Oleh: Purkon Hidayat
Kesepakatan nuklir yang dicapai Iran dan
lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman menjadi sorotan
berbagai kalangan di dunia, termasuk media dan akademisi Indonesia.
Koran Sindo tertanggal 28/11/2013 memuat tulisan Dinna Wisnu (DW) berjudul “Harapan dari Teluk Persia”, yang menelisik masalah tersebut.
Direktur pascasarjana program
diplomasi Universitas Paramadina ini melihat kesepakatan nuklir Iran di
Jenewa sebagai sebuah harapan baru bagi dunia. Meski demikian, muncul
penentangan yang sangat keras dari Israel dan penolakan secara tidak
terbuka dari Arab Saudi. Selain keduanya, DW menyebut kubu Konsevatif di
Iran sebagai pihak yang paling getol menentang perundingan nuklir Iran
dengan enam kekuatan dunia. Ketiga kubu tersebut dipandang merupakan
pihak-pihak yang selalu mendorong perang sebagai jalan untuk mengatasi
masalah nuklir Iran. Mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad disebut-sebut
mewakili pandangan keras kaum konservatif Iran yang dianggap sebagai
pemicu ketegangan keras antara Israel dan Iran.
Statemen keras Ahmadinejad terhadap
Israel dinilai oleh jebolan Ohio University ini bertentangan secara
historis dengan kerjasama Iran dan Israel ketika meletus perang selama
delapan tahun dengan Irak. DW menulis,
“Kecaman-kecaman pedas dan penolakan atas berdirinya negara Israel yang selalu ada dalam setiap pidato Ahmadinejad di berbagai kesempatan sangat kontras dengan kerja sama Iran dan Israel saat Perang Iran-Irak 1980–1988, yaitu Israel banyak membantu memberikan peralatan dan nasihat militer kepada Iran.”
Dari statemen satu paragraf ini, saya mengajukan beberapa tanggapan mendasar.
Pertama, Iran dan Israel
tidak mungkin bekerjasama, karena pembelaan Iran terhadap bangsa
Palestina melawan Israel sejak kemenangan Revolusi Islam hingga kini
merupakan bagian dari kebijakan umum politik luar negeri Republik Islam
Iran. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Republik Islam
Iran Bab 10 mengenai Politik Luar Negeri pasal 152 dan 154. Selain itu,
pernyataan Imam Khomeini dan penerusnya Ayatullah Khamenei sebagai
Pemimpin besar Revolusi Islam Iran menegaskan perlawanan terhadap
Israel.
Jika lebih cermat membaca perjalanan
sejarah Iran di era “Perang Pertahanan Suci” menghadapi Irak antara
tahun 1980-1988, Republik Islam di era
perang delapan tahun berada di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, yang
sangat keras dan tidak kompromis sama sekali terhadap Israel. Bagaimana mungkin terjadi kerjasama dengan Israel di masa itu sebagaimana yang diklaim DW dalam tulisannya. Sikap Imam Khomeini sangat jelas dan keras terhadap Israel. Imam Khomeini menyebut Israel sebagai rezim agresor, dan tidak mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara. Bahkan Bapak Revolusi Islam Iran ini menyebut Israel sebagai tumor ganas yang harus dilenyapkan.
Imam Khomeini juga menyebut masalah
Palestina dan perlawanan terhadap Israel sebagai masalah penting dunia
Islam. Salah satu bentuk lain komitmen Imam Khomeini terhadap perjuangan
bangsa Palestina melawan Israel dibuktikan dengan ditetapkannya Jumat
terakhir di bulan suci Ramadhan sebagai “Hari Quds Sedunia”, sebuah
kampanye global pembebasan Baitul Maqdis dari tangan Israel yang terus
diperjuangkan hingga kini, bukan hanya di Iran bahkan menjalar ke
seluruh dunia.
Imam Khomeini dalam salah satu
pernyataannya menyebut perlawanan terhadap Israel sebagai agenda Islam
dan dunia Islam. “Kita harus menggalang kerjasama dengan seluruh bangsa
dan pemerintahan Islam di dunia demi melawan Zionisme, melawan Israel,
melawan rezim imperialis…,” (Shahifah Imam Khomeini jilid 1 hal 336).
Lalu, bagaimana bisa DW menyebut Iran pernah bekerjasama dengan Israel
dalam perang delapan tahun menghadapi rezim Saddam Irak. Pengakuan
terhadap Israel sebagai negara saja tidak, bagaimana mungkin dua negara
bisa disebut bekerjasama.
Setelah Imam Khomeini wafat, komitmen
perlawanan Iran terhadap Israel terus berlanjut hingga ini. Pemimpin
Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei menyebut perlawanan
terhadap Israel sebagai prinsip Iran dan umat Islam dunia. “Agenda
Palestina bagi Republik Islam bukan sebuah taktik, tapi sebuah prinsip
yang berpijak dari keyakinan Islam. Kita berkewajiban untuk mengeluarkan
wilayah ini dari cengkeraman rezim agresor [Israel] dan negara
pendukungnya di dunia, kemudian menyerahkannnya kepada bangsa Palestina;
Inilah kewajiban agama; kewajiban seluruh Muslim; kewajiban seluruh
pemerintah Islam; sekali lagi inilah kewajiban Islam.”(Pidato Ayatullah
Khamenei, 25/5/1391 Hs).
Hingga kini dukungan pemerintah Iran
terhadap Palestina melawan Israel masih terus dilakukan dengan
memberikan bantuan finansial hingga militer. Kunjungan para pejabat
tinggi Hamas seperti Ismail Haniyeh, Khaled Meshal dan lainnya beberapa
tahun lalu menunjukkan komitmen Tehran membela bangsa Palestina melawan
Israel. Selain itu, dukungan Iran terhadap Hizbullah Lebanon dan
pemerintah Suriah bagian dari komitmen melawan Israel, karena dua
kekuatan itu merupakan proxy war Iran menghadapi Israel.
DW menilai sikap keras Ahmadinejad
atas Israel kontras dengan kerjasama Iran dan Israel di era perang
dengan Irak selama delapan tahun antara tahun 1980-1988. Dari kalimat
tersebut kita memahami ia membandingkan periode pemerintahan
Ahmadinejad dengan era masa perang delapan tahun yang diklaimnya pernah
bekerjasama dengan Israel. Tampaknya, DW meloncat membandingkan sikap
kabinet sembilan dan sepuluh di era Ahmadinejad yang keras terhadap
Israel dengan periode perang delapan tahun antara tahun 1980-1988. Di
antara rentang waktu itu ada beberapa kabinet Iran, di era Hashemi dan
Khatami yang dilupakan DW dalam tulisannya. Meski keduanya dikenal lebih
lunak terhadap Barat dalam kebijakan luar negerinya,
tapi komitmen perlawan terhadap Israel merupakan garis merah Iran yang
tidak bisa diubah oleh siapapun, bahkan presiden sendiri karena melawan
UUD RII.
Kedua, kebanyakan
literatur yang membahas perang Irak-Iran tidak menyinggung satupun
mengenai kerjasama Iran-Israel, sebagaimana yang diklaim DW dalam
tulisannya. Pusat Dokumentasi Perang Pertahanan Suci Iran
(Markaz Esnad-e Defa Moghadas) yang menerbitkan seri buku-buku perang
tidak menyinggung sedikitpun masalah tersebut. Hingga kini bagian
penerbitan lembaga ini telah mengeluarkan buku serial perang Irak-Iran
hingga 52 dua buku yang disusun secara sistematis dari buku pertama yang
membahas faktor pemicu perang yang dipaksakan rezim Saddam terhadap
Iran hingga buku ke-52 yang membahas tentang kesepakatan damai
mengakhiri perang.
Selain buku serial perang tersebut,
Pusat Dokumentasi Perang Pertahanan Suci juga menerbitkan buku-buku
yang membahas perang secara tematis, bahkan isu yang sangat spesifik
seperti buku “Ekonomi Iran di Era Perang 1980-1988” hasil riset Dr.
Farhad Dejpasand dan Hamid Reza Raufi dari Universitas Shahid
Behesty,Tehran. Semua literatur di pusat penelitian tersebut tidak satu
pun membahas adanya kerjasama antara Iran dan Israel dalam perang
delapan tahun Iran-Irak.
Ketiga, jika memang
kerjasama antara Iran dan Israel dalam perang delapan tahun dengan Irak
ada dan terjadi kesepakatan sebagaimana diklaim DW, maka hal tersebut
akan menjadi masalah penting dan besar dalam dinamika politik Iran
selama 33 tahun. Jika kesepakatan itu pernah terjadi, kekuatan
non-pemerintah, terutama kalangan ulama yang berpusat di Qom, pasti akan
mempersoalkannya, karena menjadi isu sentral yang tidak bisa dianggap
remeh oleh mereka hingga kini.
Menurut Ali Darabi dalam bukunya
“Arus Politik Iran” (1391 Hs), dari 235 asosiasi, perhimpunan dan partai
yang ada di Iran (partai di sini berbeda konteksnya dengan parpol
sebagaimana yang diakui resmi dalam pemilu seperti di Indonesia, sebab
Iran tidak menganut sistem pemilu multipartai dan presiden dipilih
langsung tanpa partai), organisasi yang dikendalikan oleh para ulama
seperti Majma Madarisin (perhimpunan guru-guru Hauzah) merupakan gerakan
yang memiliki pengaruh besar dalam konstelasi politik dan sosial Iran.
Maka, jika isu kerjasama antara pejabat Iran dan Israel terjadi tentu
saja akan muncul reaksi keras dari mereka, karena ini bagian dari garis
merahnya, apalagi ditegaskan dalam undang-undang dasar.
Keempat, kebanyakan literatur Barat sendiri yang membahas perang Irak-Iran tidak membahas masalah kerjasama Iran-Israel tersebut.
Jika pun ada, hanya dalam jumlah yang relatif kecil, itupun
menyandarkan argumentasinya terhadap satu sumber yaitu Trita Parsi. Dari
satu orang inilah disebarkan informasi mengenai kerjasama yang belum
diverifikasi tersebut.
Pengantar
Tulisan ini kelanjutan tanggapan saya terhadap tulisan Dinna Wisnu (DW) berjudul “Harapan dari Teluk Persia” yang dimuat koran Sindo tertanggal 28/11/2013. Di bagian kedua ini akan mengupas triangulasi data dan sumber
yang dijadikan rujukan oleh DW yaitu Trita Parsia dengan mengulas
papernya berjudul “Iran and Israel: The Avoidable War” dan
bukunya,”Treacherous alliance:The Secret Dealings of Israel, Iran, and
the United States”.
Onuf dan Triangulasi Data
Tradisi intelektual, termasuk dalam
disiplin ilmu hubungan internasional menekankan urgensi triangulasi data
sebelum membuat statemen konklusif. Untuk meminimalisasi kesalahan
dalam penarikan kesimpulan dan generalisasi, keabsahan data diperoleh
melalui pengujian beragam data, bukan dari satu sumber saja. Ketika DW
terlalu yakin dengan sumber tunggalnya yaitu Trita Parsi, doktor jebolan
universitas bergengsi di negeri Paman Sam itu telah mengabaikan sumber
lain, terutama dari referensi utama Iran. Padahal pernyataan para
pemimpin Iran tentang Israel menjadi acuan (rules) sebagai
konteks dan dasar untuk memaknai perilaku politik Republik Islam
terhadap Israel. Apalagi didukung oleh undang-undang dasar Iran yang
menegaskan penolakan terhadap berdirinya Israel sebagai rezim penjajah,
sebagaimana yang telah dibahas di bagian pertama tulisan sebelumnya.
Di ranah Hubungan Internasional, konsep rules tersebut mengacu pada teori Nicholas Onuf tentang keterkaitan erat antara speech act, tindakan dan rules.
Kontruktivis seperti Onuf memandang manusia, terutama para politikus,
membangun realitas melalui perbuatan mereka yang bisa berupa tindakan
riil maupun speech act. Tindakan yang berulang-ulang membentuk rules bagi
aktor lainnya. Statemen para politisi menjadi rules yang hanya
memberikan dua pilihan bagi aktor politik lain, mengikutinya atau tidak,
tentu dengan konsekuensinya masing-masing.
Contoh lain dari teori Onuf tentang rules
ini bisa kita lihat dari statemen presiden AS dan anggota Kongres AS
yang berulangkali menegaskan bahwa “Israel adalah [bagian] kepentingan
AS”. Pembuktian riil dari tindakan dan speech act mereka
baru-baru ini bisa ditelusuri dari dukungan resmi Kongres Amerika
Serikat menyetujui suntikan senilai $284 juta untuk mendanai program
sistem rudal Israel. Padahal seperti kita ketahui bersama, AS sedang
mengalami masalah keuangan yang akut. Business Week seperti dikutip
Press TV hari Jumat (13/12) melaporkan, rancangan anggaran yang
diperkenalkan bersama oleh komite anggaran DPR dan Senat AS, termasuk
dana senilai $33,7 juta untuk meningkatkan sistem senjata Arrow, $117
juta bagi program pertahanan rudal balistik jarak pendek, dan $22 juta
untuk pengembangan sistem rudal Arrow-3.
Tidak hanya itu, berbagai fakta historis yang disusun berjajar secara time series semakin
menunjukkan rapuhnya klaim DW. Jika Israel bekerjasama dengan Iran
dalam perang delapan tahun, mengapa rezim Tel Aviv menjadi pihak yang
paling masif melancarkan operasi teror terhadap pejabat dan rakyat Iran
selama lebih dari tiga dekade lalu hingga kini. Pengakuan
sejumlah tersangka pelaku teror di Iran, setelah melalui proses
interogasi yang panjang, menunjukkan keterlibatan agen dinas intelejen
Israel, Mossad yang menyusup ke Iran melalui negara tetangga. Tidak
sulit menemukan informasi di media massa dan literatur Iran yang
menunjukkan bahwa sejumlah mata-mata itu menjalin kontak dengan Mossad,
bahkan sebagian dari mereka pernah menjalani pelatihan khusus di Israel
dan sejumlah negara sekitar Teluk Persia.
Dari Teror Ilmuwan Iran hingga Revolusi Velvet
Tahun lalu, media massa Barat yang
relatif independen seperti The Guardian mempublikasikan keterlibatan
agen intelejen Israel dalam pembunuhan ilmuwan nuklir Iran. Julian
Borger dalam tulisannya yang dimuat The Guardian menyebut operasi teror
berdarah terhadap ilmuwan Iran dilakukan oleh agen Mossad melalui tangan
gerakan Mojahedin-Khalq Organization (MKO) maupun milisi Jundullah.
Laporan tersebut mengutip hasil investigasi Yossi Melman dan Dan Raviv
yang menulis buku berjudul “Spies Against Armageddon: Inside Israel’s Secret Wars“.
Buku yang terbit 9 Juli 2012 itu
menyebut pembunuhan empat ilmuwan nuklir Iran, dan percobaan teror yang
gagal terhadap ilmuwan nuklir kelimanya sebagai “Operasi Biru Putih”
Mossad. Buku “Spies Against Armageddon” membongkar lima strategi Mossad,
terutama di bawah kepemimpinan Meir Dagan untuk menghentikan program
nuklir Iran, sekaligus perubahan rezim Iran dengan berbagai operasi
konspiratif. Selain menjelaskan peran Israel sebagai pelaku pembunuhan
ilmuwan nuklir Iran melalui pasukan elit Mossad ‘Kidon’, Yossi Melman
dan Dan Raviv juga mengungkapkan perang lunak yang dilancarkan Israel
demi menghentikan program nuklir Iran dengan mengirim virus komputer
seperti Stuxnet, terutama untuk melumpuhkan fasilitas nuklir Natanz,
Isfahan.
Sejumlah media Barat sendiri
tampaknya sulit untuk menutup mata atas keterlibatan Israel yang sangat
telanjang dalam pembunuhan ilmuwan nuklir Iran. Ketika Ahmadi-Roshan
tewas akibat ledakan bom magnet yang ditempelkan di mobilnya pada 11
Januari 2012 lalu, National Post dalam artikel berjudul “Analysis: Death of Iranian Nuclear Scientist Sheds Light on Long History Covert Action”
mengungkapan bahwa pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran itu sebagai
bagian dari “sejarah panjang permusuhan” Israel terhadap Iran. Penekanan
sejarah panjang yang disampaikan media Barat tersebut memiliki dukungan
fakta historis yang kuat. Manouchehr Mohammadi dalam bukunya, “Revolusi
Islam dalam Ujian (Enghelab Eslami dar Buteh-ye Azmon)”
menjelaskan keterlibatan pihak asing terutama agen-agen Israel dan AS
dalam berbagai aksi teror di Iran, termasuk kerusuhan tahun 1388 Hs
(2009).
Dosen ilmu politik Universitas Tehran
ini memandang kemelut pasca kemenangan Ahmadinejad dalam pemilu
presiden merupakan skenario yang telah dirancang cukup lama dan panjang
dengan melibatkan sejumlah elemen dari intelejen hingga kalangan
intelektual AS atas arahan lobi Zionis. Berbagai unsur tersebut memiliki
hubungan erat dengan American-Israel Public Affairs Commite (AIPAC),
Organisasi lobi Zionis di AS yang memengaruhi Gedung Putih dan Kongres
AS supaya melancarkan berbagai tekanan terhadap Iran, mulai dari ancaman
invasi militer hingga sanksi ekonomi.
Muhammadi dalam bukunya membongkar
skenario ‘perang lunak’ terhadap Iran yang dirancang lembaga think thank
AS dan jaringan Zionisme global, di antaranya, Brookings Institution
yang selama bertahun-tahun mendesain agenda “Revolusi Velvet” di Iran.
Ralph Forbes dalam papernya berjudul “CIA Dirty War Against Iran”
menyinggung peran Brookings sebagai lembaga think thank yang berusaha
menggiring opini publik warga Iran, terutama kalangan muda terpelajar
supaya melawan pemerintah Republik Islam melalui jejaring sosial hingga
aksi unjuk rasa di jalanan dalam bentuk “Green Movement”.
Brookings Institution dikelola oleh
orang-orang yang berpengalaman dalam kebijakan luar negeri AS seperti
Martin Indyk, yang pernah menjabat sebagai duta besar AS di Tel Aviv. Di
tahun 2009, Indyk bersama Kenneth.M.Pollack menulis buku mengenai
metode menggulingkan pemerintahan Republik Islam Iran berjudul “The Persian Puzzle:The Conflict Between Iran and USA“.
Meskipun menampilkan diri sebagai lembaga think thank yang moderat,
tapi keterlibatan lobi Zionis dan agenda Iranophobia sebagai salah satu
isu utama di lembaga ini menunjukkan bahwa Brookings memainkan peran
vital dalam berbagai operasi kudeta terhadap Republik Islam Iran
(Mohammadi, 1390 Hs:75-76). Kepala bidang Timur Tengah Brookings
dipimpin oleh seorang Zionis ekstrem Haim Saban yang terkenal dengan
statemennya sebagai pendukung setia Israel, “Bagiku tidak ada yang lebih
penting daripada Israel”. Selain Brookings, ada berbagai lembaga think
thank AS-lobi Zionis yang menggarap isu Iran dengan target merancang
“kudeta lunak” terhadap pemerintahan Republik Islam, seperti: Rand
Corporation, National Endowment for Democracy (NED), Council on Foreign
Relation (CFR), Wilson Center dan lain-lain. (Mohammadi,1390 Hs:71-116).
“Kaki Kayu” Trita Parsi
Di tengah lautan data yang
menunjukkan permusuhan Israel terhadap Iran, DW justru merujuk referensi
sebaliknya, dengan mengamini Trita Parsi sebagai sumber paling fasih
dan berapi-api tentang kerjasama Israel-Iran. Dosen universitas
Paramadina ini mengamini statemen presiden NIAC yang mengklaim Israel
memberikan pasokan senjata,bahkan nasihat militer kepada Iran. DW
menulis,
“Kecaman-kecaman pedas dan penolakan atas berdirinya negara Israel yang selalu ada dalam setiap pidato Ahmadinejad di berbagai kesempatan sangat kontras dengan kerja sama Iran dan Israel saat Perang Iran-Irak 1980–1988, yaitu Israel banyak membantu memberikan peralatan dan nasihat militer kepada Iran.
Hubungan tersebut memang kemudian berubah setelah runtuhnya Uni Soviet dan tergulingnya Saddam Hussein dari kursi kepala pemerintahan di Irak. Kejadian-kejadian tersebut telah memengaruhi keseimbangan kekuasaan yang terjadi di Timur Tengah yang membuat Iran menjadi semakin memiliki pengaruh.”
Bandingkan dengan Trita Parsi dalam papernya “Iran and Israel:The Avoidable War,” yang dimuat Middle East Policy vol. XIV, no.3, Fall 2007. hal.79-85.
“Due to the continuing existence of these threats, many aspects of the Israeli-Iranian relationship survived the Iranian Revolution in spite of Iran’s new state ideology. For instance, Israel was a key provider of arms to the new theocracy in Iran during the Iraq-Iran War, and there are indications that Israel’s attack on Iraq’s nuclear site at Osirak in 1981 was facilitated by Iranian intelligence and assistance. In addition, Israel lobbied Washington extensively in the 1980s to open up relations with Iran, in spite of Ayatollah Khomeini’s venomous rhetoric against the Jewish state. These efforts culminated in the Iran-contra scandal.
But with the collapse of the Soviet Union and the defeat of Saddam Hussein in 1991–the last Arab power that could pose a significant conventional military threat to Iran and Israel–the geopolitical map of the Middle East was reconfigured and the rationale for the covert or overt cooperation between the Jewish state and the Islamic Republic evaporated. In the new emerging Middle East, the two non-Arab powerhouses no longer shared common security imperatives.”
Dalam petikan kutipan di atas, DW
yang mengekor Parsi mengklaim Israel banyak membantu memberikan
peralatan dan nasihat militer kepada Iran dalam perang melawan Irak yang
meletus tahun 1980-1988.Tampaknya, dua hal yang dijadikan alasan Trita
Parsi, yang diacu sebagai pijakan DW. Presiden NIAC itu mengklaim
serangan pesawat tempur Israel terhadap fasilitas nuklir Irak, Osirak
pada 7 Juni 1981 difasilitasi oleh intelejen Iran. Menurut Parsi, Israel
berperan melobi Washington secara ekstensif ditahun 1980 supaya AS
membuka hubungan dengan Iran. Dari sana, ia mengklaim Israel memasok
kebutuhan persenjataan ke Iran dalam perang dengan Irak.
Terkait klaim pertama, Israel
sengaja memanfaatkan isu konflik Irak-Iran demi kepentingannya, termasuk
keputusan Tel Aviv mengintruksikan penyerangan terhadap instalasi
nuklir Osirak pada hari Minggu, 7 Juni 1981. Reaktor nuklir Irak itu
akan beroperasi penuh dalam dua tahap, awal Juli 1981 dan awal September
1981. Dengan pertimbangan tersebut, Israel menyerang awal bulan Juni
sebelum instalasi nuklir Irak beroperasi penuh. Satu-satunya tujuan
utama rezim Tel Aviv menyerang instalasi nuklir Irak demi mengokohkan
posisi strategis Israel sebagai kekuatan nuklir tunggal Timur Tengah.
Bagi rezim Zionis, tidak boleh ada negara manapun di Timur Tengah yang
boleh memiliki fasilitas nuklir, karena akan mengancam hegemoninya di
kawasan. Setelah Irak, Israel berulangkali mengancam akan menyerang
instalasi nuklir Iran. Lalu, di mana letak kerjasama antara Israel dan
Iran seperti diklaim DW.
Serangan Udara terhadap Reaktor Nuklir Osirak
Sebelum Israel menyerang instalasi
nuklir Irak, Osirak, militer Iran telah terlebih dahulu menyerangnya.
Aksi militer tersebut tidak bekerjasama sama sekali dengan Israel
sebagaimana diklaim DW. Pada tanggal 30 September 1980, duajet tempurF-4
Phantom milik Iran menyerang instalasi nuklir Irak. Kemudian tanggal 7
Juni 1981, delapan F -16 dan enam F – 15s Israel meninggalkan pangkalan
udara pangkalan udara Etzionuntuk melancarkan aksi pengeboman terhadap
reaktor nuklir Osirak.
Trita Parsi dalam bukunya Treacherous Alliance: The Secret Dealings of Israel, Iran, and the United States,(2007:107-109)
menyebut serangan tersebut atas bantuan intelejen Iran dengan
memberikan foto udara dan peta dari reaktor nuklir Osirak. Untuk
mendukung alasannya, Parsi mengutip statemen Ari Ben- Menashe yang
mengklaim wakil Iran dan Israel sebulan sebelum serangan tersebut
bertemu di Perancis. Pertanyaannya, Menashe tidak mengungkapkan detil
siapa yang dimaksud sebagai wakil Iran itu dan kapan terjadinya. Sumber
dari Iran sendiri tidak pernah dikonfirmasi oleh Trita Parsi dalam
bukunya mengenai masalah tersebut. Selain itu, alasan bantuan foto dari
Iran agak lemah karena Israel sendiri memiliki akses langsung terhadap
instalasi nuklir Osirak yang dibangun perusahaan Prancis.
Selain lampu hijau AS, serangan udara
Israel terhadap reaktor nuklir yang dirancang oleh insinyur Perancis
Yves Girard itu telah berkoordinasi dengan pemerintah Paris. Menurut
Polakow-Suransky, Sasha dalam bukunya The Unspoken Alliance: Israel’s Secret Relationship with Apartheid South Africa(2010:145), serangan
udara Israel tersebut setidaknya menewaskan 10 orang tentara Irak, dan
hanya satu orang warga sipil Prancis yang tewas. Padahal sekitar seratus
lima puluh warga asing bekerja di reaktor nuklir Irak itu, yang
kebanyakan warga Perancis. Mereka diliburkan dengan alasan hari libur
resmi akhir pekan. Di sini mulai terlihat keganjilannya. Instalasi
nuklir yang hampir rampung itu perlu pengerjaan dan pengawasan kontinyu
dari para ahli, bahkan beberapa bagiannya harus dikontrol selama 24 jam.
Apakah logis mereka diliburkan semua dengan alasan pergi ke gereja atau
akhir pekan padahal proyek belum selesai. Sementara Irak sendiri tidak memiliki ahli yang memadai untuk mengerjakan proyek besar itu.
Selain itu, pengaruh lobi Zionis di
tubuh pemerintahan Paris juga sangat besar. Dengan lobi itu, sangat
mudah bagi Tel Aviv mengakses sekedar foto dan peta reaktor nuklir
Osirak yang digarap perusahaan Perancis. Sebagaimana peran besar lobi
Zionis Komite Amerika-Israel Public Affairs (AIPAC) di tubuh pemerintah
AS, di Prancis berdiri lobi Zionis bernama Conseil Representatif des
Institutions Juives de France (CRIF). Tidak heran, jika reaktor nuklir
militer Israel di gurun Negev, Dimona juga dibangun berkat bantuan
Paris. Sinyalemen koordinasi itu juga bisa dibaca dari sikap aktor
politik pasca serangan udara Israel tersebut. Seperti biasanya pejabat
teras AS membela Israel dengan mengungkapkan ancaman kemampuan nuklir
Irak yang bisa membuat 10 bom berbahaya. Adapun Prancis hanya cukup
dengan mengatakan “unacceptable“, itu pun karena ada satu teknisinya yang tewas dalam serangan tersebut.
Asumsi yang dikembangkan Trita Parsi
ini serupa dengan teori konspirasi yang di usung sejumlah peneliti dan
penulis Barat seperti Tom Cooper and Farzad Bishop (2004) dalam
karyanya, Target: Saddam’s Reactor; Israeli and Iranian Operations against Iraqi Plans to Develop Nuclear Weapons.
Mereka mengklaim serangan jet tempur Iran ke instalasi Osirak Irak atas
saran dari Yehoshua Saguy, Direktur Jenderal Intelijen Militer Israel.
Data yang disajikan kedua penulis Barat itu menunjukkan kelemahan mereka
membaca “peta besar” Iran sebelum dan sesudah kemenangan Revolusi
Islam.
Pernyataan Saguy dikemukakan kepada
pejabat dinas intelejen Iran, Savak, di akhir era rezim Muhammad Reza
Shah Pahlevi sebelum kemenangan Revolusi Islam. Dan pemerintahan Iran
yang telah berubah dari model monarki menjadi Republik Islam
memanfaatkan seluruh informasi yang diperoleh dari dinas intelejen Shah,
Savak. Selain menjalin hubungan diplomatik yang sangat erat dengan AS,
rezim Shah juga bekerjasama dengan Israel. Bahkan, agen-agen Savak yang
dilaporkan mencapai lebih dari 60.000 personil mendapat pelatihan khusus
dari CIA dan Mossad. Tidak heran jika pemerintah Iran di era Shah
memiliki hubungan yang begitu mesra dengan Israel. Data inilah yang
diolah oleh Tom Cooper, Farzad Bishop untuk membenarkan asumsi
konspiratifnya tanpa verifikasi triangulasi data dari Iran. Dan akhirnya
pandangan mereka tampil tidak lebih dari teori konspirasi semata.
Mengikuti jejak mereka,Trita Parsi dalam bukunya menjadikan orang-orang
Israel semacam Ari Ben-Menashesebagai sumber utama demi menguatkan
kepentingannya selaku Presiden NIAC, yang kini menjadi salah satu lobi
orang-orang Iran yang menjadi kekuatan oposisi Revolusi Islam di AS.
Klaim kedua Parsi bahwa Israel
berperan melobi Washington secara ekstensif ditahun 1980 supaya AS
membuka hubungan dengan Iran semakin menunjukkan kedangkalannya dalam
merujuk sumber utama. Parsi hanya memilih sumber yang mendukung
posisinya sebagai presiden sebuah organisasi lobi di AS. Statemen Parsi,
“Israel lobbied Washington extensively in the 1980s to open up relations with Iran,” sangat
jauh dari realitas politik sebenarnya yang terjadi antara Israel, Iran
dan AS. Padahal, AIPAC sebagai lobi Zionis yang paling berpengaruh di AS
sejak berdiri tahun 1963 hingga kini menjadi lembaga yang paling gencar
memusuhi Iran. Salah satu alasan yang dijadikan pijakan oleh Trita
Parsi mengenai peran Israel dalam mendukung kerjasama AS-Iran adalah
keterlibatan Israel dalam Skandal Irangate. Tapi berbagai literatur di
Iran menunjukkan kesimpulan sebaliknya dari peristiwa itu, bukan
seperti penjelasan Parsi dalam bukunya.
Skandal Irangate
Sebagaimana ditegaskan di bagian
pertama tulisan sebelumnya, hampir setiap peristiwa penting di Iran
dipastikan akan menjadi perhatian aktor politik dan institusi sosial
keagamaan, maupun dunia akademis di negeri itu. Salah satu parameternya
adalah riset dan publikasi akademis mengenai masalah tersebut. Berbeda
dengan masalah hubungan Iran-Israel yang tidak diakui Tehran, hubungan
Iran dan AS, bahkan skandal Irangate yang lebih dikenal dengan sebutan
“Skandal McFarlane (Majara-e McFarlane)” diulas dalam berbagai
buku dan paper, paling tidak yang berbahasa Farsi. Di sini, saya hanya
menyebutkan beberapa yang terpenting saja.
Setidaknya, ada tiga buku utama yang
mengupas peristiwa bersejarah itu. Pusat Penelitian Perang Sepah
Pasdaran Iran menerbitkan penelitian Mehdi Ansari dkk, berjudul “Skandal McFarlane: Upaya AS menjalin Hubungan dengan Iran”
di tahun 1379 Hs. Sepuluh tahun kemudian, Nasr Moaref Enghelab
menerbitkan buku sejenis karya Mohsen Hashemi dan Habibollah Hamidi,
berjudul “Skandal McFarlane: Penjualan Senjata dan pembebasan Tawanan” di tahun 1387 Hs. Setahun kemudian, terbit buku berjudul “McFarlane”
besutan Fatimah Alizadeh yang diterbitkan Muasasah Intisarat-e
Rooznameh Iran. Selain ketiga buku tersebut, ada buku lain yang sebagian
pembahasannya mengulas skandal McFarline seperti buku “Ouj-e Defa (Puncak Pertahanan)” yang terbit tahun 1388 Hs, dan “Ma Amerika ra Zir Pa mi Gazarim” (AS di Bawah Telapak Kaki Kami)” yang terbit tahun 1387 Hs.
Hashemi Rafsanjani yang saat itu
menjabat sebagai ketua parlemen Iran dalam pidatonya memperingati
peristiwa 13 Aban “Hari Didudukinya Kedutaan AS oleh mahasiswa Iran”,
menyinggung skandal McFarlane. Menurut Rafsanjani, McFarlane selaku
penasehat keamanan nasional Gedung Putih yang memimpin rombongan,
menyamar menggunakan identitas palsu paspor Irlandia dengan pakaian
sipil dan menggunakan pesawat Eropa yang melewati jalur Tel Aviv. Mc
Farlane menawarkan penjualan senjata kepada Iran yang saat itu sedang
berperang dengan Irak.
AS menawarkan penjualan senjata
kepada Iran dengan tebusan pembebasan beberapa warga negara AS yang
ditawan kelompok Jihad Islam Hizbullah Lebanon. Menjelang akhir Mei
1986, MCFarlane datang ke Tehran membawa sejumlah persenjataan dalam
pesawatnya. Sejumlah sumber di Iran menyebutkan terjadi tujuh kali
perundingan antara McFarlane dan pejabat Iran. Dari berbagai kesepakatan
yang dicapai kedua pihak adalah tidak diikutsertakannya roket Israel
didalamnya. Di sini, klaim Trita Parsi mentah dan DW terbukti tidak jeli
dalam menguji data. Salah seorang aktor politik Iran, Rafsanjani
menjelaskan masalah tersebut dalam salah satu buku memoir politiknya
“Puncak Pertahanan”. Selain itu, sepuluh tahun lalu, Rafsanjani kembali
menyampaikan masalah tersebut ke koran Hamshahri. Di tahun 1382 Hs, ia
menuturkan,”Kontainer berisi persenjataan dibawa [McFarlane] dalam
pesawat. Selain itu terdapat sejumlah roket Israel. Tapi setelah
beberapa waktu, mereka terpaksa mengambilnya kembali.” Fakta ini
membantah konklusi prematur DW yang mengklaim terjadi kerjasama
Iran-Israel dalam perang dengan Irak.
Modo Hoc Fallacy
Tampaknya, ada peta besar yang luput
dibaca DW dari penjelasan Trita Parsi dan berbagai pemikir Barat lainnya
semacam Efraim Karsh dalam bukunya “Essensial Histories: The Iran-Iraq
war 1980-1988”. Kebanyakan para pemikir Barat terjebak dalam fenomena
“Opera Bouffe” ketika menyimpulkan bahwa AS dan juga Israel membantu
Iran. Sebab mereka melepaskan “Peta besar” dan melupakan triangulasi
data dalam membahas Iran, yang berakibat terjadi penyimpulan
prematur.(Saya sudah membahas masalah ini secara terpisah dalam tulisan
“Iran dan Opera Bouffe”). Secara metodologis, dalam ilmu logika mereka
terjebak Fallacy of Composition, atau yang disebut Richard Carrier sebagai Modo Hoc Fallacy.
Di sini, para sarjana Barat melakukan
generalisasi prematur dengan menilai skandal Irangate sebagai bentuk
kerjasama AS (bahkan Israel, seperti diklaim DW yang mengamini
mentah-mentah statemen Trita Parsi) dengan Iran. Hal tersebut disebabkan
kedangkalan membaca “peta besar” berupa latar situasi dan kondisi
politik, motif dan kepentingan kedua belah pihak. Para analis Barat
tidak jeli, jika tidak memiliki kepentingan tertentu, dalam mengulas
motif dan latar situasi politik sebenarnya ketika McFarlane datang ke
Iran, padahal ini sangat penting untuk konteks dalam memaknai data.
Kebanyakan analis Barat menilai motif
kunjungan McFarlane karena kepentingan ekonomi politik AS yang
memandang Iran membutuhkan senjata karena berperang dengan Irak, dan
Gedung Putih “membantu” Tehran, sekaligus meraih keuntungan finansial
dari penjualan senjata demi mendukung kelompok oposisi Nikaragua.
Padahal, Iran ketika itu menghadapi embargo internasional dari
Washington, dan AS bersama negara lain, termasuk negara-negara Arab
merupakan pemasok utama persenjataan rezim Saddam Husein. Sangat aneh
ketika Gedung Putih yang melibatkan Israel, secara tiba-tiba membantu
Tehran melawan Irak. Tentu saja ada hidden agenda di belakang itu.Tidak
sulit membuktikan fakta bahwa AS dan sekutunya adalah pemasok
persenjataan bagi rezim Saddam. Pengamat Barat sendiri seperti Shane
Harris dan lainnya telah mengungkapkan masalah itu.
Kedatangan McFarlane ke Iran terjadi
di saat perang telah memasuki tahun keenam dari delapan tahun lamanya
yang berakhir 20 Agustus 1988 dengan keluarnya resolusi PBB no.598.
Peristiwa tersebut terjadi di saat tentara Iran yang dibantu pasukan
sukarela rakyat Basiji berhasil merebut seluruh wilayahnya yang dikuasai
Irak seperti Khoramshahr. Bahkan, sebulan sebelum kedatangan McFarlane,
Iran berhasil menguasai pulau Faw Irak pada 11 Februari 1986.Tampaknya,
AS begitu khawatir dengan perkembangan tersebut menyusul rangkaian
kegagalannya pasca kemenangan Revolusi Islam Iran menggulingkan rezim
Shah Pahlevi. Didudukinya kedutaan AS oleh mahasiswa Iran yang disusul
kegagalan operasi Eagle Claw, dan ketidakmampuan rezim Saddam
Husein menundukkan Tehran dalam perang yang panjang mulai mengikis
harapan Gedung Putih melumpuhkan Tehran melalui cara-cara militer,
bahkan setelah meminjam tangan bonekanya, rezim Saddam.
Pada 3 Mei 1986, Presiden AS, Ronald
Reagan mengirim utusan khususnya mengunjungi negara-negara Arab di
wilayah Teluk Persia untuk membicarakan masalah transformasi terbaru di
kawasan, terutama posisi Iran yang tidak bisa dilumpuhkan rezim Saddam.
Ketika awal perang Irak-Iran meletus, hampir tidak ada analis politik
Barat yang memprediksi Iran bisa bertahan, apalagi mampu menyerang balik
Irak. Tapi setelah berlalu hampir enam tahun, situasi berubah, dan AS
pun harus mengubah pendiriannya. Hasil pertemuan utusan khusus Reagan
dengan para pemimpin negara-negara Arab memutuskan bahwa mereka
bersepakat untuk menghentikan dukungannya terhadap Saddam dan meretas
rekonsiliasi damai Irak- Iran, karena tidak menguntungkan
kepentingannya. Padahal begitu banyak bantuan finansial dan militer yang
telah mereka gelontorkan terhadap rezim Baghdad. Sekitar tiga pekan
setelah kunjungan utusan khusus Reagan tersebut, McFarlane datang ke
Tehran untuk meloloskan agenda “konspirasi lunak” Washington.
Pengamat Iran, Mohammad Saebi
(1387Hs:267-269) menilai misi AS yang dipanggul McFarlane demi
menggembosi Republik Islam dari dalam. Para analis politik dan militer
Iran di AS ketika itu mulai menyadari bahwa kekuatan soft powerlah yang
menyebabkan Iran mampu menghadapi Irak yang mengandalkan hard power.
Inti kekuatan utama Iran bertumpu pada mobilisasi rakyat. Untuk itu
Gedung Putih merancang skenario memecah belah kekuatan rakyat dan
pemerintah Iran dari dalam, sekaligus merancang manuver menghadapi
kepemimpinan Iran mendatang setelah Imam Khomeini wafat. Ketika itu,
para pengamat Iran di AS mempediksi dua orang yang kemungkinan akan naik
yaitu, Montazeri atau Hashemi Rafsanjani.Tapi belakangan, lagi-lagi mereka kecele, karena yang naik ternyata melalui proses pemilihan dewan faqih adalah Ayatullah Khamenei.
Di sisi lain, misi McFarlane untuk
menggembosi dukungan rakyat Iran terhadap Republik Islam, bahwa para
pemimpin mereka ternyata tidak jujur dan berunding dengan musuh-musuhnya
yang berada di belakang Saddam. Tapi skenario ini berhasil dibaca dan
dipatahkan Iran di bawah arahan jitu Imam Khomeini.
Lalu, jika Iran mengetahui
motif konspirasi itu mengapa Tehran masih melanjutkan perundingan dengan
McFarlane. Selain masalah kebutuhan senjata, tujuan lainnya untuk
menciptakan kemelut internal di tubuh pemerintahan AS sendiri. Teori
Onuf bisa membantu kita menyingkap separuh masalah ini. Berbagai sumber
penting di Iran, termasuk aktor utamanya seperti Hashemi Rafsanjani
yang mendapat restu dari Imam Khomeini untuk berunding dengan McFarlane
menerapkan skenario “Bazi ba Amerika, (bermain jitu dengan
AS)”. Ketika itu, Imam Khomeini mengeluarkan “garis merah” dalam
perundingan yang harus dipatuhi tim Iran yang berunding dengan
McFarlane. Menurut Imam Khomeini, aktor politik Iran harus selamanya
mempertahankan kebencian terhadap pemerintah Amerika, dan mewaspadai
konspirasi yang sedang dirancang Washington. Sebab tujuan utama Gedung
Putih adalah melumpuhkan Revolusi Islam. Imam Khomeini juga mengingatkan
para aktor politik Iran harus memahami permainan musuh, sehingga bisa
menguasai arena, bukan sebaliknya. Selain itu, orang yang terlibat dalam
perundingan harus memiliki kecakapan dalam strategi politik dan
diplomasi. Garis merah lainnya adalah bertindak demi kepentingan rakyat
Iran, bukan yang lain.
Siapa pemenang perundingan ini.
Sejarah mencatat Iran mendapatkan senjata dari negara yang
mengembargonya sendiri. Terbongkarnya skandal Irangate yang
dipublikasikan pertama kali oleh majalah berbahasa Arab ash-Shiraa
cetakan Beirut pada 3 November 1986 menimbulkan gempa politik di Gedung
Putih. Persis seperti prediksi Imam Khomeini akan muncul konflik di
tubuh pemerintah AS ketika peristiwa itu terbongkar. Saking tingginya
tekanan terhadap McFarlane, penasehat keamanan nasional Gedung Putih ini
sempat melakukan percobaan bunuh diri, meskipun gagal. Reagan sendiri
digugat sejawatnya terutama lawan politiknya. Konon, Irangate menjadi
skandal terbesar kedua di negeri paman Sam itu setelah Watergate. Inilah
yang dimaksud Imam Khomeini sebagai “Bazi ba Amerika“.
Berbeda dengan AS, di Iran tidak ada
gejolak politik yang terlalu serius menyikapi masalah tersebut. Imam
Khomeini dalam pidatonya memperingati hari 13 Aban 1365 Hs mengatakan,“Terbongkarnya
masalah ini menyebabkan [pemerintah] AS berduka. Perselisihan dan
kecemasan muncul di Gedung Putih. Dan bagi para pendukung AS ini menjadi
masalah besar…” Belakang Ayatullah Khamenei mengeluarkan istilah yang hampir serupa dengan terma “Narmesh Ghahramananeh”
untuk menunjukkan posisi Iran dalam perundingan dengan AS. Inilah
sebuah perundingan yang seimbang antara dua pihak yang memasuki meja
perundingan. Ini jelas bukan kerjasama antara dua sekutu. Dan ini pun
terjadi bukan antara Iran dan Israel, tapi dengan AS. Tentu saja, tidak
sulit untuk membedakan keduanya!
(IRIB-Indonesia/myartikel/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email