Pesan Rahbar

Home » » Mengintip Pemikiran Bung Karno dalam Pembangunan Landmark di Indonesia

Mengintip Pemikiran Bung Karno dalam Pembangunan Landmark di Indonesia

Written By Unknown on Saturday, 5 March 2016 | 18:33:00


Oleh : Robby Alexander Sirait

Ketika kita mendengar kata julukan putra sang fajar, singa podium dan pemimpin besar revolusi, ingatan kita pasti hanya tertuju kepada Bung Karno. Selain julukan-julukan tadi, Bung Karno juga diujuluki dengan “Manusia besar dengan gagasan besar”. Ciri-ciri dan kriteria manusia besar pada Bung Karno terlihat dari peninggalannya yang kekal. Ideologi Pancasila, Marhaenisme, Semangat Nasionalisme serta peninggalan dan karya besar Bung Karno (Bangunan-bangunan hasil karya seni dan arsitektur) masih bisa rasakan dan lihat hingga saat ini. Dia tidak hanya tokoh berskala nasional, akan tetapi dia masuk jajaran tokoh internasional yang berpengaruh.

Semasa berkuasa, banyak cerita tentang pembangunan bangunan-bangunan mercusuar yang dilakukan oleh Bung Karno. Pembangunan bangunan-bangunan itu tidak hanya berlandaskan keinginan ego pribadi semata tetapi semua pembangunan itu punya makna. Bangunan-bangunan yang dibangun itu tidak hanya sebagai output karya seni dan arsitektur semata, tetapi bangunan tersebut merupakan simbol-simbol jati diri bangsa, politik internasional, kepribadian bangsa dan bangsa Indonesia itu sendiri.


Coba kita lihat pembangunan Gelora Bung Karno, kompleks olah raga bertaraf internasional ini didirikan atas gagasan Bung Karno yang memberikan perhatian besar kepada olahraga sebagai bagian penting dari kehidupan dan kebudayaan bangsa dan gagasannya tentang olahraga yang tidak bisa dipisahkan dari politik (politik internasional) yang dia katakan berkali-kali di dalam pidatonya. Pada tahun 1950, Bung Karno mempunyai gagasan untuk membangun stadion raksasa bagi bangsa. Pada waktu itu, ketika berbicara dengan perdana menteri Uni Soviet, Nikita Krushchev, yang berkunjung ke Indonesia Bung Karno mengatakan bahwa dia menginginkan didirikan sebuah stadion besar, megah dan bisa menjadi kebanggaan seluruh bangsa sampai ratusan tahun. Seiring dengan gagasan Bung Karno tersebut, penyelesaian kompleks Gelora Bung Karno adalah sebuah jawaban kesiapan Bung Karno atas tantangan menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dan sikap politik internasional Bung Karno (Indonesia) dengan pelaksanaan GANEFO (Games of The New Emerging Forces). GANEFO merupakan gagasan pesta olahraga tandingan olimpiade yang digagas oleh Bung Karno sebagai simbol perlawanan dan sikap politik Indonesia karena Indonesia diskors dalam olimpiade Tokyo tahun 1964. Latar belakang Indonesia diskors tersebut disebabkan oleh pelarangan Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games 1962 di Indonesia. Sikap pelarangan ini diambil Bung Karno untuk melaksanakan strategi politik internasional Indonesia kepada RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan menunjukkan rasa simpati bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat-rakyat Arab melawan Israel.

Selain Gelora Bung Karno, dikawasan yang sama Bung Karno juga memiliki gagasan membangun gedung CONEFO. Megawati pernah berkisah bahwa waktu itu di kediaman Bung Karno kedatangan tamu seorang arsitek dan insinyur muda bangsa kala itu, Ir Sutami yang mengutarakan permasalahan kesulitan teknis pembangunan gedung CONEFO (sekarang menjadi gedung DPR/MPR) yang diperuntukkan untuk tempat pelasanaan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) yang akan diadakan tahun 1966. Ide dan rancangan awal bangunan megah itu digagas oleh Bung Karno yang juga seorang arsitek jebolan Technische Hoge School (THS) Bandung, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Bung Karno lalu memberikan motivasi pada Ir Sutami, anak muda negeri ini harus bisa mewujudkan gagasan-gagasan besar. Bung Karno saja bisa untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa ini yang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun sebuah gedung. Akhirnya, Ir Sutami pulang dan kemudian berdaya upaya dengan segenap kemampuan dan kepercayaan diri yang utuh untuk menyelesaikan pembangunan gedung land mark kebanggan bangsa Indonesia.


Pembangunan gedung conefo (Conference of The New Emerging Forces) ini dilatarbelakangi oleh gagasan Bung Karno tentang hakikat non-blok yang memiliki filosofi tinggi. Bung karno menginginkan Indonesia dan Conefo menjadi salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan. Gagasan Bung Karno ini juga bagian dari penerjemahan cita-cita kemerdekan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD45. Pada saat meyakinkan pembangunan gedung ini Bung Karno mengatakan “Gedungnya tidak selesai tidak jadi apa. Asal conefonya berjalan terus. Sebab bagiku, Conefo adalah sesuatu yang vital. Jikalau kita benar-benar setia kepada deklarasi kemerdekaan kita, jikalau kita benar-benar setia kepada apa yang tertulis di dalam pembukaan UUD kita, UUD45 yang selalu kita katakan harus kita junjung setinggi-tingginya, maka kita mengerti bahwa Conference of the New Emerging Forces adalah perlu”.

Selain penerjemahaan cita-cita kemerdaan Indonesia, gagasan Bung Karno untuk melaksanaan Conefo bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia pantas menjadi pusat dunia keempat yang pantas diperhitungkan setelah blok barat, blok timur dan RRC yang diramalan Bung Karno menjadi pusat ketiga. Hal ini terlihat pada pandangan seorang diplomat, Ganis Harsono, tentang kebijakan sukarno menyelenggarakan Ganefo dan Conefo dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali karangan Asvi Warman Adam. Brigjen Sabur, komandan cakrabirawa, menjelaskan kepada ganis, “Beliau (maksudnya Presiden Sukarno) ingin memperlihatkan kepada tamunya bahwa jakarta memang pantas menjadi pusat yang keempat dari dunia”


Peradaban bangsa, salah satu bentuknya diwujudkan dalam bangunan bersejarah. Jika pada masa lalu sejarah peradaban nusantara meninggalkan maha karya candi Borobudur dan Prambanan, maka bangsa Indonesia yang Merdeka haruslah mempunyai simbol peradabannya sendiri. Untuk itu Bung Karno membangun Tugu Monumen Nasional (Monas) yang megah untuk mengenang perjuangan bangsa ini melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme dan juga untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pada 29 Juli 1963 dalam pidatonya, Bung Karno mengatakam “Kita membangun Tugu Nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap, seluruh Bangsa Indonesia membantu pembangunan tugu nasional itu”. Dalam naskah pidato saat pembukaan jalan silang Monumen Nasional, 16 Agustus 1964, Soekarno megatakan, “Seluruh rakjat Indonesia jang djiwanja, hatinja, rochnja, kalbunja, harus mendjulang tinggi ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini”. Daniel Dhakidae dalam bukunya cendikiawan dan kekuasaan dalam orde baru, mengatakan bahwa Bung Karno sangat sungguh-sungguh merencanakan pembangunan monumen ini yang katanya harus “mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, melambangkan api yang berkobar, bersifat dinamis dan memberikan kesan bergerak.

Pembangunan tugu monumen nasional ini bertujuan agar bangsa Indonesia tidak pernah lupa akan patriotisme dan perjuangan para pahlawannya untuk mencapai Indonesia Merdeka dimana tonggak-tonggak sejarah bangsa Indonesia terihat pada 51 diorama dalam museum serta memberikan makna agar bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah padam atau surut sepanjang masa seperti dilambangkan oleh “api yang tak kunjung padam” di puncak togu monumen nasional tersebut.


Masjid Istiqlal adalah mesjid terbesar se asia tenggara dan mesjid yang sebagai simbol kebanggaan umat Islam Indonesia dibangun sebagai land mark spiritual bangsa Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Masjid istiqlal merupakan simbol ungkapan dan wujud rasa syukur bangsa Indonesia kepada Allah SWT atas kemerdekaan yang telah diberikan dan dianugerahkan olehNya. Istidlal dibangun diatas tanah yang menjadi basis kekuatan kolonial, van den bosch defensie linie, maka nama yang diberikan Bung Karno, Istiqlal, yang berarti merdeka, menjadi lengkap, merdeka diatas pusat kekuatan militer kolonial dan merdeka diatas tanah sendiri. Menurut roso daras dalam tulisannya, pada saat menentukan tempat pembangunan Bung Karno bersikukuh mendirikan mesjid ini di atas taman Wilhelmina, sebab ratu wihelmina sebagai representasi penjajahan di bumi Indonesia dan menurut Bung Karno harus dihancurkan, dimusnahkan dan diganti mesjid bernama “kebebasan”, Istiqlal. Makna pembangunan mesjid istiqlal tidak hanya itu. Roso daras dalam tulisannya menyatakan bahwa pembangunan mesjid di arsiteki oleh Frederich Silaban, seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara dan lokasi yang terletak di seberang lapangan Banteng itu, dipilih karena berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal. Dalam proses pembangunan mesjid istiqlal Bung Karno pernah berkata “Jika Candi Borobudur yang dibangun leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa tahan ratusan tahun, maka saya ingin Masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan tahun, tetapi ribuan tahun!” begitu tekad Bung Karno, seraya melanjutkan, “agar kelak anak-cucu kita paham, bahwa Presiden Indonesia yang pertama sangat mencintai Islam.”


Edhi Sunarso, pembuat Patung Selamat Datang di Bundaran HI, Patung Dirgantara dan Patung Pembebasan Irian Barat Lapangan Banteng dalam Tempo Interaktif mengisahkan. Suatu hari pada 1959 Pemimpin Besar Revolusi Soekarno memanggil tiga seniman tersohor: Trubus, Edhi Sunarso, dan Henk Ngantung, yang juga menjabat Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau membuat Monumen Selamat Datang untuk menyambut olahragawan Asian Games. Ayo, kau skets. Bentuknya begini, lho,” kata Presiden Republik Indonesia itu di hadapan mereka seraya mengangkat tangan kanannya, memperagakan orang yang sedang menyapa dari jauh.

Ketiga perupa itu lantas membuat sketsa. Setelah rampung, Soekarno memeriksanya lalu menunjuk Henk. “Kau jadi pengawas pekerjaan ini,” katanya. Lalu ia berpaling ke Edhi dan berkata, “Dhi, kau buat patung setinggi sembilan meter dari perunggu.” Edhi, pematung berusia 27 tahun, terkesiap. “Saya belum pernah bikin patung perunggu, Pak. Jangankan sembilan meter, sepuluh sentimeter saja belum pernah,” kata dosen Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) itu. Soekarno menampiknya. “Kau senang kalau ini saya serahkan ke luar negeri? Tidak malu? Sebagai satu bangsa dan sebagai pejuang, kau harus sanggup. Aku beri waktu seminggu. Kau berembuk dengan kawan-kawanmu di Yogya dan kembali kemari tak ada jawaban selain sanggup. Coba bikin perencanaan tiga dimensinya,” katanya. Pembangunan patung selamat datang ini digagas Bung Karno sebagai lambang keramahan bangsa Inddonesia menyambut para peserta Asian Games pada tahun 1962. Begitulah Bung Karno yang selalu menggugah semangat anak-anak bangsa ini untuk maju, dan Edy beserta kawan-kawannya ternyata mampu mewujudkan maha karya itu yang semula mereka sendiri ragu ketika memulainya.


Selain patung selamat datang, peninggalan bersejarah Bung Karno adalah patung tani yang sebenarnya adalah patung pahlawan yang diresmikan pada tahun 1963 yang dibawahnya terdapat plakat yang berbunyi “Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bang yang besar”. Patung ini merupakan patung pemerintah Uni Soviet untuk Indonesia. Menurut Roso Daras dalam tulisannya, kala itu Presiden Soekarno melakukan kunjungan resmi ke Uni Soviet dan diperkenalkan kepada Matvel Manizer dan Otto Manizer. Diundanglah kedua pematung tersebut oleh Presiden Soekarno ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi mengenai perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Pada saat itu dimaksudkan untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Mereka pun mendatangi sebuah desa di wilayah Jawa Barat dan bertemu dengan penduduk setempat. Di desa tersebut kedua pematung ini mendengar sebuah kisah tentang seorang Ibu yang mengantar anaknya menuju medan perang. Sang Ibu memberikan dorongan semangat dan keberanian kepada sang anak untuk bertekad memenangkan perjuangan, dan juga agar selalu ingat akan orang tua dan tanah airnya. Ia kemudaian membekali anak laki-lakinya dengan nasi hasil tanakannya. Begitulah kisah yang mereka dengar dari rakyat di kawasan Jawa Barat. Cerita inilah yang menjadi Inspirasi dan kemudian mereka kembali ke Uni Soviet, kemudian dibuatlah patung itu yang diberi nama Patung Pahlawan.


Pada Tahun 17 Agustus 1963 Bung Karno meresmikan Patung Pembebasan Irian Barat, patung menggambarkan seseorang yang telah bebas dari belenggu. Menurut Roso Daras dalam tulisannya, ide pembuatan patung ini diperoleh Bung Karno ketika Beliau sedang pidato di Yogyakarta dalam menggerakan massa untuk membantu membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat. Yang kemudian diterjemahkan oleh Henk Ngatung dalam bentuk sketsa. Patung Dirgantara yang lebih dikenal patung pancoran saat ini, merupakan patung yang dibangun oleh Bung Karno untuk menunjukkan simbol semangat bangsa, keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara yang menekankan kepada pentingnya bangsa Indonesia mengandalkan keberanian, kejujuran dan semangat. Kisah pembangunan patung ini sedikit berbeda dengan pembangunan-pembangunan patung atau landmark lainnya.


Pembangunan ini menyisakan cerita pahit dimana ketika Bung Karno diujung tanduk kekuasaan pasca gestok, keberlanjutan pembangunan patung ini tidak digubris oleh suharto dan pembangunan ini sempat mandeg. Akan tetapi Bung Karno bukanlah manusia yang plin plin dan mengajarkan sikap yang kurang bertanggung jawab, di tengah-tengah posisinya di ujung tanduk pasca gestok dan penolakan pertanggung jawabannya di sidang MPRS, begitu besarnya tekanan baik dari dalam maupun luar negeri terhadapnya serta ketidakmampuan keuangan Edhi Sunarso melanjutkan pembangunan patung ini, Bung Karno tetap pada pendiriannya untuk menyelesaikan pembangunan patung dirgantara. Dengan kondisi tersebut Bung Karno merelakan menjual mobil pribadinya untuk melanjutkan pembanguann patung ini dan menyerahkan hasil penjualan mobilnya tersebut sebesar Rp. 1,7 juta kepada Edhi Sunarso untuk melanjutkan pembangunan patung dirgantara.


Selain pembangunan patung dan land mark lainnya, dimasa pemerintahannya Bung Karno juga membangun jembatan semanggi. Pembangunan jemabatan ini merupakan rangkaian paket pembangunan untuk menjalankan perhelatan Asian Games 1962. Dalam tulisan Roso Daras, pada kesempatan sebuah rapat kabinet, Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Sutami, mengusulkan kepada Bung Karno untuk membangun sebuah jembatan guna mengatasi kemungkinan munculnya persoalan kemacatan lalu lintas. Dalam pembangunan jembatan itu, Bung Karno menamakan jembatan semanggi dengan mengunakan filosofi jawa. Menurut Roso Daras, dalam sebuah kesempatan Bung Karno pernah mengemukakan filosofi daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa jawa ia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat.

Dalam pembangunan ekonomi, Bung Karno senantiasa menekankan kemandirian dan percaya pada kekuatan sendiri (self help and self relience). Diawali dengan kebijakan progresifnya untuk mendirikan Bank Indonesia (BI) pada 15 Desember 1951 dengan nasionalisasi De Javasche Bank atau Bank Java. Kemudian pada tahun 1962 membangun land mark industrialisasi raksasa pertama di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara, yaitu Pabrik Baja Trikora (sekarang Krakatau Steel) yang merupakan mother of industry di Cilegon. Sebagai mother of industry, pabrik baja trikora memiliki peran penting sebagai dasar pembangunan dan perkembangan berbagai jenis indstri lain seperti telokomunikasi, transportasi, elektronik dan industri lainnya. Dan saat ini, pabrik baja trikora yang telah dibangun oleh Bung Karno sebagai salah satu pondasi bagi industri lain sudah tidak lagi dimiliki penuh oleh negara. Padahal Bung Karno pernah berkata “ingat, produksi, ekonomi adalah perutnya negara. Maka itu jamak lumrahlah kalau kaum reaksioner mengkonsentrasikan sabotasenya kepada perut negara lain”. Kalau sudah begini, kita tidak hanya bisa berharap industri dan negara kita tetap bisa berdaulat dan merdeka di tanahnya sendiri.

Jika pada masa awal berdirinya negara ini, Bung Karno dan para pemimpin pada masa itu mampu membangun land mark yang menjadi kebanggaan bangsa, jati diri bangsa, kepribadian bangsa, simbol sikap politik internasional Indonesia dan memiliki fungsi, dapat dipergunakan dengan baik hingga pada masa sekarang ini. Bagaimana dengan keadaan kita sampai dengan hari ini yang belum mampu memberikan sesuatu yang menjadikan kita bangga dan percaya diri sebagai sebuah bangsa. Kita yang pada masa lalu selalu menjadi yang terbaik di Asia Tenggara bahkan diperhitungkan di kancah politik internasional, padahal pada saat itu kondisi ekonomi sedang susah, perdagangan dan ekspor yang terhambat oleh blokade dan konfrontasi dengan Malaysia, pengeluaran negara yang terkuras akibat perang dan mengatasi berbagai pemberontakan, dan instabilitas politik dalam negeri.

Jika benar kondisi ekonomi kita sekarang dikatakan lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada masa pemerintahan Soekarno, semestinya kita bisa membangun dan membuat sesuatu yang lebih baik lagi. Dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita sekarang ini yang mencapai angka sebesar Rp 1.435,4 Trilyun, dan Cadangan Devisa Indonesia USD 118,11 miliar pada tahun 2011, kita belum mampu membangun land mark baru yang menunjukkan kemampuan kita sebagai bangsa yang berdikari, percaya pada kekuatan sendiri dan memiliki kepribadian sebagai bangsa yang merdeka sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Kita sudah seharusnya berbenah agar tidak tenggelam dalam perkembangan peradaban dunia.

(Jali-Merah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI