Imam Khomeini (ra) meyakini bahwa penafsir sejati Al-Quran adalah orang yang menjadi penjelas dari maksud ayat-ayat, bukan penjelas sebab penurunan wahyunya dan beliau meyakini bahwa penjelasan maksud-maksud ayat Al-Quran merupakan kewajiban terpenting para mufasir.
Menurut laporan IQNA, Ali Ramadhan al-Ausi, dosen universitas internasional ilmu Islam London dan peneliti Irak yang bermukim di Inggris dalam sebuah makalah dengan tajuk Al-Quran Al-Karim baina Maqashidihi wa Shawarif Tafsirihi ‘inda al-Imam al-Khomeini ra (Al-Quran Al-Karim, antara maksud-maksud tujuannya dan sarana-sarana tafsirannya dalam perspektif imam Khomeini) – yang diberikan kepada IQNA – mengisyaratkan beberapa poin sebagai berikut.
Dalam makalah ini, pertama-tama dia menuturkan pelbagai metode tafsir Al-Quran dan sarana serta metode-metode yang dipakai oleh para ulama tafsir dan menuliskan, tafsir Al-Quran memiliki pelbagai tendensi, baik secara bahasa, irfan, teolog, sejarah, perbaikan dan sosial.
Makalah ini mengulas empat pembahasan, “Metodologi tafsir Al-Quran al-Karim”, “Tujuan dan maksud terpenting dalam perspektif Al-Quran”; “Metode interaksi imam Khomeini (ra) dengan nash Al-Quran”; dan “Tafakur dan tadabur sebagai kunci metode mengenal tujuan Imam Khomeini dalam tafsir Al-Quran”.
Dalam pembahasan ketiga makalah ini Ali Ramadhan al-Ausi mengkhususkan makalahnya dengan topik “Interaksi imam Khomeini dengan Al-Quran”. “Menurut beliau (ra) keinginan setiap ucapan bersumber dari keagungan pembicara atau sang penulis, hasrat dan tujuan, hasil dan prestasi, audien atau hafiz dan atau pensyarahnya, namun keagungan Al-Quran bersumber dari keagungan pengucapnya, yaitu Allah yang Maha Agung, dimana seluruh sifat-sifat keagungan ada pada diri-Nya,” tulisnya.
Pengisolasian Al-Quran Menurut Perspektif Imam (ra)
Ali Ramadhan al-Ausi mengetengahkan pertanyaan, jika kita menggunakan umur kita untuk tajwid dan kreasi bahasa Al-Quran, apakah kita akan dapat mengeluarkannya dari pengisolasian? Apakah jiwa mempelajari beberapa tilawah Al-Quran dan kita membaca Al-Quran dengan semua tilawah tersebut dapat mengeluarkannya dari pengisolasian?
Dia menjawab: Tidak, sama sekali tidak; karena tidak satupun masalah tersebut dikehendaki oleh Al-Quran dan Allah yang telah menurunkannya; karena Al-Quran adalah sebuah tali yang menghubungkan sang Pencipta dengan makhluk-Nya dan sudah semestinya terbentuk komunikasi ini.
Dia mengatakan tentang padangan imam Khomeini (ra) terkait pengisolaisan Al-Quran, “Menurut beliau, pengisolasian Al-Quran memiliki tingkatan; pertama adalah kita memperindah penjilidannya dan kita menciumnya setelah melakukan istikharah atau membacanya dan meletakkannya di dahi. Ini adalah tingkatan dari pengisolasian Al-Quran,” tulisnya.
Rintangan Memahami Al-Quran Menurut Perspektif Imam Khomeini (ra)
Lebih lanjut, peneliti Irak ini mengisyaratkan rintangan-rintangan dalam memahami Al-Quran dalam perspektif Imam Khomeini (ra). “Imam dalam bukunya Mi’raj al-Salikin wa Salat al-‘Arifin mengisyaratkan sebagian faktor-faktor tersebut; pertama “perintang keangkuhan” sebagai contoh ahli tajwid konsentrasi dalam bagian ini dan mengesampingkan ilmu-ilmu lainnya dan ahli tafsir memperhatikan tafsir dan mengesampingkan ilmu-ilmu Al-Quran lainnya, dan lain sebagainya.
Perintang kedua, yang menjadi perintang pemahaman Al-Quran menurut perspektif beliau adalah “pemikiran rusak dan metode-metode batil”; sebagai contoh jika kita mendengar sebuah pemikiran dari ayah, ibu atau sebagian mimbar orang-orang bodoh dan kita meyakininya, maka ini akan berubah menjadi sebuah penghalang antara kita dan Al-Quran.
Penghalang ketiga menurut perspektif imam Khomeini (ra) adalah meyakini bahwa “Meyakini tidak ada orang yang berhak menggunakan Al-Quran selain para mufasir dan ulama”; dalam menjelaskan hal ini, beliau memilah antara tafsir bi ra’i dengan tadabur dan tafakur dalam Al-Quran.
Menurut makalah Ali Ramadhan al-Ausi, termasuk rintangan lain dalam memahami Al-Quran menurut beliau (ra) adalah dosa dan cinta dunia.
Adab dan Aturan Tilawah Al-Quran Menurut Perspektif Imam Khomeini (ra)
Lebih lanjut dia mengisyaratkan adab dan aturan tilawah Al-Quran Al-Karim menurut perspektif imam (ra). “Beliau menuturkan adab-adab tersebut di bawah adab-adab salat, namun dapat mengeneralkannya dengan tilawah Al-Quran,” tulisnya.
Al-Ausi menulis, termasuk adab dan aturan tilawah terpenting dalam perspektif beliau, pertama adalah: Konsentrasi qori terhadap tajwid dan pelafazan kalimat-kalimatnya dengan benar dan jika hal itu susah dan berat, maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran dari ibadah, namun juga tidak akan mendapatkan balasan.
Kedua: Dalam masalah ini, sebagian berkeyakinan bahwa salat merupakan sarana untuk mengingat dan tilawah merupakan jenis sanjungan dan pujian untuk Allah dan orang-orang tersebut mengambil kesimpulan pentingnya tadabur dalam Al-Quran.
Adab penghambaan dalam tilawah Al-Quran juga memiliki landasan-landasan, dimana sebagian darinya adalah seperti al-Tazkir, al-Tahmid, al-Ta’zim dan al-Taqdis.
Tadabur dalam Al-Quran Menurut Perspektif Imam Khomeini (ra)
Dalam pembahasan keempat makalah tersebut, al-Ausi menjelaskan masalah Tadabur dalam Al-Quran dan menulis, tadabur adalah sebuah metode Al-Quran untuk mengenal Allah, esensi dan masyarakat juga termasuk metode terpenting tafsir dalam menjelaskan ayat-ayat dan maksudnya.
Lebih lanjut, dia mengisyaratkan perspektif imam Khomeini (ra) dalam bab tersebut dan menjelaskan, poros pembahasan beliau (ra) dalam ranah tafsir adalah menjelaskan tujuan diturunkannya Al-Quran dan beliau meyakini bahwa tafsir harus menjelaskan maksud dan tujuan sang penurun ucapan.
Menurut penuturan al-Ausi, dalam perspektif imam Khomeini (ra), penafsir sejati harus dapat menjelaskan kepada kita akan maksud dari diturunkannya Al-Quran, dan bukan sebab penurunan wahyu dan beliau menyebut penjelasan maksud-maksud ayat sebagai kewajiban terpenting dan terberat para penafsir Al-Quran.
(IQNA/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email