Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Bahasa Arab: الحسن بن علي بن أبي طالب )adalah Imam kedua Syiah putra dari Imam Ali Asdan Fatimah binti Muhammad Sa,
dan dikenal sebagai sosok manusia suci yang ke empat yang di usianya
yang ke 37 tahun telah mencapai derajat Imamah dan khilafah bagi kaum
Muslimin. Pada tahun 41 H beliau melakukan perdamaian dengan Muawiyah.
Masa kekhilafahan beliau sekitar 6 bulan 3 hari. Setelah melakukan
perdamaian beliau hijrah ke Madinah dan menetap di kota kelahirannya
tersebut selama kurang lebih 10 tahun hingga akhirnya beliau mencapai
kesyahidannya [1] dan dimakamkan di Pemakaman Baqi di kota Madinah.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.
Poros Pembahasan
Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadi agung tersebut.
Mukadimah
Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamiratau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula.
Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.
Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?
Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan, melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapadhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannatsseperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?
Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.
Penjelasan dan Tafsir
Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:
Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.
Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.
Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:
Iradah Tasyri’iyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:
”Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.”
Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:
” Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]
Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.
Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:
” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:” Jadilah!” maka terjadilah ia.”
Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.
Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?
Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.
Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.
Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?
Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.
Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.
Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.
Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.
Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.
Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.
Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.
Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.
Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.
Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.
Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:
” Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”
Ungkapan “في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ” (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.
قُلْ لا أَجِدُ في ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …
” Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan) yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran…”.
Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.
” Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung.”
Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.
Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.
Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.
ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .
Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.
Siapakah Ahlul bait itu?
Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?
Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:
Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.
Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:
Pertama, sebagaimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi’ilnya disebut dengan bentukmuannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.
Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi’ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:
Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat. Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa’idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai’atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai’at beliau. Bai’at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:” Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka.“[3]
Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau’ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:” Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau’ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt.“
Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau’abakhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperanganJamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]
Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?
Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.
Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah “manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.
Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.
Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]
Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengandhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.
Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka’bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.
Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?
Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi’ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.
Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba’thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]
Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:
Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]
Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali ‘Aba’ dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.
Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):” Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis.“[14]
Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa’.
Hadis Kisa’ telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.
Hadis Kisa’ yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:”Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:” Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut.”
Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]
Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]
Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa’.
Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri? Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?
Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.
Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama’ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.”
Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]
Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:” Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan.”[18]
Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]
Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?
Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?
Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.
Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan
Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:
Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?
Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?
Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.
Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:
“ makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.“
Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.
Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra’ s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?
Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.
Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaandhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:
“Para malaikat itu berkata:” Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?
Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْmengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayattathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.
Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?
Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.
Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orangAli aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Referensi:
[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.
[7]Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1883, hadi ke-2424. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 143).
[8]Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 503.
[9]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 2, halaman 416. (Sesuai penukilan kitab Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 504).
[10]As-Sunanul Kubra, jilid 2 halaman 149.
[11]Ad-Durul Mantsur, jilid 5, halaman 198.
[12]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 10-92.
[13] Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 330; jilid 4, halaman 107 dan jilid 6, halaman 292. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 144).
[14] Tafsir Fakhr Razi, jilid 8, halaman 80.
[15] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 24 dan 31.
[16]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman37 dan 38.
[17]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 11-15.
[18] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 28.
[19]Selama sembilan bulan juga dinukil dari Abu Said. Lihat Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 29.
(Syiahali/Berbagai-Sumber-sejarah/ABNS)
Dua tugas berat yang diemban Imam Hasan As yaitu Imamah dan
Khalifah menunjukkan peran penting beliau dalam menjaga keutuhan dan
persatuan dalam tubuh kaum muslimin dan mencegah dari perselisihan dan
perpecahan, kemudian beliau mengeluarkan keputusan untuk melakukan
perdamaian dengan Muawiyah. Hal tersebut memberikan gambaran seutuhnya
mengenai kepribadian beliau yang memiliki karakter tegar dan lebih
mengutamakan toleransi dan persaudaraan kaum muslimin. Perdamaian yang
dilakukannya dengan Muawiyah di masa kekhalifahannya, menjadi keputusan
paling penting dalam hidupnya bahkan dikenang sebagai kebijakan yang
paling berpengaruh dalam sejarahIslam dan
kaum muslimin, khususnya dalam terwujudnya persatuan dan tersebarnya
pelajaran agama dan akhlak yang memberikan keteladanan utama bagi umat
Syiah, tentang bagaimana bertindak dan mengambil keputusan ketika
terjadi perbedaan pendapat, juga hal-hal berkenaan dengan perdamaian dan
peperangan. [2]
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam kedua umat Islam Syiah
dan putra pertama Imam Ali As, dikenal dengan sebutan Imam Hasan As. Ibu
beliau adalah Sayidah Fatimah al-Zahra As putri kesayangan Nabi Muhammad Saw. [3]Panggilan beliau adalah Abu Muhammad.
Dengan lakab gelar yang paling masyhur dari beliau adalah al-Taqi.
Selain itu beliau juga memiliki lakab yang lain, seperti al-Tayyib,
al-Zaki, al-Sayid dan al-Sibth. Sedang Nabi Muhammad Saw sendiri
menlakabi beliau dengan al-Sayid. [4]
Kelahiran dan Kehidupannya
Imam Hasan As lahir di kota Madinah pada malam atau siang dari pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijriah [5]. Sementara Syaikh Kulaini dalam kitabnya al Kafi menukilkan riwayat bahwa Imam Hasan as lahir pada tahun kedua Hijriah [6] Ia wafat pada usia 48 tahun pada tahun ke 50 H [7]Tabarsi menukilkan wafatnya pada tanggal 28 Safar. [8]
Yang Memberikan Nama
Mengenai nama Imam Hasan As, diceritakan dimasa kelahirannya, Allah Swt berfirman kepada malaikat Jibril As untuk
memerintahkan Nabi Muhammad Saw menemui puteranya yang baru lahir dan
menyampaikan salam kepadanya dan mengucapkan selamat dan menyampaikan
kepadanya, “Sesungguhnya posisi Ali di sisimu seperti Harun di sisi
Musa, karenanya berilah nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun.”
Malaikat Jibrilpun menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah Swt
untuk disampaikan kepada nabi Muhammad Saw. Setelah mengucapkan salam
dan selamat sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT, malaikat Jibril
berkata, “Allah SWT menghendaki kamu memberikan nama putera Ali
sebagaimana nama putera Harun.” Nabi Muhammad Saw bertanya, “Nama putera
Harun siapa?” Malaikat Jibril As menjawab, “Sabbar”. Nabi Muhammad Saw kembali
bertanya, “Dalam bahasa Arabnya apa?” Malaikat Jibril as berkata,
“Berikan namanya Hasan.” Dengan perintah itu, Nabi Muhammad Saw
memberikan nama cucunya al-Hasan. [9]
Istri-Istri dan Keturunannya
Imam Hasan As: Puncak dari kecerdasan akal adalah akhlak
yang baik kepada sesama manusia. Dan dengan akal dunia dan akhirat dapat
diraih. Barang siapa yang tidak memanfaatkan akalnya, maka dunia dan
akhiratpun tidak bermanfaat baginya. [Nahjul Sa’adah fi Mustarak Nahjul
Balaghah, jilid 7 hal. 366]
Anak-anak kandung Imam Hasan As berjumlah 15 orang. 8 laki-laki dan 7 lainnya perempuan.
- Zaid dan dua saudara perempuannya Ummul Hasan dan Ummul Husain dari istri beliau yang bernama Ummi Bashir putri *Ibnu Mas’ud ‘Aqabah bin Amru.
- Hasan bin Hasan dari istri beliau yang bernama Khaulah binti Mandhur Fazari.
- Amru dan dua saudara laki-lakinya Qasim dan Abdullah. Ibunya adalah seorang budak.
- Abdurrahman. Ibunya juga dari seorang budak.
- Husain dan saudara laki-lakinya Talhah dan saudara perempuannya Fatimah. Ibu mereka bernama Ummu Ishak binti *Talhah bin ‘Ubaidillah Taimi.
- Putri-putri beliau, Ummu Abdullah, Fatimah, Ummu Salamah dan Ruqayyah dari istri-istri yang berbeda. [10]
Dari berbagai sumber-sumber yang ada, pernikahan ataupun
perceraian yang dilakukan Imam Hasan As, baik dari sisi jumlah
sekalipun, terdapat perbedaan pendapat. Hal tersebut bersumber dari
adanya periwayatan yang berbeda-beda, yang kesemua itu tidak mungkin
untuk dilakukan penerimaan begitu saja, dan juga tidak memungkinkan
untuk ditolak dan pada dasarnya juga tidak menambah ataupun mengurangi
nilai sejarah. Pada dasarnya kesemua perbedaan periwayatan tersebut
bersumber dari berbagai aspek khususnya disebabkan oleh isu-isu
sektarian dan politik. Para peneliti dan ulama dalam penjelasan mereka
mengenai riwayat-riwayat yang beraneka ragam tersebut hanya sekedar
menunjukkan sebagian dari kesalahan pada sanad ataupun mengenai muatan
riwayat. [11]Khususnya
harus dapat diterima, apa yang telah disampaikan oleh riwayat-riwayat
yang ada sangat kabur dan tanpa catatan mengenai kesemua nama-nama istri
Imam Hasan As.
Dari kesemua itu hanya nama Ja’dah binti Asy’at bin Qais yang
sesuai dengan riwayat yang ada, yang disebutkan sebagai pelaku dari
keracunan yang dialami Imam Hasan as yang kemudian merenggut nyawanya
yang riwayatnya dapat diterima dan diakui. Meskipun terdapat kesimpang
siuran dari riwayat-riwayat yang berkenaan dengan nama-nama istri Imam
Hasan as namun mengenai keturunan Imam Hasan as terdapat kesepakatan
bersama yang kemudian dengan dasar tersebut nama dari ibu-ibu mereka pun
dapat dikenali, misalnya Khaulah binti Mandzhur bin Zabban Farazi. Ummu
Bashir binti ‘Uqabah bin Amru Khazaraji, Ummu Ishak binti Talhah bin
‘Ubaidillah at Tamimi, Hafsah cucu Abu Bakar dan Hindun bin Sahil bin
Amru. [12]
Kehidupannya di Sisi Rasulullah Saw
Baraa menukilkan, “Saya melihat Nabi Muhammad Saw
bersama dengan Hasan bin Ali yang berada diatas pangkuannya dan dalam
keadaan demikian beliau berkata, Ya Allah aku mencintainya, maka berikan
juga kecintaanMu terhadapnya.”[13] Dalam
hadits yang lain dinukilkan bahwa Nabi Muhammad dalam keadaan bersama
dengan Hasan dan Husain yang duduk diatas pangkuannya dan berkata, “Ini
adalah kedua putraku dan putra dari putriku. Ya Allah, aku mencintai
keduanya, maka berikan juga kecintaanMu kepada keduanya dan cintai pula
siapa saja yang mencintai keduanya.” [14]
Nabi Muhammad Saw dalam hadits yang lain mengenai Imam Hasan As dan Imam Husain As bersabda, “Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga.” [15]“Kedua puteraku ini adalah dua bunga wangiku di dunia.” [16]“Hasan dan Husain (atau kedua puteraku ini [17]adalah Imam, yang memimpin revolusi atau yang menciptakan perdamaian.” [18] “Jika akal seorang laki-laki terwujud sebagai manusia, maka dia adalah al Hasan.” [19]
Kehidupannya di Masa Kekhalifahan
Suatu hari Imam Hasan di masa kecilnya menemui Abu Bakar
yang saat itu sedang berkhutbah di atas mimbar. Beliau mengajukan protes
kepada Abu Bakar sembari
berkata, “Turunlah dari atas mimbar ayahku.” Abu Bakarpun menanggapi
pernyataan tersebut dengnan mengatakan, “Demi Allah, benarlah apa yang
kamu katakan itu. Ini adalah mimbar ayahmu, bukan mimbarku.” [20] Imam
Hasan dan Imam Husain pada saat perang menginvasi kerajaan Persia,
keduanya tidak bergabung dalam laskar militer kaum muslimin.[21]Meskipun sebagian dari riwayat menyebutkan kehadiran Imam Hasan as di sejumlah peperangan. [22]
Disaat masa transisi dari pemerintahan Khalifah Umar kepada
pemerintahan khalifah selanjutnya dan terbentuknya Dewan Syura yang
kemudian menghasilkan keputusan yang menetapkan Utsman sebagai Khalifah
selanjutnya, atas permintaan Umar bin Khattab, Imam Hasan as termasuk
diantara enam orang yang dijadikan saksi dalam Dewan Syura yang
terbentuk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bukti betapa penting peran
dan luasnya pengaruh beliau, sekaligus mengisyaratkan bahwa beliau bukan
hanya diakui sebagai salah satu anggota dari Ahlul Bait Nabi Saw namun
juga diakui sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki peran sosial penting
ditengah-tengah kaum Anshar dan Muhajirin. [23]
Sewaktu Utsman mengasingkan Abu Dzar al Ghiffari ke
Rabadzhah dan menetapkan pelarangan untuk tidak seorang pun menemani
dan berbicara dengannya, dan meminta kepada Marwan bin Hakam
mengeluarkannya dari kota Madinah. Sewaktu Abu Dzar akhirnya dalam
keadaan terusir keluar dari kota Madinah, tidak seorangpun yang berani
untuk berbicara dan menemuinya, kecuali oleh Imam Ali as beserta
saudaranya Aqil dan kedua putranya Hasan dan Husain serta Amar bin Yasir
yang bahkan sampai mengawal kepergian Abu Dzar meninggalkan kota
Madinah. [24]
Disaat terjadi kerusuhan, dengan adanya aksi pengepungan
sejumlah pemberontak yang hendak membunuh khalifah Utsman bin Affan,
sebagian catatan sejarah menyebutkan tindakan Imam Ali as untuk menjaga
Islam adalah menjaga keselamatan khalifah. Beliau mengutus kedua
puteranya Hasan dan Husain menuju rumah Utsman untuk menjamin
keselamatannya. Sayang, situasi saat itu sangat sulit, dan pembunuhan
terhadap khalifah Utsman tidak bisa dicegah. Disebutkan terjadi banyak
perbedaan periwayatan dari berbagai sumber mengenai hal detail dari
peristiwa pembunuhan tersebut. [25]
Imam Di Masa KeImamahan Imam Ali As
Imam Hasan As dan Imam Husain As bergabung dalam peperangan yang dipimpin oleh ayahnya, yaitu dalam perang Jamal, Shiffin dan perang Nahrawan. 26. [26]
Di Perang Jamal
Sewaktu Abu Musa al Asy’ari panglima
perang Kufah yang diutus oleh Imam Ali As untuk menghadapi kaum
pemberontak melakukan pembangkangan, Imam Ali as mengutus puteranya
sendiri Imam Hasan bersama dengan Ammar bin Yasir dan sebuah surat ke
Kufah. Dengan pidato yang disampaikannya di Masjid Kufah, beliau mampu
mengumpulkan 10000 pasukan yang ikut serta bersamanya ke medan perang. [27]
Imam Hasan menyampaikan pidatonya sebelum terjadi perang [28]dan Amirul Mukminin mengutus beliau dalam perang tersebut untuk bersiaga di Maimanah [bagian kanan] dari pasukan perang. [29] Sebagian
sejarahwan menyebutkan dalam perang tersebut, Imam Ali as berkata
kepada Hanafiah, “Ambillah tombak ini, dan bunuhlah unta itu [yang
dimaksud adalah unta yang dikendarai Aisyah yang dalam menghadapinya
telah banyak menelan korban]”. Muhammadpun pergi namun kembali dalam
keadaan luka parah akibat terjangan panah disekujur tubuhnya. Setelah
itu, Hasan mengambil tombak itu dan selanjutnya berhasil membunuh unta
Aisyah. [30]
Imam Pada Perang Shiffin
Pada perang Shiffin, di tengah kecamuk menghadapi
musuh-musuhnya, Imam Ali As tidak melepaskan perhatian dari kedua
putranya yang turut berperang. Dalam menjaga keselamatan nyawa Hasan dan
saudaranya Husain, Imam Ali As meminta keduanya untuk berada
dibelakangnya. Imam Ali As berkata, “Ditengah kecamuk perang saya
mengkhawatirkan keselamatan kedua puteraku, karena saya tidak
mengingkankan keturunan Rasulullah Saw terputus.” [31] Dalam
perang, sewaktu Muawiyah melihat Imam Hasan As, ia memerintahkan kepada
Ubaidillah bin Umar –putera bungsu khalifah kedua- memasuki medan
perang dan menemui Imam Hasan As. Ubaidillahpun mendekati Imam Hasan
yang sedang sibuk menghadapi musuh-musuhnya, dan berkata kepadanya, “Saya ada urusan denganmu.” Imam
Hasanpun mendekatinya. Ubaidillahpun menyampaikan pesan Muawiyah yang
mengajaknya bergabung. Imam Hasan As dengan suara meninggi berkata, “Aku
akan melihat, kau akan terbunuh hari ini atau besok. Namun syaitan
telah menipumu dan memperindah perbuatan ini di matamu sampai akhirnya
perempuan-perempuan Syam akan mengambil jenazahmu. Allah SWT akan
mempercepat kematianmu dan kau akan berkalang tanah.” Mendengar
jawaban tegas tersebut, Ubaidillah kembali keperkemahan dan ketika
Muawiyah melihat keadaannya, ia langsung menanggapinya dengan berkata, “Anak laki-laki itu adalah juga ayahnya.” [32]
Imam Ali As untuk
mencegah terjadinya fitnah dan perpecahan pasca pemerintahannya, ia
secara terang-terangan mengingatkan masyarakat akan bahayanya, melalui
pidato-pidato yang disampaikannya secara terbuka dengan penjelasan dalil
dan argumentasi yang jelas. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Hasan
As.[33] Surat
ke-31 Imam Ali As yang terdokumentasikan dalam kitab Nahjul Balaghah
berisikan surat wasiat yang penuh dengan pesan-pesan akhlak Imam Ali As
kepada puteranya, Imam Hasan As. Surat tersebut disampaikan sewaktu Imam
Hasan As dalam perjalanan pulang dari Shiffin disebuah tempat yang disebutHadhirin.
“Ketakwaan adalah puncak dari keridhaan Ilahi, awal
dari semua pertobatan, puncak dari segala hikmah dan kemuliaan dari
setiap perbuatan.” Imam Hasan Al-Mujtaba As
Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 232.
Dalil-dalil KeImamahan
Hadits yang berbunyi, “Kedua puteraku ini, Hasan dan Husain adalah imam, baik dalam keadaan bangkit maupun tidak.” [34],
dari Rasulullah ini adalah hujjah yang jelas dan terang mengenai
keimamahan Imam Hasan dan Imam Husain. Imam Ali As mewasiatkan kepada
puteranya Imam Hasan As. “Wahai puteraku, Rasul Akram Saw
memerintahkan kepadaku, agar aku menjadikan engkau sebagai washiku dan
memberikan kepadamu kitab dan persenjataanku, sebagaimana Rasulullah Saw
menjadikan aku washinya dan menyerahkan keduanya kepadaku serta
memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal yang sama terhadapmu. Dan
sewaktu engkau menyadari akan mendekatnya tanda-tanda kematianmu, maka
amanah ini serahkan kepada saudaramu, al-Husain.” [35]
Masa ke Imamahannya
Imam Hasan al-Mujtaba As pada malam Jum’at 21 Ramadhan
tahun ke 40 H bersamaan dengan kesyahidan ayahnya Imam Ali As ditangan
Ibnu Muljam, urusan kepemimpinan dan kewilayahan atas ummat beralih ke
atas pundaknya, dan penduduk Kufah secara berkelompok-kelompok
berdatangan untuk memberikan baiat mereka. Ia kemudian mengangkat
sejumlah pejabat dan pembantunya dalam pemerintahan serta menunjuk
Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di Basrah. [36]
Perang dengan Muawiyah
Sewaktu Muawiyah mendapat kabar akan kesyahidan Imam Ali As
dan paham akan pembaiatan yang telah dilakukan umat Islam atas Imam
Hasan As, diapun kemudian mengirimkan dua orang untuk menjadi mata-mata
dan memprovokasi masyarakat untuk melawan Imam Hasan as ke kota Basrah
dan Kufah. Imam Hasan As ketika mengetahui hal tersebut segera
memerintahkan untuk melakukan penangkapan atas keduanya dan menjatuhkan
hukuman yang setimpal.
Surat menyurat yang terjadi antara Imam Hasan As dengan
Muawiyah, menunjukkan kelayakan Imam Hasan As sebagai khalifah atas kaum
muslimin. [37]Muawiyah
sesuai perintahnya melalui surat, mampu memobilisasi pasukannya untuk
bergerak ke Irak bersamanya dan dia sendiri yang bertindak langsung
sebagai komandan pasukan, dan memerintahkan Zahaak bin Qais Fahri
sebagai wakilnya di ibu kota. Disebutkan sekitar 60000 pasukan bersama
Muawiyah, dan riwayat lain menyebutkan lebih dari jumlah tersebut. [38]
Imam Hasan As: “Memikirkan pikiran, jiwa, hati dan visi adalah kunci pintu kebijaksanaan.” [Musnad al Imam al Mujtaba, hal. 718]
Imam Hasan As mengutus Hujr bin Adi ke medan perang untuk
mengambil alih komando dan mengajak kepada ummat untuk berjihad. Awalnya
mereka mengalami kekalahan, namun akhirnya meraih kemenangan. [39]Imam
As kemudian mengutus Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menuju Syam dan ia
sendiri menuju Madain. Setiap hari ia mendapat kabar baru disetiap
perjalanannya. Suatu hari ia mendapatkan kabar akan gugurnya Qais.
Berita tersebut dengan cepat menyebar dan menimbulkan kegoncangan
dikalangan pasukan. Tanpa adanya komando, pasukan yang tersisa kemudian
menyerbu tenda-tenda dan menjarah apapun yang ada. [40]Imam
Hasan as dengan melihat adanya kejadian indisipliner tersebut dari
pasukannya sendiri, kemudian berkesimpulan tetap melakukan perlawanan
akan tidak ada manfaatnya. Tetap bertahan dengan kondisi pasukan seperti
itu hanya akan membawa kerugian dan mudharat yang lebih besar.
Karenanya Imam Hasan as kemudian memilih untuk sepakat untuk melakukan
perdamaian dengan Muawiyah. [41]
Perdamaian dengan Muawiyah
Imam Hasan As: “Demi Allah kembalinya kami dari medan
perang melawan orang-orang Syam bukan karena kami ragu atau karena kami
diliputi rasa sesal melainkan karena sebelumnya kami menghadapi
orang-orang Syam dengan dengan kejernihan pikiran dan konsistensi namun
karena permusuhan semua itu jadi berubah. Dan kalian [orang-orang Kufah]
pada awal pekerjaan kalian di Shiffin kalian lebih mengutamakan agama
kalian daripada kepentingan dunia kalian, namun hari ini kalian lebih
mengutamakan kepentingan dunia kalian dari agama kalian.” [Tuhuf al
‘Uqul, hak. 234]
Baladzari [بلاذری ] menulis: “Muawiyah mengirim kertas
kosong yang di bagian bawahnya diberi cap stempel kepada Imam Hasan dan
meminta apapun yang dikehendaki oleh Imam Hasan dalam perjanjian
tersebut untuk menuliskannya. Berikut surat rekonsiliasi/perdamaian
antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sofyan yang kepemimpinan kaum
muslim beralih ke tangan Muawiyah dengan persyaratan sebagai berikut:
- Akan bertindak sesuai dengan kitab Allah, Sunnah Nabi dan sirah para khalifah yang saleh.
- Tidak mengangkat putra mahkota dan mengembalikan amanah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
- Rakyat dimanapun berada, nyawa, harta dan keturunannya harus dijamin keamanannya.
- Muawiyah tidak boleh baik secara terang-terangan maupun tersembunyi mengusik Imam Hasan as dan mengancam dan serta menakut-nakutinya pengikutnya.
Abdullah Haarat dan Amruh bin Salamah menjadi saksi dari penandatanganan deklarasi perdamaian tersebut. [42]Dengan persyaratan yang telah dibuat melalui Imam Hasan as, perjanjian tersebut ditandatangani di awal tahun 41 H. [43]Akan
tetapi Muawiyah meskipun menyepakati perjanjian tersebut namun berlaku
tidak layak. Disaat Imam Hasan as menawarkan perdamaian, Muawiyah justru
tidak memberikan penghormatan yang semestinya, malah mengatakan hal
yang tidak layak mengenai Imam Ali as. Imam Husain as awalnya hendak
membalas pelecehan tersebut namun dicegah oleh Imam Hasan as yang
kemudian menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya perdamaian dan
kemudian membandingkan nasab beliau dengan Muawiyah sebagai balasan dari
sikap tidak hormat Muawiyah terhadap ayahnya, Imam Ali as. [44] Hal tersebut menjadikan Muawiyah terdiam malu. [45]
Setelah Perdamaian hingga Wafatnya
Imam Hasan setelah melakukan perdamaian dengan Muawiyah, ia
berhijrah ke Madinah. Dan di kota tersebut ia menjadi sumber rujukan
ilmu, agama, masalah sosial dan politik. Ia berkali-kali melakukan
perdebatan dengan Muawiyah dan para pengikutnya di kota Madinah dan
Damaskus, yang riwayat-riwayat mengenai hal tersebut diantaranya ditulis
oleh Tabarsi dalam kitabnya Ihtijaj. [46]
Kesyahidan
Muawiyah sangat berambisi untuk menghabisi nyawa imam Hasan
As. Telah berkali-kali ia mengupayakan cara untuk meracuninya namun
tidak pernah berhasil.[47]Sampai
akhirnya Muawiyah secara licik berusaha merayu istri Imam Hasan As,
Ja’dah binti Asy’at bin Qais dan menjanjikannya untuk dinikahkan dengan
Yazid putranya dan akan diberikan seratus ribu dirham dengan syarat
mampu membunuh imam Hasan. Diapun kemudian berhasil melakukan keinginan
Muawiyah tersebut dengan cara meracuni Imam Hasan As dengan racun yang
mematikan. Diapun mendapat uang seratus ribu dirham yang telah
dijanjikan Muawiyah namun janji untuk menikahkannya dengan Yazid tidak
dipenuhi Muawiyah. [48] Sewaktu Imam Husain menghantarkan jenazah saudaranya untuk dimakamkan disisi makam kakeknya Nabi Muhammad Saw, Aisyah, Marwan dan sejumlah pembesar dari Bani Umayyah mencegat dan mencegah proses pemakaman tersebut. Untuk mencegah perselisihan dan pertikaian yang bisa saja lebih meluas antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, Ibnu Abbas kemudian membawa jenazah Imam Hasan kepemakaman Baqi dan dimakamkan di sisi neneknya, Fatimah binti Asad. [49]
Kepribadian dan Keutamaannya
Imam Hasan as adalah yang paling mirip dengan Rasulullah Saw baik secara fisik, penampilan, perangai maupun akhlaknya. [50] Diriwayatkan
dari Rasulullah Saw yang bersabda kepadanya, “Wahai Hasan, kamu dari
penciptaan bentuk dan akhlak sangat mirip denganku.” [51]Imam Hasan as adalah salah satu dari Ashabul Kisa[52]] dan disaat mubahalah dengan
rohaniawan Kristiani, Nabi Muhammad Saw membawa serta Imam Hasan, Imam
Husain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah sesuai dengan apa yang telah
diperintahkan Allah SWT. [53]Turunnya Ayat Tathir juga menunjukkan mengenai keutamaan beliau yang sangat besar, demikian juga dengan Ahlul Bait yang lain. [54]
Imam Hasan sebanyak 25 kali menunaikan ibadah Haji dan tiga
kali mensedekahkan semua hartanya di jalan Allah, sampai sepatunyapun
diserahkannya dan hanya menyisakan sandal untuknya. [55]
Catatan Kaki
- Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 489. .
- Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 532. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
- Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlmn 296. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
- Kulaini, Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 499. .
- Kulaini, Kāfi, jld. 2, hlm. 501. .
- Thābarsi, I’lām al-Wara, jld. 1, hlm. 403. .
- Shaduq, al-Amāli, hlm. 134. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 16. .
- Untuk contoh bisa merujuk ke ‘Aqiqi, jld. 4, hlm. 523; Qarsyi, 1413 H, jld. 2, hlm. 443 dst; Madelung, 380-387 yang dinukil oleh Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
- Rujuk ke kitab Ya’qubi, jld. 2, hlm. 228; al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 20; Ibnu Shaufi, hlm. 19; Bukhari, Sahal, 5; Ibn Syahr Asyub, Manāqib, jld. 3, hlm. 192; Ibnu ‘Unabah, 68 yang dinukil Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
- Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 2, hlm. 432; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta’āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 206. .
- Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta’āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
- Shaduq, Amāli, hlm. 333; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta’āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207. .
- Majlisi, Bihār al-Anwar, jld. 37, hlm. 73; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta’āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
- Shaduq, ‘Ilal al-Syarā’i, jld. 1, hlm. 211. .
- Al-Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 27. .
- Juwaini, Farāidh al-Simthain, jld. 2, hlm. 68. .
- Suyuti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 80. .
- ‘Amali, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, hlm. 170. .
- Daneshnāmeh Buzurgh Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
- Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 30; Ibnu abd al-Bar, Yusuf, al-Isti’āb, Beirut, jld. 1, hlm. 391, 1412 H; Jauhari Ahmad, al-Saqifah wa Fadak, Riset oleh Muhammad Hadi Amini, Tehran, 1401 H; Sarasar Kitab, Danesh Nameh Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
- Mas’udi, Murūj al-Dzahab, jld. 1, hlm. 698. .
- Jump up↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 40; Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, jld. 2, hlm. 216-217, 1394 H; Maliki, Muhammad, al-Tamhid wa al-Bayān, Qatar, hlm. 119, 194, 1405 H; Muqaddasi, Mathar al-Bada wa al-Tārikh, Kairo, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, jld. 5, hlm. 206; ‘Amuli, Ja’far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsah al-Imam al-Hasan, Qom, hlm. 140 dst, Daneshname Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534, 1363 H. .
- Al-Amin, al-Sayyid Muhsin, A’yān al-Syiah, jld. 2, Haqaqah wa Akhrajah al-Sayyid Muhsin al-Amin, Beirut, Dār al-Ta’ārif lil Mathbu’āt, hlm. 370, 1418 H..
- Ja’fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, hlm. 124. .
- Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 327. .
- Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 348. .
- Al-Qarsyi, Mausu’ah Sirah Ahl al-Bait, jld. 10, Riset oleh Mahdi Baqir al Qarasyi, Qom, Dār al-Ma’ruf, hlm. 403, 1430 H. .
- Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 219. .
- Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 218. .
- Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 245. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, Qom: Sa’id bin Jabir, hlm. 290, 1428 H. .
- Kulaini, Ushul al-Kafi, jld. 1, hlm. 297. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
- Qarsyi, Zendegi Imam Hasan As, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, hlm. 334-335. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 351. .
- Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 159. .
- Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 160. .
- Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Dār al-Ta’ārif, jld. 3, hlm. 41-42, 1397 H; Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 162. .
- Khalifah bin Khiyat, Tārikh, Riset oleh Akram Dhaya ‘Umri, Beirut, 1397 H. .
- Thabari, jld. 4, hlm. 124-125, 128-129; Abu al-Faraj, 45 dst, Ibnu Syu’bah, hlm. 232 dst, Risalah al-Imam Hasan, Riset oleh Zainab Hasan Abdul Kadir, hlm. 29, Kairo, hlm. 1411 H. .
- Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma’ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 538. .
- Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 45-65. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 357. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 13. .
- Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 280-281, 1428 H. .
- Arbali, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 290. .
- Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 43, hlm. 294. .
- Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 550; Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Agha Najafi, jld. 1, hlm. 55. .
- Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, hlm. 104; al-Zamakhsyari, al-Kassyāf, jld. 1, hlm. 368. .
- Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 2, hlm. 193. .
- Al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, jld. 4, hlm. 331, Tarjamah al-Imam Ali As min Tārikh Dimasyq, hlm. 142, dinukil dari Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu’tabar ‘inda Ahl al-Sunnah,hlm. 279. .
Daftar Pustaka
- Al-‘Athardi, Azizallah, Musnad al-Imam al-Mujtaba, Qum, ‘Athardi, 1373 H.
- Al-Harrani, Ibnu Syu’bah, Tuhuf al-‘Uqūl ‘an Ali al-Rasūl Saw, Riset: Ali Akbar al-Ghaffari, Qum, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1404 H.
- Al-Mahmudi, Nahj al-Sa’ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāghah, jld. 7, Najaf, 1385 H/1965 M.
- Sotfware Nur al-Sirah 2, Markaz Tahqiqat Komputeri Ulūm Islami Nur.
- Al-‘Amali, Ja’far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsiah lil Imam al-Hasan, Qum, 1363 H.
- ‘Amuli, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, Penerjemah: Saihari, Intisyarat Daftar Tablighat, 1376 S.
- Ibnu Sufi, Ali, al-Majdi, Riset: Ahmad Mahdawi Damaghani, Qum, 1409 H.
- Ibnu ‘Unabah, Ahmad, ‘Umdah al-Thālib, Riset: Muhamammad Hasan Ali Thaliqani, Najaf, 1380 H/1960 M.
- Al-Bukhari, Sahal, Sirr al-Silsilah al-‘Alawiyah, Riset: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum, Najaf, 1381 H/1962 M.
- Ja’fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, Intisyarat Anshariyan, 1381 H.
- Qarasyi, Baqir Syarif, Hayāt al-Imām al-Hasan bin Ali As, Dirasah wa Tahlil, Beirut, 1413 H.
- Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu’tabar ‘inda Ahl al-Sunnah, Disusun oleh: Muhammad Bayaumi Mihran, Beirut, al-Ghadir, 1423 H.
- Al-Mufid, al-Jamal, Nasyir Maktab al-‘Alām al-Islami, 1371 S.
- Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh Thabari, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu’āt, Beirut, tanpa tahun.
- Radhi Yasin, Sulh al-Hasan, Penerjemah: Sayid Ali Khamanei, Intisyarat Ghulsyan cet. 13, 1378 S.
- Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, Penerjemah: Muhammad Ibrahim Ayati, Intisyarat ‘Ilmi wa Farhanggi, 1362 S.
- Thabarsi, al-Ihtijāj, Intisyarat Uswah, 1413 H.
- Syaikh Shaduq, Amāli, Intisyarat Kitab Khaneh Islami 1362 S.
- Arbali, Kasyf al-Ghumah, Nāsyir Majma Jahani Ahl Bait, 1426 H.
- ‘Aqiqi Bakhsyayasyi, Abd al-Rahim, Chahardah Nur_e Pak, Tehran, 1381 S.
- Al-Mufid, al-Irsyad, Penerjemah: Khurasani, Intisyarat ‘Ilmiah Islamiyah 1380 S.
- Qarsyi, Baqir Syarig, al-Hayāt al-Hasan, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, Intisyarat Bitsat, 1376 S.
- Suyuti, Tārikh al-Khulafa, tanpa tahun.
- Shaduq, Amāli, Penerjemah: Kumrehi, 1363 S.
- Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Penerjemah: Ali Akbar Ghafari, Akhtar Syumal, 1373 S.
- Software Islami Jami al-Hadits, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami Nur.
- Kulaini, Ushul Kāfi, Dār al-Hadits.
- Thabarsi, I’lām al-Wara, Muassasah ali Al-Bait Liahya al-Turat.
- Bukhari, Shahih Bukhari, Nasyir Dār al-Fikr.
- Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Alu Abi Thālib, Nasyir Dzu al-Qurba.
- Majlisi, Bihār al-Anwār, Beirut.
- Jawini, Faraid al-Simthain, Muassasah al-Mahmudi, Beirut, 1980 M.
- Syaikh Shaduq, Khishal.
- Tafsir Qumi, Nasyir Maktabah al-Hadi, Najaf.
- Al-Zamakhsyari, Mahmud, al-Kassyāf ‘an Haqāiq Ghawāmidh al-Tanzil, jld. 1, Qum, Nasyr al-Balagāh, al-Thaba’ah al-Tsaniah, 1415 H.
- Syahidi, Sayid Ja’far, Tārikh Tahlili Islāmi, Tehran, Markaz Nasyr Danesgahi, 1390 S.
- Madelung, W., The Succession to Muhammad, Cambridge, 1977.
Ayat Tathir, Dalil Kesucian Ahlulbayt As
Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadi agung tersebut.
إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.
Poros Pembahasan
Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadi agung tersebut.
Mukadimah
Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamiratau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula.
Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.
Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?
Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan, melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapadhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannatsseperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?
Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.
Penjelasan dan Tafsir
Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:
- انما berarti hanya, yang menunjukkan hashr. Dari kata ini dapat dipahami bahwa dalam ayat ini terdapat hal yang tidak dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, karena jika pada awalnya memang umum untuk mereka, tidak perlu kata ini disebut di dalamnya.
Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.
Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.
- یرید الله Allah menghendaki. Apakah maksud dari kehendak Allah dalam ayat ini? Apakah kehendak itu Tasyri’iyahatau Takwiniyah?
Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:
Iradah Tasyri’iyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.”
Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:
بعثت اليکم بالحنفية السمحة السهلة
” Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]
Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.
Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:
إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:” Jadilah!” maka terjadilah ia.”
Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.
Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?
Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.
Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.
Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?
Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.
Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.
Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.
Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.
Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.
Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.
Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.
Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.
Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.
- الرجس ?
Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.
Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:
- At-Taubah, disebutkan:
وَ أَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَ ماتُوا وَ هُمْ كافِرُونَ
” Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”
Ungkapan “في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ” (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.
- Kotoran materi dan dhahir: dalam ayat seratus empat puluh lima surah Al-An’am kita membaca:
قُلْ لا أَجِدُ في ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …
” Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan) yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran…”.
Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.
- maknawi dan dhahiri: rijs yang terdapat dalam ayat sembilan puluh surah Al-Ma’idah digunakan untuk kedua makna; dalam ayat itu disebutkan:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ
الْمَيْسِرُ وَ الْأَنْصابُ وَ الْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
” Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung.”
Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.
Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.
Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.
ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .
Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.
Siapakah Ahlul bait itu?
Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?
Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:
- Sebagian ahli tafsir dari kalangan Ahli sunah menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah isteri-isteri Nabi Saw.[2] Sesuai penafsiran ini, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tidak termasuk Ahlul bait. Dengan ungkapan lain Ahlul bait adalah kerabat nabi dari sisisabab (yang disebabkan oleh perkawinan) dan tidak ada famili beliau dari sisi nasabyang tergolong di dalamnya.
Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.
Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:
Pertama, sebagaimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi’ilnya disebut dengan bentukmuannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.
Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi’ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:
Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat. Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa’idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai’atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai’at beliau. Bai’at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:” Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka.“[3]
Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau’ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:” Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau’ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt.“
Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau’abakhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperanganJamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]
Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?
Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.
Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah “manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.
Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.
Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]
Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengandhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.
Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka’bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.
Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?
Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi’ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.
Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba’thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]
Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:
Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]
Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali ‘Aba’ dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.
Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):” Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis.“[14]
Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa’.
Hadis Kisa’ telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.
Hadis Kisa’ yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:”Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:” Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut.”
Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]
Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]
Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa’.
Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri? Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?
Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.
Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama’ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.”
Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]
Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:” Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan.”[18]
Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]
Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?
Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?
Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.
Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan
Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:
Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?
Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?
Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.
Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:
لا ینال عهدی الظالمین
“ makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.“
Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.
Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra’ s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?
Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.
Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaandhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:
قالُوا أَ تَعْجَبينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَميدٌ مَجيدٌ
“Para malaikat itu berkata:” Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?
Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْmengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayattathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.
Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?
Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.
Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orangAli aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Referensi:
[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.
[7]Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1883, hadi ke-2424. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 143).
[8]Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 503.
[9]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 2, halaman 416. (Sesuai penukilan kitab Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 504).
[10]As-Sunanul Kubra, jilid 2 halaman 149.
[11]Ad-Durul Mantsur, jilid 5, halaman 198.
[12]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 10-92.
[13] Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 330; jilid 4, halaman 107 dan jilid 6, halaman 292. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 144).
[14] Tafsir Fakhr Razi, jilid 8, halaman 80.
[15] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 24 dan 31.
[16]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman37 dan 38.
[17]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 11-15.
[18] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 28.
[19]Selama sembilan bulan juga dinukil dari Abu Said. Lihat Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 29.
(Syiahali/Berbagai-Sumber-sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email