Pesan Rahbar

Home » » Jakfari: Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah Terhadap Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli

Jakfari: Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah Terhadap Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli

Written By Unknown on Monday 30 November 2015 | 15:40:00


Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 1) 

Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam:

http://www.idrusramli.com/2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/

Pendahuluan

Akhir-akhir ini gencar disebarkan “isu/syubhat” bahwa ulama Mazhab Syi’ah tidak memiliki sanad dan atau kurang memberikan perhatian terhadapnya. Berbeda dengan Ahlusunnah.

Tuduhan ini pertama kali dilontarkan oleh Ibnu Taimiyyah (panutan kaum Wahabi Salafi). Dalam kitabnya Minhâj as Sunnah, ia berkata:
“Sanad (penyebutan mata rantai riwayat_pen) adalah salah satu keistimewaan umat ini. Ia adalah keistimewaan Islam, kemudian dalam Islam ia adalah keistimewaan Ahlusunnah. Dam kaum Rafidhah adalah termasuk kaum yang paling sedikit perhatiannya kepada sanad.”[1]

Lalu datanglah para pengikut Ibnu Taimiyah –yang hanya bertaklid buta- dengan menambah fitnah tersebut, seperti al Mar’asyi, ia mengatakan bahwa Syi’ah sama sekali tidak punya perhatian terhadap sanad karenanya mereka tidak memiliki sanad dalam hadis-hadis yang di atasnya mazhab mereka itu dibangun. Ia berkata: “Keistimewaan ini (isnâd/mata rantai riwayat) itu bersifat mutlak untuk umat Islam. Tetapi ia adalah keistimewaan khusus Ahlusunnah wal Jamâ’ah, Rafidhah dan kelompok ahli bid’ah lainnya tidak memilikinya.”[2]

Kemudian datanglah Doktor Abdurrahman al Shâleh al Mahmûd menerjang seluruh batasan ketika ia mengatakan dalam kata sambutannya atas kitab Mashâdir at Talaqqi wa Ushûl al Istidlâl al Aqa’idiyah ‘Inda al Imâmiyyah/Sumber-sumber Mengambilan (hadis) dan Dasa-dasar Istidlâl Akidah Menurut Syi’ah Imamiyah, karya Îmâm Shâleh al Alwâni:
“Dan tidak ketinggalan dalam kata pengantar ringkas ini saya ingatkan tentang dua masalah yang penting yang telah disinggung penulis dengan apik, walaupun saya berharap ia mau mengkhususkan masing-masing dari keduanya dengan kajian yang lebih rinci dan tersendiri. Masalah pertama: masalah Isnâd dan Ilmu Rijâl di kalangan Rafidhah dan membongkar kerapuhan metodologi mereka dalam masalah ini. Mereka (Rafidhah) membuat-buat –secara palsu- sanad-sanad pada abad keempat dan kelima setelah menyakiskan para imam Ahli Hadis Ahlusunnah memberikan perhatian besar terhadapnya seperti telah maklum.”[3]

Penggiat Anti Syi’ah Lokal Pun Angkat Bicara
Dan setelah itu, suara sumbang ini ditelan mentah-mentah oleh para Salafi Wahâbi lokalan (lulusan kampus-kampus Wahabi di Arab Saudi maupun di negeri lain)… dengan begitu semangatnya mereka menyebarkan isu palsu bak pepesan kosong ini… dengan menjadikan kaum awam -yang sebelumnya telah mereka cekoki kedengkian terhadap kaum Muslim Syi’ah- sebagai sasaran pembodohan dan fitnah tersebut.

Perhatikan apa yang ditulis pengelolah kiblat.net di bawah ini:
“Sementara itu Syiah meyakini bahwa mereka hanya mengakui riwayat dari ahlul bait. Akan tetapi mereka tidak memperhatikan sanad atau integritas para perawi layaknya Ahlussunnah. Sehingga hadits mereka penuh dengan kebohongan dan penyesatan.” (http://www.kiblat.net/2015/03/12/konsep-batil-hadits-syiah-dari-cacat-rawi-hingga-cacat-sanad/)

Dalam tulisannya yang panjang dan terkesan “agak-agak ilmiah” karena mulai bisa menukil langsung dari kitab-kitab Syi’ah walaupun sering kali keliru menarik kesimpulan, disamping terkadang salah dalam menyebut nama ulama, di mana Syeikh Muhammad Abu Zahrah ia katakana sebagai salah satu ulama kontemporer Syi’ah. Sebuah kekeliruan yang memalukan walaupun secara pribadi dapat memaklumi karena orang-orang seperti mereka ini baru belajar mengenal Syi’ah sehingga ketika menyaksikan seorang menulis buku tentang Imam ash Shadiq as. (Imam Keenam Syi’ah) dianggapnya Syi’ah. Sementara semua juga tau, bahkan santri-santri kelas dasar juga kenal bahwa Syeikh Abu Zahrah adalah salah seorang ulama Ahlusunnah.. beliau salah seorang ulama Azhar. Dalam tulisannya itu kiblat.net berusaha menyakinkan bahwa dunia hadis Syi’ah sangat bermasalah…

Insya Allah dalam kesempatan lain poin-poin syubhat kiblat.net akan dikupas di sini.

Dan yang sangat mengherankan adalah sebagian Kyai muda NU –yang baru mulai belajar apa itu Syi’ah dari buku-buku kaum Wahâbi-Salafi juga terjebak dalam kubangan fitnah tersebut dan kemudian ikut-ikutan membenarkannya dan menyebarkannya dengan tanpa meneliti kevalidan isu miring ala Wahâbi Salafi itu.

Di antara mereka adalah saudara saya Ustdaz Idrus Ramli, ia berkata dalam triolog-nya: A ( Ahlusunnah), S (Syiah Rafidhah) dan W (Wahabi) yang ia muat dalam situs yang ia kelolah:

A: “Akhi berdua. Ana kira Syiah tidak perlu dikritik. Karena tidak memiliki sanad dan mata rantai keilmuan yang valid dan shahih.”

Dan ia juga melanjutkan:
“Lalu A membuka rak kitab di belakang dia duduk, dan mengambil kitab kecil, terbitan lama, berjudul Ma’rifah Akhbar al-Rijal, karangan salah seorang ulama Syiah Rofidhoh terkemuka, yaitu Abu Amr Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz al-Kasyi. Di kalangan Syiah Rofidhoh, kitab ini dikenal dengan nama Rijal al-Kasyi.

Lalu A membuka halaman 208 dan meminta S agar membaca dan menerjemahkannya. S membaca dengan agak lancar, tetapi ada beberapa bacaan yang keliru menurut bahasa Arab. Karena orang-orang Syiah memang banyak yang tidak bisa membaca kitab berbahasa Arab dengan baik. Lalu S membaca:


قَالَ يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيْدِ الْحَمَّانِيُّ فِيْ كِتَابِهِ الْمُؤَلَّفِ فِيْ إِثْبَاتِ إِمَامَةِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ع. قُلْتُ لِشُرَيْكٍ إِنَّ أَقْوَامًا يَزْعُمُوْنَ اَنَّ جَعْفَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ ضَعِيْفُ الْحَدِيْثِ فَقَالَ أُخْبِرُكَ الْقِصَّةَ كَانَ جَعْفَرُ بْنِ مُحَمَّدٍ رَجُلاً صَالِحًا مُسْلِمًا وَرِعًا فَاكْتَنَفَهُ قَوْمٌ جُهَّالٌ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِ ويَخَرْجُوْنَ مِنْ عِنْدِهِ وَيَقُوْلُوْنَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنِ مُحَمَّدٍ وَيُحَدِّثُوْنَ بِأَحَادِيْثَ جُلُّهَا مُنْكَرَاتٌ كِذْبٌ مَوْضُوْعَةٌ عَلىَ جَعْفَرٍ لِيَسْتَأْكِلُوْنَ النَّاسَ بِذَلِكَ وَيَأْخُذُوْنَ مِنْهُمُ الدَّرَاهِمَ فَكَانُوْا يَأْتُوْنَ مِنْ ذَلِكَ كُلَّ مُنْكَرٍ.

“Yahya bin Abdul Hamid al-Hammani berkata dalam kitabnya yang disusun dalam menetapkan keimaman Amirul Mukminin. Aku berkata kepada Syuraik, bahwa banyak kaum yang berasumsi bahwa Ja’far bin Muhammad itu lemah haditsnya. Syuraik menjawab: “Aku ceritakan kejadiannya. Ja’far bin Muhammad itu seorang laki-laki yang shaleh dan seorang Muslim yang wara’. Lalu dia dikelilingi oleh kaum yang bodoh-bodoh, yang sering mendatangi beliau, dan keluar dari beliau lalu berkata, “Ja’far bin Muhammad telah menceritakan kepada kami”. Mereka menyampaikan hadits-hadits, sebagian besar adalah munkar, dusta dan dipalsukan kepada Imam Ja’far, dengan tujuan mencari makan dari manusia dengan hal itu dan mengambil uang-uang mereka. Dari situlah mereka melakukan semua kemungkaran.” (Abu Amr Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz al-Kasyi, Ma’rifah Akhbar al-Rijal, hal. 208).

Kemudian ia menyimpulkan:
Akhi S, dalam pernyataan di atas, jelas sekali kalau orang-orang Syiah yang sering mendatangi Imam Ja’far al-Shadiq, itu sering menyampaikan hadits-hadits munkar, dusta dan palsu atas nama Imam Ja’far al-Shadiq, hanya untuk mencari makan. Maaf akhi, ini kesimpulan dari kitab Syiah sendiri. Dan sejalan dengan apa yang diterangkan oleh para ulama Sunni.”

S: “Iya ya. Kok ajaran Syiah yang kami ikuti benar-benar rapuh ya? Ana heran.” (http://www.idrusramli.com/2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/)

Dari kalimat di atas disamping banyak cacat yang bisa dibongkar di sini, ia terlihat sedikit membanggakan kebolehannya dalam berbahasa Arab dan menganggap bahwa banyak Syiah yang tidak bisa membaca bahasa Arab… ia berkata: “S membaca dengan agak lancar, tetapi ada beberapa bacaan yang keliru menurut bahasa Arab. Karena orang-orang Syiah memang banyak yang tidak bisa membaca kitab berbahasa Arab dengan baik.” Saya tidak mengerti apakah seluruh atau kebanyakan kaum Sunni mengerti bahasa Arab? Sungguh kasihan menyaksikan orang yang berbangga merasa lebih unggul dari kaum awam Syia’h. Untuk poin ini saya tidak akan menaggapinya sama sekali karena ia bukan inti masalah. Hanya luapan rasa bangga seorang non Arab (ajami) yang mulai sedikit mengerti bahasa Arab, sementara ia lupa bahwa pakar dan penyusun ilmu Nahwu; Abul Aswad ad Duali itu Syi’ah! Pakar bahasa Arab; Khalil bin Ahmad al Farâhidi itu Syi’ah! Pakar sastra Arab; Ibnu Sikkit itu Syi’ah! Para penulis buku-buku bermutu dalam bahasa Arab seperti tafsir Mizan itu ulama Syi’ah Iran…. Serta ratusan ribu jilid kitab berbahasa Arab yang ditulis orang-orang Syi’ah, khususnya yang berkebangsaan Iran yang notabene sama dengan kita bangsa Indonesia. Di sini saya tidak ingin mengecilkan peran ulama Indonesia, khususnya yang NU (yang latar belakangnya sama dengan saudara Ustadz Idrus Ramli), dan menantang beliau untuk menyebutkan karya ulama Sunni Indonesia yang dapat menandingi satu persen saja dari karya berbobot ulama Syi’ah… saya tidak ingin mengatakan itu, karena saya tidak pernah merendahkan siapapun, apalagi para Kyai sepuh NU yang sangat saya hormati….

Sekali lagi berbangga diri dan menghina orang awam karena tidak mampu membaca tulisan berhabasa Arab dengan baik adalah sikap kerdil dan terlalu berbusung dada dengan sedikit ilmu yang ia miliki.

Dalam kesempatan ini saya tidak bermaksud membuktikan ketidak-validan tuduhan tersebut dengan membongkar selurun unsur kepalsuan dan fitnah yang terkandung di dalamnya. Untuk sementara ini saya akan fokuskan pada menghadirkan beberapa Keistimewaan Dunia Periwayatan Hadis Syi’ah dengan harapan mereka yang selama ini tertipu agar segera sadar, dan mulai meneliti kembali data-data yang selama ini telah mempengaruhi pola pandang mereka tentang Syi’ah, khususnya tentang hadis.

Dan insya Allah dalam kesempatan lain saya ajak pembaca melihat langsung kreatifitas ulama Syi’ah sejak abad pertama dan kedua dalam berkarya tentang Ilmu Rijâl yang menghimpun nama-nama para perawi dan sahabat (murid-murid) para imam Ahlulbait as. sebagai bukti nyata betapa besar perhatian Syi’ah terhadap masalah sanad dalam meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad saw. dan/atau para imam suci Ahlulbait as.

Karena, saya yakin bahwa tidak ada niatan bagi pencari kebenaran untuk tetap bersikukuh mempertahankan apa yang selama ini menjadi pandangannya setelah tersajikan di hadapannya bukti-bukti valid yang memporak-porandakan arugumentasinya (atau baca: syubhat-syubhatnya). Bukankah apa yang tidak mereka ketahui tentang Mazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâ Asyariyah jauh lebih banyak dari apa yang mereka ketahui tentangnya. Belum lagi apa yang mereka ketahui sering kali berupa data-data yang tidak mewakili karena ia ditulis oleh pena-pena musuh Syi’ah atau paling tidak oleh mereka yang hanya mengenal Mazhab Syi’ah dari luar saja.

Sebelas Keistimewaan Para Parawi Hadis Syi’ah

Setelah sedikit pengantar di atas, mari kita perhatikan beberapa keistimewaan para parawi hadis Syi’ah agar menjadi jelas keagungan kedudukan mereka dan betapa besar perhatian mereka terhadap ilmu hadis….

Keistimewaan Pertama: Perhatian yang besar terhadap penjagaan dan penukilan hadis.

Perhatian murid-murid setia para imam suci Ahlulbait as. dalam mendengar, meriwayatkan dan menjaga hadis sangat luar biasa besarnya, sehingga ada di antara mereka yang menghimpun tiga puluh ribu hadis dari seorang Imam Ahlulhait as. Syeikh an Najjâsyi telah menuturkan dengan sanad yangt bersambung kepada Abân bin Utsmân dari Abu Abdillah ash Shadiq as. bahwa beliau berkata:

إنَ أبان بن تغلب روى عنَّي ثلاثين ألف حديث , فاروها عني.

“Sesungguhnya Abân bin Taghlib telal meriwayatkan dariku sebanyak tiga puluh ribu hadis. Maka riwayatkanlah hadis-hadis itu dariku.”[4]

Karena begitu agungnya kedudukan Abân bin Taghlib dalam Islam dan khususnya di sisi Imam para imam, sampai-sampai ketika ash Shadiq as. mendengar berita kematiannya, beliau as. berkata: “Demi Allah! Kematian Abân benar-benar telah membuat hatiku sakit/berduka yang sangat mendalam.”

Dan di antara yang membuktikan betapa besarnya perhatian para ulama dan parawi hadis Syi’ah dalam menukil dan meriwayatkan hadis serta mekodifikasinya adalah apa yang dilaporkan oleh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada Ahmad bin Muhammad bin Isa al Asy’ari berikut ini: “Aku keluar menuju kota Kufah untuk mencari/memburu hadis, dan di sana aku berjumpa dengan Hasan bin Ali al Wasysyâ’, lalu aku meminta kepadanya agar ia mengeluarkan untukku kitab (kumpulan hadis) yang ditulis oleh al ‘Alâ’ bin Razîn al Qallâ’ dan Abân bin Utsmân. Kamudian ia mengeluarkannya untukku. Lalu aku berkata kepadanya: ‘Aku ingin Anda mengijazahkan kepadaku kedua buku ini.’ Maka ia berkata: ‘Semoga Allah merahmatimu. Mengapa kamu terburu-buru. Pergilah dan salinlah kedu bukun ini, lalu setelahnya dengarkan hadis-hadis itu dariku.’ Aku berkata: ‘Aku tidak merasa aman dari kejadian-kejadian mendakan di luar dugaan.’”

Ia berkata kepadaku: “Andai aku tau bahwa akan banyak yang menuntut hadis niscaya dahulu aku berbanyak-banyak mengambil hadis. Sesungguhnya aku telah bertemu di masjid ini (kota Kufah) sembilan ratus Syeikh semua mereka berkata: ‘Ja’far bin Muhammad (Imam ash Shadiq as) telah menyampaikan hadis kepadaku.”

Hasan bin Ali bin Ziyâd Al Wasysyâ’ berasal dari suku Bajali. Ia berasal dari kota Kufah. Ia adalah cucu Ilyâs ash Shairafi –salah seorang murid setia Imam Ali ar Ridha as.. al Wasysyâ’ adalah salah seorang tokoh Syi’ah. Ia meriwayatkan hadis dari Ilyâs; kakeknya.

Di antara hadis ia yang riwayatkan dari kakeknya adalah:
“Menjelang wafatnya, kakekku berkata kepada kami: ‘Bersaksilah untukku. Ini bukan saat untuk berdusta. Aku benar-benar mendengar Abu Abdillah (Imam ash Shadiq) as. berkata: “Demi Allah! Tiada seorang hamba mati dengan membawa kecintaan kepada Allah, rasul-Nya dan berwilayah (mengakui keimamahan) para imam (dari Ahlulbait_pen) lalu api neraka menyentuhnya.” Beliau mengulanginya hingga tiga kali tanpa kami yang memintanya mengulang. Hadis ini telah diberitakan kepada kami oleh Ali bin Ahmad dari al Walîd dari ash Shaffâr dari Ahmad bin Muhammad bin Isa dari al Wasysyâ’.”[5]

Dari kutipan riwayat detik-detik kematian Ilyâs; kakek al Wasysyâ’ dapat kita perhatikan dua poin penting yang terkait dengan pembahasan kita ini:

Pertama: Petapa besar perhatian para ulama dan perawi hadis Syi’ah dalam menyebarkan hadis-hadis yang mereka riwayatkan/dengar dari para imam Ahlulbait as.

Kedua: betapa besar pula perhatian mereka dalam urusan sanad…. Terbukti mereka menyebutkan sanad riwayat yang menyambungkannya kepada sumber utama yang menukil dari Imam ash Shadiq as.

Dan kenyataan seperti bukan satu-satu bukti dan data yang akan memaksa pencari kebenaran untuk meninjau kembali kesimpulan-kesimpulan keliru mereka tentang dunia hadis di kalangan Syi’ah.

Dan al Wasysyâ’ telah menulis beberapa buku hadis dari riwayat Ahlulbait as., di ataranya:
Tsawâbul Haj (Pahala Haji).
Al Manâsik (tentang haji).
An Nawâdir.
Masâil al Imam ar Ridha as.

Al Ushûl Al Arba’u Miah
Di antara bukti nyata besarnya perhatian para ulama dan perawi hadis Syi’ah terhadap penjagaan, penyeleksian dan penulisan hadis-hadis Nabi saw. dan para imam suci Ahlulbait as. adalah keberadaan empat ratus karya/buku kumpulan hadis yang dikenal dengan mana al Ushûl al Arba’u Miah (Empat Ratus Ushûl).

Kata al Ushûl adalah bentuk jamak kata al Ashlu yang berarti Asal. Yang dimaksud dengan Al Ushûl Al Arba’u Miah adalah empat ratus buku kumpulan hadis yang ditulis oleh para murid Imam ja’far ash Shadiq as atau murid-murid beliau dan juga murid-murid para imam Ahlulbait as. selain beliau.

Muhaqqiq al Hilli berkata: “Telah ditulis dari jawaban-jawaban yang dituturkan/disabdakan (Imam) Ja’far bin Muhammad sebanyak empat ratus mushannaf (karya) yang dinamai para ulama Syi’ah dengan nama Ushûl.”[6]

Ath Thabarsi berkata: “Para ulama tersohor yang telah meriwayatkan hadis dari Imam ash Shadiq as. berjumlah empat ribu perawi. Dan telah dikarang empat ratus buku kumpulan jawaban-jawaban yang dinamai Ushûl. Hadis-hadis yang mereka himpun dalam empat ratus Ushûl itu adalah hadis dari riwayat-riwayat murid-murid Imam Ja’far as. dan murid-murid putra beliau; Musa al Kadzim as.”[7]

Selain dua keterangan di atas banyak keterangan lainnya yang telah disampaikan para ulama Syi’ah tentang keberadaan empat ratus Ushûl tersebut di mana ia menjadi pengandalan para ulama dan mujtahid Syi’ah dalam mengenali ajaran para imam suci Ahlulbait as.

Sebagian besar Ushûl itu ditulis di masa Imam Ja’far ash Shadiq as. yang mana masa itu adalah masa kelemahan dua kekuasan; masa akhir kekuasaan bani Umayyah dan masa awal pembentukan kekuasaan bani Abbas. Kisaran tahun 95 H -tahun kematian Hajjaj bin Yusuf seorang aparat bani Umayyah yang sangat kejam dan dikenal haus darah- hingga tahun 170 H – tahun harun menjabat sebagai Khalifah-. Demikian dituturkan Aghâ Bozrak ath Thahrâni dalam kitab adz Dzarî’ah-nya:2/131.

Sebagian besar Ushûl tetap terjaga dari kemusnahan hingga abad keenam terbuti dengan dimilikinya oleh Ibnu Idris al Hilli (w.598 H) di mana beliau kemudian mengoleksi hadis-hadisnya dalam kitab as Sarâir. Sebagimana sebagian yang tidak sedikit tetap terpelihara hingga masa Sayyid Ibnu Thawûs (w.664 H) seperti beliau tegaskan dalam kitab al Mahajjah-nya. Setelahnya secara bertahap kepedulian kepada kitab-kitab Ushûl itu menyedikit dengan kehadiran kitab-kitab induk seperti al Kafi, Man Lâ Yahdhurul Faqîh, al Tahdzîb dan al Istibshâr yang telah menghimpun hampir seluruh hadis yang termuat dalam kitab-kitab Ushûl tersebut.

Kelebihan kitab Ushul dibanding kitab-kitab hadis lainnya adalah penulisnya meriwayatkan hadis/sabda secara langsung dari Imam as. atau melalui satu perantara yaitu murid Imam as.

Keberadaan karya seperti itu membuktikan besarnya perhatian para ulama Syi’ah terhadap sabda-sabda para imam Ahlulbait as.

Untuk sementara saya cukupkan ulasan tentang keistimewaan pertama para perawi hadis Syi’ah. Dan sekarang mari kita ikuti keterangan tentang Keistimewaan Kedua.

(Insya Allah Bersambung)
_____________
Referensi:
[1] Minhâj as Sunnah (dengan tahqîq Muhamamad Rasyâd Sâlim),7/37.
[2] Fathul Mannân:160.
[3] Mashâdir at Talaqqi: hal: bâ’ (pengantar).
[4] Rijâl an Najjâsyi:12/ Bodata no.7. Terbitan Muassasatun nasyri Li Jamâ’atul Mudarrisîn – Qom – Iran. Thn1407 H. dengan tahqiq Sayyid Musa asy Syubairi az Zanjâni.
[5] Ibid. 39-40, ketika membicarakan biografi al Hasan bin Ali al Wasysyâ’, no. 80.
[6] Al Mu’tabar,1/22.
[7] I’lâmul Warâ:166 dan adz Dzarî’ah,2/129.
*****


Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 2)

Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/
2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Setelah kita ketahui dan kenali keistimewaan para parawi hadis Syi’ah, mari kita ikuti ulasan lanjutan tentang keistimewaan berikutnya.

Keistimewaan Kedua:
Keistimewaan berikutnya yang kita saksikan dari para parawi hadis Syi’ah adalah semangat besar mereka dalam melancong demi menuntut hadis. Mayoritas para ulama’ dan ahli hadis (perawi hadis) Syi’ah pada abad kedua dan awal abad ketiga Hijrah mereka melancong dari negeri-negeri mereka yang jauh menuju kota suci Madimah al Munawwarah untuk berjumpa dengan para imam Ahlulbait as. demi menimba ilmu Rasulullah saw. dan mendengar hadis langsung dari lisan suci para imam as. Dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menetap di kota suci Madinah untuk waktu yang cukup lama demi tujuan tersebut, sementara yang lainnya ada yang selalu berkunjung ke kota suci Madinah dalam kurun waktu yang berdekatan.

Di bawah ini saya akan sajikan beberapa contoh nama perawi dengan menyebut nama negeri atau kota asal mereka, di mana semua mereka itu telah meriwayatkan langsung dari lebih dari satu imam; Imam Zainal Abidin as. (w.94 H), Imam Abu Ja’far Muhammad al Baqir as. (w.114 H), Imam Ja’far ash Shadiq as. (w.148 H), Imam Musa al Kadzim as. (w.183 H) dan Imam Ali ar Ridha as. (w.203 H). Khalifah Ma’mun telah memindah paksa Imam ar Ridha as. ke kota Kurasân pada tahun 201 H.:
Al Qasim bin ‘Auf asy Syaibâni al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam Ali bin Husain Zainal Abidin as.[1]
Abân bin Iyâsy al Bashri. Ia meriwayatkan dari Imam Ali bin Husain Zainal Abidin as..[2]
Jâbir bin Yazîd al Ju’fi al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam al Baqir dan Imam ash Shadiq as.[3]

Syeikk ath Thûsi meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Jâbir, ia berkata: “Aku berkhidmad kepada tuan agungku Imam Abu Ja’far Muhammad bin Ali as. selama delapan belas tahun. Dan ketika aku hendak pulang, aku ucapkan selamat perpisahan kepada beliau, aku berkata kepada beliau: ‘Kumohon, beri aku manfaat (ilmu).’ Maka beliau berkata: ‘Hai Jâbir, apakah setelah delapan belas tahun ini (kamu masih meminta ilmu lagi)!’ Aku berkata: ‘Iya, benar. Kalian (para imam Ahlulbait as.) bak lautan yang tak akan pernah surut dan tak ada yang dapat menyelami dasarnya.’ Maka beliau berkata: ….. .”[4]
Buraid bin Mu’awiyah al Ijli al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam al Baqir dan Imam ash Shadiq as.[5]
Al Fudhail bin Yasâr al Nahdi al Bashri. Ia meriwayatkan dari Imam al Baqir dan ash Shadiq as.[6]
Abdul Malik bin Abdullah bin Sa’ad al Asy’ari al Qummi. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq as.[7]
Saif bin Umairah al Nakha’i al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq dan Imam Musa al Kadzim as.[8]
Rib’i bin Abdullah bin al Jârûd al Hudzali al Bashri. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq dan Imam Musa al Kadzim as.[9]
Umar bin Muhammad bin Yazîd, Bayyâ’ as Sâbiri al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq dan Imam Musa al Kadzim as. Beliau adalah salah satu ulama yang secara rutin berkunjung setiap tahun menemui Imam.[10]
Abdurraman bin al Hajjâj al Bajali al Kûfi lalu al Baghdâdi. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq dan Imam Musa al Kadzim as.[11]
Murâzim bin Hakîm al Madâini. Ia meriwayatkan dari Imam ash Shadiq dan Imam Musa al Kadzim as.[12]
Muhammad bin Shadaqah al Anbari al Bashri. Ia meriwayatkan dari Imam Musa al Kadzim dan Imam ar Ridha as.[13]
‘Amr bin Sa’îd al Madâini. Ia meriwayatkan dari Imam ar Ridha as.[14]
Ma’mar bin Khallâd al Baghdâdi. Ia meriwayatkan dari Imam ar Ridha as.[15]

Sebagaimana para ulama dan Muhaddis Syi’ah di abad ketiga berkunjung untuk menemui para imam Ahlulbait as. yaitu Imam Muhammad al Jawad putra Imam Ali ar Ridha as. (yang mana beliau menghabiskan hampir seluruh umurnya di kota suci kakek teragung beliau Nabi Muhammad saw.), Imam Ali al Hadi as. (beliau tinggal di kota suci Madinah sebelum kemudian di masa-masa akhir hidup beliau dipaksa Khalifah bani Abbas untuk tinggal di kota militer Samurrâ’-Irak) dan Imam Hasan al Askari putra Imam Al Hadi as. (yang tinggal di kota Samurrâ’).

Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa nama ulama dan Muhaddis Syi’ah yang melancong mengais hadis langsung dari lisan suci para imam keturunan Nabi Muhammad saw. di antara mereka tentu tidak sedikit yang sempat berjumpa dengan lebih dari satu Imam as.
Ali bin Mahzayâr al Ahwâzi. Ia meriwayatkan dari Imam al Jawad dan Imam al Hadi as.[16]
Ali bin Asbâth al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam al Jawad as.[17]
Musa bin al Qasim al Bajali al Kûfi. Ia meriwayatkan dari Imam al Jawad as.[18]
Ahmad bin Ishaq al Asy’ari al Qummi. Ia meriwayatkan dari Imam al Jawad, Imam al Hadi dan Imam Hasan al Askari as.[19]
Ali bin Hadîd bin Hakîm al Madâini. Ia meriwayatkan dari Imam al Jawad as.[20]
Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah al Asy’ari al Qummi. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi as.[21]
Ali bin Bilâl al Baghdadi al Wâsithi. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi as.
Ali bin Sulaimân bin Rasyîd al ‘Aththâr al Baghdâdi. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi as. [22]
Daud bin Abi Zaid al Nisâburi. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi as.[23]
Ali bin Umar al ‘Aththâr al Quzwini. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi as.[24]

Muhammad bin Abi ash Shahbân Abdul Jabbâr al Qummi. Ia meriwayatkan dari Imam al Hadi dan Imam Hasan al Askari as.[25]

Sebagimana sebagian dari ulama dan Muhaddis Syi’ah mengadakan perjalanan untuk menemui para Masyâikh (guru besar) demi mendengar dari mereka hadis-hadis Nabi saw. dan para imam suci dari keturunan Nabi saw. mereka mengadakan perjalanan dari negeri-negeri mereka yang jauh hanya untuk mendengar dan memelihara hadis dan ilmu para imam as.

Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa dari mereka:
Ahmad bin Muhammad bin Isa al Asy’ari al Qummi.

Beliau menlancong ke kota Kufah dalam rangkka memburu hadis. Di sana beliau bertemu dengan al Hasan bin Ali bin Ziyâd al Bajali al Wasysyâ’; salah seorang murid Imam Ali ar Ridha as. dan pepmesar Syi’ah di masanya.[26]

Al Fadhl bin Syâdzân al Azdi an Nisâbûri (w.260 H)

Beliau mendengar hadis dari para Masyâikh (Guru Besar) kota Baghdad dan Kufah seperti Muhammad bin Abi ‘Umair, al Hasan bin Ali bin Fadhdfhâl, Shafwân bin Yahya dkk.[27]
Sa’ad bin Abdullah bin Abi Khalaf al Asy’ari al Qummi (w.301 H atau 299 H).

Beliau mengadakan perjalanan ke luar negeri demi memburu hadis para imam Ahlulbait as.[28]
Al Hasan bin Muhammad bin Ahmad ash Shaffâr al Bashri.

Beliau telah meriwayatkan hadis dari Hasan bin Sumâ’ah (w.263 H), Muhammad bin Tasnîm, Abu Ar Rawâjini (w. 250 H), Muhammad bin al Husain bin Abi al Khaththab al Hamdâni (w. 262 H), Mu’awiyah bin Hakîm[29]… dan mereka semua adalah para tokoh ahli hadis kota Kufah. Itu artinya beliau melancong ke kota Kufah untuk memburu hadis dari para masyâikh itu.
Muhammad bin Mas’ûd bin Muhammad al Sulami as Samarqandi yang dikenal dengan nama al Ayyâsyi (penulis tafsir yang sangat terkenal).

Beliau mendengar hadis dari banyak masyâikh ahli hadis kota Kufah, Baghdad dan Qum (Iran).[30]
Abul Mufadhdhal Muhammad bin Abdullah asy Syaibâni al Kûfi (W. 297 atau 387 H)

Beliau telah menghabiskan seluruh usianya dalam melancong mencari hadis.[31]

Inilah beberapa catatan tentang perhatian para tokoh ahli hadis Syi’ah dalam memelihara dan mengabadikan hadis para imam Ahlulbait as.

Dan yang perlu dicatat di sini adalah bahwa tidak sedikit dari nama-nama yang telah saya sebutkan itu adalah para ulama hadis yang tidak sekedar berprofesi sebagai perawi hadis, tetapi mereka disamping sebagai perawi hadis, mereka juga adalah para pakar fikih dan disiplin ilmu-ilmu Islam lain, disamping tidak sedikit pula dari mereka telah mengabadikan hadis-hadis Ahlulbait as. yang mereka dengar, -baik langsung dari lisan suci para imam as. maupun dari para Masyâikh dan guru besar hadis- dalam kitab-kitab karya mereka.

Semoga sekelumit keterangan tentang aktifitas dan kreatifitas para perawi hadis Syi’ah ini dapat memberikan informasi segar seputar perhatian dan kegigihan mereka dalam memelihara hadis, dan agar terusir anggapan tidak berdasar yang berusaha mengecilkan bahkan meniadakan paran dan perhatian para Muhaddis Syi’ah dalam dunia hadis.

Insya Allah kita akan berjumpa lagi dalam ulasan tentang keistimewaan ketiga para perawi hadis Syi’ah. Nantikan.
___________
Referensi:
[1] Rijâl al Barqi:69 no.24. Terb. Muassasah al Imam ash Shadiq as. Thn.1430 H.
[2] Ibid. 71 no.29.
[3] Ibid. 74, no.11 dan 122, no.1.
[4] Lebih lanjut baca Amâli Syeikh ath Thûsi:302/Majlis ke 11.
[5] Rijâl an Najjâsyi:112, no.287.
[6] Ibid.309 no.846.
[7] Rijâl al Barqi:158 no.199.
[8] Rijâl an Najjâsyi:189, no.504.
[9] Ibid.167, no.441.
[10] Ibid. 283, no.751.
[11] Ibid.237, no.630.
[12] Ibid. 424, no.1138.
[13] Ibid. 364, no.983.
[14] Ibid, 287, no.767.
[15] Ibid. 421, no.1128.
[16] Ibid. 253, no.664.
[17] Ibid. 252, no. 663 dan Rijâl al Barqi: 346, no. 29.
[18] Rijâl al Barqi: 345, no.21.
[19] Rijâl an Najjâsyi: 91, no. 225.
[20] Rijâl al Barqi: 346, no. 28.
[21] Rijâl an Najjâsyi: 79, no.190.
[22] Rijâl al Barqi: 358, no. 23 dan Rijâl ath Thûsi: 388, no.5710.
[23] Rijâl al Barqi: 362, no. 42.
[24] Ibid. 366, no.57.
[25] Ibid. 365, no.53 dan: 375, no.19.
[26] Rijâl an Najjâsyi:39, no.80. seperti telah lewat disinggung.
[27] Rijâl al Kisysyi:455, no.416 ketika membicarakan biografi al Hasan bin Fadhdhâl.
[28] Rijâl an Najjâsyi:177, no.467.
[29] Lebih lanjut baca Rijâl an Najjâsyi: 48 no.101.
[30] Ibid.350-351, no.944.
[31] Ibid.396, no.1059.
*****

Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 3)

Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/
2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Keistimewaan Ketiga: Mengadakan Tour Dakwah Menyebarkan Hadis

Jika pada keistimewaan kedua kita saksikan bagaimana para ulama dan ahli hadis Syi’ah melancong untuk menemui para ulama dan tokoh Muhaddis demi mendengar hadis dan mengais ilmu, maka pada lembaran lain keistimewaan-keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah kita menemukan bahwa mereka juga giat mengadakan Tour Dakwah menyebarkan hadis dan Sunnah Nabi saw. yang disampaikan langsung lisan-lisan suci Ahlulbait as. Tentu menempuh perjalanan di masa-masa itu akan identik dengan pengorbanan, perjuangan dan berbagai kesulitan yang siap menghadang. Namun demikian semua itu tidak mengendurkan semangat mereka untuk menyebarkan hadis.

Di bawah ini, sekedar menyebut contoh, saya akan sajikan beberapa nama para tokoh Ahli Hadis Syi’ah yang berhijrah dari satu negeri ke negeri lain untuk menyebar-luaskan hadis Ahlulbait as.
Ibrahim bin Hasyim al Kûfi (Salah seorang Ahli Hadis pertengahan abad ketiga).

An Najjâsyi (W. 450 H) berkata tentangnya: “Ia berasal dari kota Kufah (Irak), lalu berpindah ke kota Qom (Iran)…

Para ulama kami berkata: “Ia orang pertama yang menyebar-luaskan hadis para parawi/ulama Kufah di kota Qom.”

Ibrahim bin Hasyim ini bukan sembarang perawi hadis, akan tetapi ia juga seorang ulama besar dan penulis beberapa kitab kumpulan hadis, di antaranya:
Kitab an Nawâdir,
Kitab Qadhâyâ Amiril Mu’minîn as.
Kitab-kitab karya beliau telah diriwayatkan oleh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepadanya.[1]

Dengan kepindahan beliau ke kota Qom makin bersemaraklah ilmu hadis Syi’ah di kota tersebut.

Hadis-hadis riwayat beliau telah menghiasi kitab-kitab hadis standar Syi’ah seperti al Kafi, Man Lâ Yahdhuruhul Faqîh, al Istibshâr, at Tahdzîb, dll.[2]
Ibrahim bin Muhammad bin Sa’îd bin Hilâl bin ‘Âshim bin Sa’ad bin Mas’ûd ats Tsaqafi; Abu Ishaq al Kûfi (W.283 H) Penulis kita al Ghârât.

An Najjâsyi berkata: “Ia berpindah ke kota Ishfahan (Iran) dan menetap di sana. Kisah mengapa ia berpindah ke Ishfahan meninggalkan kota asalnya Kufah adalah: Ketika ia menulis kitan al Ma’rifah, di dalamnya ia meriwayatkan hadis-hadis keutamaan (Ahlulbait as.) dan kecamana atas musuh-musuh mereka, lalu menduduk kota Kufah menganggapnya terlalu berat hadis-hadis yang dimuatnya tersebut. Mereka mengusulkan agar ia tidak menyebutkannya dalam kitab karyanya dan tidak pula menyebarkannya, maka ia berkata: “Kota mana yang paling jauh dari keberadaan orang-orang Syi’ah? Mereka menjawab: “Ishfahan.” Lalu ia bersumpah: “Saya tidak akan meriwayatkan hadis-hadis ini kecuali di kota itu!” kemudian ia berpindah ke sana dan ia mulai menyebarkan hadis-hadis riwayatnya sebagai bukti kemantapan akan keshahihan hadis-hadis tersebut dan kepercayaan diri atas apa yang ia riwayatkan.[3]

Tidak sekedar sebagai parawi hadis Syi’ah, beliau juga seorang ulama yang sangat produktif, terbutki dengan banyak kitab yang beliau tulis. Syeikh an Najjâsyi berkata: “Ia memiliki banyak kitab (karya tulis) yang telah sampai ke tangan kami, di antaranya:
Kitab al Mabda’,
Kitab Sîrah (sejarah Nabi saw.),
Kitab, Ma’rifah Fadhlil al Afdhal,
Kitab Akhbâr al Mukhtâr,
Kitab al Maghâzi (sejarah peperangan Nabi saw.),
Kitab as Saqifah, Kita bar Riddah (kemurtadan),
Kitab Mauqtal Utsman,
Kitab asy Syûrâ,
Kitab Bai’atu Ali as.,
Kitab al Jamal,
Kitab Shiffîn,
Kitab an Nahr,
Kitab al Ghârât,
Kitab Maqtal Amiril Mu’minin as.,
Rasâil wa Akhbâr Amiril Mu’minin as.,
Kitab maqtal al Husain dan pululkan kitab lainnya.

Kitab-kitab karya Ibrahin telah sampai ke tangan Syeikh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada penulisnya.[4]

Pada mulanya ia bermazhab Syi’ah Zaidiyah kemudian setelah berdiskusi dengan beberapa tokoh ulama Syi’ah ia mantap untuk meyakini Mazhab Syi’ah Imamiyah dan meyakini dua belas Imam suci Ahlulbait Nabi as.

Hadis-hadis riwayatnya telah menghiasi berbagai kitab hadis standar Syi’ah di berbagai bab dan masalah.[5]

Abdullah bin Ja’far bin Husain bin Malik al Himyari; Abul Abbas al Qummi.

An Najjâsyi berkata tentangnya: “Beliau adalah Syeikhul Qummîyyîn wa wajhuhum (Maha Guru dan tokoh panutan ulama Qom). Ia berkunjung ke kota Kufah pada tahun dua ratus sembilan puluh sekian. Dan penduduknya mendengar (meriwayatkan) hadis darinya dan mereka berbanyak-banyak menimba ilmu darinya.”.

An Najjâsyi juga menjelaskan bahwa beliau telah menulis banyak buku, di antaranya:
Kitab al Imâmah,
Kitab ad Dalâil,
Kitab at Tauhid,
Kitab al badâ’,
Kitab al Irâdah wa al Istithâ’ah wal Ma’rifah,
Kitab Qurbul Isnâd Ilâ ar Ridha as.,
Kitab Qurbul Isnâd Ilâ Abi Ja’far bin ar Ridha as. dan banyak buku lainnya.
Dan seluruh buku karyanya telah sampai ke tangan Syeikh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada penulisnya.[6]

Abu Ghâlib ar Zurâri telah menyebutkan bahwa tahun kunjungan beliau ke kota Kufah tepatnya pada tahun 297 H.[7]

Hadis riwayat beliau telah menghiasi berbagai kitab hadis standar Syi’ah.[8]

Muhammad bin Ya’qûb bin Ishaq; Abu Ja’far al Kulaini (W. 329 H)

Al Kulaini adalah tokoh agung Syi’ah di masanya. Ia bersalah dari kota Ray (pinggiran Teheran sekarang). Setelah menuntut ilmu di kota kelahirannya dan beberapa kota besar ilmu Syi’ah ia tinggal di Baghdad –ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah saat itu-. Di sana ia menyebarkan ilmunya dan meriwayatkan hadis kepada para santri dan ulama Syi’ah.[9] Beliau juga mengadakan perjalanan safari dakwah ke negeri Syam tepatnya ke ibu kota Damaskus dan Baklabakka.

Safari beliau ke negeri Syam telah dicatat oleh ulama besar Ahlusunnah; Ibnu Asâkir dalam Târîkh Damasqus-nya.[10]

Karya beliau kitab al Kâfi adalah salah satu dari empat kitab hadis standar Syi’ah yang paling diagungkan dan dirujuk hingga hari ini.

Sengaja kami tidak hadirkan berbagai pujian ulama Syi’ah terhadap beliau dan kitab al Kâfi karya beliau demi ringkas pembahasan dana agar tidak melebar keluar tema inti.
Ahmad bin Muhammad bin Ja’far; Abu Ali ash Shûli al Bashri.

Pada tahun 353 H ia berkunjung ke kota Baghdad dan para ulama pun menimba ilmu darinya.

Beliau telah menulis beberapa buku, di antaranya: Akhbâr Fatimah as. Demikian diterangkan oleh an Najjâsyi.[11]

Muhammad bin Ali bin al Husain al Qummi yang dikenal dengan nama ash Shadûq (w.381 H).

Beliau tinggal di kota Ray. Dan berkunjung ke kota Baghdad pada tahun 355 H. sebagai seorang tokoh ulama Syi’ah, kedatangan beliau disambut hangat oleh para ulama Syi’ah, mereka menimba ilmu dari beliau kendati saat itu usia beliau terbilang sangat muda.[12]

Beliau salah seorang ulama besar dan tokoh sentral Syi’ah di masanya dan sangat produktif menulis puluhan kitab, di antaranya:
Man Lâ yahdhuruhul Faqîh (satu dari empat kita hadis standar Syi’ah),
at Tauhîd,
al Khishâl,
Ilal asy Syarâi’ dan puluhan lainnya.

Demikianlah sekelumit sejarah penyebaran hadis Ahlulbait as. yang dilakukan oleh para tokoh ulama dan para pembesar ahli hadis Syi’ah. Dan selain mereka tentu masih banyak contoh-contoh lain…

Semoga sedikit keterangan ini dapat menambah pengetahuann kita tentang sejarah hadis di kalangan Syi’ah.

(Insya Allah Bersambung)
____________
Referensi:
[1] Rijâl an Najjâsyi:16, no.18.
[2] Jâmi’ ar Ruwât; Allamah Muhammad bin Ali al Ardebili al Gharri al Al Hâiri,1/38.
[3] Rijâl an Najjâsyi:16-17, no.19.
[4] Ibid.
[5] Jâmi’ ar Ruwât,1/32.
[6] Rijâl an Najjâsyi:219, no.573 dan Jâmi’ ar Ruwât,1/478.
[7] Risâlah Abi Ghâlib az Zurâri:149.
[8] Jâmi’ ar Ruwât,1/478-479.
[9] Lisân al Mîzân; Ibnu Hajar al Asqallâni,5/433, no.1419.
[10] Târîkh Damasqus,56/297 no.7126.
[11] Rijâl an Najjâsyi:84, no.202.
[12] Ibid.389, no.1049.
*****

Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 4)

Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/
2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Keistimewaan Keempat: Adanya Perhatian Kepada Hadis Pada Level Keluarga/Marga

Sejarah hadis Syi’ah telah mencatat adanya perhatian yang sangat besar yang terlihat pada keluarga/marga-marga tertentu dalam ilmu hadis; periwayatan dan penjagaan, di mana kecenderungan dan semangat dalam menuntut hadis dan menyerbarkannya telah diwarisi oleh anggota-anggota keluarga tertentu tersebut generasi demi generasi.

Di bawah ini saya akan sebutkan beberapa contoh keluarga yang konsisten bergelut dengan dunia hadis, sejatinya mereka adalah keluarga para ulama:

Keluarha, Âlu Abi Syu’bah
Keluarga yang dikenal kemuliaannya di kota Kufah. Kakek mereka Abu Syu’bah telah meriwayatkan hadis dari Imam al Hasan dan Imam al Husain as. Para ulama hadis dari keluarga ini adalah orang-orang yang tsiqât/terpercaya dan ucapan/pendapat mereka dijadikan rujukan.[1]

Di antara ulama dan ahli hadis dari keluarga ini adalah:
Ubaidullah, (2) Muhammad, (3) Imrân, (4) Abdul A’lâ, semuanya adalah putra Ali bin Abi Syu’bah. (5) Yahya bin Imrân bin Abi bin Abi Syu’bah. (6) Ahmad bin Umar bin Abi Syu’bah.

Sekelumit Tentang Mereka

Tentang Ubaidullah bin Ali bin abi Syu’bah, an Najjâsyi berkomentar: “Keluarga Abu Syu’bah tinggal di kota Kufah. Keluarga ini dikenal di kalangan para ulama kami (Syi’ah)….

Dan Ubaidullah ini adalah tokoh dan pemuka keluarga tersebut. Ia menulis buku yang dinisbatkan kepada namanya lalu disodorkan kepada Abu Abdillah (Imam ash Shadiq) as.dan beliau menshahihkannya dan mengapresiasinya, lalu berkata: ‘Adakah mereka memiliki karya seperti ini?’”

Kitab karyanya telah diriwayatkan oleh sekelompok ulama kami dengan sanad bersambung kepada Ubaidullah dengan jalur yang banyak…

Kemudian an Najjâsyi menyebutkan satu jalur yang menyambungkannya kepada penulis kitab tersebut.[2]

Tentang Muhammad bin Ali bin Abi Syu’bah tersebut di atas, an Najjâsyi berkomentar: “Muhammad bin Ali bin Abi Syu’bah al Halabi[3]; Abu Ja’far, wajhu ash-hâbinâ wa Faqîhuhum/Tokoh para ulama kami dan seorang pakar Fikih panutan mereka. Beliau tsiqah/jujur lagi terpercaya, tidak aada kecaman atasnya sedikitpun, demikian juga dengan saudara-saudaranya; Ubaidullah, Imrân dan Abdul A’lâ.

Beliau memiliki kitab Tafsir ….

Dan juga memiliki kitab tentang hukum halal dan haram (Fikih) yang disusun berdasarkan bab perbab.”

Kedua kitab karya beliau telah sampai ke tangan Syeikh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada penulisnya.[4]

Tentang Yahya bin Imrân bin Abi Syu’bah, an Najjâsy berkomentar: “Yahya bin Imrân bin Abi Syu’bah al Halabi. Ia telah meriwayatkan hadis dari Abu Abdillah (Imam ash Shadiq) dan Abul Hasan (Imam al Kâdzim) as.. Beliau adalah seorang ulama yang tsiqah tsiqah, shahîhul hadîts (jujur lagi terpercaya jujur lagi terpercaya, shahih hadis riwayatnya).

Beliau memiliki kitab kumpulan hadis yang telah diriwayatkan dari beliau oleh banyak ulama. Kemudian Syeikh an Najjâsyi menyebutkan jalur beliau yang manyambungkan kepada penulis kita tersebut.[5]

Tentang Ahmad bin Umar bin Abi Syu’bah, an Najjâsyi berkata: “Ahmad bin Umar bin Abi Syaibah al Halabi. Ia tsiqah/terpercaya lagi jujur. Ia meriwayatkan hadis dari Abul Hasan (Imam) ar Ridha as dan sebelumnya ia meriwayatkan dari ayahnya. ia adalah saudara sepupu dengan Ubaidullah, Abdul A’lâ, Imrân dan Muhammad al Halabi. Ayah mereka telah meriwayatkan hadis dari Abu Abdillah (Imam ash Shadiq) as… Mereka semua stiqât.

Ahmad bin Umar di atas memiliki kitab himpunan hadis yang telah diriwayatkan oleh sekelompok ulama.

Kitab itu telah sampai ke tangan an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada penulisnya.”[6]

Setelah mengenal sekilas kiprah dan jasa besar kelaurga Abu Syu’bah dalam melestarikan hadis Ahlulbiat as., mari kita lanjutkan dengan mengenal keluarga lain yang juga besar jasa dan perannya dalam pemeliharaan dan penyebaran hadis Syi’ah.
Keluarga Hayyân

Keluarga Hayyân adalah keluarga besar di kalangan komunitas Syi’ah. Putra-putra keluarga ini dikenal gigih dalam menuntut hadis. Mereka adalah Kûfiyyûn (penduduk asli kota Kufah). Artinya mereka adalah orang-orang Arab.

Di antara anggota keluarga besar ini adalah: (1) Ishaq. (2) Yunus. (3) Yusuf. (4) Qais. (5) Ismail. Mereka semua adalah keturunan Ammâr bin Hayyân al Taghlibi (dari suku bani Taghlib), dan (6) Ali serta (7) Bisyr keduanya adalah putra Ismail bin Ammâr bin Hayyân. Keduanya adalah tokoh ternama di antara para perawi hadis.

An Najjâsyi berkata tentang Ishaq bin Ammâr bin Hayyân: “Ishaq telah meriwayatkan hadis dari Abu Abdillah (ash Shadiq) dan Abul Hasan (al Kadzim) as.”[7]
Keluarga Ilyâs

Kelurga besar yang menghimpun banyak tokoh muhaddis Syi’ah, di antara mereka adalah: (1) ‘Amr bin Ilyâs al Bajali al Kûfi. Beliau telah meriwayatkan hadis dari Abu Ja’far al Baqir as dan Abu Abdullah ash Shadiq as. (2) Ilyâs bin ‘Amr bin Ilyâs..

Tentangnya an Najjâsyi berkomentar: “Ilyâs bin ‘Amr al Bajali, seorang Syeikh; Guru Besar di kalangan murid-murid Imam ash Shadiq as., teguh dalam meyakini kebenaran. Beliau adalah kakek al Hasan bin Ali anak putri Ilyâs. Beliau memiliki kitab kumpulan hadis yang telah diriwayatkan dari beliau oleh para tokoh ulama Syi’ah.” Syeikh an Najjâsyi memiliki sanad bersambung kepada kitab tersebut.[8]

Beliau dan seluruh putra-putranya; (3) Ruqaim, (4) ‘Amr, (5) Ya’qub, ketiganya adalah putra Ilyâs bin ‘Amr bin Ilyâs. Mereka semua juga telah meriwayatkan hadis dari Imam ash Shadiq as. mereka semua adalah para parawi tsiqât/terpercaya lagi jujur.

Dan (6) Al Hasan bin Ali bin Ilyâs al Bajali al Wasysyâ’; (cucuk) anak dari anak perempuan Ilyâs bin ‘Amr, beliau (Al Wasysyâ’) adalah salah seorang murid Imam ar Ridha as. dan salah seorang tokoh terhormat kelompok Syi’ah.[9]
Keluarga Nu’aim al Ghâmidi

Sebuah keluarga besar yang terhormat. Di antara tokoh-tokoh yang terlahir dari keluarga ini adalah: (1) Syadîd, (2) Abdus Salâm, keduanya adalah putra Abdurrahman bin Nu’aim al Azdi al Ghâmidi dan beliau adalah salah seorang murid terpercaya Imam ash Shadiq as.[10] (3) Ghunaimah binti Abdurrahman, beliau telah meriwayatkan hadis dari Imam ash Shadiq as. dan Imam Musa al Kadzim as. (4) Bakr bin Muhammad bin Abdurrahman, beliau adalah seorang tokoh terhormat Syi’ah. An najjâsyi berkomentar: “Bakr bin Muhammad bin Abdurrahman al Azdi al Ghâmidi; Abu Muhammad, seorang tokoh terhormat Syi’ah dari keluarga agung di kota Kufah dari keluarga Nu’aim al Ghâmidi. 

Beliau seorang yang tsiqah dan berusia panjang. Beliau memiliki kitab himpunan hadis yang telah diriwayatkan dari beliau oleh para tokoh ulama ahli hadis Syi’ah.” Kitab tersebut telah sampai kepada Syeikh an Najjâsyi dengan sanad bersambung kepada penulisnya.[11]

Dan (5) Musa bin Abdus Salâm bin Abdurrahman.

Keluarga A’yan
Keluarga Syi’ah terbesar yang ada di kota Kufah, kebanyakan putra-putra keluarga ini adalah tokoh. Keluarga ini eksis hingga waktu yang cukup lama. Abu Abdillah bin al Hajjâj telah menghimpun nama enam puluh tokoh ahli hadis dari keluarga ini.[12]

Abu Ghâlib Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman az Zuzâri (W.285 H) berbicara tengtang keluarga ini –dan ia salah satu dari keturunan keluarga ini-: “Kami adalah keluarga yang telah Allah –Azza wa jalla- beri anugerah dengan agama-Nya, dan mengkhususkan kami dengan persabahatan dengan para kekasih-Nya dan hujjah-hujjah-Nya atas makhluk-Nya… Dan jarang seorang dari kami melainkan ia telah meriwayatkan hadis (dari para imam as.).”[13]

Di antara tokoh-tokih agung dari keluarga ini adalah: (1) Humrân, (2) Zurârah, (3) Abdul Malik, (4) Bukair, (5) Abdurrahman. Kesemuanya adalah putra A’yan bin Sunsun asy Syaibâni. (6) Abdullah, (7) Abdul hamîd, keduanya adalah putra Bukair bin A’yan. (8) Al Hasan, (9) al Husain, Ubaid, Rûmi dan (10) Abdullah, kesemuanya adalah putra Zurârah. (11) Hamzah dan (12) ‘Uqbah, keduanyaa adalah putra Humrân bin A’yan. (13) Dhurais bin Abdul Malik bin A’yan, (14) Al Hasan bin al Jahm bin Bukair bin A’yan. Dan (15) Muhammad serta (16) Abdullah bin Zurârah. Serta masih banyak lagi nama-nama harum selain yang disebutkan di atas.[14]

demikianlah sajian seputar beberapa contoh keluarga Syi’ah yang menekuni periwayatan dan pengawalan hadis para imam Ahlulbait Nabi as. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang perhatian para tokoh dan ulama Syi’ah terhadap hadis dan agar kita tidak mudah tertipu oleh isu-isu tidak berdasar yang dialamatkan kepada mazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyyah Itsnâ Asyariyah.

(Insya Allah Bersambung)
__________
Referensi:
[1] Rijâl an Najjâsyi:230, ketika menyebutkan biografi Ubaidullah bin Ali al Halabi dengan no.612.
[2] Ibid.
[3] Al Halabi adalah kata nisbat kepada kota Halab (Suria). Ubaidullah dan saudara-saudaranya disebut Halabi padahal mereka berasal dari kota Kufah karena mere bersama ayah mereka Ali berdagang ke kota Halab. (Jâmi’ ar Ruwât,1/529).
[4] Ibid.325, no.885.
[5] Ibid.444, no.1199.
[6] Ibid.98, no.245.
[7] Ibid.71, no.169.
[8] Ibid.107, no. 272.
[9] Tentang beliau dapat And abaca kembali ketarangan pada bagian 1 tulisan ini.
[10] Baca Dawru asy Syi’ah Fil Hadîts; Allamah Syeikh Ja’far Subhâni:197 dari Rijâl ath Thûsi.
[11] Rijâl an Najjâsyi:108, no. 273.
[12] Risâlah Abi Ghâlib az Zurâri:127.
[13] Ibid.113 dan 127.
[14] Tentang mereka semua dapat Anda baca dalam: Risâlah Abi Ghâlib az Zurâri, Fihrasat Syeikh ath Thûsi: 140 ketika membicarakan biorgafi Zurârah no.295, Rijâl an Najjâsyi.

*****


Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 5): Kehati-hatian Dalam Menukil Hadis

Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 5)
Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/
2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Keistimewaan Kelima: Kehati-hatian Dalam Menukil Hadis

Dalam sejarah para parawi hadis Syi’ah kita menemukan lembaran-lembaran cemerlang kehati-hatian dalam menukil hadis, hal mana mencerminkan sikap terpuji dalam menjaga keotentikan dan kemurniannya serta adanya rasa tanggung jawab yang tinggi. Hal demikian tidak berarti kami mengklaim bahwa tidak ada di antara perawi Syi’ah yang kurang memberikan perhatian dalam masalah ini. Tetapi kondisi umum para parawi hadis Syi’ah adalah kehati-hatian dalam menukil.

Di bawah ini saya akan sajikan beberapa contoh dalam masalah ini:

Hammâd bin Isa Al Juhani al Bashri (W.209 H)

Al Kisysyi memberitakan dengan sanadnya yang bersambung kepada Hammâd bin Isa, ia berkata: “Aku bersama Abbâd bin Shuhaib al Bashri mendengar hadis dari Abu Abdillah (ash Shadiq) as., maka Abbâd menghafal dua ratus hadis, dan ia menyampaikan hadis-hadis dari beliau as., sedangkan aku menghafal tujuh puluh hadis.” Hammâd berkata: “Dan aku senantiasa mengoreksi hafalanku sehingga aku hanya sampaikan dua puluh hadis ini saja di mana aku sama sekali tidak mengalami keragu-raguan.”[1]

Demikianlah, sikap kehati-hatian yang ditunjukkan Hammâd bin Isa, di mana ia hanya berani meriwayatkan dua puluh hadis yang ia hafal dengan baik dari dua ratus hadis yang pernah ia dengar langsung dari lisan suci putra Rasulullah saw.; Imam Ja’far bin Muhammad ash Shadiq as.
Abul Qâsim Ja’far bin Muhammad bin Ja’far bin Musa bin Qûluwaih (W.368 H)

Syeikh Husain bin Ubaidullah al Ghadhâiri berkata: “Aku hadirkan kitab al Muntakhabât (karya Sa’ad bin Abdullah al Asy’ari al Qummi_pen) ke hadapan Abul Qâsim bin Qûluwaih (rh), aku baca di hadapan beliau. Lalu aku berkata: ‘Apakah Sa’ad menyampaian hadis-hadis (dalam kitab ini) kerpada Anda secara langsung?” Makai a berkata: ‘Tidak. Yang menyampaikan hadis-hadis dalam kitab ini kepadaku adalah ayah dan saudaraku dari Sa’ad. Aku tidak mendengar dari Sa’ad melainkan hanya dua hadis saja.’”[2]

Ini juga sebuah bentuk kejujuran sikap disamping kehati-hatian dalam menukil, di mana apa yang ia dengar dari seorang Syeikh melalui perantara perawi lain, ia jelaskan jalurnya… tidak menggugurkan nama perawi yang menjadi parantara dengan tujuan agar sanad itu menjadi ‘Aliy (tinggi/sedikit perantara dalam mata rantai sanad), sebab ke-aliy-an sebuah sanad memiliki nilai tersendiri di kalangan Ahli Hadis.
Abul Abbâs Ahmad bin Ali bin Ahmad an Najjâsyi al Asadi (W.450 H) penulis Kitab ar Rijâl.

Ketika membicarakan biografi Ahmad bin Muhammad bin Ubaidullah al Jauhari (W. 401 H) an Najjâsyi berkata: “Aku telah menyaksikan (berjumpa) dengan Syeikh ini, beliau adalah teman dekatku dan juga teman dekat ayahku. Aku telah banyak mendengar hadis darinya. Dan aku menyaksikan para syuyûkh (guru besar/tokoh) kami men-dha’if-kannya, karenanya aku tidak meriwayatkan satu hadis pun darinya dan aku tinggalkan dia.

Dia seorang ulama, sastrawan hebat dan penyair yang indah gubahan syairnya… semoga Allah merahmati dan memaafkan beliau. Beliau wafat tahun 401 H.”

Adapun alasan mengapa para ulama Syi’ah men-dha’if-kan beliau adalah apa yang dituturkan an Najjâsyi sendiri: “Dahulu ia banyak mendengar hadis lalu di akhir usianya ia idhtharaba, banyak kacau (salah) dalam menyampaikan hadis.”[3]

Dan ketika membicarakan biografi Abul Fadhl Muhammad bin Abdullah asy Syaibâni (W. 387 H), an Najjâsyi juga berkata: “Pada awal mulanya ia seorang yang kokoh/kuat hafalannya kemudian ia khallatha, kacau. Dan aku saksikan para ulama kami merendahkan dan mendha’ifkannya. …

Aku telah melihat Syaikh itu dan mendengar banyak hadis darinya kemudian setelahnya aku berhenti dari meriwayatkan hadis darinya kecuali dengan perantara orang lain.”[4]

Demikianlah sekilas contoh kisah kehati-hatian para ulama dan perawi hadis Syi’ah dalam menukil riwayat. Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua.

___________________
Referensi:
[1] Rijâl al Kisysyi:267, no.146.
[2] Rijâl an Najjâsyi:178, no.467 ketika membicarakan biografi Sa’ab bin Abdullah al Asy’ari. Sa’ad, nama lengkapnya: Sa’ad bin Abdullah bin Abi Khalaf al Asy’ari; Abul Qâsim. Seorang Syeikh, tokoh besar dan Ahli Fikih Syi’ah. Beliau banyak mendengar hadis ulama Ammah (Ahlusunnah). Ia melancong dalam mencari hadis dan berjumpa dengan beberapa tokoh ahli hadis Sunni, di antaranya: Al Hasan bin ‘Arafah, Muhammad bin Abdul Malik ad Daqîqi, Abu Hatim ar Râzi dan Abbas at Turqufi…. Ayah beliau; Abu Khalaf tidak banyak meriwayatkan hadis. Sa’ad bin Abdullah ini memiliki banyak karya dan kitab kumpulan hadis yang telah sampai ketangan para ulama setelahnya seperti Syeikh an Najjâsyi, di antaranya: (1) Kita bar Rahmah, (2) Kitab al Wudhû’ (3) Kitab ash Shalâh, (4) Kitab az Zakât, (5) Kitab ash Shawm, (6) Kitab Bashâir ad Darajât, (7) Kitab ar Radd ‘Alâ al Ghulât, (8) Kitab Nâsikh Al Qur’ân wa Mansûkhihi wa Muhkami wa Mutasyâbihi, (9) Kitab Fadhlu ad Du’â’ wa adz Dzikr, (10) Kitab Jawâmi’ al Hajj, (11) Kitab Manâqib Ruwwât al Hadîts, (12) Kitab Matsâlib Ruwwât al Hadîts, (13) Kitab Qiyâm al lail, (14) Kita bar Radd ‘Alâ al Mujabbirah, (15) Kitab Fadhlu Qum wa al Kûfah, Kitab Fadhlu Abi Thâlib wa Abdil Muththalib wa Abi an Nabi , (16) Kitab Fadhlu an Nabi saw., (17) Kitab Ihtijâj asy Syi’ah ‘Alâ Zaid bin Tsabit tentang hukum waris, (18) Kitab an Nawâdir, dan (19) Kitab ad Nawâdir, (20) Kitab Manâqib asy Syi’ah, (21) Kitab al Muntakhabât. (Lebih lanjut dipersilahkan merujuk kitab Rijâl an Najjâsyi:177-178, no.467)
[3] Rijâl an Najjâsyi:85-86, no207.
[4] Ibid. 396, no.1059.
*****


Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 6) Kerja Kolektif Dalam Mengkodifikasi Hadis


Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Keistimewaan Keenam: Kerja Kolektif Dalam Mengkodifikasi Hadis

Tidak diragukan Lgi bahwa kerja kolektif dalam menyeksi dan mengkodifikasi hadis lebih utama dari kerja pridabi… dari sini, sebagian ulama dan perawi hadis Syi’ah bangkit melakukan pengumpulan hadis dalam buku-buku khusus secara kolektif dengan menyertakan rekan seperguruan yang memiliki kesamaan jalkur periwayatan, hal mana tentu lebih mengandung unsur ketelitian dan banyak faedah serta lebih jauh dari kesalahan. Di antara para ulama dan perawi hadis Syi’ah –yang tentunya mereka tidak sekedar pariwayat hadis tetapi juga sebagai ahli-ahli Fikih dan ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti akan dijelaskan pada eistimewaan berikut nanti- yang melakukan kerja kolekfif dalam mengkodifikasi dan menghimpun hadis adalah:

Jimîl bin Darrâj an Nakha’i.

An Najjâsyi berkata tentangnya: “Beliau adalah salah seorang Syeikh dan Tokoh Ahli Fikih Sekte Syi’ah. Seorang yang tsiqah. Beliau telah meriwayatkan dari Imam Ja’far ash Shadiq as. dan Imam Musa al Kâdzim as.. dn juga mengambil hadis dari Zurârah (salah seorang murid kepercayaan Imam ash Shadiq as._pen)…

Beliau wafat di mana Imam Ali ar Ridha as.

Beliau memiliki dua kitab kumpulan hadis, yang satu hasil kerja sama dengan Muhammad bin Humrân dan satunya dengan bekerja sama dengan Murâzim bin Hakîm.”


Dan kedua buku itu telah diriwayatkan oleh sekelompok ulama Syi’ah dan telah sampai ke tangan an Najjâsyi dengan sanad yang salah satu jalurnya beliau sebutkan dalam kitab ar Rijâl beliau, sebagaimana kebiasaan beliau hanya menybutkan satu jalur saja yang menyambungkan beliau kepada pemilik kitab-kitab dari kalangan ulama dan perawi hadis Syi’ah terdahulu.[1]

Al Hasan bin Sa’îd al Ahwâzi.

Nama lengkapnya aadalah Al Hasan bin Sa’îd bin Hammâd bin Mirhân – maulâ Imam Ali bin Husain as.-; Abu Muhammad al Ahwâzi. Salah seorang murid Imam ar Ridha dan Imam Muhammad al Jawâd as. Beliau berkerja sama dengan al Husain; saudaranya dalam menyusun tiga puluh kitab kumpulan hadis walaupun kemudian yang lebih terkenal identic dengan kitab-kitab tersebut adalah Husain saudaranya.

Husain bin Yazîd as Sûrâi berkata: “Al Hasan telah menyekutui saudaranya dalam seluruh jalur periwayatan hadis kecuali pada jalur Zur’ah bin Muhammad al Hadhrami dan Fudhâlah bin Ayyûb, Husain saudaranya meriwayatkan dari kedua ulama ini sedangkan ia tidak.”

Khâl (saudara ibunya) yang bernama Ja’far bin Yahya bin Sa’ad al Ahwal adalah seorang parawi hadis dari Abu Ja’far ats Tsani (Imam Jawad) as. Demikian disebutkan oleh Sa’ad bin Abdullah.

An Najjâsyi menegaskan bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh dua bersaudara ini adalah bagus dan dijadikan pijakan pengamalan.

Tiga puluh kitab itu adalah sebagai berikut: (1) Kitab Al Wudhû’, (2) Kitab ash Shalâh, (3) Kitab az Zakâh, (4) Kitab ash Shawm, (5) Kitab al Hajj, (6) Kitab an Nikâh, (7) Kita bath Thalâq, (8) Kitab al ‘Itqi wa at tadbîr wa al Mukâtabah, (9) Kitab Al Aimân wa an Nudzûr, (10) Kitab at Tijârât wa al Ijârât, (11) Kitab al Khums, (12) Kitabasy Syahâdât, (13) Kitab ash Shaid wa adz Dzabâih, (14) Kitab al Makâsib, (15) Kitab Al Asyribah, (16) Kitab az Ziyârât, (17) Kitab at Taqiyyah, (18) Kita bar Radd ‘Alâ al Ghulât, (19) Kitab al Manâqib, (20) Kitab al Matsâlib, (21) Kitab az Zuhd, (22) Kitab al Muruwwah, (23) Kitab Huqûq al Mu’minîn wa Fadhluhum, (24) Kitab Tafsir al Qur’an, (25) Kitab Kitabal Washâyâ, (26) Kitab al Farâidh, (27) Kitab al Hudûd, (28) Kitab Ad Diyyât, (29) Kitab al Malâhim, dan (30) Kitab ad Du’â’.

Kitab-kitab tersebut telah diterima para ulama Syi’ah dan diriwayatkan dengan berbagai jalur yang menyambungkan silsilah sanadnya kepada kedua penulisnya. An Najjasyi telah menyebutkan jalur beliau kepada kitab-kitab tersebut.[2]

Al Hakam bin Sa’ad al Asadi an Nâsyiri.
Seorang murid Imam Ja’far ash Shadiq as., seorang Arab tulen. Ia tidak banyak meriwayatkan hadis. Ia saudara Musyma’ill. Al Hakam dan saudaranya telah bekerja sama menulis sebuah buku: Kitab ad Diyât. An Najjâsyi telah memiliki sanad yang menyambungkan kepada kitab tersebut.[3]
Al Husain bin Bisthâm bin Sâbûr az Zayyât

Beliau bersama saudaranya telah menulis sebuah buku tentang kedokteran. Sangat bagus dan banyak manfa’atnya. Tentang makanan dan manfaatnya, tentang janmpi-jampi dan Ruqyah.[4] Semuanya berdasarkan riwayat dari para imam suci Ahlulbait as., karenanya ia diterbitkan dengan judul Thibbul Aimmah.

Ibrahim bin Muhammad al Asy’ari
Salah seorang murid Imam Musa al Kâdzim dan Imam Ali ar Ridha as. Beliau seorang ulama asal kota Qom Iran, tsiqah/jujur lagi terpercaya. Beliau telah bekerja sama dengan saudaranya yang bernama al Fadhl dalam menulis sebuah kitab. Kitab tersebut telah diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada keduanya oleh Al hasan bin Ali bin Fadhdhâl (224 H).[5]

Selain melakukan kerja kolektif, sebagian ulama dan perawi hadis Syi’ah juga melakukan penyusunan dengan perapikan urutan bab dan bahasan kitab-kitab tertentu yang telah ditulis oleh para pendahulu, seperti yang dilakukan oleh:

(1) Abu Sulaiman Daud bin Kûrah al Qummi, ia merapikan pembaban kitab an Nawâdir karya Ahmad bin Muhammad bin Isa. Dan juga kitab al Masyîkhah karya al Hasan bin Mahbûb as Sarrâd sesuai dengan masalah-masalah Fikih.[6]

(2) Abu Ja’far Ahmad bin al Husain bin Abdul Malik al Azdi al Kûfi yang menghimpun dan merapikan pengurutan nama-nama para masyâikh.[7] Mungkin yang dimaksud adalah kitab al Masyîkhah karya al Hasan bin Mahbûb.

Demikianlah sekilas aktifitas yang dijalankan sebagian parawi hadis Syi’ah demi menjaga dan memelihara hadis Ahlulbait as. dan tentu selain nama-nama yang telah disebutkan masih banyak nama-nama lain sengaja tidak kami sebutkan di sini karena insyaallah dengan contoh-contoh di atas diharap telah membuat maklum bagaimana keseriusan para ulama dan Ahli hadis Syi’ah dan peran mereka dalam memelihara hadis.

______________
Referensi:
[1] Rijâl an Najjâsyi:126, no. 328.
[2] Ibid.58, no.136.
[3] Ibid. 136, no.352.
[4] Ibid.39, no.79
[5] Ibid.24, no.42.
[6] Ibid.158, no.416.
[7] Ibid. 80, no.193.

*****


Keistimewaan Para Perawi Hadis Syi’ah (Bag. 7) 

Membongkar Hadis-hadis Palsu

Tanggapan Atas Anggapan Ustadz Idrus Ramli dalam: http://www.idrusramli.com/2014/syiah-ajaran-yang-penuh-propaganda/.

Para ulama Islam, baik Syi’ah maupun Ahlusunnah sepakat meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda akan banyak banyak pembohong yang berbohong atas nama beliau, dan beliau mengancam para pemalsu hadis itu dengan neraka. Bakhan tidak sedikit yang memastikan bahwa hadis tentangnya adalah mutawâtir.

Nabi saw. bersabda:

كثرت الكذابةُ علَيَّ , فَمَنْ كذب علَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْتَبَوَّأْ مقْعَدَهُ مِنَ النارِ

“Akan banyak para pendusta atas namaku, maka barangsiapa berdusta atas namaku hendakanya ia bersiap-siap menampati tenpatnya di neraka.”

Namun kendati demikian karas ancaman Nabi saw atas para pemalsu hadis beliau tetap saja para penjual agama dan menjaja hawa nafsu itu berani memalsu atas nama Nabi saw.

Hadis Mawhdû’, Motivasi Pemalsuan dan Macam-macam Pemalsu

Dalam kitab Al Mawdhû’ât-nya, Ibnu Al Jauzi (seorang ulama Ahlusunah yang sangat produktif menulis banyak kitab) mengklasifikasikan kualitas hadis menjadi enam tingkatan; Keempat, adalah hadis yang terdapat kelemahan di dalamnya akan tetapi masih dapat ditoleransi, ia adalah hadis Hasan… Kelima, hadis yang sangat lemah, banyak kegoncangannya. Sikap para ulama’pun berbeda tentangnya ada yang menganggap dekat dengan status hasan dan ada pula mengelompokkannya dalam hadis Mawdhû’ (palsu).

Kemudian ia melanjutkan, “Macam Keenam ialah hadis Mauwdhû’ (palsu) yang dipastikan kemustahilan dan kepalsuannya…

Setelah itu ia merinci latar belakang dan motivasi para pembawa atau pembuat hadis palsu, dalam hematnya, secara garis besar ada lima kelompok yang terlibat penyebaran hadis-hadis palsu (Mawdhû’):

Kelompok Pertama: Kaum yang sibuk dengan kezuhudan dan kesufian yang lalai dari menghafal dan membeda-bedakan hadis, ada yang karena buku-buku catatannya hilang, ada yang dimusnahkan sendiri kemudian ketika ia menyampaikan hadis dari hafalannya ia salah dan menjungkirbalikkan serta mencampuradukkan hadis-hadis dan sanad-sanad.

Kelompok Kedua: Kaum yang tidak mau bersusah payah dalam memburu hadis, maka mereka banyak melakukan kesalahan, sebagaimana kelompok pertama juga.

Kelompok Ketiga: Kaum Tsiqât (yang jujur terpercaya), akan tetapi di akhir usianya, akal akal mereka kacau dan hafalan mereka luntur, maka riwayat yang mereka sampaikan bercampur aduk.

Kelompok Keempat: Kaum lugu dan lalai (mudah tertipu), sehingga meraka menyampaikan apa saja yang mereka terima…

Kelompok Kelima: Kaum yang sengaja berbohong dan membuat-buat kepalsuan. Mereka terdiri dari tiga kelompok:
Kaum yang meriwayatkan sesuatu yang salah tanpa ia sadari bahwa itu salah, kamudian setelah mereka menyadarinya, mereka enggan meralatnya, mereka tetap menyampaikannya karena keangkuhan sikap mereka.

Kaum yang meriwayatkan dari para pembohong dan perawi yang lemah (dhu’afâ’). Mereka menjadi agen penyebaran kepalsuan dan kebohongan. Telah shahih diriwayatkan dari Nabi saw. beliau bersabda, “Barang siapa meriwayatkan dariku sebuah hadis yang ia melihatnya sebagai kebohongan maka ia salah satu dari para pembohong itu.”…

Kaum yang sengaja berbohong dan membuat kepalsuan, bukan karena mereka tidak menyadarinya atau meriwayatkan kepalsuan itu dari para pembohong, akan tetapi mereka sendiri secara langsung memalsu hadis. Para pembohong ini terdiri dari tujuh kelompok yang berbahaya.

Tujuh Kelompok Pemalsu Hadis

Tujuh kelompok pemalsu hadis yang merusak agama itu terdiri dari:

Pertama, kaum zindiq (yang tidak beragama) yang sengaja merusak Syari’at (agama) dan menabur keragu-raguan dalam agama pada hati kaum awam serta mempermainkan agama… Telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Al Awja’ ketika ditangkap dan yakin bahwa hukum mati segera akan dilaksanakan ia berkata, “Aku telah palsukan di tengah-tengah kalian empat ribu hadis, aku halalkan yang haram dan aku haramkan yang halal, demi Allah aku telah membuatkan kalian berpuasa di hari ifthâr (tidak boleh puasa) kalian, dan aku ifthâr-kan kalian di hari puasa kalian.”.

Dan seorang lagi telah mengaku bahwa ia telah memalsu empat ratus hadis yang sudah tersebar di kalangan masyarakat Muslim.

Hammad bin Zaid berkata, “Kaum Zindiq telah memalsu empat belas ribu hadis atas nama Rasulullah saw.”

Kedua, Kaum yang memalsu hadis untuk membela mazhab mereka. Setan membisikkan dalam pikiran mereka bahwa hal itu sah-sah saja. Ada seorang pembid’ah yang telah bertaubat menuturkan, “Hati-hatilah kalian, perhatikan hadis-hadis ini, dari siapa kalian mengambilnya, karena kami dahulu apabila meyakini pendapat tertentu kami kemas pendapat itu dengan kemasan hadis Nabi saw.”.

Ibnu Luhai’ah bertutur, “Saya mendengar seorang syeikh dari sekte Khawârij yang sudah bertaubat berkata, ‘Sesungguhnya hadis-hadis ini adalah agama, maka perhatikan dari siapakah kalian mengambilnya, dahulu kami apabila menyukai pendapat tertentu kami jadikan ia hadis (sabda Nabi saw.). ’”

Ketiga, Kaum yang mamalsu hadis tentang anjuran dan ancaman untuk merangsang manusia agar berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Sikap mereka itu mencerminkan bahwa dalam angapan mereka agama tidak sempurna maka dari itu ia butuh disempurnakan dengan kepalsuan yang mereka produksi.

Abu Abdillah bin Nahawandi berkata kepada budak Khalil (yang bernama Maisarah bin Abi Rabbih), “Dari manakah hadis-hadis yang bertemakan pelembut hati yang kamu sampaikan kepada orang-orang? Ia berkata, “Kami buatkan sendiri untuk membuat lembut hari kaum awam.”

Tentang budak Khalil ini para ulama menyebutkan bahwa ia adalah seorang yang zuhud dalam kehidupannya, meninggalkan syahwat dan kesenangan dunia dan hanya makan sayur-sayuran, ketika ia mati pasar-pasar ibu kota Baghdad tutup sebagai penghormatan terakhir untuknya, dan penguasa saat itu mendukung penghentian aktifitas dagang yang dilakukan masyarakat Baghdad! ….[1]

Keempat, Kaum yang membolehkan untuk membuat-buat sanad (mata rantai periwayatan) untuk setiap ucapan yang bagus… Muhammad bin Said berkata, “ Apabila kamu temukan ada ucapan yang indah, tidaklah masalah kamu buatkan sanad untuknya!”.

Kelima, Kaum yang dihadapkan pada kebutuhan dan tujuan tertentu lalu ia memalsu hadis. Terkadang ingin mendekatkan diri kepada para penguasa. Ada yang memaslu hadis sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan kepadanya agar jawabannya lebih mantap. Dan terkadang ada yang mamalsu hadis dengan maksud mengecam orang yang ingin ia kecam.

Keenam, Kaum yang memalsu hadis untuk menarik perhatian banyak orang bahwa ia memiliki banyak hadis yang aneh-aneh yang tidak dimiliki oleh muhaddis lain.

Ketujuh, Kaum yang lemah daya ingat (hafalan) mereka lalu mereka membuat-buat khabar (hadis) yang dapat menutupi kekurangan mereka. Mereka terdiri dari dua kelompok:
Para pendongeng.[2] Dan bencana selalu datang dari mereka, mereka mamalsu dan manambah-nambah hadis yang aneh-aneh dengan anggapan dapat melunakkan hati para pendengar. Kerendahan mutu agama mereka terdukung oleh kebodohan para pendengar maka merekapun dengan leluasa menyebarkan hadis-hadis palsu.

Ibnu Al Jawzi menyebutkan dua contoh:
(1) Hadis keutamaan amal amal baik yang di lakukan pada hari Âsyûra’ (10 Muharram).
(2) Hadis yang dinisbatkan kepada Imam Ali as. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Umar ibn Al Khaththab adalah cahaya dalam Islam dan lentera untuk penghuni surga.”
Para pengemis (intelektual) yang siap memalsu demi memburu apa yang mereka harapkan.


Kisah Konyol Pemalsu Hadis

Para pengemis intelektual ini biasanya menjadikan masjid sebagai tempat mangkal mereka. Mereka berceramah dan mendongeng di hadapan kaum awam dengan harapan ada yang berbaik hati dan memberikan imbalan untuk mereka. diantara mereka ada yang memalsu hadis dan sebagian lainnya banyak menghafal hadis-hadis palsu. Ada sebuah kisah yang dialami oleh Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in (dua tokoh hadis ternama Ahlusunnah), pada suatu hari keduanya singgah di masjid Rashafah, kemudian berdirilah seorang pendongeng, lalu ia berkata, “Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in telah menyampaikan hadis, keduanya berkata, ‘Abd. Razzaq berkata dari Ma’mar dari Qatadah dari Anas, Rasulullah saw. bersabda, ”Barang siapa membaca kalimat Lâ Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptakan untuknya seekor burung, paruhnya dari emas, bulunya dari permata.”. Ia terus tanpa henti menyampaikan hadis-hadis semacam itu dari Ahmad dan Yahya kira-kiranya sebanyak dua puluh halaman. Mendengar penyampaian itu Ahmad menoleh kepada Yahya dan Yahya pun menoleh kepada Ahmad, lau ia berkata, “Apakah kamu yang menyampaikan hadis-hadis itu kepadanya?” Yahya menjawab, “Demi Allah, aku baru sekarang ini mendengarnya.” Setelah orang itu selesai berceramah ia memungut apa yang diberikan banyak orang kepadanya, lalu ia duduk menantikan yang lainnya, Yahya mamanggilnya dengan isyarat tangan, kemarilah! Dia pun bergegas dengan harapan ada pemberian besar yang akan ia terima dari Yahya. Yahya berkata kepadanya, “Siapakah yang menyampaikan hadis-hadis tadi kepadamu? Ia dengan percaya diri menjawab,’ Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in. Yahya berkata, “Akulah yahya dan ini adalah Ahmad ibn Hanbal. Kami berdua tidak pernah mendengar sama sekali hadis ini dari Rasulullah saw., kalau kamu mau berbohong jangan membawa-bawa nama kami. Orang itu bertanya, “Kamukah Yahya inb Ma’in? Ya. Jawab Yahya. Orang itu melanjutkan, “Aku memang banyak mendengar tentang Yahya ibn Ma’in, ia adalah seorang yang dungu, tapi baru sekarang aku membuktikannya”. Yahya bertanya, “Tapi bagaimana kamu mengetahui bahwa aku ini seorang yang dungu?”. Ya, seakan kamu ini menganggap bahwa di dunia ini tidak ada Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hanbal selain kalian berdua! Aku telah menulis hadis dari tujuh belas Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in lain”. katanya. Mendengar jawaban orang itu Ahmad meletakkan lengan bajunya di wajahnya, lalu berkata kepada Yahya, “Biarkan saja ia pergi”. Lalu orang itu berdiri seakan mengejek keduanya.

Kisah Lain

Kisah lain ialah yang dialami oleh Abu Hatim Al Busti, ia becerita, “Aku memasuki kota Ajuran di antara kota Riqqh dan Harran, aku masuk masjid jami’, seusai salat ada seorang anak muda berdiri menyampaikan hadis yang aneh-aneh dari Abu Khalifah, ia berkata, Al Waliid menyampaikan hadis kepada kami, Syu’bah menyampaikan hadis kepada kami dari Qatadah dari Anas ibn Malik, Rasulullah saw. Bersabda, “…”. Setelah selesai aku berkata kepadanya, “Apakah kamu pernah melihat Abu Khalifah?” Tidak. Jawabya. Lalu bagaimana kamu meriwayatkan darinya padahal kamu tidak pernah melihat (berjumpa dengan)nya?! Ia menjawab, “Sesungguhnya berdiskusi (berdebat) dengan kami termasuk bukti kurangnya harga diri. Aku hanya hafal satu sanad ini saja (Abu Khalifah dari Al Waliid dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas), maka setiap aku mendengar hadis apa pun aku sampaikan dengan sanad ini!”[3]

Inilah ringkas yang disampaikan Ibnu Jawzi dalam mukaddimah kitab Al Mawdhû’ât-nya dan untuk lebih lengkapnya Anda saya persilahkan merujuk langsung. Selain Ibnu Jawzi keterangan serupa juga banyak diutarakan para pakar seperti Al Nawawi dalam Taqrîb-nya dan as Suyuthi dalam Tadrîb-nya.[4]

Para Pemalsu Yang Shaleh

Pemalsuan hadis Nabi saw. tidak terbatas hanya dilakukan musuh-musuh Islam, kaum muanfik dan penyandang ide-ide sesat, akan tetapi, seperti telah disinggung, kaum Shalihin juga berperan aktif dalam melakukan pemalsuan hadis atas nama Rasulullah saw., mereka melakukannya dengan anggapan mereka berbuat baik kepada agama dan mangharap pahala dari Allah SWT!

Apabila ada yang bertanya kepada salah seorang dari mereka mengapa kamu membuat-buat kebohongan atas nama Nabi saw.?! Ia dengan penuh percaya diri mengatakan saya sedang berbuat baik untuk Nabi saw., karena dengan itu saya mengarahkan umat kepada agama beliau! Saya tidak berbohong yang merugikan beliau, tetapi justru menguntungkan agama beliau!

Ibnu Hajar berkata, “Dan sebagian kaum bodoh telah tertipu, mereka membuat-buat hadis palsu tentang anjuran dan ancaman, mereka berkata, ‘Kami tidak berbohong yang merugikan Nabi saw., akan tetapi kami melakukannya untuk menguatkan syari’at beliau!’”[5]

Mereka adalah paling berbahayanya para pemalsu, sebab banyak orang tertipu dengan polesan luar kezuhudan dan kesalihan mereka. Ketika menerangkan macam-macam pemalsu hadis, An Nawawi dan As Suyuthi menerangkan, “Para pemalsu itu bermacam-macam, yang paling besar dampak bahayanya adalah kaum yang dianggap zuhud, mereka memalsu hadis dengan anggapan mencari pahala (di sisi Allah), oleh karenanya hadis-hadis palsu mereka diterima karena kepercayaan orang terhadap mereka”.

Oleh sebab itu Yahya ibn Al Qaththân berkata, “Aku tidak menyaksikan kebohongan pada sebuah komunitas lebih banyak dari komunitas kaum yang dinisbatkan (dianggap) saleh”.

Salah satu contoh hadis palsu produk mereka adalah apa yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanadnya dari Abi Ammar Al Marwazi, dikatakan kepada Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam, “Dari manakah kamu peroleh hadis tentang keutamaan surah demi surah Al quran ini dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, sementara murid-murid Ikraimah tidak ada yang meriwayatkannya? Ia menjawab, “Aku menyaksikan orang-orang telah berpaling dari Al quran dan mereka sibuk dengan fikih Abu Hanifah, kitab sejarah Ibnu Ishaq maka saya buatkan hadis ini dengan harapan mendapat pahala”.

Perlu diketahui tentang Abu Ishmah Nuh ini, bahwa ia adalah seorang ulama yang telah menguasai banyak disiplin ilmu Islam, tetapi sayang ada satu yang tidak ia miliki yaitu kejujuran. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengumpulkan segala sesuatu kecuali kejujuran”. Al Dzahabi berkata, “Ia digelari Al Jaami’ (yang merangkum) sebab ia belajar fikih dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, belajar hadis dari Hajjaj ibn Arthah, belajar tafsir dari Al Kalbi dan Muqatil, dan belajar sejarah Islam dari Ibnu Ishaq… ia menduduki jabatan sebagai qadhi, jaksa tinggi di kota Maru, ia berumur panjang dan mampu mengumpulkan banyak kesempurnaan kecuali kejujuran”.

Menyaksikan Kenyatan Di Atas

Menyaksikan habwa dunia hadis umat Islam telah dibanjiri oleh ratusan pemalsu hadis atas nama Nabi saw. maka sudah sewajarnya apabila kemudian para ulama bangkit menyeleksi hadis-hadis yang beredar.

Para ulama dan Ahli Hadis Syi’ah juga tidak ketinggalan bangkit menyeleksi dan membongkar kekejian atas nama nabi saw. ini yang sangat membahayakan kemurnian agama.

Di antara mereka adalah:
Tsabît bin Muhammad; Abu Muhammad al Askari, rekan/murid Abu Isa al Warrâq (W. 247 H)

Ia telah mengarang kita berjudul Tawlîdât Bani Umayyyah Fil Hadîts. Di dalamnya ia menyebutkan hadis-hadis palsu yang diproduksi oleh dan di masa kekuasaan Bani Umayyah.
Syeikh Mufîd (W. 413 H)

Beliau telah menulis buku dengan judul Al Kalâm Fil Khabari al Mukhtalaq Bighairi Atsar. Di dalamnya beliau membongkar banyak hadis palsu yang tersebar.

Para ulama dan Ahli Hadis Syi’ah kontemporer juga benar-benar telah memberikan perhatian yang besar kepada masalah ini. Mereka gigih menyeleksi hadis-hadis yang diriwayatkan atas nama Nabi saw. dan para imam suci Ahlulbait as.. Di antara mereka adalah:

Al Muhaqqiq Muhammad Taqi at Tusturi (W.1415 H)

Beliau menulis buku al Akhbâr ad Dakhîlah. Dalam kitab tersebut beliau telah membeberkan masalah ini dengan menyebutkan contoh-contoh tentangnya.

Al Muhaqqir Sayyid Hâsyim Ma’rûf al Hasani

Beliau menulis kitab al Maudhû’ât Fil Âtsâr wal Akhbâr. Di dalamnya beliau mengupas tuntas masalah ini dengan menghadirkan contoh-contahnya.

Dan selain mereka tentu masih banyak ulama dan peneliti hadis lainnya, baik mereka menulis buku khusus dalam masalah ini atau membahasnya dalam buku-buku yang mereka tulis.

Semoga keterangan ini bermanfaat bagi kita.

_______________
Referensi:

[1] Tadrîb Ar Râwi,1/283 dan Al Mawdhû’ât,1/17. Dalam Mizân Al I’tidâl, Adz Dzahabi menyebutnya dengan mana Ahmad bin Muhmmad bin Ghalib Al Bahili, Ghulâm (budak) Khalil… tentang perawi yang satu ini Adz Dzahabi mengutip para ulama sebagai mengatakan:
Abu Daud berkata, “Saya khawatir ia adalah Dajjal (pembohong kelas kakap) kota Baghdad.”
Ad Dâruquthni berkata, “Ia dibuang (hadisnya).
Dan salah satu hasil produknya adalah hadis tentang perintah agar mengikuti Syaikhain (Abu Bakar dan Umar ra.) (Lebih lanjut baca: Mizân Al I’tidâl,1/105 dan 141).
[2] Mereka itu mirip dengan sikap sebagian da’i kita sekarang yang tampil bukan sebagai penyambung lidah suci Rasulullah saw., akan tetapi mereka tampil sebagai penghibur para hadirin dengan membawakan dongen-dongeng konyol dan tidak jarang hadis-hadis palsu terlontar dari mulut-mulut mereka, semoga kita diselamatkan darinya.
[3] Al Mawdhu’ât,1/21-22.
[4] Tadrîb Ar Râwi, Naw’ (macam) ke: 21,1/274-290.
[5] Fath Al Bâri,1/161.

-Sumber: Jakfari Wordpress-

(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: