikisahkan oleh Ali: Saya mendengar Nabi Saw bersabda, "Pada hari-hari terakhir dunia (akhir zaman, penj) akan muncul orang-orang muda dengan pikiran-pikiran bodoh. Mereka memiliki pembicaraan yang baik, tetapi mereka akan keluar dari Islam sebagaimana panah keluar dari busurnya, iman mereka tidak akan melebihi tenggorokannya. Jadi, dimana saja kamu jumpai mereka bunuhlah, karena telah disediakan hadiah bagi pembunuh mereka pada hari kiamat. "

Hadis # 7 : Bukhari, Buku 84, Hadis ke 65
Dikisahkan Amr Abdullah bin bin Yasar: Bahwa mereka mengunjungi Abu Sa'id Al-Khudri dan bertanya tentang Al-Harauriyya, sebuah sekte keagamaan tidak ortodoks, "Apakah Anda mendengar Nabi Saw bersabda tentang mereka?" Abu Sa'id berkata, "Kalau untuk Al-Harauriyya aku tidak tahu, tapi aku pernah mendengar Nabi Saw bersabda," Tidak akan muncul di bangsa ini ---- dia tidak mengatakan: Dari bangsa ini ---- sekelompok orang yang tampaknya saleh, Anda akan berpikir dan membandingkan doa-doa mereka jauh lebih banyak daripada doa-doa Anda, mereka rajin membaca Quran namun ajaran Qur`an hanya sebatas di tenggorokannya (hanya bacaan saja, penj) dan mereka akan keluar dari agamanya (Islam) sebagaimana anak panah melesat dari busurnya, dimana sang pemanah akan melihat panahnya apakah bernoda darah atau tidak (tidak ditemukan jejak-jejak di dalamnya).

Hadis # 8 : Bukhari, Buku 93, Hadis ke 651
Dikisahkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri: Nabi Saw bersabda, "Akan muncul dari wilayah Timur (Najd) beberapa orang yang akan membaca Al Qur'an tetapi bacaan mereka sebatas di lisan saja dan mereka akan keluar dari agama (Islam) sebagaimana panah melesat dari busurnya, dan mereka tidak akan pernah kembali lagi ke busurnya (dengan sendirinya) (itu mustahil). Orang-orang bertanya, "Apa tanda-tanda mereka?" Beliau bersabda, "Tanda mereka adalah kebiasaan cukur (kepala mereka).”

Hadis # 9 : Muslim, Buku 5, Hadis ke 2322
Abu Salamah dan Yasir bin 'Ata' datang menemui Abu Sa'id al-Khudri dan bertanya tentang Haruriya, ia berkata: Apakah Anda mendengar Rasulullah Saw pernah menyebut mereka? Ia (Abu Sai'd al-Khudri) berkata: Saya tidak tahu siapa Haruriya itu, tapi aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata: Tidak akan timbul dalam bangsa ini (dan tidak mengatakan "dari mereka") seseorang dan Anda akan menyaksikan shalatnya jauh lebih rajin dibandingkan dengan shalatmu sendiri. Dan mereka rajin membaca Al-Qur'an namun itu hanya sebatas di tenggorokannya saja dan ia akan keluar dari agama seperti anak panah (dengan cepat) melesat menembus mangsanya.”

Hadis # 10
Allamah Dahlan meriwayatkan sebuah Hadis yang shahih dalam bukunya 'Addarus Sunniah', yang telah dikutip dari Sihaah (kitab-kitab Shahih).Nabi Saw bersabda: "Akan muncul sekelompok orang di Timur yang rajin membacakan Al Qur'an, tapi sayangnya Quran hanya sebatas di tenggorokannya saja. Kelompok ini akan terus berkembang hingga hari kiamat dan mereka akhirnya akan meningkat bersama Dajjal. Simbol utama mereka adalah bergabung dalam kelompok (Halaqa). " (Addarus Sunniah, hal. 50)


Balasan Dari Wahabi Dan Khawarij 

Wahabi mengklaim bahwa daerah yang dimaksud Nabi saw adalah Irak dan bukannya Najd.
Pertama harus dikatakan bahwa Irak dan Najd tidaklah sama. Teks-teks sejarah maupun data pemetaan ini juga tidak dapat diterima akal sehat jika keduanya diaktakan sama, juga didukung oleh Hadis Sahih ahad marfu yang turut membuktikan ketidaklogisan klaim bodoh Wahabi bahwa Irak dan Najd adalah sama. Tapi sekarang mari kita kembali lagi ke hadis Sahih untuk memperoleh sebuah jawaban [meskipun peta dan bukti sejarah dari ensiklopedia dunia dan beberapa hadis sahih lainnya sangat jelas mendukung kesimpulan tersebut]

Hadis # 1: Muslim, Buku 007, Hadis ke 2666
Abu Zubair telah mendengar Jabir bin Abdullah ra yang mengatakan ketika ia ditanya tentang tempat-tempat miqat dalam ihram: Saya mendengar (dan saya pikir ia membawakannya langsung dari Rasulullah Saw) dia mengatakan: bagi penduduk Madinah Dhu'l-Hulaifa adalah tempat untuk masuk (miqat) pada saat ihram, dan bagi (orang-orang yang datang melalui jalur lain, yaitu Suriah maka tempat masuknya melalui Juhfa, untuk penduduk Irak adalah Dbat 'Irqi; bagi penduduk Najd melalui Qarn (al-Manazil) dan untuk penduduk Yaman tempatnya adalah Yalamlam.”

Hadis # 2 : Bukhari, Buku 26, Hadis ke 599
Dikisahkan oleh Ibn Abbas: Rasulullah Saw telah menjadikan Dzul-Huiaifa sebagai tempat Miqat bagi jamaah haji yang berasal dari Madinah, Al-Juhfa bagi masyarakat dari Syam; Qarn al-Manazil bagi penduduk Najd, dan Yalamlam bagi penduduk Yaman; Tempat-tempat miqat ini adalah tempat orang-orang masuk dengan tujuan melakukan Haji dan 'Umrah, dan siapa pun yang tinggal di dalam batas-batas tersebut dapat melakukan lhram dari tempat ia mulai, dan orang Mekah dapat mengasumsikan melakukannya dari Mekah.”

Apa pendapat Ibnu Taimiyah tentang “Timur”? Apakah Ibnu Taimiyah memahami dalam hadis kalau Najd itu berarti Irak? Jawabannya, Tidak. ia menyatakan: "Teks-teks yang menegaskan keunggulan orang-orang Syam dengan yang Najd dan Irak dan seluruh rakyat Timur sangatlah banyak. [Ibnu Taimiyah, dalam Majmu'a al-Rasa'il Op. cit. (4:448)]

Ibnu Taimiyah juga mengatakan: "Mereka yang berkomitmen murtad setelah kematiannya - Allah memberkati dan menerimanya- hanya mereka yang masuk Islam dengan pedang, seperti para sahabat Musaylima dan rakyat Najd.” [Ibnu Taimiyah,. Minhaj al-Sunnah (1986 ed. 7:478)]

Lihat Ibnu Taimiyah [Sheikhul islam] sendiri mengakui Najd dan Irak sebagai dua wilayah yang berbeda.


BIOGRAFI MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB

Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah nama yang sering menjadi perbicangan di seluruh dunia Islam, tapi siapakah dia? Apakah ajaran-ajarannya? Apakah ajarannya benar-benar sesuai dengan Sunnah Nabi kita Muhammad Saw? Apa yang sebenarnya kita ketahui tentangnya? Apakah dia seorang tokoh agama Islam berdasarkan pengakuan beberapa orang atau dia salah satu dari tiga puluh Dajjal (musuh Islam, penj) dan salah satu tokoh dari ajaran terkutuk yang dikenal sebagai Khawaarij?
Untuk memahami pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita wajib melihat dan mempelajari biografi Muhamamd Ibnu Abdul Wahhab sehingga benar-benar dapat memahami bagaimana keseluruhan kehidupan dan misinya. Oleh karena itu kita akan melihat perjalanan hidupnya dari lahir sampai meninggal, dan bagaimana dampak pemikirannya di dunia Islam sampai hari ini.


Tempat Kelahirannya 

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Lahir pada tahun 1115 AH di desa Uyainah al-Yamaamah, di provinsi Najd, di pusat Saudi, di bagian barat laut ke arah ibu kota Saudi, Riyaadh, kota yang sama persis sebagai tempat tinggal (rumah) Musaymiyah si pendusta.

Riwayat Pendidikan 

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dibesarkan di rumah ayahnya, seorang Sunni ortodoks bernama Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman an-Najdi. Ia belajar fiqih Hambali di bawah asuhan ayahnya. Keseriusan dan kerja kerasnya dalam belajar sudah nampak terlihat oleh sang ayah pada usianya yang masih sangat muda sehingga beliau (Muhammad bin Abdul Wahhab) terpaksa mencarikan seorang guru lain, dan memusatkan perhatiannya kepada anaknya yang lain, yang kelak menjadi seorang syaikh yang rendah hati, Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu ' Abdul Wahhab.

Dikisahkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah melakukan perjalanan bolak-balik antara Makkah dan Madinah dalam upaya mencarikan seorang guru yang cocok dan sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu ia mendatangi beberapa guru namun ia tidak pernah lama belajar dengan mereka dan tidak cukup puas dengan doktrin mereka.

Di Mekah ia belajar dengan seorang ulama Shaafi bernama Abdullah bin Saalim al-Basri, seorang ulama ahli hadis terkemuka di wilayah Hijaz saat itu. Ia juga belajar di bawah asuhan seorang pembesar ahli hukum Hanbali, Abu al-Muwahhib al-Baali, ia juga dikatakan pernah belajar di bawah bimbingan ulama besar lainnya seperti 'Ali al-Daghstani, Ismaa'el al-Ajaluni, dan seorang ulama besar hadits dan ahli hukum Hanbli', Abdullah bin Ibrahim al-Saif, juga kepada seorang ulama dari anak benua Indo-Pakistan Muhammad Hayaat as-Sindi, Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab merasa tidak puas dengan para ulama fiqh (pemegang otoritas ilmiah yang valid), ketidakpuasan itu mendorongnya untuk belajar di Irak di bawah bimbingan seorang teolog Khawarij. Pada periode ini seorang Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menjadi sangat dipengaruhi oleh karya-karya besar Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang bernama Imam Ibnu Qayyum. Sebenarnya dua Imam ini kebanyakan buah karyanya hanya melahirkan teori-teori saja, dan kemudian Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menterjemahkannya ke dalam bentuk praktek (amaliah).
Bukanlah kebiasaan Imam Ibnu Taimiyyah menghancurkan kuburan, menghancurkan kubah dan membunuh siapa pun yang dianggapnya musyrik, meskipun memang beliau telah menulis langkah-langkah ekstrem yang harus ditegakkan untuk mencegah orang dari melakukan syirik.

Kurangnya pengetahuan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab membuat Imam Ibnu Taimiyyah kemudian bertobat dan berlepas diri dari pandangan seperti itu setelah ia kalah dalam berbagai perdebatan tentang berbagai isu/tema, baik terkait wilayah teologis maupun yurisprudensi (fiqh).

Meski telah belajar di bawah ulama-ulama Hanbali, Syafii dan Hanafi, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyatakan penentangannya terhadap empat madzhab tradisional tersebut dengan dalih adalah "haram" hukumnya mengikuti secara langsung dan percaya kepada seorang ulama manapun. Dikatakan "ia selalu bertentangan dengan ulama manapun". Jadi dia pikir pengetahuannya lebih baik dari semua ulama sebelumnya, atau ia tidak begitu merasa puas dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnu Qayyum.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab akhirnya diusir dari Irak karena dianggap memiliki “penyakit” yaitu menyebut mereka yang “buta” akan pengetahuan Islam sebagai seorang musyrik, hanya karena seseorang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang Islam. Dia terpaksa harus meninggalkan Irak di hari panas terik dan hampir saja meninggal karena kehausan. Karena kehabisan bekal ia menjadi seorang mengemis uang untuk ongkos ke menuju Suriah, namun setelah mengalami kondisi demikian Tuhan jua yang memutuskan dan kondisi itu membuatnya kembali ke Najd.

Meskipun Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah memperoleh studi dari berbagai ulama di lokasi yang berbeda di dunia Muslim yang terpelajar, dia tidak sampai pada penguasaan disiplin ilmu-ilmi tersebut, juga tidak memperoleh restu untuk mengajar di setiap disiplin ilmu dari salah satu ulama yang disebutkan di atas. Selain itu, tidak ada diantara guru-gurunya yang mendukung doktrinnya dan itu terbukti dari catatan-catatan para sejarawan bahwa guru-gurunya berbicara tentangnya dengan memberikan berbagai kritik negatif.

Seperti Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Muhammad al-Sindi yang keduanya terkenal keras dan tidak mau mengakui otoritas keilmuannya dan berkata tentangnya; “Allah pasti mengizinkan orang yang satu ini untuk disesatkan, alangkah kasihan orang-orang yang telah disesatkan olehnya [Muhammad bin Abdul Wahhab]”. Kritik kedua guru tersebut akhirnya dikombinasikan oleh saudara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab [Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab] yang menulis teks klasik al-Sawaa'iq al-Ilahiyah fi ar-radd 'ala al-Wahhabiyah (Kilatan-kilatan cahaya ilahi sebaagi bantahan terhadap paham wahabi) di mana salah satu gurunya menulis "Dall mudlil", yaitu ia [Muhammad bin Abdul Wahhab] adalah "orang yang sesat dan menyesatkan".


Ulama Lain Berbicara Tentangnya

"Tampaknya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab memang memiliki semangat membaca yang cukup tinggi, terutama terhadap tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibn al-Qayyum (gurunya), al-Ajilaani bahkan mengatakan bahwa sebagian besar pengetahuannya adalah hasil dari belajar sendiri"!

Jadi dilihat dari fakta yang ada ia tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai seorang pemilik otoritas (mufti atau mujtahid, penj), tidak ada seorang pun yang telah memberinya izajah (restu, penj), ia belajar secara otodidak dan dicuci otak dalam pendapat sesat Imam Ibnu Taimiyyah.
Setelah kembali, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sering berusaha mengajak berdebat beberapa teolog besar yang akhirnya menyebabkan ia diusir dan dilarang berbicara di berbagai kota dan desa. Dia bahkan mencoba untuk berdebat dengan ayahnya sendiri sehingga terjadi perdebatan besar antara keduanya. Mata sang ayah mengalirkan air mata setelah membaca pikiran kotor dan pendapat ngawur yang dikemas dalam bentuk “makananteologis cepat saji”, dalam karyanya "Kitaab ut-Tauhid”.
Sejak saat itu ayahnya tidak pernah lagi berbicara kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab hingga meninggal pada 1153AH, meskipun sebelum kematiannya dia berulang kali memberitahu orang-orang; "Anda akan melihat banyak kejahatan dari anak saya Muhammad"!

Sepeninggal ayahnya, Muhammad bin Abdul Wahhab merasa lebih bebas untuk mempublikasikan ajaran menyimpangnya secara lebih terbuka, meskipun itu cenderung meremehkan keilmuan saudaranya sendiri, Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab yang telah dilatih oleh ayahnya semasa ketidakhadirannya di sisi sang ayah. Sang Ayah telah mendidik Sulaiman muda dengan baik, memberinya pelajaran dalam Aqidah, Fiqh dan ilmu terkait lainnya. Dan meskipun Sulaiman dihadapkan dengan tugas yang sulit secara keilmuan dia lebih matang dan mumpuni dibanding saudaranya.

Sementara itu, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai mendapatkan dukungan dari seluruh warga Najd, bahkan diberi pasukan kecil berjumlah enam ratus orang. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah menimbulkan kematian dan kehancuran dengan justifikasi agamanya. Dia menghalalkan penumpahan darah orang yang telah mengucapkan Kalimah Syahadat, sehingga hartanya boleh diambil dan anak serta istri mereka boleh dijadikan tawanan. Dia mengatakan dalam bukunya “Kashf ash-Shubbahaat” sebagai berikut:
"Orang-orang yang meminta syafaat melalui para Nabi dan Malaikat, memanggil mereka dan membuat permohonan melalui wasilah/perantara mereka dalam upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah berarti mereka telah melakukan dosa paling besar. Jadi halal hukumnya membunuh dan mengambil harta mereka." Bahkan sebuah persatuan modern ulama Wahabi mengakui pandangan ini dan menegaskannya ketika mengatakan:
"Dia [Muhammad Abdul Ibnu Wahhab] juga menjelaskan kepada kita arti sebenarnya dari tauhid bahwa maknanya bukanlah hanya sekedar mengucapkan kesaksian keimanan "la ilaha illallah" (tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah). Memang seseorang bisa kembali menjadi kafir yang darahnya halal untuk ditumpahkan dan harta kekayaannya boleh diambil dan sekalipun ia mengucapkan kesaksian tauhid"

Jelas bahwa kalimah Tauhid tersebut tidak berarti secara otomatis akan menyelamatkan seseorang. Mereka mungkin akan tetap membunuh sekalipun ia seorang Muslim .

Pernyataan ini mencerminkan keyakinan yang sama dengan keyakinan kelompok Khawaarij yang memperbolehkan menumpahkan darah orang-orang yang mengucapkan Kalimah Syahadat namun tidak sependapat dengan pandangan mereka.

Banyak hadis membuktikan bahwa pengucapan kalimat tauhid sudah cukup bagi seseorang untuk menjadi orang Muslim, kami akan mengutip pernyataan mereka pada bab lain dan menjadi dasar keyakinan kami bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab percaya pada perbuatan yang bertentangan dengan pandangan Sunni, yaitu sikap tidak boleh putus asa dengan rahmat Allah.

Tindakannya yang sangat brutal pertama adalah untuk menyerbu/menyerang sebuah desa dengan enam ratus atau lebih pasukan untuk menghancurkan makam Zaid bin al-Khattab. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sendiri yang mengambil kapak, membawanya dan menghancurkan kuburan tersebut secara membabi buta seperti orang gila. Ini adalah petaka pertama bagai orang desa yang berdiri ketakutan karena khawatir akan datangnya petaka susulan dan kejadian seperti ini belum pernah mereka alami dari sebelumnya.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terus menjarah wilayah tetangga seperti Zabir, Ahsa, Huraimala, dan kampung 'Uyainah, tanpa pandang bulu membunuh Muslim, Muslimat dan anak-anak jika mereka menolak ajarannya. Mereka yang menerima ajaranya dipaksa untuk mencukur janggut dan rambut mereka dengan dalih itu adalah jejak rambut kekufuran. Dia bahkan tidak menaruh belas kasihan sekalipun kepada para wanita atas putusannya ini.

Ketika Khalifahkaum muslimin Sulaiman Bin Urair'ar mendengar hal ini, mereka datang dengan tentara untuk merespon dan menghancurkan ancaman Wahhabi, yang membuat Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan kelompoknya melarikan diri ke wilayah Darriyah karena khawatir akan kehidupannya.


Sebuah Pakta Tentang Ibnu Sa'ud 

Terkesan dengan doktrin dan tindakan Muhammad bin Abdul Wahhab, penguasa Darriyah, Muhammad Ibn Sa'ud memahami betul bahwa dia dapat menggunakan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan ajarannya untuk keuntungan sendiri, memberinya pembenaran agama. dia sangat dibutuhkan untuk mengambil alih wilayah Hijaaz dan kursi kekuasaan untuk dirinya sebagai raja 'Saudi. Salah seorang ulama Wahhabi mengakui:
1. “Pertemuan antara sang “Alim” dan sang "pangeran", Muhammad Ibn Sa'ud mungkin sebuah kebetulan yang satu sama lain memang saling membutuhkan, masing-masing memandang perlu menikahkan ide keduanya untuk membangun sebuah kekuatan [dengan senjata dan berbagaikekerasan] sebagai kunci untuk sebuah zaman baru dalam sejarah Islam.
2. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengambil alih desa-desa tetangga adalah dengan kekuatan doktrin dan ancaman kekerasan. Mereka mempersiapkan kekuatan militer yang “bijaksana”. Bahkan dikatakan oleh beberapa sejarawan bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mempercanggih perlengkapan militernya dengan menggantikan pedang tradisional dengan senapan yang dipasok pemerintah Inggris.

Sekarang bersama-sama dengan jumlah tentara yang jauh lebih besar ia menyerbu wilayah muslim terlepas dari mendengar Azaan (meskipun mereka shalat, penj). Faktanya, menurut Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Shahaadah mereka tidaklah cukup sebagai jaminan atas kehormatan diri dan hartanya, sehingga ia tetap melakukan berbagai penjarahan ke beberapa wilayah Muslim sementara orang-orang kafir dibebaskan begitu saja melewati Saudi tanpa ada usaha untuk mengkonversi mereka. Kenyataannya memang ia tidak pernah menyerbu satu kali pun sebuah desa orang kafir.

Ciri-ciri Khawarij-nya menjadi lebih nampak ketika ia memimpin pemberontakan melawan penguasa Muslim, menewaskan orang-orangmukmin, memperbudak para wanita dan anak-anak, menghancurkan kuburan dan tempat-tempat warisan penting [sebagian diubah menjadi toilet umum] semua dengan dalih menyeru kaum muslimin kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.
Ia bahkan mengeksekusi seorang budak buta miliknya setelah sang budak mengumandangkan panggilan Azaan hanya karena ia menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw. Ini semua ia lakukan dengan alasan melaksanakan kewajiban mempertahankan kemurnian tauhid kepada kaum muslimin seperti eksekusi terhadap budak buta tadi karena dianggap telah mempraktekkan perbuatan syirik.

Sebagian besar naskah sejarah karya ilmiah telah dihancurkan oleh sekte Wahhabi, perpustakaan dibakar dan dibumihanguskan, dan bahkan teks-teks Al-Qur'an tercecer di jalan-jalan dan dibiarkan begitu saja terinjak-injak tanpa peduli.

Sejak tahun 1159AH, sentral Saudi tidak pernah sama. Panggilan “Jihaad” diserukan untuk mengeksekusi setiap orang Muslim yang tidak menerima panggilan Wahhabi: sebaiknya anda bergabung dengan kami atau anda akan mati. Seperti inilah apa yang telah dilakukan kelompok Khawaarij terhadap siapapun yang bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Seperti Sahaabi Khabaab yang dieksekusi hanya karena mengutip sebuah hadits berisi pembelaan kepada Ali bin Abi Thalib kw. Mereka tidak hanya membunuhnya, tapi juga membunuh istri dan anaknya yang belum lahir dengan membelah perutnya terbuka dan membiarkan sang bayi terjatuh ke lantai.

Para ulama kontemporer yang masih hidup melihat dan menyadari akan ancaman kelompok Wahhabi dan munculnya kembali karya-karya Khawarij tentang teologi korup, termasuk saudaranya sendiri Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab. Mereka adalah saksi pertama atas kejadian sejarah yang mendokumentasikan sekte Wahabi dan doktrin-doktrinnya.

Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab berkata kepada saudaranya sendiri berkata: "Yang dimaksud oleh Nabi saw sebaagi tanduk-tanduk setan adalah Anda" [Abdul Muhammad Ibnu Wahhab].

Seperti banyaknya fakta sejarah menunjukkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bukanlah seorang pembela Islam. Sebagai bukti, dalam terjemahan Kitabut -Tauhid menginformasikan kepada kita dalam kata pengantar:
1. "Gerakan ini lahir dari" realisasi "bahwa umat Islam telah terlalu lama berada dalam ketertinggalan". Arogansi Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang tidak mengenal batas ketika ia berpendapat bahwa sebagian besar ulama yang mendahuluinya adalah para Penyembah berhala dan dengan demikian mereka adalah orang-orang kafir. Karena itu ia menolak delapan ratus tahun masa keemasan Islam dan menganggapnya sebaagi masa kesesatan dan bidah.

2. Klaim bahwa dia adalah Ibnu Taimiyyah kedua yang Allah utus di delapan ratus tahun terakhir sebagai seorang pembaharu bertentangan dengan hadis dari Rasulullah saw yang mengatakan: “Allah akan membangkitkan untuk umat ini setiap seratus tahun sekali seseorang yang akan melakukan pembaharuan pada agama.”

Namun, di antara para pembaharu yang pernah muncul di setiap abad yang telah didokumentasikan dengan baik, tidak satupun dari mereka pernah berbicara tentang ideologi yang sama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab, atau seperti dalam kredo Imam Ibnu Taimiyyah.

Misalnya, siapa orang yang muncul sebelum Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah, yang merasa perlu untuk membagi dan mengkategorikan tauhid menjadi dua, tiga atau empat bagian. Tidak ada sama sekali! Hal yang sama dapat dikatakan dalam banyak bidang di mana keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Imam Ibnu Taimiyyah telah bertentangan dengan kesepakatan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah.

Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa ia membuat klaim implisit kenabian, meskipun tidak mengklaim nabi secara lisan. Faktor-faktor berikut membantu menunjukkan hal ini:
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menamakan orang-orang Najd yang memilih menjadi pengikutnya [baik oleh kekuatan atau kehendak bebas] sebagai kelompok Anshar [para pembantu] sama seperti Nabi saw yang telah menyebut penduduk Madinah dengan panggilan kaum Anshar untuk membantu kelompok Muhajirin. Demikian juga Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyebut para pengikutnya selain penduduk Najdi dengan sebutan Muhajirin. Pesan tersebut terdengar sangat jelas seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat bahwa penduduk Makkah dan Madinah berada dalam keadaan kekufuran yang mendalam dimana "ibadah berat" begitu banyak terjadi di sana sehingga ia menganggap Mekkah dan Madinah sebagai darul (rumah) -kufur dan kampung halamannya Najd sebaai darul -Mukminin. Bahkan ia menjadikan Najd [Al-Yamaamah] sebagai "jantung" Saudi dan pusat ajaran Wahhabi. Pengikut Jamal Zarabozo mengatakan dalam biografi Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa "Al-Yamaamah [bukan Makkah atau Madinah] adalah jantung semenanjung dunia Arab ". Dalam usia ini mereka menyebutnya Riyadh dan masih mengklasifikasikan sebagai "ibu kota Saudi", sehingga ketidakpedulian mereka terhadap dua tempat suci jelas dapat dilihat pada titik ini.
Dengan kekuasaan yang dimilikinya dia tidak bertindak selazimnya penguasa [Qadhi] atau seorang ulama yang rendah hati. Muhammad Ibn Abdul Wahhab memberikan sikap sangat jelas bahwa siapapun yang dianggap menolak misinya berarti ia seorang kafir, hampir bisa dikatakan mereka telah berseberangan dengan Nabi Saw! Dia menginstruksikan kepada para pengkutnya sebagai "seorang mukmin baru" untuk menjadi saksi terhadap diri mereka bahwa mereka sebelum menjadi pengikutnya adalah kafir termasuk orang tua mereka juga terkategori sebagai orang kafir, kecuali jika mereka dapat dipastikan benar-benar sebagai seorang Wahabi tulen. Demikianlah vonisnya walaupun mereka itu sebelumnya telah menyatakan kesaksian atas keimanannya [yaitu pengucapan Shahaadah] "la ilaha illa Allah" - tidak ada Tuhan selain Allah! Muhmmad Ibnu Abdul Wahhab juga telah mengklaim dalam beberapa karyanya, bahwa pengucapan syahadat saja tidaklah cukup bagi seseorang untuk bisa masuk surga! Jika saja kelompok wahabi ini menemukan orang-orang muslim menolak panggilannya mereka akan memenggalnya di tempat.

Dia memerintahkan pria dan wanita untuk mencukur rambut kepala mereka rambut tersebut dianggap sebagai "rambut kekufuran". Ini merupakan sebuah kesalahan pentafsiran tentang sebuah hadits yang berbicara tentang rambut di bawah ketiak dan bulu-bulu kelamin. Tindakan ini adalah tindakan unik dan nyeleneh dari ajarannya dan Nabi kita saw bersabda, "Tanda mereka (wahabi) adalah bahwa mereka akan mencukur kepala mereka.”

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menentang banyak hadits Nabi saw tentang pertempuran di Hijaz [yang Nabi sendiri telah melarangnya] namun Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk mengizinkan pembunuhan terhadap kaum Muslim, bahkan di sisi Ka'bah sekalipun.

Ini adalah di antara beberapa indikator klaim implisit kenabian/nubuwat. Para pengikutnya dalam seluruh karya kelompok Wahhabi terlihat jelas memberinya status nabi, seperti dalam buku “Kehidupan, Ajaran dan Pengaruh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab” ditulis oleh Jamal Zarabozo yang menyatakan dalam bab berjudul "Motivasi dibalik ini" adalah untuk "Membela kehormatan dan kebenaran agama mereka, Nabi mereka, dan saudara-saudara mereka".

Ini benar-benar mengacu pada kultus "Salafisme", "Salafi ‘Nabi’ Muhammad bin Abdul Wahhab!” Dalam salah satu terjemahan dari Mukhtasar Seerat ur-Rasul, pujian dan perhatian lebih banyak mereka berikan untuk memperkenalkan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dibanding dengan pujian dan perhatian yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw sendiri:
"Setelah universitas Islam Imam Muhammad bin Sa'ud memutuskan untuk mengadakan konferensi atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab [bukan atas nama Allah, atau Rasul-Nya], ia membentuk sebuah komite untuk mempersiapkan konferensi ini dan untuk memberikan konsep rinci untuk kemudian menerapkannya. Komite ini mulai bekerja dengan menegaskan kembali tujuan umum konferensi tersebut, yaitu untuk menginformasikan kepada orang-orang tentang Syekh [bukan Nabi Muhammad Saw, tetapi Syaikh] dan mengungkapkan kebenaran ajarannya [bukan ajaran Nabi Muhammad saw, tetapi dakwah Muhammad Ibn 'Abdul Wahhab]. Ada beberapa hal dapat dilihat dari pernyataan di atas;
1) Ini adalah buku yang seharusnya berbicara tentangbiografi Nabi saw, namun entah bagaimana justru isinya berbicara tentang Muhammad bin Abdul Wahhab.
2) Ini benar-benar sebuah konferensi yang diselenggarakan bukan atas nama Allah atau Rasul-Nya saw), tetapi murni atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Apakah ini menandakan ketidakkonsistenan kelompok Wahabi dengan klaimnya, mereka akan dengan cepat menuduh kelompok lain berlaku syirik atau pengkultusan ketika mengadakan sebuah konferensi atau perayaan sejenis dengan atas nama seorang Syaikh Sufi, dll.
3) Sementara sebagian besar umat Islam di seluruh dunia terbiasa mengadakan konferensi seperti perayaan maulid Nabi saw dan berkumpul bersama untuk berbicara tentang sejarah kelahirannya dan lain sebagainya. kelompok Wahhabi akan memvonis kita secara amat cepat dengan vonis telah melakukan praktek bid'ah dan mengada-ada ajaran, namun anehnya mereka sendiri ternyata merayakan "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selama satu minggu. Inilah bukti kemunafikan mereka.

Tujuan umum konfrensi tersebut seperti yang dapat terlihat dari paparan atas adalah tidak untuk mempromosikan dakwah Rasulullah Saw, tetapi secara khusus untuk mempromosikan dakwah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Selama dan ketika sosok Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menempati posisi otoritas doktrinal di hati para pengikutnya (kelompok Wahhabi), tindakan mereka sebenarnya melakukan sebuah pengkultusan juga, dan itu berarti sebuah agama baru. Salah satu orang yang sering berkunjung ke Hijaz - setelah melihat usia keemasan era Sunni - mencatat bahwa di sana telah muncul sebuah agama baru dengan kemunculannya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.


Kematiannya 

Dia meninggal secara menyedihkan pada usia sembilan puluh dua tahun pada tahun 1792 Masehi dan dimakamkan di sebuah makam tak bertanda, tidak ada yang bisa mengunjunginya atau berdoa baginya, tidak ada pula ranting di atas kuburnya yang merupakan salah satu sunnah kenabian agar mendapatkan rahmat yang Allah. Mana mungkin kuburnya dikenal orang karena kemungkinan besar orang-orang telah menjadikan sebagai jalan menjadikannya tempat pilihan pembuangan unta. Hanya Allah yang tahu mana yang terbaik.


Catatan Penting 

Pada saat kematiannya, ia melihat ajaran-ajarannya menyebar ke seluruh seluruh Najd dan ke sebagian besar wilayah al-Ahsaa. Ibnu Abdul Wahhab juga melihat tanda-tanda awal potensi para pemimpin Hijaz.

Kematiannya menyebabkan serangan brutal terhadap tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah di mana ulama ortodok banyak dihukum mati. Ini menunjukkan lagi bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya adalah sosok Khawaarij-Khawarij modern dan mereka melakukan Kharuj (pemberontakan) terhadap para amir dan Khalifah Hijaz saat itu. Ditambah lagi Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengizinkan berperang di sisi Ka'bah, padahal Nabi Saw dengan jelas mengatakan:
"Allah-lah dan bukan orang-orang yang telah menjadikan Mekah sebagai tempat suci. Jadi barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian (yaitu Islam) tidaklah diperkenankan menumpahkan darah di dalamnya dan tidak pula menebang pohon-pohonnya. Jika ada yang berpendapat pertempuran di Mekkah diperbolehkan sebagaimana Rasulullah Saw pernah melakukan pertarungan (di Mekkah), katakan kepadanya bahwa Allah telah memberikan izin untuk Rasul-Nya, tetapi Dia tidak memberikannya kepada Anda. Allah pun hanya mengizinkan saya untuk perperang selama beberapa jam saja pada hari itu (saat penaklukan Makkah) dan hari ini (sekarang) kesuciannya sama terjaga seperti sebelumnya. Jadi, adalah tugas mereka yang hadir untuk menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. "


Buku-buku Karyanya 

Ada lebih dari tiga puluh buku yang telah ditulis, diantaranya:
Kitaab ut-Tauhid
Al-Ushul ul-Thalatha
Kashf abu-Shubahaat
Kitaab al-Kabaa'ir
Mukhtasar Seerat ur-Rasul Saw

Banyak buku Muhammad Ibnu Abdul Wahhab masih dalam bentuk manuskrip dan belum diterbitkan, apalagi diterjemahkan ke bahasa lain. Mereka semua mengungkapkan kesamaan keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dengan Khawaarij jika kita mau coba membaca teks ajaran teologinya. Dengan penjelasan di bab ini saja saya dapat menunjukkan bahwa kultus Wahhabi modern adalah bukti munculnya kelompok Khawwarij akhir zaman Khawwarij seperti telah dinubuatkan dalam hadits-hadis Rasulullah Saw. Namun tentunya mereka akan terus berusaha menutupinya dengan berbagai cara.


BIOGRAFI MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB

Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah nama yang sering menjadi perbicangan di seluruh dunia Islam, tapi siapakah dia? Apakah ajaran-ajarannya? Apakah ajarannya benar-benar sesuai dengan Sunnah Nabi kita Muhammad Saw? Apa yang sebenarnya kita ketahui tentangnya? Apakah dia seorang tokoh agama Islam berdasarkan pengakuan beberapa orang atau dia salah satu dari tiga puluh Dajjal (musuh Islam, penj) dan salah satu tokoh dari ajaran terkutuk yang dikenal sebagai Khawaarij?
Untuk memahami pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita wajib melihat dan mempelajari biografi Muhamamd Ibnu Abdul Wahhab sehingga benar-benar dapat memahami bagaimana keseluruhan kehidupan dan misinya. Oleh karena itu kita akan melihat perjalanan hidupnya dari lahir sampai meninggal, dan bagaimana dampak pemikirannya di dunia Islam sampai hari ini.


Tempat Kelahirannya 

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Lahir pada tahun 1115 AH di desa Uyainah al-Yamaamah, di provinsi Najd, di pusat Saudi, di bagian barat laut ke arah ibu kota Saudi, Riyaadh, kota yang sama persis sebagai tempat tinggal (rumah) Musaymiyah si pendusta.


Riwayat Pendidikan 

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dibesarkan di rumah ayahnya, seorang Sunni ortodoks bernama Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman an-Najdi. Ia belajar fiqih Hambali di bawah asuhan ayahnya. Keseriusan dan kerja kerasnya dalam belajar sudah nampak terlihat oleh sang ayah pada usianya yang masih sangat muda sehingga beliau (Muhammad bin Abdul Wahhab) terpaksa mencarikan seorang guru lain, dan memusatkan perhatiannya kepada anaknya yang lain, yang kelak menjadi seorang syaikh yang rendah hati, Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu ' Abdul Wahhab.

Dikisahkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah melakukan perjalanan bolak-balik antara Makkah dan Madinah dalam upaya mencarikan seorang guru yang cocok dan sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu ia mendatangi beberapa guru namun ia tidak pernah lama belajar dengan mereka dan tidak cukup puas dengan doktrin mereka.

Di Mekah ia belajar dengan seorang ulama Shaafi bernama Abdullah bin Saalim al-Basri, seorang ulama ahli hadis terkemuka di wilayah Hijaz saat itu. Ia juga belajar di bawah asuhan seorang pembesar ahli hukum Hanbali, Abu al-Muwahhib al-Baali, ia juga dikatakan pernah belajar di bawah bimbingan ulama besar lainnya seperti 'Ali al-Daghstani, Ismaa'el al-Ajaluni, dan seorang ulama besar hadits dan ahli hukum Hanbli', Abdullah bin Ibrahim al-Saif, juga kepada seorang ulama dari anak benua Indo-Pakistan Muhammad Hayaat as-Sindi, Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab merasa tidak puas dengan para ulama fiqh (pemegang otoritas ilmiah yang valid), ketidakpuasan itu mendorongnya untuk belajar di Irak di bawah bimbingan seorang teolog Khawarij. Pada periode ini seorang Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menjadi sangat dipengaruhi oleh karya-karya besar Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang bernama Imam Ibnu Qayyum. Sebenarnya dua Imam ini kebanyakan buah karyanya hanya melahirkan teori-teori saja, dan kemudian Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menterjemahkannya ke dalam bentuk praktek (amaliah).
Bukanlah kebiasaan Imam Ibnu Taimiyyah menghancurkan kuburan, menghancurkan kubah dan membunuh siapa pun yang dianggapnya musyrik, meskipun memang beliau telah menulis langkah-langkah ekstrem yang harus ditegakkan untuk mencegah orang dari melakukan syirik.

Kurangnya pengetahuan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab membuat Imam Ibnu Taimiyyah kemudian bertobat dan berlepas diri dari pandangan seperti itu setelah ia kalah dalam berbagai perdebatan tentang berbagai isu/tema, baik terkait wilayah teologis maupun yurisprudensi (fiqh).

Meski telah belajar di bawah ulama-ulama Hanbali, Syafii dan Hanafi, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyatakan penentangannya terhadap empat madzhab tradisional tersebut dengan dalih adalah "haram" hukumnya mengikuti secara langsung dan percaya kepada seorang ulama manapun. Dikatakan "ia selalu bertentangan dengan ulama manapun". Jadi dia pikir pengetahuannya lebih baik dari semua ulama sebelumnya, atau ia tidak begitu merasa puas dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnu Qayyum.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab akhirnya diusir dari Irak karena dianggap memiliki “penyakit” yaitu menyebut mereka yang “buta” akan pengetahuan Islam sebagai seorang musyrik, hanya karena seseorang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang Islam. Dia terpaksa harus meninggalkan Irak di hari panas terik dan hampir saja meninggal karena kehausan. Karena kehabisan bekal ia menjadi seorang mengemis uang untuk ongkos ke menuju Suriah, namun setelah mengalami kondisi demikian Tuhan jua yang memutuskan dan kondisi itu membuatnya kembali ke Najd.

Meskipun Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah memperoleh studi dari berbagai ulama di lokasi yang berbeda di dunia Muslim yang terpelajar, dia tidak sampai pada penguasaan disiplin ilmu-ilmi tersebut, juga tidak memperoleh restu untuk mengajar di setiap disiplin ilmu dari salah satu ulama yang disebutkan di atas. Selain itu, tidak ada diantara guru-gurunya yang mendukung doktrinnya dan itu terbukti dari catatan-catatan para sejarawan bahwa guru-gurunya berbicara tentangnya dengan memberikan berbagai kritik negatif.

Seperti Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Muhammad al-Sindi yang keduanya terkenal keras dan tidak mau mengakui otoritas keilmuannya dan berkata tentangnya; “Allah pasti mengizinkan orang yang satu ini untuk disesatkan, alangkah kasihan orang-orang yang telah disesatkan olehnya [Muhammad bin Abdul Wahhab]”. Kritik kedua guru tersebut akhirnya dikombinasikan oleh saudara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab [Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab] yang menulis teks klasik al-Sawaa'iq al-Ilahiyah fi ar-radd 'ala al-Wahhabiyah (Kilatan-kilatan cahaya ilahi sebaagi bantahan terhadap paham wahabi) di mana salah satu gurunya menulis "Dall mudlil", yaitu ia [Muhammad bin Abdul Wahhab] adalah "orang yang sesat dan menyesatkan".


Ulama Lain Berbicara Tentangnya 

"Tampaknya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab memang memiliki semangat membaca yang cukup tinggi, terutama terhadap tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibn al-Qayyum (gurunya), al-Ajilaani bahkan mengatakan bahwa sebagian besar pengetahuannya adalah hasil dari belajar sendiri"!

Jadi dilihat dari fakta yang ada ia tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai seorang pemilik otoritas (mufti atau mujtahid, penj), tidak ada seorang pun yang telah memberinya izajah (restu, penj), ia belajar secara otodidak dan dicuci otak dalam pendapat sesat Imam Ibnu Taimiyyah.
Setelah kembali, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sering berusaha mengajak berdebat beberapa teolog besar yang akhirnya menyebabkan ia diusir dan dilarang berbicara di berbagai kota dan desa. Dia bahkan mencoba untuk berdebat dengan ayahnya sendiri sehingga terjadi perdebatan besar antara keduanya. Mata sang ayah mengalirkan air mata setelah membaca pikiran kotor dan pendapat ngawur yang dikemas dalam bentuk “makanan teologis cepat saji”, dalam karyanya "Kitaab ut-Tauhid”.
Sejak saat itu ayahnya tidak pernah lagi berbicara kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab hingga meninggal pada 1153 AH, meskipun sebelum kematiannya dia berulang kali memberitahu orang-orang; "Anda akan melihat banyak kejahatan dari anak saya Muhammad"!

Sepeninggal ayahnya, Muhammad bin Abdul Wahhab merasa lebih bebas untuk mempublikasikan ajaran menyimpangnya secara lebih terbuka, meskipun itu cenderung meremehkan keilmuan saudaranya sendiri, Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab yang telah dilatih oleh ayahnya semasa ketidakhadirannya di sisi sang ayah. Sang Ayah telah mendidik Sulaiman muda dengan baik, memberinya pelajaran dalam Aqidah, Fiqh dan ilmu terkait lainnya. Dan meskipun Sulaiman dihadapkan dengan tugas yang sulit secara keilmuan dia lebih matang dan mumpuni dibanding saudaranya.
Sementara itu, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai mendapatkan dukungan dari seluruh warga Najd, bahkan diberi pasukan kecil berjumlah enam ratus orang. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab telah menimbulkan kematian dan kehancuran dengan justifikasi agamanya. Dia menghalalkan penumpahan darah orang yang telah mengucapkan Kalimah Syahadat, sehingga hartanya boleh diambil dan anak serta istri mereka boleh dijadikan tawanan. Dia mengatakan dalam bukunya “Kashf ash-Shubbahaat” sebagai berikut:
"Orang-orang yang meminta syafaat melalui para Nabi dan Malaikat, memanggil mereka dan membuat permohonan melalui wasilah/perantara mereka dalam upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah berarti mereka telah melakukan dosa paling besar. Jadi halal hukumnya membunuh dan mengambil harta mereka." Bahkan sebuah persatuan modern ulama Wahabi mengakui pandangan ini dan menegaskannya ketika mengatakan:
"Dia [Muhammad Abdul Ibnu Wahhab] juga menjelaskan kepada kita arti sebenarnya dari tauhid bahwa maknanya bukanlah hanya sekedar mengucapkan kesaksian keimanan "la ilaha illallah" (tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah). Memang seseorang bisa kembali menjadi kafir yang darahnya halal untuk ditumpahkan dan harta kekayaannya boleh diambil dan sekalipun ia mengucapkan kesaksian tauhid"

1. Jelas bahwa kalimah Tauhid tersebut tidak berarti secara otomatis akan menyelamatkan seseorang. Mereka mungkin akan tetap membunuh sekalipun ia seorang Muslim .
2. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan yang sama dengan keyakinan kelompok Khawaarij yang memperbolehkan menumpahkan darah orang-orang yang mengucapkan Kalimah Syahadat namun tidak sependapat dengan pandangan mereka.
3. Banyak hadis membuktikan bahwa pengucapan kalimat tauhid sudah cukup bagi seseorang untuk menjadi orang Muslim, kami akan mengutip pernyataan mereka pada bab lain dan menjadi dasar keyakinan kami bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab percaya pada perbuatan yang bertentangan dengan pandangan Sunni, yaitu sikap tidak boleh putus asa dengan rahmat Allah.

Tindakannya yang sangat brutal pertama adalah untuk menyerbu/menyerang sebuah desa dengan enam ratus atau lebih pasukan untuk menghancurkan makam Zaid bin al-Khattab. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sendiri yang mengambil kapak, membawanya dan menghancurkan kuburan tersebut secara membabi buta seperti orang gila. Ini adalah petaka pertama bagai orang desa yang berdiri ketakutan karena khawatir akan datangnya petaka susulan dan kejadian seperti ini belum pernah mereka alami dari sebelumnya.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab terus menjarah wilayah tetangga seperti Zabir, Ahsa, Huraimala, dan kampung 'Uyainah, tanpa pandang bulu membunuh Muslim, Muslimat dan anak-anak jika mereka menolak ajarannya. Mereka yang menerima ajaranya dipaksa untuk mencukur janggut dan rambut mereka dengan dalih itu adalah jejak rambut kekufuran. Dia bahkan tidak menaruh belas kasihan sekalipun kepada para wanita atas putusannya ini.

Ketika Khalifah kaum muslimin Sulaiman Bin Urair'ar mendengar hal ini, mereka datang dengan tentara untuk merespon dan menghancurkan ancaman Wahhabi, yang membuat Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan kelompoknya melarikan diri ke wilayah Darriyah karena khawatir akan kehidupannya.


Sebuah Pakta Tentang Ibnu Sa'ud

Terkesan dengan doktrin dan tindakan Muhammad bin Abdul Wahhab, penguasa Darriyah, Muhammad Ibn Sa'ud memahami betul bahwa dia dapat menggunakan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan ajarannya untuk keuntungan sendiri, memberinya pembenaran agama. dia sangat dibutuhkan untuk mengambil alih wilayah Hijaaz dan kursi kekuasaan untuk dirinya sebagai raja 'Saudi. Salah seorang ulama Wahhabi mengakui:
“Pertemuan antara sang “Alim” dan sang "pangeran", Muhammad Ibn Sa'ud mungkin sebuah kebetulan yang satu sama lain memang saling membutuhkan, masing-masing memandang perlu menikahkan ide keduanya untuk membangun sebuah kekuatan [dengan senjata dan berbagai kekerasan] sebagai kunci untuk sebuah zaman baru dalam sejarah Islam.

Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengambil alih desa-desa tetangga adalah dengan kekuatan doktrin dan ancaman kekerasan. Mereka mempersiapkan kekuatan militer yang “bijaksana”. Bahkan dikatakan oleh beberapa sejarawan bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mempercanggih perlengkapan militernya dengan menggantikan pedang tradisional dengan senapan yang dipasok pemerintah Inggris.

Sekarang bersama-sama dengan jumlah tentara yang jauh lebih besar ia menyerbu wilayah muslim terlepas dari mendengar Azaan (meskipun mereka shalat, penj). Faktanya, menurut Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Shahaadah mereka tidaklah cukup sebagai jaminan atas kehormatan diri dan hartanya, sehingga ia tetap melakukan berbagai penjarahan ke beberapa wilayah Muslim sementara orang-orang kafir dibebaskan begitu saja melewati Saudi tanpa ada usaha untuk mengkonversi mereka. Kenyataannya memang ia tidak pernah menyerbu satu kali pun sebuah desa orang kafir.
Ciri-ciri Khawarij-nya menjadi lebih nampak ketika ia memimpin pemberontakan melawan penguasa Muslim, menewaskan orang-orang mukmin, memperbudak para wanita dan anak-anak, menghancurkan kuburan dan tempat-tempat warisan penting [sebagian diubah menjadi toilet umum] semua dengan dalih menyeru kaum muslimin kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

Ia bahkan mengeksekusi seorang budak buta miliknya setelah sang budak mengumandangkan panggilan Azaan hanya karena ia menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw. Ini semua ia lakukan dengan alasan melaksanakan kewajiban mempertahankan kemurnian tauhid kepada kaum muslimin seperti eksekusi terhadap budak buta tadi karena dianggap telah mempraktekkan perbuatan syirik.

Sebagian besar naskah sejarah karya ilmiah telah dihancurkan oleh sekte Wahhabi, perpustakaan dibakar dan dibumihanguskan, dan bahkan teks-teks Al-Qur'an tercecer di jalan-jalan dan dibiarkan begitu saja terinjak-injak tanpa peduli.

Sejak tahun 1159 AH, sentral Saudi tidak pernah sama. Panggilan “Jihaad” diserukan untuk mengeksekusi setiap orang Muslim yang tidak menerima panggilan Wahhabi: sebaiknya anda bergabung dengan kami atau anda akan mati. Seperti inilah apa yang telah dilakukan kelompok Khawaarij terhadap siapapun yang bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Seperti Sahaabi Khabaab yang dieksekusi hanya karena mengutip sebuah hadits berisi pembelaan kepada Ali bin Abi Thalib kw. Mereka tidak hanya membunuhnya, tapi juga membunuh istri dan anaknya yang belum lahir dengan membelah perutnya terbuka dan membiarkan sang bayi terjatuh ke lantai.

Para ulama kontemporer yang masih hidup melihat dan menyadari akan ancaman kelompok Wahhabi dan munculnya kembali karya-karya Khawarij tentang teologi korup, termasuk saudaranya sendiri Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab. Mereka adalah saksi pertama atas kejadian sejarah yang mendokumentasikan sekte Wahabi dan doktrin-doktrinnya.

Syaikh ul-Islam Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab berkata kepada saudaranya sendiri berkata: "Yang dimaksud oleh Nabi saw sebaagi tanduk-tanduk setan adalah Anda" [Abdul Muhammad Ibnu Wahhab].

Seperti banyaknya fakta sejarah menunjukkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bukanlah seorang pembela Islam. Sebagai bukti, dalam terjemahan Kitabut -Tauhid menginformasikan kepada kita dalam kata pengantar:
1. "Gerakan ini lahir dari" realisasi "bahwa umat Islam telah terlalu lama berada dalam ketertinggalan". Arogansi Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang tidak mengenal batas ketika ia berpendapat bahwa sebagian besar ulama yang mendahuluinya adalah para Penyembah berhala dan dengan demikian mereka adalah orang-orang kafir. Karena itu ia menolak delapan ratus tahun masa keemasan Islam dan menganggapnya sebaagi masa kesesatan dan bidah.

2. Klaim bahwa dia adalah Ibnu Taimiyyah kedua yang Allah utus di delapan ratus tahun terakhir sebagai seorang pembaharu bertentangan dengan hadis dari Rasulullah saw yang mengatakan: “Allah akan membangkitkan untuk umat ini setiap seratus tahun sekali seseorang yang akan melakukan pembaharuan pada agama.”

Namun, di antara para pembaharu yang pernah muncul di setiap abad yang telah didokumentasikan dengan baik, tidak satupun dari mereka pernah berbicara tentang ideologi yang sama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab, atau seperti dalam kredo Imam Ibnu Taimiyyah.

Misalnya, siapa orang yang muncul sebelum Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah, yang merasa perlu untuk membagi dan mengkategorikan tauhid menjadi dua, tiga atau empat bagian. Tidak ada sama sekali! Hal yang sama dapat dikatakan dalam banyak bidang di mana keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Imam Ibnu Taimiyyah telah bertentangan dengan kesepakatan para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah.

Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa ia membuat klaim implisit kenabian, meskipun tidak mengklaim nabi secara lisan. Faktor-faktor berikut membantu menunjukkan hal ini:
1. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menamakan orang-orang Najd yang memilih menjadi pengikutnya [baik oleh kekuatan atau kehendak bebas] sebagai kelompok Anshar [para pembantu] sama seperti Nabi saw yang telah menyebut penduduk Madinah dengan panggilan kaum Anshar untuk membantu kelompok Muhajirin. Demikian juga Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyebut para pengikutnya selain penduduk Najdi dengan sebutan Muhajirin. Pesan tersebut terdengar sangat jelas seperti Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat bahwa penduduk Makkah dan Madinah berada dalam keadaan kekufuran yang mendalam dimana "ibadah berat" begitu banyak terjadi di sana sehingga ia menganggap Mekkah dan Madinah sebagai darul (rumah) -kufur dan kampung halamannya Najd sebaai darul -Mukminin. Bahkan ia menjadikan Najd [Al-Yamaamah] sebagai "jantung" Saudi dan pusat ajaran Wahhabi. Pengikut Jamal Zarabozo mengatakan dalam biografi Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa "Al-Yamaamah [bukan Makkah atau Madinah] adalah jantung semenanjung dunia Arab ". Dalam usia ini mereka menyebutnya Riyadh dan masih mengklasifikasikan sebagai "ibu kota Saudi", sehingga ketidakpedulian mereka terhadap dua tempat suci jelas dapat dilihat pada titik ini.
2. Dengan kekuasaan yang dimilikinya dia tidak bertindak selazimnya penguasa [Qadhi] atau seorang ulama yang rendah hati. Muhammad Ibn Abdul Wahhab memberikan sikap sangat jelas bahwa siapapun yang dianggap menolak misinya berarti ia seorang kafir, hampir bisa dikatakan mereka telah berseberangan dengan Nabi Saw! Dia menginstruksikan kepada para pengkutnya sebagai "seorang mukmin baru" untuk menjadi saksi terhadap diri mereka bahwa mereka sebelum menjadi pengikutnya adalah kafir termasuk orang tua mereka juga terkategori sebagai orang kafir, kecuali jika mereka dapat dipastikan benar-benar sebagai seorang Wahabi tulen. Demikianlah vonisnya walaupun mereka itu sebelumnya telah menyatakan kesaksian atas keimanannya [yaitu pengucapan Shahaadah] "la ilaha illa Allah" - tidak ada Tuhan selain Allah! Muhmmad Ibnu Abdul Wahhab juga telah mengklaim dalam beberapa karyanya, bahwa pengucapan syahadat saja tidaklah cukup bagi seseorang untuk bisa masuk surga! Jika saja kelompok wahabi ini menemukan orang-orang muslim menolak panggilannya mereka akan memenggalnya di tempat. 
3. Dia memerintahkan pria dan wanita untuk mencukur rambut kepala mereka rambut tersebut dianggap sebagai "rambut kekufuran". Ini merupakan sebuah kesalahan pentafsiran tentang sebuah hadits yang berbicara tentang rambut di bawah ketiak dan bulu-bulu kelamin. Tindakan ini adalah tindakan unik dan nyeleneh dari ajarannya dan Nabi kita saw bersabda, "Tanda mereka (wahabi) adalah bahwa mereka akan mencukur kepala mereka.”
4. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menentang banyak hadits Nabi saw tentang pertempuran di Hijaz [yang Nabi sendiri telah melarangnya] namun Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk mengizinkan pembunuhan terhadap kaum Muslim, bahkan di sisi Ka'bah sekalipun.


Ini adalah di antara beberapa indikator klaim implisit kenabian/nubuwat. Para pengikutnya dalam seluruh karya kelompok Wahhabi terlihat jelas memberinya status nabi, seperti dalam buku “Kehidupan, Ajaran dan Pengaruh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab” ditulis oleh Jamal Zarabozo yang menyatakan dalam bab berjudul "Motivasi dibalik ini" adalah untuk "Membela kehormatan dan kebenaran agama mereka, Nabi mereka, dan saudara-saudara mereka".

Ini benar-benar mengacu pada kultus "Salafisme", "Salafi ‘Nabi’ Muhammad bin Abdul Wahhab!” Dalam salah satu terjemahan dari Mukhtasar Seerat ur-Rasul, pujian dan perhatian lebih banyak mereka berikan untuk memperkenalkan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dibanding dengan pujian dan perhatian yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw sendiri:
"Setelah universitas Islam Imam Muhammad bin Sa'ud memutuskan untuk mengadakan konferensi atas nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab [bukan atas nama Allah, atau Rasul-Nya], ia membentuk sebuah komite untuk mempersiapkan konferensi ini dan untuk memberikan konsep rinci untuk kemudian menerapkannya. Komite ini mulai bekerja dengan menegaskan kembali tujuan umum konferensi tersebut, yaitu untuk menginformasikan kepada orang-orang tentang Syekh [bukan Nabi Muhammad Saw, tetapi Syaikh] dan mengungkapkan kebenaran ajarannya [bukan ajaran Nabi Muhammad saw, tetapi dakwah Muhammad Ibn 'Abdul Wahhab]. Ada beberapa hal dapat dilihat dari pernyataan di atas;
1) Ini adalah buku yang seharusnya berbicara tentang biografi Nabi saw, namun entah bagaimana justru isinya berbicara tentang Muhammad bin Abdul Wahhab.
2) Ini benar-benar sebuah konferensi yang diselenggarakan bukan atas nama Allah atau Rasul-Nya saw), tetapi murni atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Apakah ini menandakan ketidakkonsistenan kelompok Wahabi dengan klaimnya, mereka akan dengan cepat menuduh kelompok lain berlaku syirik atau pengkultusan ketika mengadakan sebuah konferensi atau perayaan sejenis dengan atas nama seorang Syaikh Sufi, dll.
3) Sementara sebagian besar umat Islam di seluruh dunia terbiasa mengadakan konferensi seperti perayaan maulid Nabi saw dan berkumpul bersama untuk berbicara tentang sejarah kelahirannya dan lain sebagainya. kelompok Wahhabi akan memvonis kita secara amat cepat dengan vonis telah melakukan praktek bid'ah dan mengada-ada ajaran, namun anehnya mereka sendiri ternyata merayakan "Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selama satu minggu. Inilah bukti kemunafikan mereka.

Tujuan umum konfrensi tersebut seperti yang dapat terlihat dari paparan atas adalah tidak untuk mempromosikan dakwah Rasulullah Saw, tetapi secara khusus untuk mempromosikan dakwah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Selama dan ketika sosok Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menempati posisi otoritas doktrinal di hati para pengikutnya (kelompok Wahhabi), tindakan mereka sebenarnya melakukan sebuah pengkultusan juga, dan itu berarti sebuah agama baru. Salah satu orang yang sering berkunjung ke Hijaz - setelah melihat usia keemasan era Sunni - mencatat bahwa di sana telah muncul sebuah agama baru dengan kemunculannya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.


Kematiannya

Dia meninggal secara menyedihkan pada usia sembilan puluh dua tahun pada tahun 1792 Masehi dan dimakamkan di sebuah makam tak bertanda, tidak ada yang bisa mengunjunginya atau berdoa baginya, tidak ada pula ranting di atas kuburnya yang merupakan salah satu sunnah kenabian agar mendapatkan rahmat yang Allah. Mana mungkin kuburnya dikenal orang karena kemungkinan besar orang-orang telah menjadikan sebagai jalan menjadikannya tempat pilihan pembuangan unta. Hanya Allah yang tahu mana yang terbaik.


Catatan Penting

Pada saat kematiannya, ia melihat ajaran-ajarannya menyebar ke seluruh seluruh Najd dan ke sebagian besar wilayah al-Ahsaa. Ibnu Abdul Wahhab juga melihat tanda-tanda awal potensi para pemimpin Hijaz.

Kematiannya menyebabkan serangan brutal terhadap tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah di mana ulama ortodok banyak dihukum mati. Ini menunjukkan lagi bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya adalah sosok Khawaarij-Khawarij modern dan mereka melakukan Kharuj (pemberontakan) terhadap para amir dan Khalifah Hijaz saat itu. Ditambah lagi Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengizinkan berperang di sisi Ka'bah, padahal Nabi Saw dengan jelas mengatakan:
"Allah-lah dan bukan orang-orang yang telah menjadikan Mekah sebagai tempat suci. Jadi barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian (yaitu Islam) tidaklah diperkenankan menumpahkan darah di dalamnya dan tidak pula menebang pohon-pohonnya. Jika ada yang berpendapat pertempuran di Mekkah diperbolehkan sebagaimana Rasulullah Saw pernah melakukan pertarungan (di Mekkah), katakan kepadanya bahwa Allah telah memberikan izin untuk Rasul-Nya, tetapi Dia tidak memberikannya kepada Anda. Allah pun hanya mengizinkan saya untuk perperang selama beberapa jam saja pada hari itu (saat penaklukan Makkah) dan hari ini (sekarang) kesuciannya sama terjaga seperti sebelumnya. Jadi, adalah tugas mereka yang hadir untuk menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. "


Buku-buku Karyanya

Ada lebih dari tiga puluh buku yang telah ditulis, diantaranya:
1.Kitaab ut-Tauhid
2.Al-Ushul ul-Thalatha
3.Kashf abu-Shubahaat
4.Kitaab al-Kabaa'ir
5.Mukhtasar Seerat ur-Rasul Saw

Banyak buku Muhammad Ibnu Abdul Wahhab masih dalam bentuk manuskrip dan belum diterbitkan, apalagi diterjemahkan ke bahasa lain. Mereka semua mengungkapkan kesamaan keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dengan Khawaarij jika kita mau coba membaca teks ajaran teologinya. Dengan penjelasan di bab ini saja saya dapat menunjukkan bahwa kultus Wahhabi modern adalah bukti munculnya kelompok Khawwarij akhir zaman Khawwarij seperti telah dinubuatkan dalam hadits-hadis Rasulullah Saw. Namun tentunya mereka akan terus berusaha menutupinya dengan berbagai cara.
________________________________________________

Kelahiran Wahabi (Wahabi itu parasit akidah dalam Islam 1) 

Sekte Wahabi itu dibuat oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab Ibn Sulayman al-Najdi (1111—1206H). Setelah mendapatkan pendidikan agama dasar, ia mulai tertarik untuk membaca buku-buku yang berkenaan dengan para Nabi palsu seperti Musaylama al-Kadzab, Sajah al-Aswad al-An’si dan Tulaiha al-Assadi. Di awal masa sekolahnya, ayahnya dan juga para gurunya mulai sadar bahwa Ibn Abdul Wahab itu memiliki pemikiran yang menyimpang. Dan mereka mulai memperingatkan orang-orang agar hati-hati terhadap Ibn Abdul Wahab ini. Mereka seringkali berkata memperingatkan:
“Orang ini bakalan tersesat dan ia akan menyesatkan orang-orang”
Di tahun 1143H, Ibn Abdul Wahab mulain mengajak orang-orang di Najd untuk mengikuti ajarannya. Akan tetapi hal ini mendapatkan perhatian dari ayahnya dan para gurunya yang kemudian menentangnya secara terang-terangan. Mereka menentang setiap gagasan yang digagas oleh Ibn Abdul Wahab itu. Oleh karena itu, ajaran dari Ibn Abdul Wahab ini tidak tersebar luas sampai ayahnya meninggal dunia 10 tahun kemudian.

Setelah ayahnya meninggal, Ibn Abdul Wahab mulai kembali mendakwahkan ajaran menyimpangnya itu kepada sekelompok kecil orang-orang desa yang tidak berpendidikan. Mereka kemudian mengikuti langkah dari Ibn Abdul Wahab ini. Akan tetapi kebanyakan dari orang-orang desa itu cukup cerdas untuk tidak mengikuti ajaran Ibn Abdul Wahab ini. Mereka kemudian marah dan mencoba untuk membunuh Ibn Abdul Wahab. Akhirnya Ibn Abdul Wahab melarikan diri ke sebuah kota kecil bernama Uyayna dimana di sana ia mendapatkan perlindungan dari seorang penguasa yang menyukainya. Kemudian penguasa itu menikahkan dirinya dengan saudarinya. Ibn Abdul Wahab tinggal di sana dan mendakwahkan ajaran-ajaran barunya hingga kemudian kembali menimbulkan kemarahan orang-orang. Ia untuk kedua kalinya diusir. Ia kabur ke kota al-Daria yang terletak di sebelah timur kota Najd. Ia akhirnya menemukan tempat perlindungan yang permanen. Tempat di mana ia bisa hidup dengan damai ialah tempat yang sama yang pernah ditinggali oleh seorang Nabi palsu bernama Musaylama al-Kadzab; sekaligus menjadi tempat dari orang-orang murtad (rada) setelah wafatnya Rasulullah (saww). Gagasan liar dari Ibn Abdul Wahab mendapatkan tanah yang subur di kota al-Daria. Ajarannya diterima dengan baik di tempat dimana orang-orang murtad berkumpul dan tumbur subur setelah kepergian Rasulullah (saww). Penguasa di kota itu bernama Muhammad Ibn Saud dan ia memaksa orang-orang untuk mengikuti ajaran baru dari Ibn Abdul Wahab. Akhirnya hampir semua penduduk kota al-Daria menjadi pengikut Ibn Abdul Wahab.
Pada saat itu Ibn Abdul Wahab bertingkah seolah-olah dirinya itu telah memiliki hak mutlak atas setiap ijtihad. Pada kenyataannya, sebenarnya Ibn Abdul Wahab itu tidak memiliki syarat-syarat dasar yang membuatnya mampu untuk berijtihad atau paling tidak dianggap mampu untuk berijtihad. Saudaranya yang bernama Sulayman—yang tentu saja mengenal Ibn Abdul Wahab secara dekat—menulis sebuah buku yang menentang setiap pendapat saudaranya itu dan menjelaskan dimana letak kesalahannya itu secara rinci. Dalam bukunya ia menyimpulkan ciri-ciri paham Wahabi ini dengan para pengikut setianya sebagai berikut: (LIHAT: 1. Sulaiman ibn Abdul Wahab, Al-Ra'd ala al-Wahabia, p. 7; Ibid., Fitnat al-Wahabia, p. 5; Mahmoud Shukri al-Aloosi, Al-Sawa'ik al-Ilahiafi al- Ra'd ala al-Wahabia.)

“Pada saat ini orang-orang telah terjangkiti wabah oleh seseorang yang mengaku sebagai orang yang mengikuti Al-Qur’an dan al-Sunna serta berani mengambil kesimpulan dari ajaran-ajaran yang ada di dalamnya tanpa peduli dengan orang-orang yang bertentangan dengan dirinya. Karena siapapun yang berani menentangnya, maka ia akan disebut olehnya sebaga orang sesat dan menyesatkan padahal dia itu tidak memiliki persyaratan apapun untuk menjadi seorang mujtahid—dan, demi Allah, aku bersumpah bahwa ia tidak memiliki persyaratan bahwa sepersepuluh-pun ia tidak punya. Walaupun begitu, ajaran-ajarannya telah menarik banyak orang-orang yang dungu. Kepada Allah kita semua akan kembali”

Dalam kitab Khawathir Haula Al-Wahabiyah oleh Muhammad Ismail Muqaddam Hal. 30-31 dijelaskan sbb:

مـــن قـلــــب الجــزيــــرة العـــربـيـــــة ومــــن نــجـــد (1) ومـــن العــيــيـّنــــة (2) تـحـديــدا انطلقـــــت الدعـــــوة الـوهـابـيـــــة الدعـــــوة الــتى علــى أســـــاسها قــــامت الـدولــــة السعـــوديــــة ولا تزال قائمة الى حد اليوم، فـــي تلـــك المـنــطــقـة القــاحلــة ومــن تـلـك المـــارة البـــدويـــة انبلــج صــــوت المصـــــلح الديـنـــــي – إن صـــحّ التـعبـيـــــر – محمــــد بــــن عبــــد الـوهـــاب (3)
(1) نجـــد : معنــــاها الـرض المــرتفـعـــة وهـــو إســـم يطلـــق علـــى المـنطـقـــة الوسطـــى مـــن شــبه الجــزيـــرة العــربــيــة وهو أكبر قسم في وسط هذه الجزيرة .حدود نجد غير معروفة تماما لدى الجغرافيين العرب القدماء لذلك كثرت فيها القوال وتعددت الراء ولكن حدودها التقريبية هي كالتي شمال : جبل شمّر وغربا : الحجاز وجنوبا الربع الخالي وشرقا : الدهناء والحساء ( حسين الشيخ خزعل، تاريخ الجزيرة في عصر الشيخ محمد بن عبد الوهاب ، بيروت ، دار الطليعة ، دون تاريخ ، الجزء الول ، ص13)
(2) العيّينة:أحد بلدان العارض في الشمال وهي بلدة الشيخ محمد بن عبد الوهاب ومسقط رأسه.( النهضة الولى للدعوة الوهابية حسين الشيخ خزعل، تاريخ الجزيرة، مرجع سلف ذكره ، ص15
(3)محمد بن عبد الوهاب (1792-1703) ينتمي محمد بن عبد الوهاب إلى بني سنان و هم فرع من تميم.ولد في العيينـة، رأى النـور فـي بيـت عمـاده العلـم و اليمـان ،جـده الشـيخ سـليمان آل مشـرف كـان مـن أعلـم علمـاء نجـد فـي زمـانه و كـانت لـه اليـد الطـولى فـي فقـه المـذهب الحنبلـي و إليـه انتهـت الرئاسـة الدينيـة فـي نجـد تـولى القضـاء بالعيينة، ووالد الشيخ عبد الوهاب بن سليمان كان عالما جليل القدر فقيها على مذهب المام أحمد بن حنبل و له معرفـة واسـعة فـي الحـديث و التفسـير و غيرهمـا مـن العلـوم الدينيـة الـخرى ،درس محمـد بـن عبـد الوهـاب فـي المدينة المنورة على يد الشيخ سليمان الكردي و الشيخ محمد حياة السندي .قضى فترة من حياته رحالة فقد عاش أربع سنوات في البصرة و قضى خمس سنوات في بغداد و قضى عاما في كردستان و عامين في همدان ثم اتجه إلــى أصــفهان و درس هنــاك –كمــا يقــال- لمــدة أربــع ســنوات فلســفة أرســطو و الشراقية و الصوفية ثم إتجه إلى “قــــم” و بعد هذا التطواف ارتاح إلى مذهب أحمد بن حنبل فغدا من أكبر المـدافعين عنـه و المتحمسـين لـه فعـاد إلـى العيينـة ثـم راح يـدعو النـاس إلـى مـا يعتقـد أنـه الفكـر الـديني الحــــــــــــق و ظهرت أفكاره التي يدعو إليها =الزعامـة الدينيـة لـبن عبـد الوهـاب و الزعامـة السياسـية لـبن سـعود

Dari jantung semenanjung Arab, dari Najd (1) dan dari ‘Uyainah awal munculnya dakwah Wahhabiyah. Dakwah atas dasar berdirinya negara Saudi dan masih bertahan sampai batas saat ini, di daerah gersang orang-orang badui ini menggemalah suara pembaharu dalam agama (sehingga bisa dikatakan sebagai ajaran) Muhammad ibn Abd al-Wahhab (3)

1) Najd: Artinya dataran tanah yg tinggi, yakni nama yang diberikan untuk daerah pusat semenanjung Arab dan adalah bagian terbesar di tengah pulau ini. Batasan Najd tidak dikenal dengan peta geografi Arab kuno. Karena mengenahi Najd itu beragam pendapat, tetapi batas perkiraan seperti batas Utara: Gunung adas dan barat: Hijaz Dan sebelah selatan seperempat kosong dan timur: Ad-Dahna’ dan Al-Ihsa’ (Hussein Sheikh Khazal, sejarah pulau di era Sheikh Mohammed bin Abdul Wahab, Beirut, Dar Ath-Tholi’ah, tanpa tahun, juz 1, hal. 13)
2) Uyainah: Salah satu negeri dari negara-negara utara, kota Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kampung halamannya. (Hussein Sheikh Khazal, sejarah pulau, referensi tersebut di atas, hal 15)
3) Muhammad bin Abul Wahhab (1703-1792). Wilayah Muhammad bin Abul Wahhab sampai Bani Sinan merupakan cabang dari Tamim. Dilahirkan di Uyainah, terlihat cahaya di dalam rumah kehebatannya akan ilmu dan keimanan, kakeknya bernama Sheikh Sulaiman, keluarga terhormat dan merupakan ulama yg paling cerdas di Najd pada zamannya. Adalah dia sebagai penerus mazhab Hanbali dan padanya diserahkan kepemimpin agama di Najd yang berkedudukan di Uyainah, dan ayah dari Syekh Abdul Wahab bin Sulaiman adalah ulama besar, cendikiawan, ahli hukum dengan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, dan pengetahuannya yang luas tentang ilmu hadits, tafsir dan selain dari keduanya dari ilmu-ilmu keagamaan yang lain. Muhammad ibn Abd al-Wahhab belajar di Madinah pada Sheikh Sulaiman Al-Kurdi dan Syekh Muhammad Hayat Al-Sindi. Dia menghabiskan masa perjalanan hidupnya. empat tahun hidup di Basra dan menghabiskan lima tahun di Baghdad dan menghabiskan setahun di Kurdistan dan dua tahun di Hamedan kemudian hidupkan ke Isfahan dan belajar di sana – seperti yang mereka katakan – untuk jangka waktu empat tahun filsafat barat dan sufisme kemudian beralih ke “pergerakan pembaharuan” dan setelah itu dia berlabuh ke madzhab Ahmad bin Hanbal, maka jadilah seorang pembela (madzhab) terbesar dan pembaharu kemudian kembali ke Uyainah, kemudian mengklaim dan mengajak orang-orang untuk percaya dengan apa yg diyakininya bahwa pemikiran keagamaannya itu yg benar dan muncul ide-ide yang di dakwahkannya. Maka diasumsikan bahwa agama Muhammad bin Abdul Wahhab didasari oleh politik kepemimpinan Ibnu Saud

Gambar Fitnah Wahabi Di Facebook



Gambar screenshot ini akan di bahas selanjudnya di lain kesempatan Insya Allah...

_____________________________________________

Tanduk yang di mamsud disini bermakna sifat watak atau karakter,.singkatnya Wahabi bagi admin adalah kelompok manusia yang berkarakter syetan, dan ulama palestinpun mengatakan bahwa ajaran wahabi merupakan ajaran setan, ucapan ulama mesir ini bukan berarti bahwa ajaran wahabi itu di ambil langsung dari setan tanpa perantara tapi ajaran wahabi di bentuk dan di tafsirkan oleh manusia yang berkarakter setan (setanisme) lalu kemudian melahirkan manusia-manusia bersifat setan dan berdakwa dengan cara setan (menfitnah), menyebarkan berita dusta ajaran di luar kelompoknya yang mereka tidak paham kecuali menafsirkan paham orang lain secara salah dan membabi buta, memaksakan konsepsinya tentang ajaran lain dengan mengatakan ini lah agama si fulan , salah memahami ajaran lain plus mengarang ajaran agama lain lalu mengatakan ini keyakinan si fulan, selalu menjelekkan ulama lain dengan mengatakan ulama itu begini dan begitu padahal dalam kitab asli mereka tidak seperti demikian , mereka tahu karena interksi ajaran sehari-hari.

Contoh

Ada orang mengatakan bahwa orang yang sholat di kubur atau mensyiarahi kubur adalah penyemba mayat, padahal yang bersangkutan bukan menyembah mayat, ada orang mencium batu ajaratul aswad dikatakan penyembah batu .

Kami tambahkan lagi contoh lain agar dapat di mengertu;

Kaum wahabi yang para tokohnya memalsukan kitab kelompok lain (Syi’ah) lalu generasinya (pengikutnya) mendakwakan bahwa ini lah hakikat syi’ah padahal yang dia dakwakan adalah kitab palsu aliran bersangkutan yang mereka palsukan. Bisa lihat kasus-kasusnya disini  (https://salafytobat.wordpress.com/category/wahabi-memalsukan-kitab-ulama-sunni-salaf/) dan disini (https://salafytobat.wordpress.com/category/bukti-scanned-kitab-kejahatan-wahabi-memalsukan-kitab-imam-ahlusunnah-part-1/) , parahnya disini (http://googleweblight.com/?lite_url=http://linkclubs.blogspot.com/2014/10/link-pemalsuan-kitab-oleh-wahabi.html?m%3D1&ei=-Y9B-Fb7&lc=en-ID&s=1&m=471&host=www.google.co.id&ts=1461168312&sig=APY536w8A94msYOBhWyqpydaFJrY14WGBA). Juga disini (Baca: Pemalsuan Kitab Syiah: Kasyful Asrar)

. Dan masih banyak lagi yang tak perlu di ungkit disini.
_________________________________________

Pemalsuan Kitab Syiah: Kasyful Asrar

Wahabi salah satu aliran pemikiran fundamentalis yang awalnya di munculkan dan di motori oleh Abdullah Bin Wahab, Nampaknya Abdullah bin Wahab berhasil dalam membangun sebuah kerangka pemikiran yang cenderung materealistik dan fundamentalis. kalau boleh saya mengatakan ini gerakan "Fundamentalsm Materealism".

Dalam perjalanan gerakan wahabi nampaknya mempunyai gerakkan memalsukan kitab-kita yang bertentangan dengan pemikiran Abdullah Bin wahab. Mari kita lihat pada artikel di bawah
Pemalsuan kitab-kitab Syiah, bagi tujuan mendiskreditkan Mazhab ini dan para penganutnya, bukanlah satu agenda baru dikalangan musuh-musuh Islam. Malah ia adalah satu gerakan dirancang pihak musuh Islam, di motori oleh CIA dan Mossad serta anak angkat mereka, puak Wahabi.
*****
Pemalsuan Kitab Syiah: Kasyful Asrar

Salam alaikum. Bismihi Taala. 

Pemalsuan kitab-kitab Syiah, bagi tujuan mendiskreditkan Mazhab ini dan para penganutnya, bukanlah satu agenda baru dikalangan musuh-musuh Islam. Malah ia adalah satu gerakan terancang pihak musuh Islam, di dalangi oleh CIA dan Mossad serta anak angkat mereka, puak Wahabi. Antara kitab yang mereka palsukan, adalah karangan Imam Khomeini(rh), Kasyful Asrar, yang sejak kebelakangan ini, kerap menjadi hujah puak Nasibi bagi membuktikan kesesatan Syiah.

Posting dan Komen Para Nasibi 

Sekarang mari kita lihat antara posting dan komen yang saya terima di web ini, dan yang berlegar di dunia maya, yang dikatakan bersumber dari Kitab Kasyful Asrar berkaitan para Sahabat Nabi(sawa), Al Qur’anul Karim dan terhadap Imam- Imam Ahlulbayt(as):

1. Mereka (para sahabat Nabi) tiada lain hanya dunia yang mereka cari dan haus kekuasaan yang menjadi motif mereka dan bukanlah Al Qur’an semata-mata sebagai alat untuk mewujudkan niat-niat mereka yang buruk dan dengan mudah membuat mereka membuang ayat-ayat itu dari Al Qur’an dan juga membuat mereka mengubah-ubah dan menghilangkannya, sehingga kehinaan terhadap Al Qur’an dan kaum Muslimin dapat berlanjutan hingga Hari Kiamat. Tuduhan (perubahan kitab Taurat dan Injil) yang mereka (kaum Muslimin) tuduhkan kepada Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya telah menjadi satu ketetapan atas mereka (kaum Muslimin) sendiri. (Kasyful Asrar, Al-Khumaini, hlm 114).

Demikianlah, dengan tegas Khomeini menyatakan kepercayaannya, bahawa sahabat-sahabat Nabi itu durhaka dan jahat, yang tujuan mereka hanya mencari dunia dan gilakan kekuasaan sehingga mengubah-ubah Al Qur’an dan membuang banyak ayatnya, yang mengakibatkan hilangnya Qur’an yang asli untuk selama-lamanya. Malah Khomeini membela Yahudi dan Nashara dan mengatakan, bukan Taurat dan Injil sahaja yang telah berubah, tidak terkecuali Al Qur’an juga turut diubah oleh para Sahabat Nabi, demikianlah kenyataan Khomeini. Sesudah membaca tulisannya, adakah masih wujud sesuatu keraguan lagi bahawa apa yang dikatakan Khomeini itu adalah “kesesatan dan kekafiran yang nyata ?”

Selanjutnya mereka mempersembahkan pula pandangan Imam Khomeini terhadap Rasulullah(sawa).

2. Dan telah menjadi nyata, sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan perintah mengenai “IMAMAH” sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan berdaya upaya untuk hal itu, niscaya tidak akan timbul di negeri-negeri Islam semua perselisihan, pertengkaran dan peperangan itu, dan tidak akan timbul pertentangan dalam pokok agama mahupun cabangnya.(Kasyful Asrar, hlm.155).
Tuduhan Imam Khomeini berdusta atas nama Allah :
3. Dengan Imamah-lah agama menjadi lengkap dan misi menjadi sempurna. (Kasyful Asrar, hlm.145).

Padahal Allah berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Ertinya :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al-Maidah, ayat 3).


Pemalsuan Kitab Kasyful Asrar Karya Imam Khomaini 

Menanggapi tulisan-tulisan ini, saya tertanya-tanya samada mereka yang mengedar dan mempostkan bahan ini membaca dengan sendiri kitab karya Imam Khomaini atau mereka hanya copy paste secara buta dari suatu tempat yang lain.

Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khomaini 

Kitab ini ditulis untuk menanggapi buku berjudul Asrar Umruha alfu ‘Am, buku ini ditemukan telah dipalsukan oleh kelompok konspirasi (yang sudah saya sebutkan diatas) dan buku palsu ini telah dimanfaatkan secara sempurna oleh kelompok konspirasi untuk menyerang Imam Khomaini dan Syi’ah diantaranya kemudian diterbitkan buku berjudul Ma’al ‘Khomaini fi kasyfi Asrarihi karya Dr Ahmad Kamal , Sa’id Hawwa juga menulis buku berjudul Al Fitnat-ul Khumayniyah(diterbitkan pula ke bahasa Indonesia). Sa’id Hawwa juga bekerjasama dengan Dr Abdul Mun’im Namer serta organisasi Konferensi Islam Rakyat Iraq menerbitkan buku berjudul Fadhlalh Ul Khumainiyah .
Maha suci Allah, konspirasi tersebut akhirnya terbongkar dan yang membongkarnya bukanlah orang lain, melainkan dari kalangan Ahlu Sunnah sendiri, Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, seorang professor dan Pengarah bahagian bahasa dan sastera timur Universiti Kaherah, yang berjaya menyelesaikan tindakan jenayah kelompok konspirasi ini. Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata kemudian melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki nama baik Ahlu Sunnah.

Penemuan beliau di antaranya : Kitab Kasyful Asrar dipalsukan di Jordan oleh penerbit bernama Dar Ammar It Thaba’an wa-n ‘Nasr. Buku ini dikatakan diterjemah oleh Dr. Muhammad al Bandari yang ternyata setelah diteliti nama ini tidak wujud. Kemudian tercantum pula nama Sulaim al Hilali (komentator) dan terakhir Prof Dr Muhammad Ammad al Khatib. Buku ini telah dipalsukan dari karya aslinya dengan begitu buruknya, untuk mengetahui bagaimana kelompok konspirasi ini memalsukan kitab Imam Khomaini tersebut silahkan membaca di Kasyful Asrar Bayna if shlihi al farisy wat tarjamah al urdaniyah karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, dalam kitab itu Dr Dasuki sata menjelaskan secara detail per kata pemalsuan kelompok Ahlu Sunnah pro konspirasi.

Pada kesempatan ini,saya akan menyajikan tulisan Dr Ibrahim ad Dasuki Syata yang membongkar kejahatan terhadap karya Imam Khomaini Kasyful Asyrar. Tulisan ini diambil seluruhnya dari buku yang sudah dialih Bahasa ke bahasa Indonesia yang berjudl KASYFUL ASRAR KHOMAEINI antara bahasa Arab dan Bahasa Parsi karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Diterbitkan oleh Yayasan As Sajjad Jakarta.


Bantahan Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Atas Pemalsuan Kasyful Asrar Khomeini 

Teks Surat Tuntutan 

Kepada
Al Ustadz Dr Sa’ad Muhammad Al Hajarsy

Assalamu’alaikum Wr Wb

Saya tidak bermaksud untuk anda lebih mengutamakan surat ini sahaja, saya bermaksud membicarakan tentang buku Kasyful Asrar, karya Ayatullah Khomeini yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Jordan pada tahun 1987. Untuk pembahasan ini saya mempercayai kepada anda kerana saya tidak yakin bahawa selain anda ada majalah lain, yang saya percaya mampu untuk menerbitkan seaslinya, tanpa pengurangan atau perubahan, sedikit mahupun banyak.

Kepada anda, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan sebelumnya atas apa yang saya harapkan dan saya percaya tentang pentingya surat ini. Barangkali belum ada sebuah buku dalam beberapa tahun terakhir yang begitu membuat heboh sebagaimana buku terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, buku tersebut adalah “Kasyful Asrar” karya Ayatullah Khomeini yang diterbitkan oleh Dar Ammar Lin Nasyr wat Tauzi’ di Amman tahun 1987.

Buku terjemahan itu di mukaddimahi oleh seorang sarjana besar hukum Islam, yang bernama Ahmad Al Khathib, dalam prakata bukunya beliau menulis, (bahwa syiah) berdasarkan ucapan Khomeini meyakini tentang langgengnya jiwa setelah kemusnahan jasad, yang ini merupakan suatu kepercayaan tentang kehidupan semula (incarnation) roh, dan menafikan akan suatu pengingkaran terhadap hari kebangkitan dan hisab, bahawa ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum Syiah telah membuat mereka menjadi musyrik dan kecintaanya kepada Ahlul Bayt adalah suatu penghancuran terhadap Tauhid, bahawa Ayatullah Khomeini yang meninggal pada tahun 1989 itu adalah orang pertama yang mengeluarkan pendapat tentang Al Bada.

Sesungguhnya permasalahan keyakinan Syi’ah itu sudah menjadi pembicaraan tersendiri, masing-masing golongan Islam seperti Syiah, Sunni, Mu’tazilah, Murjiah dan Qadariyah sudah banyak diketahui. Siapapun orangnya – tidak seharusnya seorang guru syariah – dapat dengan mudah menhukum prinsip-prinsip masing-masing cukup hanya dengan membuka sebuah buku eksiklopedia ilmu kalam karya Syahrastani, atau Ibnu Hazm, atau al Baghdadi atau Al Asy’ari untuk menelaah sejarah permasalahan itu.

Sayang sekali, Ahmad Al Khathib telah menafsirkan kata-kata dengan bersandar pada terjemahan yang salah, ia menyandarkan pada terjemahan yang tidak sesuai aslinya, yang menyebutkan bahawa Imam Khomeini telah mencaci maki sahabat dan Rasul. Meskipun buku terjemahan yang keliru ini diberi komentar oleh seorang Ustaz Syari’ah, maka kita harus menyatakan, tidak ikut campur dan mengikuti cara-caranya yang kurang sopan.

Sepanjang pengamatan saya, buku terjemahan itu telah mendapat tanggapan dari orang-orang yang saya katakan ” tidak penting”, mereka bermaksud untuk merobohkan Islam (Syiah) dengan cara menjatuhkan pemikiran Ayatullah Khomeini, kerana sudah tidak mungkin menjatuhkan Khomeini, lantaran orang itu sekarang telah menghadap Tuhannya. Asas persoalanya di sini sebetulnya adalah persoalan ilmiah, yakni pemalsuan penterjemahan, yang sudah tentu memerlukan penuntut umum , dan persoalan ini bukan masalah perbezaan sejarah, tetapi masalah pemalsuan, oleh kerana itu yang diperlukan adalah seorang jaksa saja, untuk menuntut kes pemalsuan atas Kasyful Asrar Khomeini.

Oleh kerena buku terjemahan ini telah menjadi sumber perpecahan yang menjurus konflik, atas sebab buku terjemahan itu telah memancing orang berteriak-teriak mengutuk Revolusi Islam Iran dan pemimpinnya, dan seterusnya menjadi sumber untuk menghakimi Khomeini, beberapa buku telah diterbitkan untuk merespon buku yang dipalsukan itu, antara lain : Ma’al Khomaini Fi Kasyfi Asrarihi oleh Dr Ahmad Kamal Sya’st, “At Finat-Ul Khumainiyah oleh Sa’id Hawwa dan enam artikel yang berbeda-beda yang ditulis oleh pemikir Islam dibawah pimpinan Dr Bisyar Ma’ruf dalam buku yang berjudul Fadhlaih-Ul Khumainiyah, yang kemudian diterbitkan oleh Organisasi Konfrensi Islam Rakyat Iraq.

Yang mendorong saya untuk membahas masalah ini adalah artikel yang diterbitkan oleh sebuah surat khabar (edisi Februari 1989) yang ditulis oleh Abdul Mun’im Namer, ketika dunia Islam seluruhnya merasa terhina oleh kekurang ajaran Salman Ruhsdi yang mengigaukan penghinaan terhadap Islam, Qur’an dan Nabi SAWW dalam bukunya (Ayat-Ayat Setan). Tiba-tiba Dr Namer datang sambil menuntut agar kecaman terhadap Salam Rushdi dikurangi, dan ia meminta agar umat Islam mengalihkan sebahagian kemarahannya kepada Ayatullah Khomeini, karena Khomeini dalam bukunya “Kasyful Asrar” itu telah mencaci maki sahabat Nabi beberapa kali lipat lebih banyak daripada yang dilakukan Salman Rushdi, dan ia memberikan gelaran kepada Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Dua berhala Qurasy”.

Saya masih mampu untuk mengingati, saat saya mempersiapkan buku ” Revolusi Iran : Akar-akar dan Idiologinya”, saya membaca buku asli Kasyful Asrar yang masih dalam bahasa Parsi, saya tidak pernah membaca pembohongan sebagaimana yang disebutkan oleh Dr Abdul Mun”im Namer. Untuk memastikan, saya merujuk kembali pada buku itu, dan ternyata tidak saya dapati teks yang telah mengundang kemarahan penulis buku itu. Akhirnya, dalam hati saya katakan, kalau begitu, sumber permasalahan ini menjadi tanggungjawab penuh penerjemah dari bahasa Parsi ke bahasa Arab.

Setelah melakukan penelitian pada buku terjemahan yang berbahasa Arab dan membandingkan dengan buku aslinya yang berbahasa Parsi, saya telah dapat mengungkap rahsia pemalsuan buku terjemahan Arab itu, yakni :
1. Saya dapatkan dari Profesor syari’ah itu sendiri, yang kata-katanya tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan sejarah Islam
2. Saya dapatkan tulisan-tulisan baru, yang tidak pernah ada dalam buku-buku dan buku aslinya.

Dalam buku itu, saya dapati seorang pemberi catatan pinggir – bernama Sulaim Al Hilaly – ia telah menganggap Abu Ali Ibnu Sina (Ibnu Sina-pen), sebagai bukan seorang muslim, ia menuduh Ibnu Sina sebagai “Mulhid” (ataeis), qaramithah dan kebatinan (Kasyful Asrar terjemahan Bahasa Arab yang di palsukan halaman 17).. betapa anehnya pernyataan ini, bukankah di zaman kita ini nama-nama pengajian tinggi dan metodologi pendidikan tinggi kita diambil dari beliau ? Bukankah ini adlah tuduhan tanpa realiti sejarah yang dilakukan oleh penama tersebut yakni Sulaim al Hilaly?
Sulaim al Hilaly penulis nota kaku itu telah memberi catatan pada Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan itu dengan cacian dan kata-kata kotor yang ditujukan kepada pengarang buku itu Ayatullah Khomeini, ia menuliskan Khomeini sebagai Mulhid, kebatinan, pembohong, pendengki dan fanatik Parsi. Padahal Khomeini tidak pernah menuliskan tulisan sebagaimana yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, sepenuhnya tulisan bahasa Arab itu menjadi tanggungan penerjemah yang telah memalsukanya.

Kejahatan penerjemah bahasa Arab tersebut terjadi, di saat Khomeini menuliskan penjelasan pada pembaca bahawa bukunya ditulis dalam bahasa Parsi (Farisiyah) – kata Farisiyah jika diterjemahkan bererti Bahasa Parsi - tetapi oleh penterjemah Arab dirubah menjadi “Furs” yang berarti Bangsa Parsi, lalu si penulis nota kaki itu mencacinya sebagai pengobar fanatik Persia dan ia menentangnya sambil memberi nama Khomeini sebagai yang punya wahyu-wahyu syetan dan si pandir.

Dalam buku Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab dalam setiap halamanya dipenuhi caci maki semacam itu… ini bukan tanpa kesengajaan, kerana dalam setiap lembaran buku itu tersedia bahwan terjemahan yang di palsukan sehingga memberikan bahan untuk mencaci maki penulisnya (Ayatullah Khomeini), sebagai contohnya adalah pada halaman 59 (Kasyful Asrar berbahasa Arab yang di palsukan), Khomeini ketika menjelaskan tentang syahid ia menuliskan ” Wa dhaha bi kulli wujudihi fi sabilillahi” (dan ia telah mengorbankan semua yang ada di jalan Allah) kemudian oleh penerjemah berbahasa Arab di palsukan sehingga berbunyi “Wa Khasaro ruhahu min ajlillahi ta’ala” (dan ia telah merugikan rohnya lantaran Allah Ta’ala). Kemudian komentator menentangnya dengan melancarkan caci maki terhadap Khomeini lantaran beliau memandang syahid itu sebagai merugikan rohnya.
Penerjemah Arab dengan jahat menterjemahkan “Markaz Tasyayyu” yang tertera dengan bahasa parsi yang bererti pusat pengajian Syiah, diputarbalikan ertinya dengan kata mamlaka as syi’ah al kubra yang ertinya Kerajaan Syi’ah Raya (lihat di halaman 90 Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan) kemudian komentator nota kaki menentang Khomeini dengan mengatakan : Kaum muslimin seluruh dunia harus mewaspadai Khomeinisme yang tersembunyi di balik baris-baris buku ini”

Penerjemah Arab dengan jahat menciptakan permusuhan dengan cara membelokan ertinya, Khomeini menuliskan dalam bukunya “an Thariqi al Umum” yang ertinya dengan cara yang umum yakni pada umumnya atau menurut semua muhaddisin, tetapi penerjemah Arab merubah dengan “an Thariqil ahlul ammah” (menurut jalan Ahlu Sunnah) pemberi catatan pinggir mengatakan bahwa wa yang dimaksud dengan Ammah itu adalah Ahlu sunnah, dan Khomeini telah menghina Ahlu Sunnah. Padahal dalam buku aslinya Khomaini tidak pernah menyebut Ahlu Sunnah apalagi menghinanya.
Pemberi nota kaki itu kadang-kadang menerangkan – sekalipun ia sudah terlalu jelas bodohnya – bahawa beliau merasa lebih mampu memahami keterangan-keterangan daripada pengarangnya sendiri, lalu ia memberi komen keterangan pengarangya tentang sebuah hadis Syi’ah, dengan mengatakan “Riwayat yang sudah gugur ini tidak bererti telah diakui oleh Khomeini” (lihat kasyful Asrar terjemahan bahasa arab yang dipalsukan halaman 92).

Atau kadang ia mengatakan : Semoga Allah tidak memecahkan giginya dalam mendefinisikan tentang Al Bada’, dan si penerjemah memalsukan definisi Al ba’da dengan erti yang tidak pernah tercantum dalam kitab-kitab ilmu kalam dan kemudian dinyatakan itu sebagai pernyataan Khomeini. (Al Bada’ ialah bahwa Allah mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia ketahui) halaman 99, dan contoh pemalsuan yang kemudian dinyatakan sebagai pernyataan Khomeini sangat banyak dan tidak mungkin disebutkan semuanya dalam tulisan ini.

Kini kita kembali membicarakan penerjemah, yang akan memikul beban besar pekerjaan ini, yakni Dr. Muhammad Al bandari, dan kemungkinan namanya itu nama alias yang tentu saja menyandang gelaran Doktor. Tetapi bukan doktor pakar dalam bahasa Parsi dan ilmu-ilmu bahasa Parsi, kerana pengetahuan si penerjemah itu hanya mengetahui bahasa lisan saja. Nama Al Bandari yang dipakai penerjemah itu saya sebut nama alias, mungkin untuk meyakinkan kepada pembacanya, kerana nama al Bandari dipinjam dari seorang tokoh besar ahli Bahasa Parsi Al Fath bin Ali Al Bandari penerjemah Syahnameh Al Firdausi ke dalam bahasa Arab pada permulaan abad ke tujuh Hijriah.
Saya tidak mampu mengerti, mengapa ia menggunakan nama samaran bersamaan tokoh besar itu? Bagaimanapun buku ini ditulis oleh seorang alim terkemuka dalam suasana tertentu, buku Kasyful Asrar ini ditulis untuk membantah dan menangkis buku-buku tertentu dan menggunakan istilah tertentu pula, yang menghairankan penerjemah yang bernama hebat ini, tidak mengetahui sedikitpun tentang masalah itu, ini menunjukkan sebagai bukti bahawa terjemahan Kasiful Asrar itu sebagai terjemahan keterlaluan dan penerjemah tidak memiliki pemahaman terhadap yang diterjemahkan baik dari segi permasalahannya mahupun keseluruhan tulisannya. Ada kemungkinan hal ini menjadi penyebab lemah dan bekunya teks bahasa Arab itu sehubungan dengan revolusi yang hebat itu dan dalam segi-segi teks bahasa yang sedang tersiar.

Buku Kasyful Arar ini telah ditulis oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1942, ketika beliau berusia empat puluh tahun, dan belum mencapai kedudukan sebagai mujtahid dan setelah Shah Reza Pahlevi jatuh, maka mulalah tempoh keterbukaan di negera Iran, maka seorang penganjur nasionalisme Iran memanfaatkan masa itu untuk menyerang Islam. Maka Khomeini menulis bukunya untuk menangkis tulisan-tulisan Ahmad Kisrawi, seorang nasionalis Iran, yang menyerukan secara terbuka agar bangsa Iran kembali ke bahasa dan agama Iran sebelum Islam. Buku Kasyful Asrar itu juga sebagai tangkisan tulisan Syai’at Sankalji seorang penganjur pembaharuan madzhab, dan seorang yang bernama Abil Fazl Galpaigani al Bahaiy dan pengikutnya yang menyerang Syiah Istna ‘Asyariyah
Oleh karena fahaman Wahabi pada waktu itu telah merosakkan peninggalan bersejarah Islam, dengan memusnahkan peninggalan-peninggalan Islam dan menuduh peninggalan itu sebagai kuburan. Wahabi juga menyerang dan menggoncangkan Al Azharus Syarif, ketika rombongan utusan Al Azhar dibawah pimpinan rektornya datang kepada Wahabi di tolak kerana dituduh pemuja kuburan. Kaum Wahabi merasa buku Kasyful Asrar yang ditulis Khomeini ditujukan kepada mereka, padahal buku itu hanya membahas tajuk Ziarah Kubur, Nazar, Istikharah dan syafaat buku itu hanya sekali sahaja.
Badan yang menyelenggarakan projek terjemahan ini juga tidak mengetahui latar belakang teks aslinya oleh kerana komentator itu bersifat serampang dalam memberikan alasan untuk mengkafirkan Khomeini. Dan penerjemah itu sendiri yang memikul beban dosa paling banyak.

Pernahkan anda mendengar tentang seorang penerjemah yang menampilkan terjemahan suatu naskah dalam bidang kelilmuan yang tidak dikuasainya, atau melakukan suatu kesalahan kecil dengan mengganti istilah, “riwayah” iaitu istilah fiqh diganti dengan “hikayah”? (halaman 93), atau memutar balik terjemahan suatu teks, yang latar belakangnya sudah diterima dan terpakai dalam masa cukup lama dari kebudayaan Syi’ah, falsafah dan tasawuf.

Namun tanpa pengetahuan sedikitpun tentang permasalaha yang dibicarakan, beliau menerjemahkan dengan sesuka hati dan mengganti tauhid dengan syirik, tanzih yang berarti menyucikan Allah diterjemahkan menjadi tajdif (penghinaan terhadap Allah). Selain itu. penterjemah menggantikan kalimat “turabul ahya wahibun lil hayati (tanah yang akan memberi kehidupan) dengan at turbatu wahbatul lil hayati” (turbah itu memberi kehidupan) penerjemah mengganti ” turabul” menjadi “at turbatu”, mungkin untuk mengejek umat Syiah yang kebanyakan mereka sujud dalam salatnya di atas sekeping tanah kering yang disebut turbah (lihat halaman 61).

Penerjemah tidak mampu membezakan antara riwayat “sapi betina Bani israel ” yang menghidupkan kembali orang mati, ketika sebahagian tubuh sapi-yang sudah dipotong-dipukulkan kepada orang mati tersebut (QS Al Baqarah ayat 67-73) dengan riwayat “anak sapi Samiry” yang telah ia gengam sekepal tanah dari jejak Rasul, kemudian ia masukkan ke dalam mulut sapi, kemudian jadilah patung emas itu anak sapi yang mempunyai suara (QS Thaha ayat 96).

Yang dimaksud Rasul di sini ialah Jibril, dan riwayat itu merupakan salah satu dari bab-bab tasawuf bahasa Persi, tetapi ia menerjemahkan Rasul itu dengan Nabi, sehingga campur aduklah kedua riwayat itu (lihat hal 62) .

Inilah kejahilan yang parah, yang disandang oleh penerjemah itu tentang semua apa yang bersangkutan dengan keIslaman, kemudian katanya, semestinya Ayatullah Khomeini lah yang mengatakan kekufuran ini, perbezaan pendapat antara kaum muslimin tentang apabila Allah sudah atau belum mempunyai wujud, kemudian ia melanjutkan (apakah ia mencair dalam zatnya ataukah tidak cair, dan apakah mungkin Allah itu suatu jism atau bukan dan seterusnya) (terjemahan halaman 135) . Berdasarkan terjemahan ini, penerjemah hendak menggiring pembacanya bahwa Khomeini telah membuat pernyataan sia -sia itu. Apakah Khomeini menyatakan itu ?

Sepatah pun tidak ditulis dalam bab itu oleh Khomeini dalam Kasyful Asrar. Di dalam buku asli berbahasa Persia Imam Khomeini menulis sebagai berikut ” namun ada suatu contoh tentang khilaf di antara kaum mulimin, yang berkisar apakah Allah mempunyai sifat-sifat atau tidak mempunyai sifat-sifat, kalau ia mempunyai sifat-sifat apakah sifat-sifatnya ialah dzatnya sendiri, apakah mungkin Allah merupakan suatu raga? (Teks Asli bahasa Persi hal 113) bandingkan antara kedua terjemahan itu.

Ketika penerjemah itu kebetulan menghadapi permasalahan hukum Fiqhiyah bahawa air menjadi najis meskipun seukuran ujung jarum selama airnya yang kurang dari satu kur, maka ini akan menajiskan keseluruhnya, lantaran si penerjemah tidak memahami erti kata “kur” dan tidak mahu membenahi fikiran beliau untuk mencari ertinya. Beliau disibukkan dengan urusan yang lebih penting, iaitu pemalsuan teks. (bandingkan kitab terjemahan yang dipalsukan hal 231 dan teks aslinya hal 218) tentang kaedah fiqhiyah :
“Muqadimat’ul wajibi wajibatun (mukadimah sesuatu yang wajib adalah sesuatu yang wajib), penerjemah mencoretnya sebanyak dua kali (yang pertama pada halaman 244 dan yang kedua di halaman 245) namun saya tidak tahu kenapa penerjemah membuang halaman 265 secara keseluruhan. Khususnya dalam hal yang berkaitan keterangan Ayatullah Khomaini mencanangkan langkah-langkah dalam penanaman dan pertanian padi serta kesulitan-kesulitan yang menyusahkan petani padi. Namun apabila penerjemah itu tidak mengetahui tentang ilmu fiqh, tidak mampukah beliau dengan keluasan ilmunya sebagai sarjana syariah untuk mengalihkan pandangan atau pendapatnya, atau mungkin beliau belum membaca teks itu, kemudian menterjemahkannya ?
Antara lain yang memperkuat keraguan, ialah, bahawa penguasaan penerjemah akan bahasa Parsi adalah rekaan belaka, dan kebodohanya yang sempurna tentang sejarah Iran.

Beliau lagi-lagi membuang teks yang memuatkan nama orang yang kejam dalam sejarah atau peristiwa yang melatari sejarah tersebut, sebagai contohnya beliau tidak mahu menterjemahkan terjadinya perjanjian kerjasama antara kerajaan Iran dan Inggeris yang kemudian menyengsarakan rakyat Iran, bahkan dua orang pembunuh kejam Mukhtari dan Ahmadi yang gemar membunuh rakyat di masa kekuasaan Reza Khan juga dibuang dan tidak beliau terjemahkan. Maka terjadilah pembuangan sebahagian besar teks halaman 283 dari buku yang asli dan tidak beliau menerjemahkanya, seolah-olah beliau mendukung kejahatan Reza Khan dan setuju dengan kerjasama Kerajaan Iran dengan Inggeris yang ditentang Khomeini itu.

Tetapi sikap tidak konsisten beliau itu telah membuka pekong kejahatan si penerjemah, di mana beliau telah dengan sengaja mencuri nama besar Al Bandari, penerjemah kata-kata sulit dalam sastera Parsi, tapi beliau memalsukan bahkan menghilangkan asas buku yang ditulis Imam Khomeini tersebut.

Bila kita katakan, bahawa penerjemah itu menjunjug kejujuran dalam penerjemahan, maka apakah dapat dibenarkan ketika beliau menerjemahkan ayat Al Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa parsi itu kemudian ia terjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab lagi dengan semahunya sendiri tanpa merujuk kepada mushaf Al Qur’an :
Mari kita perhatikan bagaimana penerjemah Kasyful Asrar memalsukan ayat Al Qur’an, ia menuliskan:
” Rab-isyrahli shadri wa yassili amri wahlul uqdatan min lisani yafqhu quhi, waj’al mu’ini Haruna akhi fa sydud sa’di bihi waj’allhu syariki”

(Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku, bukakakan buhul tali yang mengingat lidahku sehingga mereka mengerti perkataanku, jadikanlah penolongku Harun, saudaraku, kuatkan lenganku dengannya dan jadikan dia sekutuku) lihat terjemahan bahasa arab yang dipalsukan halaman 158
Padahal ayat tersebut dalam buku aslinya tertulis sebagaimana yang dimuatkan di dalam QS Thaha yang berbunyi :
“Qala Rab isyrahli wa yassirli amri wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qauli waj’alli waziran min ahli Haruna akhi usydud bihi azri waasyrikhu fi amri “(Q Thaha 25-32)

(Ia musa) berkata “Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, bukakan buhul tali yang mengikat lidahku agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, Harun saudaraku, kuatkanlah denganya bebanku dan persekutukanlah dia dalam urusanku).

Jika beliau memang tidak bermaksud menerjemahkan suatu nas dari Al Qur’an, mengapa beliau meletakanya di antara dua kurungan ?

Dihalaman 160 dari terjemahan itu, kita membaca : “Allahumma-b’adni wa auladi ‘an ‘Ibadatil austan (Ya Allah jauhkan daku dan anak-anaku dari penyembahan berhala) dan tentu yang ia maksud adalah ayat :
Rabbi j’nubni wa baniyya an na’budal ashnam (Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala)

Dapatkah kita membayangkan, seorang penerjemah yang tidak mahu membuka mushaf (Qur’an) itu agar kita dapat diperlihatkan kebijaksanannya yang luarbiasa, namun hakikatnya beliau memalsukan teks-teks, membuang maksudnya, yang pada akhirnya ia dapat mengeluarkan kenyataan yang mengkafirkan Ayatullah Khomeini, dan setiap orang akan mengikutinya dalam mengkafirkan Khomeini, sungguh kejahatan yang luar biasa.

Ya saya merasa berbahagia, wahai tuan-tuan para syeikh yang mulia, dan para ulama terkemuka dengan segala penghormatan dan penghargaan untuk ikut mendorong dan menjadi mediator saya merasa pula berbahagia, untuk mengingatkan tuan-tuan semua, bahwa tuan-tuan telah tertipu dengan teks yang dipalsukan dan dibohongi, yang serupa dengan bahan-bahan perfilman palsu.. ingin tahu buktinya? Marilah kita bersama-sama membuka bukti itu melalui teks Kasyful Asrar yang asli yang berbahasa Parsi :
Artikel yang khusus mengenai masalah Akidah, yang oleh pengarangnya di namakan “Tauhid” ialah, sebagaimana yang saya katakan, memuat sebahagian masalah-masalah keIslaman dalam catatan pinggirnya, dan di dalamnya tidak ada pengkafiran terhadap siapapun yang berbeza dengan keyakinan penulisnya (Khomeini)

Maka jadilah permasalahan kita yang paling pokok sekarang, di zaman keterbelakangan, zaman ikut-ikutan dan zaman minyak ini, dan paling wajar pula bagi penerjemah adalah cukup menukil (memindahkan) apa adanya, tetapi niat dan tujuan buruk itulah yang mendorong penerjemah melakukan perubahan dalam sebahagian teks itu, kemudian beliau membuang apa yang ingin di buang, sehingga muncul serangan terhadap Khomeini, salah satunya adalah masalah Mukjizat, penerjemah telah dengan sengaja memutar belitkan keterangan Khomaini sehingga menjadi keterangan yang tidak logik dan tidak difahami (lihat halaman 66 dan 67 dari terjemahan Kasyfula Asrar berbahasa Arab) di mana beberapa baris keterangannya dibuang sehingga terjemahannya tidak dapat difahami .

Demikian pula terjadi perubahan melalui pembuangan pengurangan, pada halaman 74 dari teks bahasa Arab yang berlawanan dengan halaman 57 dari terjemahanya itu, yang membuatkan teks bahasa Arab dalam terjemahan itu tidak dapat difahami, itu di lakukan dengan tujuan agar dapat diperkirakan oleh para pembacanya bahawa itu adalah idea penulisnya Khomeini.

Perhatikan pula, ketika penerjemah itu membuang keterangan di halaman 61 setelah keterangan ” kami persilakan kalian bertanya kepada siapapun dari orang Syiah Istna Asyari, dan keterangan yang dibuang adalah “kami tidak bertanggungjawab tentang Syiah yang lain” (pada tekas asli bahasa Parsi halaman 57), kita tidak mampu mengatakan bahwa pembuangan itu bukan tanpa maksud bahkan lebih kepada kecenderungan sebagai kesengajaan penterjemah. Hal itu tidak lain adalah agar pembaca menyimpulkan bahwa Syi’ah Itsna Asyary dipersamakan dengan Syi’ah Ghaliyah (ekstrim)
Demikian pula halnya, jika ada isi dari kitab itu yang bercanggahan dengan pegangan yang dipegang oleh penterjemah, maka beliau dengan sengaja akan membuang keterangan berkaitan, malah jika beliau tidak memahami taswiyah dan tasnim dalam suatu diskusi tentang masalah bangunan kuburan lalu beliau akan membuang seluruhnya (hal 85).

Demikian pula saya tidak memahami, mengapa beliau membuang enam baris dalam halaman 96 tidak lain kerana baris-baris itu berisi pujian dan sanjungan terhadap Al Qur’an Karim? Anda dapat melihat bahwa penerjemah tidak senang pada penulis Kasyful Asrar yang tampak sangat mencintai Al Qur’an.

Fakta Kasyful Asrar terjemahan Arab menunjukan, bahawa hampir setiap halaman dari terjemahan tidak ada yang bebas dari pembuangan dan pemalsuan. Maksud dan tujuan dari pembuangan itu adalah memalsukan dan memperjauh terjemahan dari teks aslinya, dalam masalah Imamah misalnya terdapat banyak sekali bahkan dikatakan seluruhnya dipalsukan oleh penerjemah, berikut catatan kami :
1. Pandangan pemikiran Khomini tentang Imamah, wilayah, wasiyat dan khilafah dinyatakan sebagai hasil pemikiran dan ijthad Khomeini, padahal pemikiran itu sudah ada sebagai peninggalan Syiah seribu tahun silam, kerana ada tujuan politik maka Khomeini dinyatakan sebagai pencipta fahaman itu.
2. Surat saya ini berkisar kepada penerjemahan semata-mata dan menilai dekat atau jauh perbezaan kitab terjemahan dengan kitab aslinya yang berbahasa Parsi. Ia merupakan diskusi ilmiah yang memuat nurani ilmiah pengetahuan di negeri kita ini, tetapi penerjemahan itu telah menghilangkan nurani keilmiahan.

Nota Ustad Husain Ardilla : 

Seterusnya Dr. Ibrahim dalam isi berikutnya menyambung perbahasan satu per satu perbezaan dan penyelewengan oleh penerjemah al kazzab itu. Oleh kerana ia terlampau panjang, maka tidak praktikal bagi saya untuk memuatkan semuanya.Beliau sudahi perbahasan beliau dengan ayat berikut:
Nah, kemudian : Apa dan bagaimana pendapat tuan-tuan para pembahas, para peneliti dari kalangan doktor, para syeikh, ustaz dan para pelopor konferensi, yang telah mengutip dari buku yang penuh kebohongan dan kepalsuan ini dan menggembar-gemborkanya ? Adakah diantara mereka yang menyanggahnya ?

Dr Ibrahim Ad dasuqi Syata
Rektor Bahasa-Bahasa dan Sastra Timur
Fakulti Sastera Universiti Kairo 


Kesimpulan 

Cukuplah dengan sedikit isi surat di atas, saya menyimpulkan, bahawa Kitab Kasyful Asrar telah banyak diselewengkan isinya agar dapat dijadikan hujah terhadap Syiah, masakan tidak, ulama mereka sendiri menulis perkara ini.

Sukar sekali untuk saya menjelaskan kepada para pendebat yang menggunakan hujah dari buku ini ketika perdebatan, cuma apa yang boleh saya cadangkan hanyalah berikut:
Sebarang teks hadis atau pendapat ulama, walau sahih bagaimana sekalipun, perlulah akhirnya di bawa ke hadapan Al Quran untuk memastikan kebenarannya. Jika ia bercanggah dengan Quran, maka ketahuilah, kami Syiah menolaknya.

Jika kalian mendapati, ada kitab yang nampak jauh dari pendapat kami, dan malah kami sendiri menafikan isi kandungan kitab itu, maka atas tanggungjawab kalianlah untuk merujuki sumber awal sesuatu kitab itu, lebih baik dari penerbit Syiah. Ia lebih sahih, kerana pihak lawan yang sudah terdesak, sanggup melakukan apa sahaja, termasuk memalsukan kitab lawan hatta kitab mereka sendiri agar dapat membuang hujah lawan.
_________________________________________

Tudingan-tudingan macam itu merupakan pekerjaan SETAN, itulah sebabnya page ini di beri nama WAHABI SETAN SALAFI (https://m.facebook.com/Wahabi-Setan-Salafi-292698840895656/) . Malah paling ironi ada page yang bernama” Wahabi Tanduk Setan“ (https://m.facebook.com/Wahabi-Tanduk-Setan-186662428355816/).

Dari urain singkat ini admin berpikir bahwa mengatakan Wahabi itu setan tak ada larangan dalam agama sebagai mana di gambarkan lewat hadis dan ucapan seorang ulama, dan mengikuti ulama sangat di anjurkan karena ulama adalah adalah pengikut Nabi , jadi admin mengikuti ulama bahwa ajaran wahabi adalah ajaran setan ini berarti wahabi sama dengan setan maka bisa di katakan “WAHABI SETAN SALAFI”.

(Tour-Mazhab/Syia-Ali/Hersromero/Salafytobat/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: