Ibu Inggit dan Bung Karno dalam buku kuantar ke gerbang (Foto: merdeka.com)
“Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan sempurna, lebih dari seorang istri” (Prof. S.I. Poeradisastra dalam pengantar “Ku Antar Kau ke Gerbang”)
Apabila mengkaji dengan seksama peran perempuan dalam sejarah, banyak pesan historis yang mampu menjadi daya penggugah dan penumbuh kemajuan bangsa. Perempuan sebenarnya tidak hanya tampak dalam sektor domestik, tetapi juga memunculkan peran besar di dunia publik; perempuan dapat menjadi ilham dan kekuatan para pejuang. Perempuan dapat merubah perjalanan cinta, demikian ungkap Sejarawan Anhar Gonggong.
Eksploitasi Atas Nama Keindahan
“Perempuan itu lebih cocok dilukis daripada sebagai pelukis.” Ujar Basoeki Abdullah. Di satu sisi perkataan ini menyanjung wujud perempuan sebagai objek seni yang indah, tetapi di sisi lain sesungguhnya perempuan dianggap tidak layak menjadi subjek yang memiliki gagasan. Suatu ungkapan kolot yang layak ditinjau ulang.
Dalam mitologi-mitologi, perempuan selalu muncul sebagai perwujudan dari inspirasi seni. Dalam tradisi mitologi Yunani, ilham dari seorang seniman merupakan anugerah dari para dewi-dewi Muse. Begitu juga di dalam mitologi Hindu, Dewi Saraswati dianggap sebagai sumber inspirasi, para seniman berdoa padanya untuk diberikan inspirasi. Kuil dibangun untuk memuja dan merayakan dewi-dewi ini. Namun kritik Simon de Beauvoir terhadap jenis pemujaan semacam ini adalah, perempuan hanya dijadikan fantasi lelaki, bahwa perempuan simbol rasa aman yang ingin dicari oleh para lelaki, simbol kesucian, keindahan yang sifatnya sangat palsu.
Di dalam realitas patriarki, keindahan dan kecantikan adalah terminologi yang diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan dituntut untuk menjadi indah, meski keindahan itu harus ia lalui dengan kesengsaraan. Menjadi indah tidak lagi aksiden bagi si perempuan, akan tetapi menjadi totalitas dari eksistensinya. Sosok indah, mengharuskannya bersikap benar, santun, pantas, dalam bertutur dan bersikap. Dalam pengertian ini, tubuh menjadi penjara senyap bagi perempuan, tubuhnya sudah dikonstruksikan, memanipulasi apa yang harus ia katakan dan pikirkan.
Inggit Lebih dari Sekedar Indah
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18, Soekarno)
Inggit memang bukan sosok yang pandai berkorespondensi dengan orang Belanda, gemar bercerita tentang nestapa feodalisme Jawa layaknya Kartini. Bukan pula organisator ulung dan penulis kritis seperti Rasuna Said. Akan tetapi bila kita cermati secara mendalam, ia menampilkan peran yang sangat bersahaja dalam perjalanan penuh liku untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Sejarah perjuangan merebut kemerdekaan sampai detik ini masih memberikan ruang yang sangat dominan terhadap protagonisme tokoh-tokoh “besar”, tentu dengan peran-peran “maskulin” yang menyertainya. Bertempur di medan laga dengan mengangkat senjata, mobilisasi massa, negosiasi politik, dan peran sejenis. Sejarah kita sepi dari ‘kesaksian’ terhadap peran-peran humanis para perawat yang tanpa pamrih merawat para serdadu yang terluka, para Ibu yang menjadi single parent dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka ketika para suami berjuang di arena pertempuran, para perempuan yang harus menjadi tulang-punggung rumah tangga ketika suami-suami mereka sibuk berkonsolidasi demi menyongsong kemerdekaan Ibu Pertiwi.
Sejarah revolusi kemerdekaan kita lebih menggambarkan seorang pahlawan dalam konteks peran publik yang sarat dengan predikat maskulin, bahkan “kouta” pahlawan perempuan diperuntukkan bagi para srikandi yang berhasil memerankan peran para lelaki. Muncullah sederet nama perempuan perkasa, Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan beberapa perempuan hebat lainnya.
Terlebih ketika Orde Baru telah benar-benar berkuasa pada tahun 1980-an, historiografi nasional yang dibangun adalah sentralisasi negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produk sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Negara kian dipersonifikasikan menjadi sosok Soeharto, narasi sejarah dalam nuansa militer sentris yang hyper-maskulin disajikan oleh Nugroho Notosusanto.
Bersama penggagas dwi fungsi ABRI, A.H. Nasution, mereka membangun sejarah nasional yang militeristik. Masa lalu Indonesia direduksi selayaknya norma militer yang “satu komando”. Babak historiogarfi semangat ini ditandai dengan lahirnya 2 buku sejarah:”Pejuang dan Prajurit”(1984) dan “Tercapainya Konsensus Nasional” 1966-1969 (1985).
Di tengah kegersangan akan sentuhan halus ke-Ibu-an inilah, Inggit Ganarsih hadir tidak sekedar sebagai gambaran figur wanita yang tegar di masa pergolakan, akan tetapi juga sebagai suatu gairah dan babak baru untuk mere-interpretasi peran dan nilai perjuangan dalam mencapai kemerdekaan dengan pendekatan yang tidak diskriminatif.
Dalam upaya dekonstruksi sejarah inilah, Novel Ramadhan K.H. yang bertajuk “Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno” (2011) dan karya Reni Nuryanti yang berjudul “Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih” memiliki urgensi untuk dikaji secara mendalam.
Madjoe Teroes Perempoean Indonesia!
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email