Pesan Rahbar

Home » » Apakah faktor yang menyebabkan Muawiyah menentang Imam Ali As? Berikut Penjelasannya

Apakah faktor yang menyebabkan Muawiyah menentang Imam Ali As? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Thursday 12 November 2015 | 19:16:00


Pertanyaan:
Apakah faktor yang menyebabkan Muawiyah menentang Imam Ali As?

Jawaban Global:
Penentangan Muawiyah terhadap Imam Ali As merupakan penentangan dan reaksi antara dua budaya dan dua bentuk pemikiran, sehingga dengan demikian faktor penyebabnya harus dicari dari sifat-sifat dan karakter yang terdapat pada kedua belah pihak.

Imam Ali As mempunyai sifat dan karakter-karakter seperti: berilmu, memiliki latar belakang iman, berani, pemurah, rela berkorban, adil, dan lain sebagianya sehingga pengaruh dari sifat-sifat mulia ini telah membuat Allah Swt menempatkan kasih sayang kepada beliau di kalbu-kalbu manusia sehingga telah menyebabkan kedengkian dan permusuhan dalam diri orang-orang yang tak beriman kepada beliau.

Jawaban Detil:
Penentangan Muawiyah pada Imam Ali As bukanlah sebuah penentangan seseorang terhadap orang lain, melainkan sebuah penentangan dan sikap dua budaya dan dua bentuk pemikiran. Faktor penyebab penentangan, permusuhan dan kedengkian terhadap beliau ini harus dicari dalam sifat-sifat dan karakter-karakter yang terdapat dalam diri Imam dan tolok-tolok ukur beliau dalam menghadapi manusia, demikian juga dengan melihat sifat-sifat dan karakter-karakter yang dimiliki oleh Muawiyah.

Imam Ali As memiliki sifat-sifat dan karakter-karakter yang mulia sehingga hal ini telah menyebabkan kegembiraan bagi sahabat-sahabatnya dan kebencian, kedengkian dan permusuhan bagi para penentang beliau.

Sebagian dari sifat dan karakter-karakter ini antara lain adalah:
Ilmu Imam Ali As: Setelah Rasulullah Saw, Imam Ali As merupakan satu-satunya manusia yang paling berilmu dan berpegetahuan dalam bidang ahkam, aturan-aturan Islam, kejadian-kejadian, rahasia dunia dan sistem penciptaan, sedemikian hingga sahabat maupun musuh akan merujuk kepada beliau saat menemukan jalan buntu dalam menghadapi masalah.

Latar belakang dan histori iman: Imam Ali As adalah lelaki pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw, dan Rasul memperkenalkannya sebagai penerus (khalifah) dan wasinya.

Keberanian dan kekesatriaannya di medan perang: keberanian luar biasa yang dimilikinya telah menyebabkan beliau senantiasa mendapatkan tanggung jawab dalam perang-perang yang paling susah dan paling berbahaya, dan beliau berhasil mematahkan musuh dengan kesetiaan dan pengorbanannya.
Pemurah dan penuh kasih: Imam Ali As sangat pemurah dalam harta pribadi, sedemikian hingga segala jerih payah dan upaya beliau dalam menggali sumur-sumur, membuat saluran-saluran air dan perkebunan kurma, tak sedikitpun yang beliau sisakan untuk dirinya, melainkan beliau mewakafkan seluruhnya di jalan Allah.
Setia dan penuh pengorbanan: Imam Ali As, selain pemurah dalam masalah harta, dalam banyak kasus, beliau rela mengorbankan kebutuhan yang diperlukan oleh dirinya dan keluarganya untuk orang-orang yang kekurangan, dimana salah satu contohnya telah diceritakan dan dipuji dalam al-Quran.[1]

Keadilan: keadilan Imam Ali merupakan sifat beliau yang sangat jelas, sedemikan hingga beliau menjadi teladan bagi seluruh pencari keadilan. Dalam masalah ini beliau bersabda, “Demi Allah, jika ketujuh petala langit dengan seluruh bintang-bintangnya diberikan kepadaku supaya aku mengambil sebutir kulit gandum dari mulut semut secara paksa, maka aku tidak akan pernah melakukanya.”[2]

Penghambaan kepada Allah dan penentangan terhadap hawa nafsu: beliau tidak pernah melangkahkan kaki karena hawa nafsu, melainkan senantiasa menekan keinginan dan hawa nafsunya karena Allah dan melakukan segala sesuatunya hanya dalam penghambaan yang ikhlas dan berbuat untuk Allah. Perang dengan Amru bin Abduwud merupakan salah satu dari contoh dari keikhlasannya.

Dikarenakan pengaruh sifat-sifat dan karakter-karakter mulia dan dikarenakan ayat mulia yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang”[3] inilah Allah Swt menempatkan kasih sayang kepada beliau di dalam kalbu-kalbu manusia dan beliau adalah sosok yang paling mulia di sisi masyarakat. Inilah sebenarnya yang telah menyebabkan kedengkian dan permusuhan orang-orang yang tak beriman kepada beliau, karena mereka yang mengklaim beriman dan memiliki kelebihan ini ternyata tidak mampu sampai pada kedudukan beliau dalam sifat-sifat ini. Akan tetapi satu sifat yang menjadi faktor utama penyebab munculnya permusuhan, terutama permusuhan Muawiyyah, adalah keadilan Imam Ali As.

Setelah menerima kursi kekhalifahan, dalam pidato pertamanya di masjid Madinah, dengan transparansi sempurna, beliau menyampaikan seluruh sikap dan programnya dimana di antaranya adalah ketegasan beliau dalam lintasan utama pemerintahan, beliau berbicara tentang keadilan yang meluas, melawan kezaliman dan menghormati kelayakan, dan mengatakan bahwa beliau pasti akan mengubah kondisi yang ada saat itu, ketertinggalan orang-orang layak pasti akan tergantikan, dan orang-orang tak layak, pasti akan disingkirkan.[4] Harta yang telah terampas akan dikembalikan bahkan kendati telah berada di dalam lemari para perempuan atau telah dibayarkan kepada para kaniz, karena “dalam keadilan terdapat keluasan dan barang siapa yang keadilan sempit baginya, maka kezaliman adalah lebih sempit lagi baginya.”[5]

Dari kutub yang berlawanan, Muawiyah adalah seorang sosok yang ambisius terhadap kekuasaan dimana untuk mencapai kekuasaan ini ia akan melakukan segalanya, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah dimana setelah perdamaian dengan Imam Hasan As, pada suatu hari dalam khutbah shalat Id, Muawiyah mengungkap tujuan-tujuannya sendiri dengan mengatakan, “Aku berperang denganmu bukan karena puasa, salat, haji atau pembayaran zakat, karena kami mengetahui engkau melakukan seluruh hal-hal ini, akan tetapi aku berperang denganmu supaya aku bisa menjadi pemimpinmu, Allah telah memberikan kepemimpinanmu kepadaku dan engkau tidak menginginkan.”[6]

Oleh karena itu sangatlah jelas, pemikiran yang seluruh upayanya adalah kekuasaan dan pemerintahan atas rakyat, sudah tentulah tidak akan mampu mengalahkan pemerintahan Imam Ali As yang sangat berharga.

Selain dari itu, terbunuhnya nenek moyang dan orang-orang musyrik terdekat Muawiyah di perang-perang yang terjadi pada awal Islam telah mengobarkan api balas dendam dalam diri mereka terhadap Islam dan Rasulullah, dan ini juga merupakan motivasi penting lain yang memunculkan penentangan pada Imam Ali As sebagai simbol Islam dan orang yang terdekat dengan Rasulullah Saw. Sebagaimana anaknya Yazid, setelah membunuh Imam Husain As, di depan kepala mulia beliau yang terpenggal, ia menguak tirai yang memberikan ketenangan bagi kesulitannya selama ini dan mengumandangkan syair, “Wahai, andai saja ayah-ayahku yang telah tewas di perang Badar menyaksikan kehinaan, kerendahan dan kekacauan kabilah Khazraj ...”. Hal ini merupakan penggalan syair yang dilantunkan oleh Ibnu Zab’ari di perang Uhud setelah umat Muslim mengalami kegagalan dan para sahabat Rasulullah syahid dalam peperangan[7], dan kini Yazid melantunkan syair ini setelah membunuh Imam Husain As, ia mencoba menyerupakan dua kejadian ini dan mengkhayalkan nenek moyang musyriknya berada di sana dan menyaksikan bagaimana Yazid berhasil membalaskan dendam mereka terhadap keturunan Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, motivasi utama penentangan Muawiyah dan dinastinya dengan pemerintahan Imam Ali As dan keturunannya, sesungguhnya adalah penentangan mereka dengan prinsip Islam dan asas yang diletakkan oleh Rasulullah Saw.

Referensi:
[1]. “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (Qs. Al-Insan [76]: 8-10).
[2]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 13, hal. 211.
[3]. (Qs. Maryam [19]: 96).
[4]. Nahj al-Balâghah, khutbah 16, hal. 57.
[5]. Ibid, Khutbah 15, hal. 57.
[6]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Damisyqi, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 131, Nasyr Dar al-Fikr, Beirut, 1986/1407.
[7]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 204.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: