Pesan Rahbar

Home » » Lima Pesan Syeikh al-Azhar dari MUI Hingga Rekonsiliasi Sunni-Syi’ah

Lima Pesan Syeikh al-Azhar dari MUI Hingga Rekonsiliasi Sunni-Syi’ah

Written By Unknown on Tuesday 5 April 2016 | 11:56:00


Dalam kunjungannya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Imam Besar Institusi Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ahmad at-Thayyib, menyampaikan risalah persatuan yang sangat mendasar di internal umat Islam. Perbedaan pendapat yang muncul seharusnya tidak menjadi benih pertikaian.

”Jangan menganggap pendapat orang lain salah dan mengklaim pendapat kita paling benar,” tuturnya di kantor MUI, Jakarta, Senin (22/2).

Di hadapan pimpinan MUI dan sejumlah tokoh yang hadir, ia menegaskan pentingnya rekonsiliasi antarulama Islam. Persatuan para elite itu penting agar tercipta kesejukan di tengah-tengah kegamangan umat.

”Saya percaya, selama ulama tidak bersatu terlebih dahulu, maka tidak ada harapan,” papar sosok yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Hukama al-Muslimin ini. Berikut ini lima pesan penting Syekh Al-Azhar yang dirangkum dari kutipan pidatonya tersebut:

1. Hentikan Konflik Sunni-Syiah, Kalian Bersaudara

“Syi’ah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam hanya karena satu perkara. Memang terdapat sikap berlebihan, tidak di semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian, ketika saya berdialog dengan sejumlah tokoh mereka ihwal mencaci maki sahabat dan Abu Bakar RA, Aisyah RA, dan Umar bin Khatab, ia mengatakan, ”Mereka bukan representasi kami.”

Jika Anda telaah buku-buku Syi’ah klasik, Anda tak akan menemukannya. Mungkin Anda temukan kecenderungan sebagian demikian, tetapi mayoritas Syi’ah menghormati sahabat Rasulullah SAW. Sebagian kecil ulama menganggap mencaci maki sahabat berarti keluar dari Islam, tetapi bagi kami Al-Azhar tidak. Cacian terhadap sahabat bentuk kesesatan, maksiat, dan berdosa, tapi tak serta-merta keluar dari Islam. Mereka Kita tidak bisa kafirkan mereka.

Bagaimana? Sunni dan Syi’ah adalah sama-sama sayap Islam. Tentu, kita bicarakan Syi’ah yang moderat, ada Imamiyah, Zaidiyyah, yang memiliki kedekatan dengan Sunni, tetapi ada sekte menyimpang dan sesat yang mengangkat isu tasyayyu’ yang mengakui risalah selain untuk Muhammad SAW, mereka itu, seperti saya katakan, menyalahi apa yang konstan dalam agama dan bisa dinyatakan keluar Islam.

Akan tetapi, sesunguhnya, sebagian perbedaan kita dengan saudara Syiah kita, adalah perbedaan nonprinsipil (furu’), kecuali dalam soal imam. Syiah percaya imam sebagai bagian pokok agama, sedangkan kita, Sunni soal itu termasuk nonprinsipil. Isu imamah juga tak membuat Syi’ah serta-merta keluar Islam.

Kitab as-Sayyid Ali al-Amin cukup bagus mendudukkan hakikat imamah tersebut. Yang dimaksud imamah Ali bin Thalib adalah dalam hal spiritualitas dan ketakwaan bukan bermakna kekuasaan fisik. Kekuasaan seperti itu Ali bin Abi Thalib juga tak menginginkannya. Pemikiran ini berupaya mendekatkan antara Sunni dan Syiah.”

2. Apresiasi Kerja MUI Menyatukan Ormas

“Saya tahu, kalau Indonesia, negara Muslim terbesar, adalah pionir mewujudkan mimpi yang sulit dan berat kita capai, yaitu persatuan ulama dengan berbagai mazhab dan aliran mereka dalam organisasi dan wadah satu, saling bertemu dan bermusyawarah sepakat pada satu pendapat yang disampaikan ke masyarakat. Ini adalah tantangan utama kita, yaitu perbedaan antara ulama.

Perbedaan itu kerap mereka bawa turun ke jalan dan berlakukan ke publik awam, maka muncullah perselisihan. Saya mengetahui, organisasi ini, menghimpun organisasi-organisasi dengan latar belakang mazhab, bahkan akidah yang berbeda.

Namun, alhamdulillah, akhirnya kalian bersepakat pada satu atau dua pendapat, dan pendapat yang satu memberikan ruang bagi pendapat lain dan tidak saling mencederai. Inilah yang kita coba bangun pula, tentu, di luar Indonesia. Dan alhamdulillah, ini sudah terealisasi di Indonesia melalui MUI. Saya apresiasi MUI dan kemampuan memgelola perbedaan dalam koridor yang diperolehkan syar’i. Ini yang menjadi impian saya untuk membuat forum yang menyatukan sufi, wahabi, Hanbali, dan Syafi’i, dan aliran-aliran lain dalam satu wadah. Dan, ini belum tercapai hingga kini di kami.”

3. Persatuan Umat Dimulai dari Ulama

“Saya percaya, selama ulama tidak bersatu terlebih dahulu, maka tidak ada harapan. Anda sebagai ulama hendak menebarkan perdamaian, sementara Anda sendiri tak berdamai dengan sesama ulama, maka seperti kata pepatah “Faqidus sya’i la yu’thihi” (Orang kehilangan tak bisa memberi). Masalahnya, perbedaan ini berubah menjadi perselisihan yang rigid akibat fanatisme mazhab atau pemikiran tertentu dan mengklaim mazhab lain tidak benar.

Namun sayangnya, di balik gencarnya mazhab tersebut, ada dukungan materiil dan spiritual, yang lantas disebarluaskan di jalan alih-alih menghargai perbedaan, justru malah memecah belah umat. Muncullah fenomena pembida’ahan dan pengafiran yang sangat rentan dengan menghalalkan darah. Solusinya adalah kembali ke khazanah klasik bagaimana menyikapi perbedaan.


Umar bin Abd al-Aziz pernah mengatakan bahwa ia sangat senang jika para sahabat tidak berselisih pendapat, tetapi fakta berkata lain. Dengan perbedaan itu, justru banyak opsi-opsi kemudahan dibandingkan dengan satu opsi pendapat saja. Silakan saja Anda memilih satu mazhab, tetapi jangan anggap pendapat Anda saja yang benar, sementara orang lain salah.”

4. Ingatlah, Musuh Menginginkan Kita Tercerai-berai

“Dan ingat, perselisihan antara keduanya, Suni-Syiah inilah yang diembuskan oleh musuh Islam untuk memorak-porandakan umat, seperti saat ini yang terjadi di Suriah tak ada justifikasi meletusnya konflik tersebut, kecuali membenturkan Sunni-Syi’ah, lihat pula Irak yang kacau balau atas dasar apa?

Konflik Sunni-Syi’ah. Perhatikan pula Yaman. Kita sadar betul tentang peta konflik ini, karena itu sejak awal kita kampanyekan Suni dan Syiah bersaudara dan memang kita intinya bersaudara. Konflik tersebut akan terus diembuskan karena memang mereka musuh Islam tak meninginkan kita bersatu.”

5. Berhati-hatilah Jangan Mudah Mengafirkan Sesama Muslim

“Soal taqrib memang yang menginisiasi Al-Azhar oleh Syekh Syaltut dan sejumlah cendekiawan lainnya. Al-Azhar menegaskan, sebagaimana Mazhab Asy’ari, kita tidak akan mengafirkan siapa pun dari golongan orang beriman.

Perbuatan maksiat yang diperbuat adalah soal lain. Berhati-hatilah untuk tidak mengafirkan. Otoritas ini hanya milik ulama, jangan biarkan orang awam bebas menebarkannya. Jika, misalnya, ada 99 persen kemungkinan kufur dan 1 persen kemungkinan tetap Muslim, tetap berhati-hatilah. Inilah jalan Al-Azhar.

Maka itu, tiap Ramadhan kita punya satu program yang melibatkan Sunni dan Syi’ah dari berbagai kawasan, termasuk Suriah dan Irak, silakan sampaikan pernyataan untuk tidak saling membunuh satu sama lain karena Sunni dan Syi’ah sesama Muslim.

Jangan kafirkan orang kecuali yang mengingkari Alquran dan mengingkari perkara yang mendasar dalam agama. Muslim yang mengatakan zina atau khamar halal, bisa keluar agama, tetapi Muslim yang percaya zina dan khamar haram, tetapi melakukannya, dia tetap Muslim.”

(Republika/Satu-Islam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: