Pesan Rahbar

Home » » Jalan-jalan mana saja yang harus dilalui untuk mensucikan diri dari dosa? Berikut Penjelasannya

Jalan-jalan mana saja yang harus dilalui untuk mensucikan diri dari dosa? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Sunday 6 December 2015 | 20:22:00


Pertanyaan:
Bagaimana manusia dapat mensucikan dirinya dari dosa?

Jawaban Global:
Terdapat banyak jalan pengampunan dan pemaafan dosa yang akan kami singgung sebagaimana di bawah ini:
1. Taubat dan kembali kepada Tuhan dengan menjalankan syarat-syaratnya.
2. Mengerjakan perbuatan-perbuatan baik secara intens yang menyebabkan terampunkannya perbuatan-perbuatan buruk.
3. Menjauhi dosa-dosa besar yang menjadi penyebab diampunkannya dosa-dosa kecil.
4. Menahan pelbagai penderitaan dan musibah dunia dan pelbagai kesukaran alam barzakh yang akan menghilangkan segala noda dari orang-orang beriman.
5. Syafaat; namun harus diperhatikan bahwa syafaat dengan syarat adanya perubahan dan revolusi dalam diri seorang pendosa dari kondisi sebelumnya dan memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk menerima ampunan yang akan menyebabkan sucinya manusia dari dosa-dosanya.
6. Maaf Ilahi; mencakup orang-orang yang memenuhi syarat-syarat dan memiliki kapabilitas; termasuk seluruh orang yang beriman yang telah mengentengkan amalan-amalan atau ternodai amalan-amalannya.


Jawaban Detil:
Dari beberapa ayat dalam al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak media pengampunan dan pemaafan yang akan kami singgung di bawah ini secara ringkas:

1. Taubat dan kembali kepada Tuhan yang senantiasa disertai dengan penyesalan dari dosa-dosa yagn lalu dan memutuskan untuk menjauhi dosa di masa akan datang serta menebus segala perbuatan (buruk) yang telah dikerjakan dengan mengerjakan perbautan-perbuatan baik. Terdapat banyak ayat yang menyinggung persoalan ini, namun untuk menyingkat ruang dan waktu, kami hanya akan menyebutkan satu ayat dari ayat-ayat yang ada. Allah Swt berfirman, “Huwalladzi yaqbal al-taubah ‘an ‘ibâdihi ya’fu ‘an al-sayyiati.” Dialah yang menerima taubat dari para hamba-Nya dan memaafkan segala kesalahan.” (Qs. Al-Syura [42]:25)

Hakikat “taubat” adalah penyesalan dari dosa. Keniscayaan taubat adalah keputusan serius untuk meninggalkan dosa di masa mendatang dan bertekad untuk menebus segala perbuatan yang dapat dilakukan. Menyebut isitighfar juga merupakan penjelas atas makna ini. Dengan demikian rukun-rukun taubat dapat disimpulkan dalam lima perkara: Pertama, meninggalkan dosa. Kedua, penyesalan. Ketiga, keputusan untuk meninggalkan dosa. Keempat, menebus segala kesalahan di masa lalu. Kelima, istighfar.[1]

2. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan secara intens dan istiqamah akan menyebabkan diampunkannya perbuatan-perbuatan buruk sebagaimana al-Qur’an menyatakan, “Inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiat.” Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruk. (Qs. Al-Hud [11]:114)

3. Menjauhi dosa-dosa besar (kabirah) yang akan menyebabkan dimaafkannya dosa-dosa kecil (shagirah): In tajtanibu kabâir ma tunhauna ‘anhu nukaffir ‘ankum sayyiatikum wa nudkhilkum mudkhalân karima.” Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu) yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (Qs. Al-Nisa [4]:31)[2]

4. Ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyur (kebangkitan) dan Hari Kiamat.[3]

5. Syafaat; hakikat syafaat adalah ditambahkannya sesuatu yang lebih kuat kepada yang lebih lemah untuk membantu orang yang diberi syafaat. Bantuan ini boleh jadi untuk menambahkan titik kekuatan atau menghiasi titik kelamahan yang dimilikinya.[4]

Konsep syafaat dalam Islam dan ayat-ayat al-Qur’an merupakan makna-makna yang berporos pada perubahan dan revolusi dalam diri “orang yang diberikan syafaat”; artinya orang yang diberikan syafaat menyediakan segala media sehingga ia keluar dari kondisi tidak menguntungkan bagi dirinya. Dengan perantara hubungan dengan yang memberikan syafaat (syâfi’i) ia menempatkan dirinya pada posisi ideal dan menguntungkan sehingga ia layak dan patut mendapatkan ampunan.

Iman terhadap jenis syafaat seperti ini sejatinya merupakan satu maktab unggul tarbiyah dan media perbaikan para pendosa dan orang-orang ternoda yang menyebabkan bangunnya mereka dari kelalaian dan bangkitnya kesadaran mereka.[5]

Dari beberapa riwayat, al-maqâm al-mahmud (kedudukan nan mulia) yang dijanjikan kepada Rasulullah Saw dalam Al-Qur'an adalah kedudukan syafa'at. Begitu juga, ayat yang berbunyi: "Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas." (Qs. al-Dhuha [93]: 5) mengisyaratkan ampunan Allah Swt yang mencakup orang-orang yang berhak mendapatkannya melalui syafa'at Rasul Saw.

Karena itu, sebesar-besar dan seujung-ujung harapan orang-orang beriman yang melakukan dosa adalah syafaat. Dan syafaat inilah yang dimaksudkan dalam Islam, dengan syarat-syarat tertentu, merupakan salah satu jalan tarbiyah bagi setiap orang dan menumbuhkan harapan untuk menebus segala kekurangan untuk tersucikan dari dosa-dosa dan gerakan dan menanjak menuju nilai-nilai kesucian.

6. Maaf Ilahi[6] yang mencakup orang-orang yang layak dan mereka adalah orang-orang beriman yang dulunya memandang enteng amalan atau terkontaminasi perbuatannya. Apabila mereka tercakup dalam maaf Ilahi dan layak untuk hal itu maka mereka akan tergabung dengan kelompok ahli surga dan apabila tidak tersangkut dengan ampunan Ilahi maka mereka akan digiring ke neraka. Namun ma’wa dan kedudukan mereka bukan di situ dan mereka tidak akan tinggal di tempat itu selamanya.[7]

Kembali kami ingatkan bahwa maaf Ilahi bersyarat pada kehendak-Nya dan karena itu merupakan masalah umum dan bukan tanpa syarat, dan kehendak-Nya hanya terkait dengan orang-orang yang dapat membuktikan kelayakannya mendapatkan maaf Ilahi.

Karena itu, Allah Swt yang merupakan Sang Pencipta manusia dan Mahamengetahui seluruh tipologi manusia bahwa tersucikannya manusia dari segala dosa (betapa pun besar dosanya) sebagai sesuatu hal yang mungkin dan menyeru setiap orang kepada ampunan-Nya dan memberikan janji ampunan dan maaf sedemikian sehingga putus harapan dari ampunan dan maaf Tuhan dipandang sebagai dosa yang paling tinggi dan paling besar. Seluruh nabi Ilahi diutus untuk menyampaikan manusia kepada samudera tak-terbatas rahmat Ilahi sedemikian sehingga Rasulullah Saw disebut sebagai Nabi al-Rahmat (Nabi yang penuh kasih).

Poin terakhir yang perlu kami tegaskan di sini bahwa apabila seorang mukmin menjaga imannya hingga akhir hayatnya, tidak melakukan dosa-dosa yang menyebabkan hilangnya taufik darinya, tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan su'ul khatimah (akhir yang buruk, unhappy ending), dan tidak condong kepada keraguan atau pengingkaran, singkat-nya jika ia meninggal dunia dalam keadaan mukmin, maka ia tidak akan mengalami siksa yang abadi, dosa-dosa kecilnya akan diampuni lantaran ia menjauhi dosa besar, dan akan diampuni pula dosa-dosa besarnya jika ia melakukan taubat dengan segenap syarat-syaratnya.

Namun, jika ia tidak sempat melakukan taubat, ketabahannya dalam menanggung berbagai musibah dan kesulitan dunia dapat meringankan beban dosa-dosanya, berbagai kesulitan dan goncangan alam barzakh serta tahap-tahap awal nusyur (kebangkitan) dan Hari Kiamat. Apabila dosa-dosa dan kesalahannya itu masih juga belum bisa disucikan dengan itu semua, syafa'at akan melakukan perannya untuk menyelamatkannya dari neraka. Syafa'at ini merupakan manifestasi rahmat Tuhan yang paling besar yang dianugerahkan kepada para kekasih-Nya, khususnya Rasul Saw dan Ahlul Baitnya yang mulia.

Akan tetapi pada saat yang sama, mereka tidak boleh merasa aman dari makar Tuhan. Hendaknya mereka waspada sehingga tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan mereka su'ul khatimah (akhir buruk) dan tercabutnya iman pada saat ajal datang menjemput. Dan seyogyanya mereka tidak terikat dengan perkara-perkara duniawi, dan jangan sampai mengakar dalam hati-hati mereka sedemikian sehingga mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan Tuhan murka kepadanya (semoga Allah Swt melindungi kita dari hal ini).[8]

Referensi:
[1]. Tafsir Nemune, jil. 24, hal. 290.
[2]. Âmuzesy-e Âqa’id, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, hal. 477. Anda juga bisa melihat Iman Semesta (terjemahan Indonesia Âmuzesy-e Âqa’id), Al-Huda, Jakarta.
[3]. Ibid, hal. 481.
[4]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks: Konsep Syafaat dalam Islam, Pertanyaan 350. Indeks: Syafaat dan Keridhaan Tuhan, Pertanyaan 124.
[5]. “Tidak ada bagimu selain dari-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat.” (Qs. Al-Sajdah [32]:4). “Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Qs. Al-Zumar [39]:44). “Kepunyaan-Nya apa yang ada yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:255). “Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah Dia izinkan memperoleh syafaat itu. (Pada saat itu semua manusia berada dalam ketakutan) sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka (dan perintah Allah datang, orang-orang yang berdosa berkata kepada para pemberi syafaat), “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab, “(Perkataan) yang benar (dan Dia memberikan izin syafaat kepada siapa yang berhak), dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. Al-Saba [34]:23)
[6]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 233.
[7]. Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 111.
[8]. Âmuzesy-e Âqa’id (Iman Semesta), Muhammad Taqi Misbah Yazdi, hal. 481.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: