Pesan Rahbar

Home » » Tidak Perlu Malu Untuk Tak Percaya Darwin

Tidak Perlu Malu Untuk Tak Percaya Darwin

Written By Unknown on Friday, 15 April 2016 | 22:27:00


Oleh: William A. Dembski (Baylor University, 16 Maret 2000)

Kita diajarkan bahwa sains bersifat sementara atau tentatif. Dan dengan melihat sejarah sains, alasannya berlimpah untuk [percaya bahwa] sains bersifat tentatif. Tidak ada teori ilmiah yang tahan terhadap revisi dalam waktu lama, dan banyak teori yang secara perlahan – lahan dilampaui oleh teori – teori yang bertentangan secara tajam dengannya. Revolusi ilmiah adalah sesuatu yang biasa, menyakitkan dan nyata. Teori – teori baru secara reguler meruntuhkan teori – teori lama, dan tidak ada teori ilmiah yang menyatakan kebenaran mutlak.

Tetapi walaupun sains itu tentatif, para ilmuwan tidaklah tentatif. Sebagai seorang filsuf sains Thomas Kuhn dengan tepat mencatat bahwa, diperlukan revolusi untuk merubah teori – teori sains karena para ilmuwan tidak berpegang pada teori mereka secara tentatif. Karena itu, dalam bukunya Structure of Scientific Revolutions, Kuhn mengutip dan setuju dengan Max Planck, yang menulis: “Kebenaran ilmiah tidak mengukuhkan dirinya dengan cara meyakinkan lawannya dan membuat mereka menyadari kebenaran, namun karena lawannya secara bertahap meninggal, dan [kemudian muncul] sebuah generasi [ilmuwan] baru yang paham / familiar dengan teori yang baru.”

Tidak ada ilmuwan yang kariernya diinvestasikan dalam sebuah teori ilmiah tertentu yang akan dengan mudah menyerah. Memang satu hal yang baik! Satu – satunya cara untuk maju dengan sebuah teori adalah sepenuhnya berinvestasi pada teori tersebut. Teori – teori ilmiah merupakan kerangka untuk menyelesaikan masalah. Ilmuwan mempertaruhkan karier dan hidupnya dengan menyusun teori yang diharapkan akan menyelesaikan masalah yang menarik. Karena itu, para ilmuwan perlu yakin bahwa teorinya tidak hanya memberikan pemahaman yang mendasar dan mendalam, namun juga membuka jalan bagi riset – riset yang akan berbuah untuk memperluas wawasan ilmiah secara menyeluruh (biasanya dalam jangka waktu empat puluh-an tahun).

Kenyataan bahwa ilmuwan tidak menganggap teorinya bersifat sementara, tidaklah berbahaya untuk sains. Hanya akan menjadi sebuah bahaya kalau hal itu berubah menjadi dogmatisme. Biasanya, kecenderungan ilmuwan untuk tidak menganggap teori ilmiah tentatif hanya berarti bahwa ilmuwan tersebut yakin bahwa teorinya secara substansial benar. Para ilmuwan berhak memiliki keyakinan yang demikian. Sebaliknya, para ilmuwan yang memegang teorinya secara dogmatis terus – menerus menyatakan bahwa teori mereka tidak dapat tidak benar. Bagaimana seorang ilmuwan bisa terhindar dari kejatuhan ke dalam dogmatisme? Satu – satunya cara adalah dengan berdiri di depan cermin dan berkata kepada diri sendiri terus – menerus: Aku mungkin salah. . . Aku mungkin salah besar . . . Aku mungkin tidak ketulungan dan permanen salahnya — dan kemudian meyakini apa yang diucapkan! Tidak cukup untuk berkata – kata dengan mulut. Kita perlu memandangnya secara serius dan mengakui bahwa hal ini berlaku bahkan untuk kepercayaan ilmiah yang paling kita banggakan.

Induksi sederhana tentang kegagalan ilmiah di masa lampau seharusnya cukup untuk meyakinkan bahwa satu – satunya hal dimana kita tidak mungkin salah adalah kemungkinan bahwa kita salah. Skeptisisme radikal seperti ini jauh lebih mendalam daripada skeptisisme Cartesian, yang selalu mengakui bahwa ada domain pengetahuan yang imun terhadap keraguan (bagi Descartes matematika dan teologi adalah domain yang demikian). Pada saat yang sama, skeptisisme radikal seperti ini sesuai dengan iman yang tidak luntur pada pencarian manusia [akan kebenaran] dan kemampuannya untuk untuk membuat dunia ini dapat dipahami. Memang, keyakinan yang dimiliki para ilmuwan dalam memegang teorinya, sejauh masih bebas dari dogmatisme, hanyalah kata lain untuk iman. Iman ini melihat dunia ilmiah sebagai pada dasarnya berharga walaupun klaimnya bisa runtuhan.

Sebagai ganti iman kepada dunia ilmiah, Dogmatisme menggantinya dengan keyakinan yang tidak beralasan terhadap klaim dan teori sains tertentu. Masalahnya dengan dogmatisme adalah bahwa dogmatisme selalu merupakan satu bentuk penipuan terhadap diri sendiri. Andaikata kita akui bahwa Socrates mengajarkan sesuatu kepada kita, yang diajarkannya adalah bahwa kita selalu mengetahui jauh lebih sedikit daripada yang kita pikir kita tahu. Dogmatisme menipu kita untuk berpikir bahwa kita telah mendapatkan pemahaman yang mutlak dan bahwa perbedaan pendapat adalah sia – sia. Penipuan diri adalah dosa asal. Richard Feynman merumuskan demikian: “Prinsip pertama adalah bahwa anda tidak boleh membodohi diri sendiri, dan anda adalah orang yang paling mudah dibodohi.” Lebih lanjut, Feynman secara khusus memikirkan untuk menerapkan prinsip ini dalam pemahaman umum terhadap sains: “Anda tidak boleh membodohi orang awam pada saat anda berbicara sebagai seorang ilmuwan…. Aku berbicara tentang integritas spesifik, jenis [integritas] ekstra yang [lebih dari sekedar] tidak berdusta, namun juga menoleh ke belakang untuk menunjukkan bagaimana anda kemungkinan salah.”

Saya membuka pembahasan umum tentang kesementaraan dan dogmatisme dalam sains karena hal ini sering diabaikan dalam diskusi tentang evolusi biologis. Hampir tidak bisa ada pertukaran gagasan yang terbuka dan bebas pada saat ahli biologi Richard Dawkins menyatakan, “Adalah mutlak aman jika anda bertemu dengan seseorang yang mengklaim diri tidak percaya evolusi untuk mengatakan bahwa, orang tersebut tidak tahu [apa – apa], bodoh, atau gila (atau jahat, namun aku tidak [memilih untuk menggunakan] yang satu ini).” Demikian juga pada saat filsuf Michael Ruse ketika dia berkoar – koar, “Evolusi adalah sebuah fakta, fakta, FAKTA!” Demikian juga pada saat pelindung Stephen Jay Gould yaitu Michael Shermer ketika dia menyatakan, “Tidak ada seorangpun, dan aku [benar – benar] maksudkan tidak ada seorang pun, yang bekerja di lapangan yang memperdebatkan apakah seleksi alam merupakan daya pendorong di balik evolusi, apalagi mempertanyakan apakah evolusi terjadi atau tidak.”

Ucapan seperti itu serta khususnya sikap yang berada di baliknya, tidak membawa apa – apa dalam menyelesaikan kontroversi yang berkelanjutan tentang evolusi. Pengumpulan pendapat Gallup secara konsisten mengindikasikan bahwa hanya sekitar sepuluh persen penduduk USA yang menerima evolusi yang diajarkan oleh Dawkins, Ruse, dan Shermer, yaitu evolusi dimana daya pendorongnya adalah mekanisme seleksi Darwin. Sisa dari penduduk berkomitmen terhadap sejenis intelligent design (perancangan yang cerdas). Memang benar sains tidak diputuskan lewat jajak pendapat. Namun demikian, penolakan yang besar terhadap evolusi Darwin dalam masyarakat secara keseluruhan adalah sesuatu yang patut direnungkan. Walaupun Michael Shermer [bersikap] berlebih – lebihan pada saat dia mengklaim bahwa tidak ada ahli biologi [yang melakukan] riset yang meragukan kekuatan seleksi alam, dia tentunya benar bahwa inilah posisi mayoritas di antara ahli biologi.

Mengapa masyarakat biologi gagal untuk meyakinkan [masyarakat] umum bahwa seleksi alam merupakan daya pendorong di balik evolusi dan bahwa evolusi yang demikian (yaitu, evolusi Darwinian) dapat secara sukses menjelaskan keberagaman kehidupan? Pertanyaan ini patut direnungkan karena dalam kebanyakan bidang sains masyarakat tunduk kepada penghakiman masyarakat ilmiah. Mengapa tidak demikian halnya dengan evolusi? Mengingat masyarakat kita yang sangat terbiasa dengan kontroversi fundamentalis-modernis, jawaban yang biasa muncul adalah bahwa kaum fundamentalis religius yang dibutakan oleh bias dogmatis mereka secara sengaja menolak mengakui bukti yang berlimpah akan evolusi Darwin.

Walaupun mungkin ada benarnya, hal ini bukanlah satu – satunya faktor yang bertanggung jawab terhadap penolakan yang besar terhadap evolusi Darwin oleh masyarakat. Fundamentalisme dalam pengertian literalisme alkitabiah adalah posisi minoritas di antara penganut agama. Kebanyakan tradisi religius tidak menganggap bernilai untuk memisahkan diri dari budaya. Walaupun postmodernisme sudah masuk, sains masih mempertahankan prestise budayanya yang besar. Dunia religius pada umumnya hidup selaras dengan dunia ilmiah. Kebanyakan penganut agama menerima bahwa spesies telah mengalami perubahan signifikan seiring dengan sejarah alam dan karena itu dalam pengertian tertentu evolusi memang terjadi (sebagai contoh, dukungan Paus Yohanes Paulus II terhadap evolusi). Pertanyaan [yang dikemukakan] oleh penganut agama dan masyarakat pada umumnya bukanlah fakta akan adanya evolusi namun mekanisme perubahan evolusioner tersebut—bahwa kesempatan dan hukum sendiri tidak cukup untuk menjelaskan kehidupan.

Saya yakin bahwa alasan sebenarnya bagi masyarakat umum untuk terus menerus menolak evolusi Darwin adalah karena mekanisme [evolusi] Darwin berupa variasi yang acak dan seleksi alam tampaknya tidak mampu untuk menjelaskan keberagaman kehidupan sepenuhnya. Pada saat orang membaca tulisan National Academy of Science, National Center for Science Education, dan National Association of Biology Teachers, orang berpikir bahwa kegagalan masyarakat untuk menerima evolusi Darwin adalah kegagalan pendidikan. Kita diberitahu bahwa andaikata saja orang dapat diberi pemahaman yang tepat tentang teori Darwin, mereka akan dengan mudah menerimanya.

Anggapan ini—bahwa kegagalan Darwinisme untuk diterima adalah karena kegagalan pendidikan—dengan mudah mengarahkan kepada tuduhan [akan pengaruh] fundamentalisme apabila pendidikan telah dicoba dan masih gagal. Karena apa lagi yang bisa menghalangi penerimaan yang spontan dan penuh sukacita terhadap Darwinisme kalau bukan prasangka religius? Bagi penganut Darwin yang benar – benar yakin, tampaknya sesuatu yang tidak masuk akal kalau ada kemungkinan kesalahan pada teorinya dan kalau masyarakat [umum] sementara melihat kekurangan yang melekat pada teori mereka. Namun sebenarnya inilah yang terjadi.

Masyarakat [umum] tidak perlu merasa malu kalau tidak mempercayai dan secara terbuka mengkritik Darwinisme. Kebanyakan teori ilmiah dewasa ini pada awalnya diterbitkan di jurnal atau monograf spesial, dan ditujukan kepada para ahli yang dianggap memiliki latar belakang teknis yang memadai. Tidak demikian halnya dengan teori Darwin. Locus classicus untuk teori Darwin adalah bukunya Origin of Species. Di dalam bukunya Darwin membawa gagasannya ke masyarakat [umum]. Darwinis kontemporer [seperti halnya Darwin] terus membawa gagasannya ke masyarakat [umum]. Buku Richard Dawkins, Daniel Dennett, Stephen Jay Gould, E. O. Wilson, dan sejumlah ahli biologi dan filsuf lain berusaha untuk meyakinkan masyarakat [umum] yang skeptis tentang kebenaran teori Darwin. Penulis – penulis yang sama memuji masyarakat [umum] apabila masyarakat berpikir bahwa argumen mereka meyakinkan. Namun kalau masyarakat tidak dapat diyakinkan, mereka dikutuk. Daniel Dennett bahkan merekomendasikan untuk “mengkarantina” orang tua yang mengajar anak – anak mereka untuk meragukan Darwinisme (lihat bagian akhir dari bukunya Darwin’s Dangerous Idea).

Bagaimana sampai terjadi bahwa masyarakat umum dipuji kemampuan ilmiahnya kalau menerima teori Darwin, namun dikutuk apabila mereka meragukan teori tersebut? Tanda dari dogmatisme adalah memberikan penghargaan apabila setuju dan menghukum apabila bertentangan. Bila sains kontemporer memang adalah bagian dari kultur wacana rasional, maka kita harus menolak dogmatisme dan authoritarianisme dalam semua manifestasinya. Jika masyarakat dapat dipercaya untuk mengevaluasi bukti – bukti yang mendukung Darwinisme–dan inilah yang secara diam – diam diasumsikan oleh Darwinis apabila mereka menerbitkan buku tentang Darwinisme untuk masyarakat–maka tidak adil untuk melawan masyarakat apabila mereka memutuskan bahwa bukti untuk Darwinisme tidak meyakinkan.

Mengapa masyarakat [umum] mendapati bahwa bukti untuk Darwinisme tidak meyakinkan? Kalau fundamentalisme dikesampingkan sebentar, maka klaim bahwa mekanisme Darwin berupa variasi acak dan seleksi alam dapat membangkitkan keberagaman biologis, dipandang masyarakat sebagai ekstrapolasi yang tidak sah dari perubahan terbatas yang secara praktis diakibatkan mekanisme tersebut. Bukti empiris akan kemampuan mekanisme Darwin terbukti terbatas (misalnya, variasi dalam paruh burung, perubahan warna kupu – kupu, dan perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotik). Sebagai contoh, ukuran paruh burung pipit bervariasi tergantung pada tekanan lingkungan. Mekanisme Darwin memang beroperasi di sini dan bertanggung jawab terhadap perubahan yang kita amati. Namun pada saat yang sama mekanisme Darwin diasumsikan bertanggung jawab atas munculnya pipit. Ini adalah ekstrapolasi. Darwinis yang ketat memandangnya sebagai sesuatu yang sepenuhnya masuk akal. Masyarakat [umum] tetap tidak yakin.

Namun tidakkah seharusnya masyarakat [umum] tunduk kepada para ilmuwan –bukankah, mereka ahlinya? Namun ahli yang mana? Memang benar bahwa mayoritas masyarakat ilmiah menerima Darwinisme. Namun [kebenaran] sains tidak diputuskan dalam kotak suara, dan penerimaan terhadap Darwinisme di antara para ahli hampir tidak universal. Sebuah gerakan para ilmuwan yang sementara berkembang yang dikenal sebagai “para ahli teori design” sementara mengajukan sebuah teori yang dikenal sebagai “intelligent design.” Intelligent design berargumen bahwa struktur biologi yang komplex, dan kaya informasi tidak dapat timbul dari gaya – gaya alam namun membutuhkan inteligensia untuk mengaturnya. Para ilmuwan bereputasi ini berargumen tentang bukti [kebenaran teorinya] murni berdasarkan sains dan mempublikasikan hasil pekerjaannya di penerbit akademis (mis tulisan saya, Jonathan Wells, Siegfried Scherer, dll; juga http://www.baylor.edu/~polanyi).

Yang menjadi isu di sini bukanlah apakah intelligent design merupakan teori yang pada akhirnya akan meruntuhkan Darwinisme. Yang menjadi isu adalah apakah masyarakat ilmuwan bersedia menghindari dogmatisme dan mengakui bahwa ada kemungkinan realistis pandangan yang paling dijunjungnya salah. Para ilmuwan telah salah di masa lalu dan akan terus salah, baik dalam detail maupun dalam masalah konseptual yang lebih luas. Darwinisme merupakan satu teori ilmiah yang mencoba menjelaskan sejarah kehidupan; namun bukanlah teori ilmiah yang bertanggung jawab atas kehidupan. Darwinisme adalah teori yang secara luas diperdebatkan, teori yang menghadapi semakin banyak kritik tajam, dan seperti teori ilmiah lainnya memerlukan pengujian realitas yang periodis.

[Diterjemahkan oleh Ma Kuru]

(Syiatulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: