Mukadimah
Salah satu dari subyek penting pembahasan dalam ranah teologi dan filsafat agama adalah analisa dan observasi tentang bahasa agama serta mekanisme pemahaman dan penguraian agama. Pembahasan yang berhubungan dengan hal tersebut, dengan menimbang perjalanan perubahannya dari zaman Yunani kuno hingga sekarang ini dimana mengalami perubahan-perubahan yang cukup kompleks, hadirnya analisa-analisa yang semakin membuahkan pertentangan dan perbedaan serta terungkapnya pertanyaan-pertanyaan yang cukup rumit dan akurat, seperti Apakah bahasa agama bermakna atau tidak bermakna? Apakah bahasa agama dapat ditetapkan, dibatalkan dan ditegaskan dengan tolok ukur ilmiah dan empirik ataukah tidak? Apa hubungannya dengan bahasa ilmiah, akhlak, filsafat dan seni? Apakah bahasa agama mempunyai satu dimensi atau memiliki dimensi-dimensi yang beragam? Apakah bahasa agama hanya mengulas alam realitas ataukah memberi motivasi dan menarik hati? Bagaimana dapat memahami bahasa agama dan mengantarkan kepada hakikat dan substansi agama?[1]
Berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan klasik dalam ilmu kalam (teologi) tentang ketuhanan, bagaimana memahami dan menganalisa makna yang homonim antara Tuhan dengan manusia atau yang dinisbahkan terhadap maujud-maujud materi. Apakah sifat-sifat ini mempunyai makna umum dimana makna manusia diperoleh karena dipredikasikan kepada Tuhan? Ataukah mempunyai makna yang lain? Pertanyaan ini awalnya ditujukan kepada sifat-sifat ketuhanan, tetapi selanjutnya berkembang meliputi seluruh pernyataan-pernyataan keagamaan sehingga menghadirkan kerisauan dan problematika baru; sebagaimana yang diisyaratkan, pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah proposisi-proposisi dan keyakinan-keyakinan agama mempunyai makna ataukah sama sekali tidak bermakna? Mempunyai makna yang dapat dipahami ataukah tidak dapat dipahami? Memiliki makna simbolis ataukah makna aplikatif dan berdimensi pada pengungkapan perasaan? Dan banyak lagi bentuk pertanyaan-pertanyaan lain seperti di atas yang membutuhkan jawaban-jawaban yang serius dan memuaskan.[2]
Adapun faktor-faktor yang menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan;
2. Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan…) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian" rasionalisasi agama;
3. Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan…;
4. Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama;
5. Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama;[3]
6. Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik.
Teori dan Pendekatan Terhadap Bahasa Agama
Dalam mengantisipasi faktor-faktor yang mendasari timbulnya pembahasan tentang bahasa agama (sebagaimana yang disebutkan di atas) maka para teolog dan filosof agama mengutarakan beberapa jalan pemecahan untuk masalah teks agama, penafsiran yang benar terhadap teks, pemecahan kontradiksi yang ada dan ketaksesuaian agama dengan akal dan ilmu. Berkenan dengan masalah tersebut maka kami berusaha dalam tulisan ini mengungkapkan teori dan pendekatan dari teologi dan filsafat Islam dan juga pandangan dari filosof dan teolog Barat dan Kristen:
a. Pendekatan Teologi Dan Filsafat Islam
Pembahasan tentang bahasa agama dalam Islam bisa ditinjau berdasarkan pemikiran-pemikiran para teolog dan filosof Islam dalam menganalisa dan mengkaji bahasa yang disifatkan kepada Tuhan secara khusus dan bahasa yang dinisbahkan kepada seluruh keyakinan keagamaan secara umum.
Para teolog Islam membagi sifat-sifat Tuhan kepada sifat dzat seperti ilmu, kudrat dan hidup dan sifat berita, seperti wajah dan tangan (sifat-sifat yang diberitakan dalam teks al-Qur'an). Menisbahkan sifat-sifat manusia kepada Tuhan (sifat berita penyerupaan, al-musyabbiyâh), tetapi pada umumnya kaum muslimin menyanggah dan mengkritik mereka dengan dalil dan argumen rasional (al-aql) serta teks suci (an-naql); sebab mustahil menisbahkan kualitas-kualitas insani yang mempunyai dimensi kemakhlukan (mumkin al-wujûd) terhadap Tuhan yang Wâjibul Wujûd.
Asy'ariyyah menafsirkan sifat-sifat tersebut dengan makna umum (pengertian yang digunakan dalam masyarakat secara umum) terhadap Tuhan, tetapi untuk menghindari penyerupaan (at-tasybih,anthropomorphism) mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan memiliki wajah dan tangan tapi tanpa tasybih."[4]
Kelompok lain dari Asy'ariyyah, di samping menisbahkan sifat-sifat tersebut terhadap Tuhan juga menyerahkan pemaknaan sifat-sifat tersebut kepada Tuhan dengan pengertian bahwa manusia tidak mampu memahami makna-makna dari sifat-sifat berita. Analisa ini juga tidak sesuai dengan kemestian fedeisme (fideism, kecenderungan keimanan) serta informasi dan pengetahuan dari keyakinan-keyakinan keagamaan dan keimanan, dan akan menyebabkan peniadaan pengetahuan terhadap ayat-ayat dan sifat-sifat Tuhan.
Dalam hal ini Mu'tazilah mengemukakan teori penakwilan dan menafsirkankan sifat-sifat berita dengan pengertian yang menyalahi makna-makna lahiriah, sebagai contoh "tangan" ditakwilkan dengan makna "kenikmatan" dan "kekuasaan". Teori penakwilan Mu'tazilah ini tidaklah sempurna, karena takwil tersebut mesti menyebabkan pergeseran makna dari makna lahiriah kepada makna yang menyalahi makna lahiriah, sedangkan Mu'tazilah memaknai "tangan" dengan "kekuasaan" dimana ia merupakan salah satu dari makna lahiriah "tangan" (jadi tidak terjadi penakwilan).[5]
Pandangan yang lain dari teolog dan ahli ushul fiqih Syi'ah menyatakan bahwa makna kata-kata dibagi atas dua bagian:
1. Implikasi pengertian (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), yang maksudnya adalah pikiran manusia memahami secara langsung makna sebuah kata yang diucapkan oleh seseorang, hadirnya implikasi dari makna kata tersebut terkadang tidak menunjukkan keinginan pembicara.
2. Implikasi kebenaran (ad-dilâlah at-tashdiqiyah), implikasi ini yang menunjukkan kehendak pembicara (implikasi ini juga terbagi dua: penggunaan (al-isti'mâliyah) dan kesungguhan (aj-jiddiyah). Karena pembahasan kita berkenan dengan sifat berita maka ketika dalam al-Qur'an terdapat kata "mata" dan "tangan" tidak harus meninjau kata tersebut dari makna dasarnya semata (ad-dilâlah at-tashawwuriyah), sehingga pemaknaan "mata" dan "tangan" dikonsepsi sesuai dengan makna "mata" dan "tangan" yang ada pada kita, tetapi harus diperhatian pengertian keseluruhan pembicaraan (ad-dilalah at-tashdiqiyah), sebagai contoh ketika seseorang berkata, "Ketika sedang minum teh di restoran saya melihat asad, kata asad dalam bahasa Arab bermakna hewan pemangsa (singa), akan tetapi restoran bukanlah tempat bagi hewan seperti itu, oleh sebab itu kata "restoran" merupakan suatu konteks bahwa yang dimaksud asad adalah manusia yang mempunyai sifat hewan tersebut, yakni sifat keberanian. Dengan kata lain, pembahasan tersebut mempunyai hubungan dengan implikasi tashawwuriyah dan implikasi tashdiqiyah – dan dengan implikasi makna kata dan implikasi konteks kalimat – dan aturan dalam penafsiran tentang pembicaraan seorang pembicara adalah mengikuti implikasi tashdiqiyah dan konteks kalimatnya, bukan implikasi tashawwuriyah dan makna katanya, dalam contoh di atas maknanya adalah laki-laki pemberani (yakni implikasi maknanya bersifat tashdiqiyah dan konteks kalimat).
Di dalam menafsirkan seluruh ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat berita harus mengikuti metode tersebut di atas dan dengan penuh ketelitian meninjau suatu ayat yang termasuk salah satu dari sifat-sifat tersebut dengan menggabungkan dan mengelaborasi ayat-ayat yang serupa sehingga dapat menyampaikan pada maksud Tuhan, mungkin saja kita meninggalkan implikasi tashawwuriyah dan berpegang kepada implikasi tashdiqiyah.[6] Metode ini dapat kita simak dalam kalimat berikut ini: "Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya" dan kalimat "Tangan Tuhan di atas tangan-tangan mereka", kalimat pertama menafikan kematerian Tuhan dengan akal dan kalimat kedua dimakna kekuasaan Tuhan dengan implikasi tashdiqiyah.
Problematika yang berhubungan dengan sifat kesempurnaan ( ats-Tsubuti)
Dalam menyifatkan Tuhan dengan sifat tsubuti kita akan menghadapi tiga jenis problematika:
1. Ilmu dan kodrat yang terkandung dalam pengertian berilmu (âlim) dan berkuasa (qâdir), kedua sifat ini merupakan kategori kualitas jiwa. Dalam konteks ini, bagaimana kita menyifatkan Tuhan dengan kategori kualitas jiwa dimana termasuk salah satu dari bagian aksiden, padahal bukankah Tuhan lebih tinggi dan lebih mulia dari substansi dan aksiden?
2. Di mana saja kita sifatkan suatu maujud dengan kedua sifat tersebut (âlim dan qâdir) maka pemahaman umumnya adalah subyek mempunyai dzat dan sifat ilmu dan kodrat, dan kemestian dari penyifatan tersebut adalah terangkapnya Tuhan dari dzat dan sifat, sedangkan rangkapan pertanda kebutuhan, sementara kebutuhan adalah keniscayaan dari makhluk (mumkin al-wujud) yang merupakan lawan dari Wâjib al-wujud.
3. Sebagian dari sifat-sifat tsubuti, seperti mendengar (samî') dan melihat (bashîr) memerlukan media-media materi, lantas bagaimana kita bisa menisbahkan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut? Dan hal ini juga bertentangan dengan rumusan tauhid dimana Tuhan suci dari aspek-aspek materi.
Para teolog Islam sepakat bahwa seluruh sifat yang dialamatkan kepada Tuhan sebenarnya dimaksudkan untuk menggambarkan suatu realitas yang berada di luar akal manusia. Bahasa agama adalah bahasa umum (bahasa yang dipakai dan dipahami secara umum), dan proposisi-proposisi yang terdapat dalam teks suci agama bukanlah sesuatu yang bersifat ambiguitas dan bukan bahasa syair (maksudnya bahasa yang muncul dari daya khayal manusia) serta bukan pula suatu cerita legenda.
Dan jika kita menemukan problematika, maka dapat dipecahkan dengan bantuan potensi yang dimiliki akal pikiran, mukasyafah (pencapaian spiritual) hati dan elaborasi ayat serta riwayat. Misalnya pandangan mereka terhadap persoalan pertama dalam sifat tsubuti adalah bahwa ketika Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat seperti berilmu dan berkuasa, tidak mesti sifat-sifat tersebut dikonsepsi sebagai suatu aksiden dan kualitas jiwa, akan tetapi dikarenakan keagungan dan ketinggian eksistensi-Nya, maka ilmu dan kodrat adalah terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan dzat Tuhan itu sendiri identik dengan ilmu dan kodrat. Orang awam, menggunakan bahasa agama dalam pemahaman umum tanpa memperhatikan problematika dan kekurangan yang ada, para filosof dan teolog dalam pembicaraan sehari-hari juga menggunakan cara masyarakat umum, tetapi dalam burhan dan argumentasi melakukan pendekatan khusus (pendekatan ilmu).
Tentang problematika kedua, adalah benar bahwa berilmu dan berkuasa dalam bahasa Arab bermakna dzat yang disertai dengan ilmu dan kodrat, tetapi dari segi argumentasi akal, Tuhan adalah wujud murni dan antara dzat Tuhan dan sifat-sifat-Nya tidak terdapat dualitas, maka harus dikatakan bahwa sifat tersebut terwujud dengan sendirinya (swa-wujud) dan tidak bersifat aksiden pada dzat (tak menempel pada dzat). Filosof dan teolog menyifatkan Tuhan dengan makna bahasa yang digunakan orang-orang awam dan tanpa melakukan perubahan dalam makna tersebut, dan argumentasi rasionallah yang mengantarkan mereka pada pengertian dan pemaknaan yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari pemahaman-pemahaman umum. Dan pemahaman yang lebih tinggi tidak mesti melakukan intervensi dan perubahan dalam penggunaan kata; namun mungkin saja orang-orang menyifatkan Tuhan tapi tidak memperhatikan bahwa ilmu merupakan kategori kualitas (salah satu bagian dari aksiden) dan menempel pada dzat dan juga ia menyifatkan Tuhan dengan sifat tersebut tanpa memperhatikan konsekuensi konklusi argumentasi, oleh sebab itu ketika dibahas secara rasional maka muncullah problematika-problematika tersebut.
Adapun tentang problematika ketiga disebutkan bahwa kekhususan-kekhususan partikular tidak mesti dipandang sebagai batasan dan mahiyah dari sifat-sifat tersebut. Kekhususan-kekhususan tersebut memiliki pengertian tertentu dan bukan merupakan inti makna, sebab aktualitas dan hakikat mendengar (samî') dan melihat (bashîr) adalah kehadiran sesuatu yang didengarkan di sisi yang mendengar dan kehadiran yang dilihat di sisi yang melihat, kendatipun dalam hal ini tidak melibatkan dan menggunakan alat dan media materi. Dan berasaskan konsep tauhid, yang telah ditetapkan oleh para filosof Islam bahwasanya dzat Tuhan adalah basith (bersifat mencakup dan meliputi segala sesuatu), maka dalam hal ini tidak ada makna kehadiran materi di sisi materi atau kehadiran sesuatu di sisi sesuatu (berbeda dengan manusia yang membutuhkan sesuatu yang lain sebagai media dalam meraih sesuatu).
Analisa Sifat-sifat dalam Hikmah Muta'aliyah
Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid keenam, membahas segala permasalahan yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membagi sifat-sifat, ia berkata, "Sifat-sifat terbagi menjadi sifat sempurna yang tetap (îjâbi tsubûti) dan sifat tak sempurna yang tertolak (salbî taqdîsi), dimana kitab suci mengungkapkan kedua sifat tersebut, "Maha suci nama Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan", sifat jalaliyah adalah mensucikan dzat-Nya dari segala keserupaan dengan yang lain dan dzat suci Tuhan lebih agung dan lebih tinggi dari apa-apa yang disifatkan terhadap-Nya, sifat Mulia (ikrâm) adalah suatu sifat yang "dengannya" Tuhan memuliakan diri-Nya sendiri, dan kesimpulannya adalah pemilik kesempurnaan tersebut adalah pemilik kemuliaan.[7]
Selanjutnya sifat-sifat kelompok pertama (salbî taqdîsi) merupakan negasi terhadap segala kekurangan dan ketiadaan, serta menekankan bahwa seluruh sifat-sifat tersebut kembali kepada satu penegasian yaitu negasi kebergantungan (menolak segala sifat yang implisit menceritakan tentang kebergantungan Tuhan), sifat-sifat tersebut jika ditinjau sebagai negasi dalam negasi maka kembali bermakna afirmasi.
Sifat-sifat kelompok kedua (sifat tsubûti) juga terbagi atas dua jenis: 1) sifat hakikat (hakikiyah) seperti ilmu, hidup dan…, 2) sifat tambahan (idhâfiyah) seperti pencipta, pemberi rezki dan…. Kemudian seluruh sifat-sifat hakiki kembali kepada sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud) dan seluruh sifat tambahan dikembalikan kepada satu sifat tambahan (idhâfah) yaitu sifat tambahan kepenciptaan (qayyumiyah). Oleh karena itu:
1. Seluruh sifat-sifat salbî dikembalikan kepada satu penegasian yakni negasi kebergantungan dan kebergantungan itu sendiri mempunyai makna negasi, jadi negasi kebergantungan adalah negasi negasi (kebergantungan) yang hasilnya adalah afirmasi.
2. Negasi negasi tersebut yang kembali kepada sifat afirmasi yang sumbernya adalah intensitas wujud yang kuat.
3. Seluruh sifat-sifat afirmasi hakiki juga kembali kepada satu sifat yaitu sifat keniscayaan wujud (wujubul wujud), dimana sifat ini juga bersumber dari intensitas wujud yang kuat.
4. Seluruh sifat-sifat afirmasi tambahan (idhâfi) kembali kepada sifat kepenciptaan (qayyumiyah), dimana sifat ini juga berdiri tegak pada wujubul wujud.
Konklusi dari analisa dan uraian di atas bahwa wujubul wujud merupakan prinsip dan asas utama bagi seluruh sifat-sifat jalal dan jamal Tuhan serta tidak ada jalan bagi multiplisitas dan kejamakan dzat suci Tuhan.
Mulla Shadra juga mempunyai pembagian lain terhadap sifat-sifat, ia berkata, "sifat-sifat dibagi menjadi sifat yang terinderai dan sifat yang terkonsepsi dengan akal, dan kedua bagian tersebut masing-masing terbagi lagi menjadi sifat yang identik dengan yang disifati dan tidak identik dengan yang disifati. Sifat yang pertama[8] seperti kebersambungan untuk materi, sifat yang kedua[9] seperti sifat hitam untuk materi, sifat yang ketiga[10] seperti keberilmuan untuk akal dan sifat yang keempat[11] seperti keberilmuan untuk manusia.[12]
Adapun sifat-sifat Tuhan bukan dari jenis sifat-sifat yang terinderai sebagaimana anggapan aliran Mujassimiyah dan Musyabbihiyah dan juga bukan dari jenis sifat-sifat yang mengaksiden (menempel) pada dzat sebagaimana pandangan Asy'ariyyah serta tidak sebagaimana konsep keterpisahan sifat dari dzat sebagaimana gagasan Karrâmiyyah. Selanjutnya Mulla Shadra mengungkapkan bahwa eksistensi (wujud) yang mempunyai satu hakikat tetapi pada saat yang sama juga terdapat multiplisitas dan keragaman wujud yang bergradasi yang meliputi wujud materi hingga wujud non materi atau mumkin al-wujud (keseluruhan wujud selain Tuhan) dan Wâjib al-Wujud (Tuhan).
Kesempurnaan-kesempurnaan eksistensi juga seperti tersebut di atas, karena semua sifat-sifat kesempurnaan jika ditinjau dari segi pengertian dan komprehensinya maka bersifat univokal (musytarak maknawi)[13] dan bukan homonim atau equivokal (musytarak lafzhi), tetapi kalau dipandang dari sudut individu-individu luarnya (misdaq, extensi) maka sifat-sifat tersebut adalah berbeda dan bergradasi.[14]
Oleh karena itu, sebagaimana dalam kaidah eksistensi (ontologi) bahwa perbedaan dalam individu-individu luar tidak menyebabkan timbulnya perbedaan dalam pengertian (komprehensi) eksistensi sehingga bersifat homonim (musytarak lafzhi).
Berkenan dengan masalah ini, Mulla Shadra mengungkapkan persoalan ilmu sebagai contoh, ia menyatakan bahwa hakikat ilmu adalah satu dimana defenisinya adalah hadirnya yang diketahui (ma'lûm) di sisi yang mengetahui (âlim), hakikat ilmu ini teraktual dalam bentuk sifat kesempurnaan bagi individu-individu makhluk tapi dzat makhluk berbeda dengan sifat ilmu tersebut, hal ini berbeda dengan Wâjib al-Wujud dimana pada tingkatan dzat-Nya adalah identik dengan seluruh sifat-Nya tapi seluruh sifat tersebut masing-masing memiliki pengertian yang berbeda.[15]
b. Teori dari Para Teolog dan Filosof Masehi Barat
Setelah mengenal karakteristik-karakteristik bahasa agama dalam sudut pandang filsafat dan teologi Islam, sekarang kita berusaha mengungkapkan apa yang dilukiskan tentang bahasa agama dari kalangan filosof dan teolog Kristen Barat sehingga kita juga dapat mengenal kekhususan-kekhususan bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen.
1. Teori Analogi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas, teolog dan filosof besar Masehi, dalam masalah bahasa agama berpijak pada teori analogi. Ia menjelaskan bahwa sifat-sifat dan predikat-predikat yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti adil, ilmu dan kuasa juga berlaku bagi makhluk-makhluk; sebagamana dalam ayat 13 dan 14 bab ketiga kitab Taurat, Tuhan disifatkan dengan eksistensi, dan makhluk-makhluk juga tersifatkan dengan sifat ini. Tetapi predikat-predikat ini untuk masing-masing dua subyek tidak dapat digunakan dalam bentuk equivokal (homonim, musytarak lafzhi) dan univokal (musytarak maknawi); misalnya antara keadilan Tuhan dan keadilan manusia yang mempunyai hubungan dan keserupaan, sementara predikat adil tersebut tidak equivokal, dan dari dimensi bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara Tuhan yang tidak terbatas dan manusia yang terbatas maka predikat tersebut juga tidaklah univocal. Dalam hal ini Aquinas memperlihatkan suatu bentuk analogi dalam penggunaan yaitu keserupaan yang identik dengan perbedaan dan perbedaan yang identik dengan keserupaan, ia membolehkan penggunaan satu kata dalam dua wilayah yang berbeda.[16]
Demikian pula ungkapan Gilson, sebuah kata dalam bentuk univokal yang dipredikasikan kepada subyek sebagai genus, difrensia atau aksiden atas subyek itu, akan tetapi tidak satupun dari predikat-predikat tersebut (dengan makna tersebut) dinisbahkan kepada Tuhan. Dalil dari konklusi tersebut dapat ditemukan dalam esensi hubungan yang berlaku di antara maujud-maujud lain dengan Tuhan… Tuhan identik dengan eksistensi. Setiap yang ada pada Tuhan bersumber dari keniscayaan dzat-Nya, sementara apa yang ada pada maujud-maujud lain diperoleh dari jalan partisipasi. Seluruh kesempurnaan secara hakiki dan esensial disandarkan kepada Tuhan sementara untuk maujud-maujud lain hanya dipredikasikan secara aksiden. Dari sisi lain, kita tidak dapat memandang bahwa di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya terdapat pertentangan dan perbedaan yang eksitrim, dalam bentuk bahwa sifat-sifat tersebut hanya digunakan dalam bentuk homonim. Pandangan ini menurut James Ross menjatuhkan manusia ke dalam jurang penyerupaan (tasybih) dan mematikan rasionalisasi (ta'thil).[17]
Thomas Aquinas mengungkapkan teori analogi dan menafikan homonim serta univokal di antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya sesudah menerima bahwa statmen-statmen keagamaan bermakna dan bersumber dari realitas.
Problem mendasar dari teori di atas tidak lain adalah ia (Thomas Aquinas) menyangka bahwa jika kita menerima univokal sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat manusia maka akan terperangkap pada penyerupaan dimana kesatuan makna terimplikasi dari kesatuan individu, dengan kata lain terjadi ia menyamakan antara pengertian (komprehensi) dan individu luar (misdaq). Namun sebagaimana dalam pembahasan Mulla Shadra yang berkenan dengan masalah ini, homonim tidak akan menyebabkan penyerupaan, alasan yang utama dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan individual antara Tuhan dan makhluk walaupun terdapat kesamaan makna antara keduanya.
2. Teori Positivisme Logikal
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian.
Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop – salah seorang anggota dari Lingkaran Wina – dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat-kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong).
Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas – dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan – tetapi hanya sebatas pemuasan akal.[18]
Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
Mazhab Positivisme mendapatkan kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari kritikan-kritikan mereka:
1. Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap teori-teori ilmu.
2. Demikian pula asas Positivisme tentang tolok ukur kebenaran proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki makna (kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen.
3. Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna; padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik adalah bermakna.
4. Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna.
5. Kritikan kita yang paling mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci)[19] dan sejarah.[20]
Setelah kami menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori permainan bahasa (language game) dan…), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan.
Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.[]
Catatan Kaki:
[1] . Amir Abbas Ali Zamani, Zabône Dîn; dalam bentuk pengungkapan pertanyaan-pertanyaan dan penganalisaan serta penguraian jawaban-jawaban yang berhubungan dengannya.
[2]. Setiap dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, telah diberikan jawabannya oleh pemikir dan penulis muslim dan bukan muslim, yang dalam tulisan terbatas ini tidak akan diuraikan, maka dari itu untuk memahami topik urgen ini perlu merujuk pada kitab-kitab yang membahas tentang "bahasa agama".
[3] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 329-330.
[4] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 330.
[5] . Abdul Husein Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal.330.
[6] . Izzuddin Reza Nezyood, Kalâm-e Tathbîqi, hal. 96-97.
[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 118.
[8] . Sifat yang terinderai yang identik dengan yang disifati
[9] . Sifat yang terinderai tapi tidak identik dengan yang disifati.
[10] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal yang identik dengan yang disifati.
[11] . Sifat yang terkonsepsi dengan akal tapi tidak identik dengan yang disifati.
[12] . Shadruddin syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 123.
[13] . Lihat makalah kami yang berjudul Shirful Wujud.
[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jilid 6, hal. 124-125.
[15] . Ibid, hal. 125.
[16] . Akli wa I'tiqad-e Dîni, Michael Peterson, penerjemah: Ahmad Naraqi. Hal. 256-257.
[17] . Kalam Jadîd, Abdul Husain Khusru Panoh, hal.332.
[18] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 334 -335.
[19] . Dalil-dalil yang bersumber dari teks-teks suci agama, seperti hadis Nabi dan kitab suci al-Qur'an, Injil, Taurat dan lain sebagainya.
[20] . Abdul Husain Khusru Panoh, Kalâme Jadîd, hal. 336.
(Team-Wisdoms-4-All/Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email