Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ .( النحل:43/ الأنبياء:7
Maka bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (QS:16;43 dan QS:21;7)
Arti Ayat Secara Umum
Ketika Allah Yang Maha Bijaksana mengutus para rasul dari kalangan manusia guna membimbing dan memberi petunju ke jalan yang lurus, sebagian orang (kaum Musyrik) yang dangkal ilmu dan pengetahuan mereka membantah dan membobongkan kebenaran para rasul tersebut dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Di antara alasan-alasan yang sering mereka kemukakan ialah mengapakah Allah mengutus manusia sebagai utusan-Nya, bukankah-kata mereka- manusia itu secara stuktur pencinptaan tidak mungkin dapat mengadakan kontak langsung dengan sumber wahyu (Allah SWT) Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Masyarakat Arab secara umum tidak mengerti seluk beluk berita kenabian dan kerasulan. Sebagai nama mereka juga jahil tentang sifat-sifat Tuhan. Sehingga mereka menolak kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dengan alasan bahwa beliau adalah manusia biasa.
Dalam ayat 7 surah al Anbiyaa’, misalnya, Allah SWT menanggapi keberatan mereka menyangkut kenabian Rasulullah saw., Allah SWT berfrirman, “Dan Kami tidak mengutus kepada umat-umat yang lalu sebelummu Hai Nabi Muhammad melainkan orang laki-laki yakni manusia-manusia biasa namun mereka adalah manusia pilihan yang Kami dengan –perantaraan malaikat wahyukan kepada mereka tuntunan-tuntuna Kami guna mereka sampaikan kepada masyarakatnya. Jika kaum musyrikin atau siapa pun di antara kamu meragukan hal itu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang tahu tentang persoalan kenabian dan kerasulan, misalnya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, jika kamu hai para pengingkar tiada mengetahuai yakni jika pengetahuan kamu menyangkut kenabian dan kerasulan sedemikian dangkal sehingga tidak mengetahui hal tersebut…
Jadi jika mereka mengingkari kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw. hanya karena beliau basyar (manusia) seperti mereka, maka alasan ini tidak bisa dibenarkan karena banyak alasan dinataranya:
1. Para utusan sebelum Nabi Muhammad saw. juga manusia basyar, dan sifat basyariyah tersebut tidak bertentangan dengan kenabian.
2. Perbedaan antara seorang nabi dan yang bukan nabi ialah bahwa yang pertama mendapat anugrah dan kemuliaan dari Allah berupa wahyu, sedang yang bukan nabi tidak mendapat anugrah tersebut.
Allah berfinnan dalam surah Ibrahim ayat 10-11:
قالوا إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُنَا … قالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلاَّ بَشرٌ مثلُكُمْ وَ لكِنَّ اللهَ يَمُنُّ على مَنْ يشاءُ مِنْ عبادِهِ.
Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah moyang kami, karena itu datangkanah kepada kami bukti yang nyata“. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. (QS:14;10-11)
Ayat Ahlu Dzikri di atas hendak mengatakan, “Jika ini semua telah kamu ketahui maka cukuplah bagi kamu sebagai bukti kebenaran Muhammad saw., akan tetapi jika kamu tidak mengerti dan tidak memahaini kenyataan ini maka tanyakanlah kepada Ahl Dzikri, apakah mereka (para rasul yang terdahulu) yang diutus kepada umat manusia juga dari kalangan (jenis) mereka sendiri yaitu manusia atau dari makhluk lain, seperti malaikat, misalnya seperti yang mereka usulkan.
Yang dimaksud kata Ahlu Dzikr dalam ayat ini dan dalam konteksnya (siyaq) adalah Ahlul Al Kitab, sebab arti Al Dzikr adalah kitab suci. Mereka diperintahkan untuk menanyakan hal itu kepada Ahlul Kitab sebab mereka dipandang oleb orang-orang musyrikin sebagai orang-orang yang banyak mengetahui seluk beluk kenabian dan mereka juga adalah musuh-musuh Islam, sama dengan kaum musyrikin, bahkan tidak jarang mereka memberikan dorongan dan bantuan untuk menghambat penyebaran dakwah Islam dan bahkan menghancurkan risalah Islam.
Di antara para ahli talsir ada yang berpendapat bahwa perintah untuk bertanya dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi saw. dan kaumnya, baik ia mengerti atau tidak, dan hal ini bertujuan untuk menguatkan kebenaran yang sudah nyata. Semuanya terkena khitab (pembicaraan) ini, hanya saja mereka yang sudah memahami permasalahan tidak usah lagi merujuk kepada Ahl Dzikri, sedang yang tidak mengerti, seperti kaum musyrikin, hendaknya merujuk dan bertanya kepada Ahl Dzikri yaitu orang-orang yang mengetahui.[1]
Ahli Al qur’an Adalah Ahludz Dzikri
Telah Anda ketahui yang dimaksud dengan kata Ahludz Dzikri dalam konteks dan susunan ayat-ayat di atas adalah orang-orang yang mengetahuipermaslahan dan seluk beluk kenabian dan kerasulan, seperti misalnya para ulama Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasraani). Akan tetapi apabila kita mencari tahu, siapakah sebenar-benar orang yang paling mengetahui seluk beluk kebanian dan kerasulan serta apa yang dibawa oleh para rasul, dan khususnya apa yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. maka kita pasti akan maklum bahwa yang paling mengerti bukti kebenaran kenabian dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah pribadi-pribadi suci yang dipercaya untuk mengawal perjalanan agama Islam sepeninggal beliau. Para pendamping Kitab suci Alqur’an, dan satu dari dua pusaka keselamatan dunia dan akhirat yang ditinggalkan Rasulullah saw. di tengah-tengah umat Islam. Mereka adalah Ahlulbait Nabi as., para imam suci.
Arti Kata Adz Dzikr
Adz Dzikr berarti menghafal makna sesuatu atau menghadirkannya. Ia bisa juga berarti hadirya sesuatu dalam hati atau ucapan. Oleb sebab itu Dzikir terbagi menjadi dua; pertama, dzikir dengan hati dan kedua, dzikir dengan lidah (lisan). Dan yang kedua ini bisa saja dilakukan dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan ingat (sadar akan apa yng sedang diucapkan).
Jadi pengertian dasar adz dzikr adalah dzikir dalam hati. Adapun mengucapankannya dengan lisan juga disebut dengan dzikir, ditinjau dan sisi pemberian pengertian yang sama dan pemantapannya di pikiran pengucapnya.
Raghib al Isfahani menerangkan, “Terkadang adz Dzikr diartikan sebuah kondisi pada jiwa, dengannya seseorang mampu mengingat ma’rifat yang ia miliki, dalam pengertian ini ia seperti hifdz (menghafal), hanya saja hifdz dari segi perolehan sedangkan dzikr dari segi mengahdirkannya. Dan terkadang dzikr diartikan hadirnya sesuatu dalam hati atau dalam ucapan, oleh sebab itu dzikr ada dua bentuk; dzikr dengan hati dan dzikr dengan lisan. Dan masing-masing terbagi menjadi dua macam: dzikr (ingat) setelah sebelumnya lupa dan dzikr bukan dari kelupaan akan tetapi dengan arti melanggengkan ingatan. Dan setiap ucapan di sebut dzikr.[2]
Tampaknya makna asli kata tersebut adalah makna awal yang disebutkan di atas, adapun ucapan disebut dzikr dikarenakan ia memuat pengertian dzikr qalbi.
Kata adz Dzikr dalam Al qur’an juga dipergunakan untuk dua arti, pertama, Al qur’an dan kedua adalah Rasulullah saw.
Al qur’an adalah Adz Dzikr
Dari sisi inilah Al qur’an (wahyu Allah) dan kitab-kitab suci yang pernah diwahyukan kepada para nabi juga disebut dzikir.
Al qur’an adalah Dzikr, kitab suci Nabi Nuh, Shuhuf Ibrahim, Taurat Musa dan Injil Isa juga disebut dzikir, sedangkan orang-orang yang mengimaninya dan mendalami dan mengarungi dapat disebut Ahlu Dzikri.
Adapun alasan penamaan Al qur’an dengan adz Dzikr adalah sebagaimana diterangkan az-Zarkasyi dalam Burhan-nya ialah dikarenakan di dalamnya terdapat mawa’idz (nasihat), peringatan dan berita umat-umat terdahulu.[3]
Jadi Al qur’an dinamai adz Dzikr dikarenakan muatan-muatan Al qur’an dapat mengingatkan manusia kepada dirinya yang kemudian akan membawa ingat kepada Tuhanya. Ia berbicara kepada akal manusia dengan mengedepankan berbagai bukti kebenaran tentang keesaan Allah SWT., keharusan hamba dalam menghambakan kepada Khaliqnya sebagai konsekuensi ma’rifah akan ketuhanan-Nya. Sebagaimana juga berbicara kepada hati nurani manusia dengan membangkitkan nilai-nilai luhur manusiawi yang tercipta bersama fitrah manusia.
Banyak ayat Al qur’an yang menyebut Al qur’an sebagai adz Dzikr, di antaranya ialah ayat-ayat sebagai berikut:
Allah SWT. berfirman:
و قالوا يا أيها الذي نُزِّلَ عليهِ الذكْرُ إنَّكَ لَمَجْنُونٌ .( الحجر:6)
” Mereka berkata: ” hai orang yang diturunkan al-qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”.(QS:15;6)
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنا الذكْرَ و إنا لهُ لَحافِظونَ. (الحجر:9)
” Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-qur’an , dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.(QS:15;9).
Tentunya Ahli Adz Dzikr “sesuatu” itu lebih mengetahui segala yang berkaitan dengan “sesuatu” tersebut. Oleh sebab itu bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan mendalami sesuatu tersebut hendaknya ia merujuk kepada ahlinya. Ahli kitab-kitab suci terdahulu dan mereka yang tekun mendalaminya tentu lebih mengerti isi dan kandungannya dibanding orang-orang lain yang tidak mendalaminya.
Dengan demikian Ahlu Azd Dzikir, adalah mereka yang memiliki dan menguasai ilmu-ilmu Al qur’an. Dari sisi ini tidak dapat disangsikan bahwa Ahlulbait Nabi as adalah pemilik seluruh ilmu Al qur’an dan semua yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw.
Pengertian bahwa Adz Dzikir yang dimaksud dalam ayat yang sedang kita bicarakan ini adalah Al qur’an disebutkan oleh banyak tokoh-tokoh penting Ahlusunnah, seperti Ibnu Jarir Al Thabari, Al Khazin, Al Baghawi, Ibnu Katsir dan Al Syaukani.
Al Thabari[4] meriwayatkan dan Ibnu Zaid ia berkata, “Adz Dzikr adalah Al qur’an, lalu ia membaca ayat:
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنا الذكْرَ و إنا لهُ لَحافِظونَ. (الحجر:9)
Dalam tafsir Fathu Al Qadir,[5] Al-Syaukhani mengatakan, “Dan ada yang mengatakan yang dimaksud adalah ‘ Tanyakanlah olehmu kepada Ahl alqur’an.”
Ibnu Katsir dalam tafsimya juga menukil komentar Imam Al Baqir as., hanya saja ia membantah kalau komentar itu dijadikan tafsiran ayat tersebut berdasarkan konteks dan susunan urutannya, akan tetapi kalau ditafsirkan secara terpisah beliau mengakui bahwa Ahlulbait adalah Ahl adz Dzikir, yakni orang-orang yang memahaini Islam dan Al qur’an secara tepat dan sempuma. Ibnu Katsir berkata, “Dan ulama dari kalangan Ahlulbait Rasulullah as. adalah sebaik-baik ulama jika mereka berjalan di atas sunnah yang lurus seperti (Imam) Ali, Ibnu Abbas, kedua putra Ali, Al Hasan dan Al Husein, Muhammad Ibnu Al-Hanafiyah (putra Imam Ali) Ali bin Husein Zainal Abidin, Ali bin Abdullah bin Abbas, Abu Ja ‘far Al Baqir (yaitu Muhammad bin Ali bin Al Husain) dan putranya Ja‘far serta yang lainnya.[6]
Rasulullah saw. Adalah Dzikr
Penggunaan kedua kata adz dzikr dalam Al qur’an adalah dengan makna Rasulullah saw… Sebab beliaulah manusia ingat kepada Tuhan mereka dan kepada ayat-ayat tanda keesaan dan keagungan-Nya dan beliaulah jalan dakwah kepada agama Allah.
Allah SWT berfirman:
قَدْ أَنْزَلَ اللهُ ذِكْرًا * رَسُولاً يَتْلُوا عليكُمْ آياتِ اللهِ مُبَيِّناتٍ لِيُخْرِجَ الذين آمنُوا و عمِلُوا الصالِحاتِ مِنَ الظُلُماتِ إلى النورِ…
Sesungguhnya Allah telah menurunkan dzikran, peringatan kepada kalian yaitu seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan m4engerjakan amal saleh dari kegelapan kepada cahaya” (QS65;10-11)
Kata رَسُولاً pada ayat di atas dalam kaidah bahasa Arab berstatus sebagai Athfu Bayaan (kata yang disebuat sebagai penjelas kata sebelumnya) ata sebagai Badal (sebagai kata ganti yang menunjukkan maksud kata sebelumnya yang digantikannya). Jadi maksud kata ذِكْرًا pada akhir ayat 10 itu dijelaskan maknanya dengan kata رَسُولاً yang disebut pada awal ayat 11. maka dengan demikian maksud dari dzikran itu adalah seorang Rasul. Dan dengan pemerhatikan sifat-sifat yang disebutkan maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan seorang Rasul itu adalah Nabi Muhammad saw… berdasarkan tafsir ini maka maksud firman telah menurunkan adalah mengutus, membangkitkannya dari alam ghaib dan menampilkannya untuk mereka sebagai seorang utusan dari sisi Allah SWT. di mana sebelumnya mereka tidak menyangkanya.[7]
Keterangan bahwa kata dzikran dalam Al qur’an dipergunakan untuk dua makna seperti di atas telah dijelaskan oleh Imam Ja’far ash Shadiq as. sebagaimana diriwayatkan oleh al Qanduzi al Hanafi[8] dari Adb. Hamid ibn Abi ad Dailam. Imam Ash Shadiq as. bersabda, “Dzikr memiliki dua makna; Al qur’an dan Muhammad saw. dan kamilah Ahlu dzikri dengan kedua makna tersebut. Adapun makna pertama; Al qur’an yaitu seperti dalam firman Allah Ta’ala:
وَ أَنْزَلْنا إليكَ الذكْرَ لِتُبَيِّنَ للناسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (QS:16;44)
و إنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ و لِقَوْمِكَ وَ سَوفَ تُسْأَلونَ . ( الزخرف:44)
” Dan sesungguhnya Al-qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kamumu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungan jawab”. (QS:43;44)
adapun Dzikr dengan arti Muhammad saw., maka ayat yang menunjukkannya adalah firman Allah dala surah ath Thalaq:
فَاتَّقُوا اللهَ يَا أُوْلِي الأَلبابِ، قَدْ أَنْزَلَ اللهُ ذِكْرًا * رَسُولاً يَتْلُوا عليكُمْ آياتِ اللهِ مُبَيِّناتٍ لِيُخْرِجَ الذين آمنُوا و عمِلُوا الصالِحاتِ مِنَ الظُلُماتِ إلى النورِ…
Maka bertaqwalah kamu hai orang-orang yang mempunyai akal (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan dzikran, peringatan kepada kalian yaitu seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dari kegelapan kepada cahaya” (QS65;10-11)
Ahlulbait Adalah Ahlu Adz Dzikr
Dengan pengertian yang mana dari kedua makna adz Dzikr di atas kita memaknai ayat tersebut, maka Ahlulbait Nabi as. adalah ahlinya. Mereka adalah Ahlu Al qur’an dan mereka adalah ahlu (kerabat) Nabi saw. Jadi dengan demikian ayat tersebut adalah sebuah perintah agar kita mengambil agama dari Ahlulbait as. sebab ilmu Al qur’an secara utuh dan sempurna hanya ada pada mereka.
Perintah untuk bertanya kepada Ahlulbait as. ini adalah bukti nyata bahwa mereka memliki seluruh ilmu yang dibutuhkan umat di sepanjang masa dan mereka memiliki keistimewaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Dan hal ini meniscayakan bahwa merekalah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi saw.
Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa contoh riwayat yang dinukil para ulama baik dari kalnagn Ahlusunnah maupun Syi’ah.
Riwayat Tentang Tafsir Ayat di atas
Al Thabari meriwayatkan dan Jabir dan Abu Ja’far Al Baqir as., ketika beliau menafsirkan ayat tersebut, beliau berkata, “Kamilah (yang dimaksud) dengan Ahli Adz Dzikr.[9]
Al Hakim al Hiskani dalam Syawahid al Tanziilnya meriwayatkan penafsiran bahwa yang dimaksud Ahlu adz Dzikr adalah Ahlulbait as. dari Imam Ali as., Imam Muhammad al Baqir as. dengan berbagai jalur.
Dari al Harits ia berkata, “Aku bertanya kepada Ali tentang ayat ini:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Maka beliau menjawab:
و اللهِ إِنَّا لَنَحْنُ أَهْلُ الذكْرِ، نحنُ أهل العلمِ، و نحن مَعْدِنُ sالتأويلِ و التنْزيلِ. و لقَدْ سَمِعْتُ رسولَ اللهِ (ص) يقول: أنا مَدِينَةُ العلمِ و عَلِيٌّ بابُها، فَمَنْ أراد العلمَ فليأتِ مِنْ بابِهِ.
Dari srail dari Jabir dari Abu Ja’far (Al Baqir) as. tentang ayat
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau berkata, “Kamilah Ahlu adz Dzikr”.[11]
Dari Musa ibn Utsman al Hadhrami dari Jabir dari Muhammad ibn Ali, ia berkata, “Ketika ayat ini turun:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Ali bersabda, ‘Kamilah Ahlu adz Dzikr yang dimaksud Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi dalam kitab-Nya.’ “[12]
Dari Ali ibn Aabis dari Jabir dari Abu Ja’far tentang firman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau berkata, kamilah yang dimaksud dengan mereka itu.”[13]
Dari as Suddi dari al Fadhl ibn Yasaar dari Abu Ja’far tentang ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau bersabda, “Mereka adalah Itrah Rasulullah saw.”
Kemudian beliau membaca ayat:
وَ أَنْزَلْنَا عليكُمْ ذِكْرًا رَسُولاً …
Sesungguhnya Alah telah menurunkna dzikr kepadamu (yaitu) seorang rasul… (QS:65;10)[14]
Riwayat Dari Jalur Syi’ah
Adapun dalam riwayat-riwayat Syi’ah dari para Imam Suci Ahlulbait as. jelas sekali. Mereka selalu menegaskan bahwa Ahlul Dzikr yang harus dirujuk umat Islam sepeninggal Nabi saw. adalah mereka, bukan yang lainnya. Di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya:
1. Al Ayasyi dalam kitab tafsirya menyebutkan sebuah riwayat dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far as., ia berkata “Aku berkata kepada beliau, ‘Orang-orang di sekitar kami mengganggap bahwa (maksud) ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
Adalah orang-orang Yahudi dan Nasrarii. Maka Beliau menjawab, “(Kalau demikian maksudnya,) maka mereka pasti akan mengajakmu kepada agama mereka.”
Lalu beliau meletakkan tangan di dadanya dan berkata:
نَحْنُ أهْلُ الذكرِ المَسْؤُوْلُونَ.
“Kamilah Ahlu Dzikr yang harus ditanyai.”
Muhammad bin Muslim melanjutkan, “Abu Ja’far berkata, ‘Adz Dzikr adalah Al qur’an.’ “[15]
2. Al-Kulaini dalam kitabnyaAl-Kafi meriwayatkan dari Abdul Rahman bin Katsir, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ash Shadiq) as. tentang tafsiran ayat:
و إنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ و لِقَوْمِكَ وَ سَوفَ تُسْأَلونَ . ( الزخرف:44)
” Dan sesungguhnya Al-qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungan jawab”. (QS:43;44)
Beliau menjawab:
الذكرُ القُرْآنُ، و نحنُ قَومُهُ و نحن المسؤولون.
“Adz Dzikr adalah Al qur’an. Dan kamilah kaumnya yang (harus) ditanyai.”[16]
3. Dalam tafsir Al-Burhan dan Al Barqi dengan sanadnya dari Abd. Karim ibn Abi Al Dailami dari Abu Abdillah as., beliau bersabda tentang tafsir ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Al Kitab (Al qur’an) adalah Adz Dzikr dan ahlinya adalah keluarga (Aalu) Muhammad saw. Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk bertanya kepada mereka dan (kamu) tidak diperintah untuk bertanya kepada orang-orang yang jahil… .”
4. Dalam kitab tafsir Al Qummi dari Zurarah ibn A’yun dari Abu Ja’far as. tentang ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Aku bertanya, ‘Siapa yang dimaksud dengannya?’
Beliau menjawab, “Demi Allah kamilah yang dimaksud.”
Aku berkata, “Kaliankah yang dimaksud?”
Beliau menjawab, “Ya, benar”.
Aku bertanya lagi, “Apakah kami yang harus bertanya?”
Beliau menjawab, “Ya”
Aku bertanya kembali, “Jadi kami yang diperintahkan untuk bertanya kepada kalian?”
Beliau menjawab, “Ya”
Aku bertanya lagi, “Apakah suatu keharusan bagi kalian untuk menjawab semua pertanyaan kami?”
Beliau menjawab, ‘Tidak, Itu terserah kami, kalau kami berkenan menjawab, maka kami akan menjawabnya, dan kalau tidak, kami akan tinggalkan.”
Lalu beliau membaca ayat:
هَذَا عَطاؤُنا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغيرِ حسابٍ.
“Inilah anugerah kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.”(QS:38;39)[17]
5. Syeikh Ath Thusi meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Hisyam, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ja’far Ash Shadiq) as. tentang firman Allah Yang Maha Berkah dan Maha Tinggi:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Siapakah yang di maksud dengan mereka?” Beliau menjawab, “Kami.” Aku bertanya kembali, “Apakah wajib atas kami bertanya kepada kalian?” Beliau as. menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah harus bagi kalian menjawab pertanyaan kami?” Beliau menjawab, “Tidak. Itu teserah kami.”[18]
6. Al Kulaini meriwayatkan dalam Al Kafi[19] dari Abu Bukair dari Hamzah ibn Muhammad ath Thayyaar, “Disodorkan kepada Abu Abdillah (Imam Ja’far) as. sebagian pidato ayah beliau, dan ketika sampai pada bagian tertentu beliau bersabda, “Tahan dan berhentilah!” kemudian beliau bersabda, “Tidak diperbolehkan atas kalian pada apa yang sedang kalian hadapi yang tidak kalian ketahui kecuali berhenti dan berhati-hati serta mengembalikannya kepada para Imam pemberi petunujk sehingga mereka membawa kalian kepada jalan yang lurus, menyingkap dari kalian kebutaan tentangnya dan memperkenalkan kepada kalian kebenaran. Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Penutup:
Ayat ini secara umum memuat bimbingan untuk mengikuti kaidah yang ditetapkan secana aqliyah dan bukan bersifat maulawiyah tasyriiyah yang mewajibkan atas setiap yang jahil untuk merujuk dan bertanya kepada yang mengerti dan memiliki ilmu.
Al Suyuthi dalam Al Dur Al Mantsurnya meriwayatkan dari Ibnu Murdawaih dan riwayat Jabir. ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَنْبَغِيْ للعالِمِ أنْ يسْكُتَ على عِلْمِهِ و لا ينبغي للجاهِلِِ أن يسكت على جهلِهِ، وقد قال اللهُ: {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ} فينبغِيْ للمُؤْمِنِ أنْ يَعْرِفَ عَمَلَهُ، على هُدًى أَمْ على خِلافِهِ.
Tidak dibenarkan bagi seorang yang alim (pandai) mendiamkan ilmunya (tidak mengajarkannya) dan tidak dibenarkan bagi si jahil untuk membiarkan kebodohannya (tidak belajar), sementara Allah telah berfirmar “Maka bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk mengetahui apakah amal perbuatannya berada di atas petunjuk kebenaran atau tidak.”
Referensi:
[1] Tafsir Al Mizan,12/257 dan 14/254.
[2] Mu’jam Mufradat Alfaadz Al qur’an:181.
[3] Al Burhan,1\350 dan baca juga Al Itqaan,1\68.
[4] Tafsir al Thabari, Jilid7, juz14 hal.75.
[5] FathuAl-Qadir,3/164.
[6] Tafsir Ibnu Katsir,2/570.
[7] Mizan,19/339. Dan ada juga keungkinan penafsiran bahwa kata رَسُولاًitu di baca nashab (fathah) dikarenankan adanya kata arsala (Dia mengutus) yang diperkirakan keberadaannya. Dengan demikian atri kata dzikran adalah Al qur’an.
[8] Al Qanduzi, Yanabi’ al Mawaddah,1/357 hadis 14.
[9] Tafsir al Thabari, Jilid7, juz14 hal.75.
[10] Syawahifd al Tanziil,1/334 hadis 459.
[11] Ibdi. Hadis 460. Dan hadis 461 dan 462 juga sama hanya saja ia meriwayatkannya dari jalur lain. Riwayat ini sama dengan riwayat al Thabari yang saya sebutkan di atas.
[12] Ibdi. Hadis 463.
[13] Ibid. hadis 464. hadis yang sama (465) diriwayatkan dari Abu Musa dari Sa’ad al Iskaaf dari Imam al Baqir as.
[14] Ibid.hadis 466.
[15] Tafsir AI-’Ayasyi,2/260-261. Tafsir Al-Burhan,2/341, Tafsir A1 Shali,1/920, Tafsir A1 Mizan,12/284-285, Bihar Al Anwar,7/37 dan tafsir Majma A1 Bayan,14/362.
[16] Al Kafi,1/211 hadis 5, Tafsir al Qummi,2/286, Bashaair ad Darajaat:37 hadis1 dari Al Fudhail dan pada hadis 6 dari Buraid ibn Mu’awiyah dari Imam Al Baqir as.
[17] Tafsir al Qumi,2/68.
[18] Amaali Ath Thusi:664 hadis:1390 dan lihat juga Al Kafi,1/211 hadis:6.
[19] Al Kafi,1/50 hadis:10, Al Mahasin,1/341 hadis:703 dan Tafsir Al Ayyasyi,2/260 hadis:30.
(Jakfari/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email