Pesan Rahbar

Home » » Advokat Wajib Bersertifikat Halal, ‘MUI Jangan Sembrono’

Advokat Wajib Bersertifikat Halal, ‘MUI Jangan Sembrono’

Written By Unknown on Wednesday, 19 October 2016 | 01:13:00

Profesi advokat. (Foto Dok: hukumonline.com)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyatakan jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau konsultan hukum termasuk sebagai produk jasa yang wajib bersertifikat halal.

Hal itu dinyatakan Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah pada Dalam sebuah seminar bertajuk “Strategi Merebut Pasar MEA dengan Produk Halal,” yang digelar di Jakarta, pada akhir tahun 2015 lalu.

Menurut Ikhsan, hal tersebut sejalan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Jasa hukum yang diberikan advokat atau konsultasi hukum juga diwajibkan memiliki sertifikat halal sebagaimana pelaku usaha untuk industri makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

Menurut Ikhsan, ketentuan dalam UU JPH tidak hanya mencakup pelaku usaha dalam bidang produk barang atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik saja. Melainkan, kata dia, mencakup produk jasa hukum yang diberikan oleh konsultan hukum.

Ikhsan pun merujuk pada frasa produk, sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 UU JPH, yang di dalamnya termasuk jasa hukum. Itu semua, tegas dia, diatur dalam UU JPH karena sudah menjadi ketentuan maka implikasinya semua produk jasa wajib disertifikasi.

Ikhsan juga mencontohkan, bentuk sertifikasi yang dilakukan terhadap pemberi jasa hukum. Misalnya dalam hal perjanjian. “Anda kan seorang lawyer pasti ada kaitannya dengan membuat perjanjian. Perjanjian yang disyaratkan kan harus halal itu. Di BW (KUH Perdata) disebutkan harus dengan klausa halal,” kata Ikhsan yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Advokat Halal.

Pernyataan Ikhsan memang belum bisa dikatakan sebagai sikap MUI secara resmi, karena di internal MUI masih terdapat silang pendapat. Meskipun belum menjadi sikap resmi MUI, pernyataan Ikhsan kadung menuai kritik dari kalangan advokat.

Sebagaimana diberitakan hukumonline.com, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kepengurusan Juniver Girsang, Hasanudin Nasution menilai sikap MUI sangat sembrono ketika menetapkan jasa hukum mesti bersertifikat halal. Ia juga tak habis pikir saat membayangkan ketika jasa hukum yang diberikan advokat mesti diukur aspek halal atau tidak halalnya.

“Menurut saya, MUI jangan sembrono juga menempatkan bahwa bisa mengukur jasa hukum. Bagaimana mengukur jasa advokat ketika berperkara di pengadilan lalu kemudian itu di-certified menjadi halal atau tidak halal? Kalau tidak halal, itu pasti bermasalah. Tapi kalau disebut halal, bagaimana juga dia mengukur halalnya?” katanya saat dihubungi hukumonline, Rabu 30 Desember 2015.

Menurut Hasanuddin, penggunaan UU Jaminan Produk Halal sebagai dasar bagi pihak MUI juga dinilai tidak tepat. Pasalnya, undang-undang tersebut mengatur kewajiban suatu produk dan/atau jasa berupa makanan, minuman, obat, serta kosmetik yang diwajibkan untuk bersertifikat halal. Selain itu, produk dan jasa itu pun memiliki parameter serta alat ukur yang jelas dalam mengukur aspek kehalalannya.

Sedangkan jasa hukum yang diberikan advokat tidak semerta-merta bisa disamakan dengan produk dan jasa yang terkait barang untuk dikonsumsi. Apalagi, jasa hukum yang diberikan tidaklah memiliki parameter serta alat ukur yang sama ketika mengukur aspek halal atau tidaknya produk atau jasa untuk barang konsumsi.

“Apa alat ukur yang digunakan? Nanti akan ada protes dari advokat yang tidak diberikan sertifikat halal. Jadi jangan sembrono saya kira MUI yang melihat jasa hukum dipersamakan dengan produk lain,” katanya.

Menurutnya, parameter serta alat ukur satu-satunya yang bisa diukur dari jasa hukum yang diberikan seorang advokat hanyalah moralitas. Lagipula, lanjut Hasanudin, baik atau buruknya moralitas yang terkandung dalam jasa hukum yang diberikan juga tidak terlihat secara kasat mata.

“Komponen advokat yang bisa diukur hanyalah moral doang. Jadi moral itu baik atau tidak, ngga kelihatan juga di produk yang diberikan. Misalnya advokat kasih gugatan atau bantahan, bagaimana kita mengukurnya,” katanya.

Ia menyayangkan sikap MUI yang seolah-olah ‘mengobok-obok’ profesi hukum yang menyebutkan kalau jasa hukum yang dilakukan advokat mesti bersertifikat. Menurut Hasanudin, MUI masih punya segudang hal yang mesti diteliti terkait dengan kehalalan suatu produk konsumsi yang beredar di Indonesia.

“Saya menyayangkan sikap MUI yang menurut saya sangat tidak cerdas. Dan ini bisa memicu konflik yang berkepanjangan dikalangan profesi selain advokat,” tutupnya.

Ketidak setujuan atas pandangan MUI juga disampaikan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Wakil Ketua DPN APSI Mustolih Siradj menilai kewajiban advokat bersertifikat halal tidaklah diperlukan. Menurutnya, sertifikasi halal terhadap advokat ini tidak memiliki relevansi terhadap jasa hukum yang diberikan oleh advokat terhadap kliennya.

“Saya pikir belum menemukan relevansi dan kemudian norma yang menjelaskan secara kokoh terkait dengan relevansi sertifikasi advokat,” ujarnya, Rabu 13 Januari 2016.

Mustolih, jasa yang diberikan oleh advokat tidak cuma sekedar mendampingi klien baik di dalam atau di luar pengadilan. Melainkan ‘produk’ yang dihasilkan oleh advokat pun juga beragam. Atas dasar itu pula, ia menilai kalau kewajiban advokat agar bersertifikat halal begitu sulit dibangun argumentasi hukumnya.

“Karena produk daripada advokat itu kan macam-macam, ada legal opinion, dan lain-lain. Bagaimana yang litigasi, bagaimana nanti yang non-litigasi, bagaimana yang cuma konsultan. Ini akan menyulitkan,” paparnya.

Terkait dengan dasar hukum, penggunaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juga dianggap tidak cukup kuat untuk ‘menarik’ profesi advokat menjadi pihak yang diwajibkan bersertifikat halal. Mustolih menilai, dalam UU JPH tidak ditemukan frasa yang bisa menjelaskan kalau pemberi jasa juga menjadi pihak yang wajib bersertifikat halal.

Sepengetahuan dirinya, UU JPH juga hanya mewajibkan sertifikasi halal bagi benda-benda yang sifatnya tangible asset (berwujud). Sementara itu, jasa hukum yang diberikan oleh advokat menurutnya termasuk dalam intangible asset. Sehingga, yang menjadi parameternya pun barang tentu berbeda.

“Tapi terkait dasar hukumnya saya pikir masih sangat tidak relevan dan kurang kuat kalau bicaranya menarik UU JPH terhadap profesi advokat. Secara frasa di situ tidak ada yang menjelaskan atau mem-breakdown persis,” sebutnya.

Selain itu, jika kewajiban ini dipaksakan kepada profesi advokat, ia khawatir pelaksanaanya nanti akan cukup membuat ruwet. Pasalnya, UU JPH masih belum bisa menjawab sampai pada wilayah mana pihak-pihak yang menjadi wajib disertifikasi halal. Persoalan lainnya adalah peraturan pelaksana dari UU JPH yang hingga kini belum terbentuk.

“Kami sendiri dari APSI, daripada polemik ini dilebar-lebarkan, maka satu-satunya hal yang bisa menjawab ini adalah Kementerian Agama yang menjadi leading sector pelaksanaan UU JPH segera menerbitkan peraturan pelaksana. Karena ada banyak sekali hal yang harus dijabarkan secara detail tentang pasal per pasal daripada UU JPH. Karena kalau tidak segera ada PP-nya, itu akan ada persoalan baru terutama khususnya dari pelaku usaha,” usulnya.

(Hukum-Online/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI