Pesan Rahbar

Home » » Kisah Malam Pengantin Sayidah Fathimah as Dan Pernikahan Imam Ali as Dengan Istri Yang Lain

Kisah Malam Pengantin Sayidah Fathimah as Dan Pernikahan Imam Ali as Dengan Istri Yang Lain

Written By Unknown on Friday, 26 February 2016 | 12:36:00


Malam itu Sayidah Fathimah as sudah siap. Rasulullah Saw memerintahkan para istrinya untuk merapikan Sayidah Fathimah dan memakaikan pakaian yang bagus. Para istri Nabi Saw membawa Sayidah Fathimah ke rumah Ummu Salamah [salah satu dari istri Nabi Saw]. Kepadanya mereka bertanya, “Apakah Ali sudah menyiapkan parfum dan misk untukmu ataukah belum?”

Sayidah Fathimah as berkata, “Iya. Dia telah membelikan banyak parfum dan ‘Ambar [zat wewangian], tapi aku punya parfum yang lebih wangi.”

Kemudian Sayidah Fathimah as memberikan botol parfumnya kepada mereka. Parfum yang sangat wangi dan tidak ada seorangpun yang pernah melihatnya. Beliau ditanya, “Engkau bawa dari mana parfum ini?”

Beliau menjawab, “Suatu hari Jibril datang ke rumah kami. Rasulullah Saw bersabda, “Fathimah! Ambilkan sandaran untuk pamanmu! Ketika Jibril bangkit untuk pamitan dari rumah kami, ada sesuatu yang jatuh dari pakaiannya. Rasulullah menyuruh saya untuk mengambilnya dan memasukkannya ke dalam botol. Kepada beliau saya bertanya, “Apa ini?” beliau bersabda, “Itu adalah ‘Ambar yang jatuh dari sayap Jibril.” (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Sayidah Fathimah Zahra as
______________________________________


Perasaan Sayyidah Fatimah as di Malam Pengantin 

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia adalah malam pengantinnya. Malam itu bisa menjadi saat paling manis dari sisi materi dan ruhani atau dikarenakan kelalaiannya untuk mengingat Allah, bisa menjadi malam yang berlumuran dosa baginya. Selain ia terjerumus dalam dosa, ia pun menyebabkan orang lain bergelimang dalam maksiat. Betapa banyak pria dan wanita yang menjadikan saat ini sebagai dalih untuk berfoya-foya dan melakukan hal yang dilarang syariat. Mereka berpikir bahwa untuk saat semacam ini, Tuhan memberikan izin kepada mereka berpesta pora dan melupakan kewajiban mereka sebagai hamba-Nya.

Apakah orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai pengikut Ali as?
Apakah tindakan semacam ini akan mendekatkan manusia kepada Allah?

Mari kita lihat apa yang dilakukan Ali dan Fatimah as di malam pengantin mereka. 
Di malam itu, Ali as melihat Fatimah menangis. Ketika beliau menanyakan sebabnya, Fatimah as menjawab, "Aku memikirkan keadaan dan kelakuanku. Aku teringat hari akhir hidupku dan tempat bernama kubur. Hari ini aku meninggalkan rumah ayahku menuju rumah ini. Kelak aku akan pergi dari rumah ini menuju alam kubur. Dalam awal mula kehidupan bersama ini, aku ingin kita melakukan shalat dan beribadah kepada Allah."24

Inilah manusia yang telah mencapai cinta hakiki tidak akan tertipu oleh cinta semu materi. Ia memilih teman seperjalanan yang tepat hingga lebih cepat sampai ke tujuan. Ia pilih teman hidup yang mampu mencabut segala duri rintangan dan memiliki keberanian dan kelayakan menuju puncak kesempurnaan.

Dua manusia kekasih Nabi saw ini senantiasa bergerak di bawah naungan ubudiyyah dan mengutamakan kelezatan liqoullah di atas kelezatan materi.25


Kisah Palsu Pernikahan Imam Ali as dengan Putri Abu Jahal 

Kisah pemalsuan hadis atas Imam Ali as adalah sebuah kisah lama yang telah dijelaskan di tempatnya. Meskipun para ulama tahu akan hal ini, namun kadang mereka menyebutkan beberapa hal yang saling bertentangan dalam kitab-kitab mereka. Di samping itu, para "pakar Islam" atau yang lazim disebut orientalis selalu memberikan kajian-kajian tentang Al-Qur'an, agama atau sejarah yang membuat para ulama sejati Islam menanggung banyak beban supaya hakikat-hakikat agama dan peristiwa-peristiwa penting sejarah tidak diselewengkan.

Hasilnya adalah mereka memulai pencemaran nama Ali as sejak hari awal pernikahannya. Sepertinya mereka hendak mengatakan bahwa hadis "Barang siapa yang membuat Fatimah marah, berarti ia telah membuatku marah" berkaitan dengan pernikahan Imam Ali as dengan putri Abu Jahal. Padahal mereka sendiri juga menulis bahwa selama Fatimah as masih hidup, Ali as tidak menikah dengan wanita lain.

Membahas sanad dan isi riwayat-riwayat palsu ini di luar dari tujuan buku ini. Pembaca budiman dapat merujuk mukadimah dan catatan kaki buku "Ats-Tsughurul Basimah fi Fadhaili As-Sayyidah Fatimah" karya Jalaluddin Suyuthi dan buku "Fatimah Az-Zahra, minal Mahdi ilal Lahd " tulisan almarhum Qazvini hingga dapat mengetahui kebohongan kisah-kisah palsu ini.

Al-Qunduzi Hanafi dalam kitab Yanabiul Mawaddah, bab 56 meriwayatkan dari Hudzaifah dan Jabir bin Abdullah Al-Anshari bahwa Nabi saw bersabda, "Ali adalah manusia terbaik. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti ia telah kufur."

Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas sabda Nabi saw kepada Ali as, "Wahai Ali, Allah menikahkanmu dengan Fatimah dan menjadikan bumi sebagai maharnya. Orang yang memusuhimu haram berjalan di atas bumi."

Ali as disebut dalam Al-Qur'an sebagai sholihul mukminin, sahabat setia Nabi saw dan eksistensi shiratul mustaqim (Tafsir Furat Al-Kufi, surat Al-Hajar, halaman 224, surat An-Nahl, halaman 233). Apabila tidak ada Ali, niscaya tidak akan ada jodoh bagi Fatimah. Kehidupan dua manusia suci yang dimulai pada tahun kedua Hijriyah ini dilalui dengan perjuangan melawan musuh-musuh agama.

Bukankah Abu Jahal yang disebut sebagai mertua Ali as oleh Bukhari dan Muslim (berdasarkan riwayat Musawir bin Makhzumah yang lahir di tahun kedua Hijriyah), adalah orang yang disebut Nabi saw lebih buruk dari Firaun di zaman Nabi Musa? Orang yang hingga ia mati dibunuh oleh Abdullah bin Masud26 dalam perang Badar pun tetap tidak beriman kepada Allah? Apakah masuk akal orang yang pertama beriman kepada Nabi saw dan menjadi perwujudan ayat: "Orang yang menjual jiwanya demi keridhaan Allah"27 lebih mengutamakan putri Abu Jahal ketimbang Fatimah as dan membuat Nabi saw marah?


Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah as dalam Riwayat

Dalam kitab Thabaqat Ibnu Saad disebutkan: "Ali menikah dengan Fatimah di bulan Rajab setelah kedatangan Nabi saw ke Madinah dan berlalunya lima bulan dari perang Badar. Pada saat itu, Fatimah berusia delapan belas setengah tahun."

Baihaqi dalam kitab Dalailun Nubuwwah meriwayatkan dari Ali as bahwa ia berkata, "Ketika orang-orang melamar Fatimah, pembantu wanita Nabi datang kepadaku dan bertanya, "Apakah kau tahu ada yang melamar Fatimah?" Waktu aku menjawab tidak tahu, dia berkata, "Apa gerangan yang menghalangimu melamar putri Nabi untuk menikah denganmu?" Aku jawab, "Aku tidak punya sesuatu apapun hingga aku bisa menikah." Ia berkata, "Apabila engkau datang sendiri menghadap Nabi dan melamar putrinya, pasti dia akan menikahkannya denganmu."

Bazzaz dengan sanad hasan meriwayatkan dari Buraidah: "Seseorang berkata kepada Ali, "Alangkah baiknya bila kau melamar putri Nabi. "Ali as lalu pergi menemui Nabi saw. Sesampainya di sana, Nabi saw bertanya, "Apa keperluanmu, wahai Ali?" Ali menjawab, "Aku ingin melamar Fatimah." Nabi saw bersabda, "Ahlan wa marhaban" dan tidak mengatakan hal lain. Orang-orang berkata, "Ketika Nabi menjawabmu dengan ucapan ini, berarti beliau menyetujui pernikahanmu."
Abu Dawud melalui Ikrimah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas bahwa ketika Ali hendak menikah dengan Fatimah, Nabi saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ali, apa mahar yang akan kau berikan?" Ali menjawab, "Aku tidak memiliki apapun." Nabi lalu bertanya, "Lalu, di mana baju besi Hutami itu?" Ibnu Saad meriwayatkan hadis ini secara mursal dari `Ikrimah. Ia menambahkan bahwa Ali kemudian menyerahkan baju besi itu sebagai mahar nikah dengan harga empat ratus Dirham.
Ibnu Saad juga meriwayatkan dari `Alaba bin Ahmar Yasykari bahwa ketika Ali hendak menikah dengan Fatimah, ia menjual hewan miliknya dengan harga emapt ratus delapan puluh Dirham. Rasulullah bersabda, "Bagilah uang ini menjadi tiga bagian. Dua bagiannya kau gunakan untuk membeli minyak wangi dan bagian yang lain untuk membeli pakaian."28

Ibnu Saad meriwayatkan dari Atha`: Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah meminta pendapat putrinya. Ketika Fatimah diam tidak menjawab, beliau lalu menikahkannya dengan Ali.29

Ibnu Majah meriwayatkan dari Ali: Malam hari ketika kau membawa putri Nabi ke rumahku, aku tidak memiliki alas tidur kecuali hanya sehelai kulit kambing.30

Bazzaz menukil dari Jabir, "Kami menghadiri acara pernikahan Ali dan Fatimah dan aku tidak pernah melihat pernikahan yang lebih baik dari itu. Kami mengisi ranjang dan kasur dengan kulit kurma. Hidangannya adalah kurma dan kismis.

Ibnu Saad meriwayatkan dari seseorang yang paman-pamannya berasal dari Anshar, "Nenekku bercerita kepadaku bahwa ia hadir di antara wanita-wanita yang mengantarkan Fatimah ke rumah Ali. Kami mengantarkan Fatimah ke rumah suaminya sambil membawa dua kain katun yang di atasnya ada gelang perak yang dilumuri safron hingga berwarna kuning. Memasuki rumah Ali, kami lihat sehelai kulit kambing yang belum disamak, bantal berisi kulit kurma, sebuah tempat air, sebuah saringan dan sebuah handuk."31


Pernikahan Imam Ali as dengan Amamah

Melaksanakan wasiat Fatimah as, Imam Ali as menikah dengan Amamah putri Abul Ash bin Rabi`.
Amamah adalah putri Zainab yang diperistri Abul Ash bin Rabi`. Fatimah as berwasiat kepada Ali as untuk menikah dengan keponakannya hingga bisa menggantikan kedudukan ibu bagi anak-anaknya dan mengasihi mereka.

Allamah Majlisi dalam kitab Biharul Anwar meriwayatkan bahwa Ali as menikah dengan Amamah sembilan hari setelah Fatimah meninggal. Mas`udi dalam kitab Murujudz Dzahab menulis: Abul Ash memiliki seorang putri bernama Amamah yang dinikahi oleh Ali as setelah Fatimah meninggal.

Bukti sejarah ini mendukung pendapat kami bahwa Ali menikah dengan Amamah untuk mengurusi anak-anaknya yang masih kecil. Mungkin selang waktu sembilan hari dalam tradisi kita kurang diterima oleh masyarakat. Namun, wasiat ini berdasarkan pengetahuan Fatimah terhadap kondisi hidup dan karakter Ali serta kejiwaan keponakannya yang tidak mencicipi kasih sayang ibu setelah Zainab putri Nabi meninggal dan dekat dengan bibinya Fatimah.

Syaikh Abbas Al-Qummi dalam kitab Baitul Ahzan, bab wasiat Fatimah menulis demikian: Menjelang wafatnya, Fatimah berkata kepada Ali, "Setelah aku mati, menikahlah dengan Amamah. Ia adalah putri saudariku Zainab dan ia juga menyayangi anak-anakku."

Ibnu Syahr Asyub dari Raudhatul Wa`idhin menukil kumpulan wasiat Fatimah as, termasuk wasiatnya kepada Ali as untuk menikah dengan Amamah.32


Pernikahan Imam Ali as dengan Khulah 

Khulah binti Jafar bin Qois, ibu Muhammad bin Hanifah. Muhammad mendapat julukan ini dari nama ibunya.33

Ada perselisihan tentang diri Khulah. Sebagian mengatakan dia adalah tawanan orang-orang yang murtad setelah wafatnya Rasul saw dan keluarganya menolak membayar zakat kepada khalifah Abu Bakar. Bani Hanifah mengakui kenabian Musailamah.34 Mereka terbunuh dalam perang melawan Khalid bin Walid. Abu Bakar lalu menyerahkan Khulah kepada Imam Ali as sebagai bagian rampasan perang.

Sebagian lain mengatakan bahwa Khulah adalah salah satu tawanan perang di zaman Rasul saw. Menurut mereka, waktu itu Rasul mengutus Imam Ali as ke Yaman. Bani Rubaid murtad dari Islam dan menyerang Bani Hanifah dan menawan Khulah. Setelah Bani Rubaid kalah dalam perang melawan Rasul, Khulah termasuk dalam bagian ghanimah Ali as. Rasul bersabda kepada Ali as, "Apabila Khulah melahirkan anak lelaki untukmu, berilah ia nama dan panggilanku." Khulah melahirkan Muhammad setelah wafatnya Fatimah as dan Imam Ali as memberinya panggilan Abul Qosim.35 (Pendapat ini didukung oleh Madaini dan masih bisa diperdebatkan).

Allamah Majlisi meriwayatkan sabda Rasul saw kepada Imam Ali as, "Wahai Ali, engkau akan mempunyai anak yang akan kau beri nama dan panggilanku."36

Ibnu Abil Hadid dalam menjelaskan khutbah kesebelas Nahjul Balaghah37 menulis demikian, "Kelompok lain yang pendapat mereka lebih kuat dan terkenal mengatakan bahwa Bani Asad menjarah Bani Hanifah di zaman Abu Bakar dan menawan Khulah binti Jafar. Mereka membawanya ke Madinah dan menjualnya kepada Ali as. Ketika kerabatnya mendengar kabar Khulah, mereka pergi ke Madinah dan menemui Ali as. Seraya menjelaskan kedudukan Khulah dalam Bani Hanifah, mereka meminta kejelasan nasibnya. Pertama, Ali as membebaskannya dan menentukan mahar lalu menikahinya. Dari Khulah, beliau mendapatkan Muhammad dan memberinya panggilan Abul Qosim. (Ahmad bin Yahya Baladzari juga mendukung pendapat ini dalam kitabnya Ansabul Asyraf ).
Muhammad bin Hanifah adalah putra Imam Ali as yang terkenal pemberani dan riwayat hidupnya menarik untuk disimak. Sebuah kalimat dari wasiat Imam Ali as untuk Imam Hasan as menunjukkan kecintaan beliau terhadap Muhammad. Imam Ali as berwasiat kepada Imam Hasan as, "Aku berwasiat kepadamu untuk berlaku baik dengan saudaramu Muhammad. Ia adalah saudaramu dan anak ayahmu dan kau tahu kecintaanku kepadanya..."38

Syaikh Abbas Qummi dalam kitab Safinatun Najah, jiild 2, halaman 464 menukil dari Kharaij Rawandi tentang kisah penawanan Khulah dan pengaduannya di sisi makam Rasul saw. Beliau menulis: Thalhah dan Khalid ingin menikah dengannya, tapi ia menolak niat mereka. Abu Bakar lalu berkata kepada Imam Ali as, "Ambillah ia untukmu, wahai Abul Hasan. Semoga Allah memberkatinnya untukmu." Imam Ali as lalu mengirim Khulah kepada Asma binti Umais (yang diperistri Abu Bakar setelah Jafar At-Thayyar syahid) dan berpesan kepadanya, "Ambillah wanita ini dan muliakanlah ia." Khulah lalu tinggal bersama Asma sampai saudaranya datang dan Imam Ali as menikah dengannya.

Disebutkan bahwa Muhammad bin Hanifah ikut serta dalam memandikan jenazah Imam Hasan bersama Imam Husain dan Abbas.


Pernikahan Ali as dengan Umul Banin

Aqil as saudara Imam Ali as sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu nasab. Dia ahli dalam bidang ini dan namanya sering disebut-sebut.

Karena pengetahuan dan pengalaman Aqil inilah suatu hari Imam Ali as meminta kepadanya untuk dicarikan dan dipilihkan seorang gadis untuknya dari kabilah ternama di Arab supaya dia bisa mendapatkan keturunan yang baik, pemberani dan gagah darinya.

Setelah sekian lama mencari dan menyelidiki di berbagai kabilah dan suku di Arab serta mempelajari akhlak dan kepribadian mereka, Aqil akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Fathimah yang kemudian dikenal dengan Umul Banin. Aqil kemudian menceritakan sifat-sifat yang dimiliki Fathimah (Umul Banin) kepada Imam Ali as. Setelah itu, Imam Ali as meminta Aqil untuk mendatangi keluarga Fathimah (Umul Banin) dan melamar Fathimah untuk dirinya.

Aqil datang untuk melamar Umul Banin. Ia memberitahukan maksud kedatangannya ini kepada Hazam bin Khalid ayah Fathimah. Hazam dengan segenap kejujuran berkata: "Amirul Mu'minin tidak layak menikah dengan wanita desa dan berperadaban rendah. Beliau selayaknya menikah dengan seorang wanita terhormat dan berperadaban tinggi. Kedua budaya ini sangat berbeda satu dengan yang lainnya."

Setelah mendengarkan pendapatnya, Aqil berkata: "Amirul Mu'minin as mengetahui dan menyadari apa yang kau katakan ini. Walau demikian, beliau ingin menikah dengan putrimu dengan apa adanya."

Ayah Umul Banin meminta waktu kepada Aqil untuk membicarakan masalah ini dengan istrinya dan meminta pendapat dari anaknya sendiri. Dia berkata: "Para wanita lebih mengenal watak, keadaan dan kemauan anak-anak gadisnya, dan mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya."
Ketika ayah Umul Banin mendatangi istri dan anak gadisnya, dia melihat istrinya sedang menyisir rambut putrinya, dan Umul Banin menceritakan mimpinya yang tadi malam dia lihat dalam tidurnya kepada ibunya:
"Ibu tadi malam aku bermimpi. Aku duduk di sebuah kebun yang subur dan hijau dan dipenuhi pohon-pohon yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di sana banyak sekali buah-buahan dan bulan serta bintang bergemerlapan. Mereka sangat menarik perhatianku. Di sana aku merenungi keagungan ciptaan dan makhluk Tuhan tentang langit yang menjulang tinggi tanpa tiang, begitu juga tentang terangannya bulan dan bintang dst... Aku tenggelam dalam lamunanku dan tiba-tiba tiba-tiba bulan turun dari langit dan jatuh di pangkuannku. Cahaya memancar darinya dan membuat kagum setiap mata yang melihatnya. Belum hilang rasa kaget dan kagumku, aku melihat ada tiga bintang lain yang bergemerlapan di pangkuanku. Cahaya mereka pun membuatku terpesona. Aku masih dalam keadaan terpana dan keheranan, lalu aku mendengar suara yang misterius dimana dia memanggil namaku. Aku mendengar suaranya tetapi aku tidak melihat orangnya. Dia berkata: "Fathimah, berbahagialah kamu dengan keutamaan dan kesucian serta tiga bintang yang cemerlang. Ayah mereka adalah pemimpin dan pemimpin setiap umat manusia setelah Rasul saww. Setelah itu, aku terbangun dari tidurku dalam keadaan ketakutan. Ibu, apa gerangan takwil mimpiku ini?" Sang ibu berkata kepada putrinya: "Putriku, mimpimu adalah mimpi benar dan nyata. Wahai putriku, tak lama lagi kau akan menikah dengan seorang laki-laki gagah perkasa yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Seorang laki-laki yang ditaati umatnya. Kau akan mendapatkan empat putra darinya. Dimana yang pertama wajahnya bagaikankan bulan yang cemerlang, dan tiga lainnya bagaikan bintang-bintang di langit."

Setelah mendengarkan percakapan ibu dan anak yang penuh keakraban, Hazam bin Khalid masuk ke kamar dan bertanya kepada mereka apakah lamaran Ali bin Abi Thalib mau diterima atau tidak. Dia berkata: "Apakah menurutmu putri kita layak menjadi istri Amirul Mu'minin?"

Istrinya yang hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Imam berkata: "Wahai Hazam, demi Tuhan aku bersumpah, aku telah mendidik putriku dengan baik. Dan aku memohon kepada Allah SWT supaya dia benar-benar bahagia dan senang, mampu dan cakap dalam mengabdi kepada Amirul Mu'minin Ali as. Karena itu, nikahkan dia dengan Ali bin Abi Thalib, junjunganku."39

Hazam juga memberitahukan berita penting dan membahagiakan ini kepada putrinya Fathimah supaya ia ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan.

Ketika Fathimah (Umul Banin) mengetahui identitas dan keutamaan orang yang melamar dirinya, dalam keadaan keringat membasahi keningnya karena rasa malu, ia tidak mampu membendung kegembiraannya. Walaupun secara lahir dia diam, tetapi kebahagiaan menyelimuti sekujur tubuhnya. Ya, mengapa dia harus tidak bahagia? Bukankah Ali as manifestasi kesederhanaan dan di kedua tangannya ada kekuatan Islam? Di setiap langkahnya ada ketabahan dan keadilan dan di hatinya terdapat cahaya hidayah Muhammadi. Terjalinnya hubungan yang penuh berkah ini merupakan kebanggaan dan kehormatan bagi dirinya dan keluarganya serta kemuliaan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Umul Banin berkata: "Demi Tuhan, aku akan menjadi ibu yang baik dan penuh kasih sayang untuk Hasan as dan Husain as." Karena itu, ia menapakkan kakinya di rumah suci itu dengan hati yang dipenuhi cinta dan pengertian.40

Aqil sebagai wakil dari saudaranya Amirul Mu'minin Ali as membacakan khotbah nikah (akad nikah). Kemudian Fathimah putrid Hazam segera diberangkatkan menuju rumah Amirul Mu'minin Ali as.


Pernikahan Amirul Mu'minin dengan Asma' binti 'Umais

Asma' binti Umais Khats'ami adalah sosok wanita yang cemerlang dalam sejarah Islam. Dia ikut andil dalam banyak peristiwa pada awal-awal kenabian di Mekah, begitu juga dalam peristiwa-peristiwa di Madinah sampai wafatnya Nabi saw. Sedikit keluarga yang lebih berkah dari keluarga ini dari sisi memilih menantu laki dan membela risalah. Dia sendiri adalah istri Ja'far Thayar bin Abu Thalib dan saudari seibunya (Maimunah), istri Rasulullah saww, Umu Fadhil istri Abas bin Abdul Mutholib, dan saudarinya yang lain (Salma binti Umais) istri Hamzah, sayidus syuhada'.

Dengan demikian suami pertamanya adalah Ja'far saudara Amirul Mu'minin Ali as.41 Ibnu Atsir menulis: Ja'far bin Abi Thalib masuk Islam tak lama setelah saudaranya Ali as. Dan diriwayatkan bahwa dia melihat Abu Thalib, Rasulullah saw dan Ali as sedang menunaikan shalat. Ali berdiri di sebelah kanan Nabi saw. Dia berkata kepada Ja'far: "Kau juga jadilah sayap yang lain untuk putra pamanmu dan shalatlah di sebelah kirinya." Dan Ja'far mengamalkan saran saudaranya. Kemudian Ja'far masuk Islam sebelum Rasulullah pergi ke rumah Arqam dan menyebarkan Islam di sana.42

Asma' binti 'Umais dengan beberapa umat Islam lainnya atas perintah Rasul saw berhijrah ke Habasyah di bawah pimpinan suaminya pada tahun ke lima bi'tsat. Suaminya adalah juru bicara Islam di kerajaan Najasi.

Dengan bacaan ayat-ayat suci al Qur'an surat Maryam, ia telah menimbulkan revolusi dalam hati dan jiwa raja Masehi (Kristen ) Habasyah. Dia menangis ketika ayat 24 dan 25 dibacakan:


وَ هُزِّيْ إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا فَكُلِيْ وَ اشْرَبِيْ وَ قَرِّيْ عَيْنًا...

"Dan orang-orang sekitarnyapun dibuatnya menangis dan …….."

Di Habasyah Asma' melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Abdullah bin Ja'far adalah suami Zainab al-Kubra. Dengan demikian, Asma' juga memiliki kebanggaan sebagai ibu mertua dari putri Ali as Zainab. Dan kebanggaan ini menambahi kebanggaan-kebanggaan yang telah dia raih selama ini.

Dia dan suaminya serta para muhajir yang lain kembali ke Madinah pada tahun ke tujuh Hijriah. Yaitu pada hari kemenangan Kaibar di tangan orang-orang perkasa tiada tanding, seperti pahlawan Islam Ali as. Nabi saw menyambut mereka dan mencium kening Ja'far, kemudian bersabda: "Aku tidak tahu mana yang lebih membahagiakanku dari dua kejadian ini kedatangan Ja'far atau kemenangan Khaibar?"43 Wahai masa, seberapa banyak orang-orang mulia keluarga nabi yang kau pisahkan dari Rasul saww, dimana kesedihan karena kehilangan mereka membuat gunung hancur berkeping-keping. Dulu dalam perang Uhud Hamzah dan sekarang di tahun ke delapan Hijriah Ja'far.
Ya, surya cemerlang yang penuh cahaya, saudara Ali, pemimpin perang yang gagah dan ikhlas, suami Asma' yang penuh pengorbanan, dengan berbagai keutamaan serta kemuliaan pada bulan Jumadil Awal tahun delapan Hijriah syahid dalam perang Mu'tah di usia 41 tahun. Rasulullah saw beserta putrinya dan Asma'binti 'Umais mendatangi jenazah Ja'far. Keduanya menangis lalu Rasulullah saww bersabda: "Orang seperti Ja'far layak ditangisi."

Kemudian Nabi saww memerintahkan Fathimah untuk menyediakan makanan dan melayani keluarga Ja'far selama tiga hari. Beliau berkabung atas kepergian Ja'far dan pemimpin perang lainnya yang syahid di Mu'tah. Dan mereka selalu dikenang dengan baik. 44

Jibril dalam rangka meyampaikan ucapan bela sungkawa dari Allah SWT datang kepada Nabi Muhammad saw, dan memberitahukan bahwa Ja'far diberi gelar Thoyar. Asma' dari Ja'far memiliki tiga putra, mereka adalah Abdullah, Muhammad dan 'Aun. Yang dua terahir ini syahid di Karbala (menurut pengakuan Mas'udi dalam Muruju Al-Dzahab).

Setelah kesyahidan Ja'far, Asma' diperistri oleh Abu Bakar dimana darinya ia mendapatkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Muhammad bin Abu Bakar). Sejak masih bayi, ia diberi makan susu yang dipenuhi dengan cinta ahlul bait dan dengannya pula ia dididik. Ia tidak mengenal ayah lain untuk dirinya selain Ali as. Dalam hal ini, Ali juga berkata: "Muhammad adalah putraku dari sulbi Abu Bakar."

Qosim adalah seorang putra Muhammad bin Abu Bakar dan ia seorang alim dan faqih di Hijaz. Dia mempunyai seorang putri yang bernama Umu Farwah, yang kemudian diperistri oleh Imam Baqir as, dan darinya lahirlah Imam Shadiq as.

Muhammad bin Abu Bakar diangkat menjadi gubernur di Mesir dan syahid di tangan Mu'awiah bin Hudaij pada tahun 38 Hijriah. Ia dibunuh dengan sangat menyedihkan (pembunuh Muhammad bin Abu Bakar adalah seorang laki-laki terkutuk dan kotor dan dia selalu menghina Ali as).

Ketika berita kesyahidan Muhammad sampai ke telinga saudarinya Aisyah, ia menangis dan meratapi kesyahidannya. Sejak saat itu, ia selalau melaknat dan mengutuk orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan saudaranya, termasuk Mu'awiah bin Hudaij dalan setiap shalatnya.

Ibrahim Tsaqafi (meninggal tahun 283 Hijriah) dalam kitab al Gharat menulis: Abu Ishaq mengatakan: "Ketika berita kesyahidan Muhammad bin Abu Bakar dan apa-apa yang telah menimpanya sampai kepada ibunya Asma' binti 'Umais, ia menahan dan menelan kesedihannya dan pergi ke mihrabnya (tempat sholat). Dan tiba-tiba darah keluar dari kedua susunya."45

Surat-surat Ali as dalam Nahjul Balaghah dan surat-surat ucapan bela sungkawanya setelah kesyahidan Muhammad adalah pertanda kecintaan Imam yang teramat dalam kepadanya. Abdullah bin Abas dari Bashrah datang kepada Ali as dan mengucapkan belasungkawa atas kesyahidan Muhammad bin Abu Bakar kepadanya.

Dia berkata: "Anda sangat menyesalkan dan sedih dengan meninggalnya Muhammad bin Abu Bakar?" Imam menjawab: "Betapa aku tidak bersedih, sedangkan dia adalah didikanku. Dia adalah saudara anak-anakku dan aku adalah ayahnya dan dia sudah kuanggap sebagai anakku." (Sumber yang sama, hal. 109).

Abu Bakar meninggal tahun tiga belas Hijriah pada malam selasa bulan Jumadil Akhir dalam usia 63 tahun. Beliau lahir tiga tahun setelah tahun gajah dan menjadi khalifah setelah Nabi saw selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari.

Abu Bakar memiliki tiga putra dan dua putri; mereka ialah: Abdullah, Abdurrahman, Muhammad, Asma' Dzatu al Nuthaqin, ibunya Abdullah bin Zubair, umurnya mencapai seratus tahun dan ia buta di akhir hayatnya.

Setelah Abu Bakar meninggal, Amirul Mu'minin Ali as menikah dengan Asma' binti 'Umais, dan darinya lahirlah Yahya. Ia tercatat dalam penutup setiap kitab yang menulis tentang nasab keluarga Abu Thalib.

Asma' binti 'Umais tidak pernah lalai dan lupa untuk menghibur anak-anak Ali as setelah kepergian Fathimah. Dia sadar bahwa ia sudah memasuki keluarga Ali as. Dia adalah istri yang baik bagi Imam dan ibu yang penuh kasih sayang untuk anak-anak Fathimah sa . Keberadaan Asma' sebelum menikah dengan Ali as di sisi Fathimah yang sedang sakit, mendengarkan keluhan-keluhan hati dan wasiat-wasiatnya adalah pertanda kedudukannya yang tinggi dalam keluarga Nabi saw dan para imam as. Sampai Amirul Mu'minin syahid, Asma' masih hidup.


Layla binti Ma'ud Darmiah 

Dia adalah tawanan Muslimin dari bumi Armanistan. Dia dinikahi Imam Ali as setelah ia bebas. Dari perkawinan ini, Layla melahirkah Muhammad Ashghar dan Abdullah Makki yang kemudian dikenal dengan Abu Bakar dimana keduanya syahid di Karbala. Para perawi tidak menyebut nama Abu Bakar dalam urutan Syuhada' Karbala. Sementara Abul Faraj dan yang lainnya yang menukil dari Imam Baqir as mengatakan: "Dia adalah seorang laki-laki dari kabilah Hamadan dan Muhammad Ashghar seorang laki-laki dari kabilah Bani Abban Tamimi. Keduanya syahid di Karbala."


Umu Sa'id putri 'Urwah

Umu Sa'id putri 'Urwah bin Tsaqafi adalah seorang wanita terhormat dari kabilah besar bernama Tsaqafi. Ia adalah pencinta ahlul bait. Darinya lahirlah Ummul Hasan dan Ramlah. Dikatakan dia adalah bibi (dari ayah) Layla binti Abi Marrah, istri Syayidus Syuhada, ibu dari Ali akbar as. Sementara Ibnu Syahr Asyub mengatakan: "Ibu Umul Hasan dan Ramlah adalah Ummu Syu'aib Mahzumiah." Dan dia menulis bahwa anak Ummu Sa'id tiga orang, mereka adalah: Nafisah, Zainab Shughra dan Ruqayah. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: "Ibu Ruqayah Shughra adalah Ummu Habib, yang menikah dengan Muslim bin Aqil. Syeh Mufid dalam Irsyad menulis: Umul Hasan dan Ramlah adalah dari Umu Sa'id, putri 'Urwah.


Mihyah putri Umrul Qais

Ayahnya bernama Umrul Qais. Setelah mengenal Imam Ali as, dia berkata: "Kami menginginkan terjalin hubungan keluarga di antara kita. Dan saya sangat ingin menikahkan putri saya Mahya dengan Anda." Dan Imam untuk menarik dan menambah rasa cintanya kepada kelurganya, menerima tawarannya. Darinya Imam dikarunia seorang putri yang meninggal ketika masih kecil. (Almarhum 'Imad Zadeh, sumber yang sama, 391).

Ini adalah Amr al Qais bin 'Adi al Kalbiah, bukan Umrul Qais bin 'Abis seorang penyair Arab terkenal yang dikecam Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah bagian hikmah no 464. Dalam kitab Maqotil, Abul Faraj, Ansabul Asyraf Baladzri dan kitab-kitab lainnya menyebutkan bahwa Rubab, istri Imam Husain as juga putri Umrul Qais bin 'Adi. Dan putrinya yang lain ia nikahkan dengan Imam Hasan as. Jadi, bapak ini mempunyai kehormatan sebagai ayah mertua imam Ali as dan kedua putranya.

Di bawah ini adalah nukilan kata-kata yang dinukil persis dari perkataan Baladzri setelah kisah singkat diterimanya Islam sebagai agamanya dan perkenalannya dengan Imam Ali as:
"Dan Imam Ali as. berkata: 'Wahai paman, saya adalah Ali bin Abi Thalib anak dari paman Nabi saw. Dan kedua anak ini adalah anak saya al-Hasan dan al-Husain. Ibu keduanya adalah Fathimah binti Rasulullah saw. Saya beserta kedua anak saya ini ingin menjadi keluarga paman. Oleh karena itu, maka nikahkanlah saya dengan putri paman."

Umrul Qais berkata: "Baiklah, dengan penuh kesenangan dan kemuliaan, aku nikahkan engkau wahai Aba al-Hasan dengan Muhayya binti Umrul Qais, sementara Hasan dengan Zainab binti Umrul Qais, dan Husain dengan Rubab binti Umrul Qais."46


Shahba' Taghlabiah 

Shahba' Taghlabiah dikenal dengan sebutan Ummu Habib bin Bujair al Taghla (Ansabul Asyraf 413/2). Dia berasal dari Yamamah, dan menjadi tawanan kaum Muslim di daerah ('Ainul Tamar). Amirul Mu'minin membelinya seharga empat puluh Dinar dan setelah itu menikahinya. Dia adalah seorang wanita yang fasih lagi santun dalam bahasa dan setia.

Almarhum Qomi dalam kitab Muntahal Amal ketika menyebutkan anak-anak Amirul Mu'minin dan anak-anak Umar Athraf putra Shahba' mengatakan: "Umar al Athraf, panggilannya adalah Abul Qasim. Karena dia memiliki kemuliaan dan kebangsawanan dari satu pihak, maka dia dipanggil Athraf. Sedangkang Umar bin Ali bin Husain karena memiliki kebangsawanan dan kemuliaan dari dua belah pihak, maka ia dipanggil Umar Asyraf. Ibunya adalah Shahba' Tsa'labiah. Dan dia adalah Ummu Habib binti 'Ibad bin Rabiah bin Yahya dari Sabbi Yamamah. Menurut salah seorang sabbi bernama Kholid bin Walid, ia dibeli Amirul Mu'minin dari daerah Ainul Tamar. Dia melahirkan dua anak kembar yang diberi nama Umar dan Ruqayah. Dia adalah anak terahir (bungsu) Amirul Mu'minin as. Dia adalah ahli sastra dan retorika, fasih, dermawan dan sederhana. Dan Umar Athraf meninggal pada usia tujuh puluh lima atau tujuh puluh tujuh tahun. Dia meninggalkan banyak anak yang berakhir pada Muhammad bin Umar dari empat anak laki-laki: Abdullah, Ubaidullah dan Umar. Ibu dari ketiga anak ini adalah Khadijah, putri Imam Zainal Abidin. Dan Ja'far ibunya adalah Ummu Walad.....

Menurut almarhum Muqarram, Abbas Asghar adalah salah seorang putra Ali as dari Shahba' yang pada malam Asyura pergi ke tepi sungai Furat untuk mengambil air dan syahid.(al Abbas/52).

Baladzuri dan penulis lainnya mengatakan bahwa Ruqayah dipersunting Muslim bin Aqil

(و رقية امها الصهباء تزوجها مسلم بن عقيل بن ابي طالب عليه السلام).47 

Perlu saya ingatkan bahwa mereka juga menulis (Shahba' Tsa'labiah).

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Hasan as: "Menurut anda, putriku harus saya nikahkan dengan siapa?"

Imam Hasan menjawab: "Nikahkan dia dengan seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah SWT, sehingga kalau ia mencintainya dia akan menghormatinya dan kalau dia membencinya, dia tidak akan menindasnya."


KISAH PERNIKAHAN IMAM HASAN MUJTABA as

Dengan alasan sebagaimana alasan kakeknya Rasulullah saw dan ayahandanya yang mulia Amirul Mu'minin as, beliau juga menikah dengan beberapa wanita yang kalau dilihat dari posisinya pada masa itu sangat bisa dimaklumi.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan Mujtaba as, dimana masa ini merupakan masa propaganda anti Ali dan putra-putra Ali as Setelah tiga peperangan besar yang berbahaya, mereka memulai perang psikologis dan perang melawan budaya ahlul bait.

Selama mereka mampu di masa Amirul Mu'minin, mereka senantiasa melakukan kekacauan. Mereka senantiasa menyebarkan isu dan fitnah. Mereka mendirikan pabrik pembuat hadis palsu, pamflet-pamflet mereka keluarkan dan mereka sebarkan di antara orang-orang kepercayaannya yang berada di daerah-daerah di bawah kekuasaan mereka supaya mereka dapat menindas dan mempersulit para pecinta Ali as. Siasat dan politik kotor ini tidak berhenti setelah kesyahidan Ali as, bahkan ini tetap terjadi pada masa hidup dan setelah kesyahidannya. Akibatnya, Imam Hasan harus mengalami cobaan berat berikut ini:
1. Disibukkah dengan perang paksaan.
2. Usulan damai paksaan.
3. Pengikisan musuh dari dalam dan luar, sampai-sampai istrinya meracuni Imam.
4. Hujan panah pada jenazah Imam as

Dan mulai abad kedua dan ketiga permusuhan yang terjadi berupa:
1. Perdamaian Imam Hasan as dengan Bani Umayyah.
2. Berita-berita tentang banyaknya pernikahan Imam Hasan as (yang jelas tidak bisa dibenarkan).

Lalu apa tugas kita?
1. Lebih mengenali maqam kepemimpinan.
2. Lebih mengenali musuh-musuh para imam dan ahlul bait dan menganalisa secara luas taktik dan siasat musuh-musuh mereka.
3. Mengemukakan surat-surat perjanjian zaman Nabi saw dan menyimak secara saksama peristiwa-peristiwa arbitrasi dan dasar-dasar perdamaian Imam Hasan as serta isi perdamaian tersebut.
4. Membahas diamnya Imam Husain as dalam sepuluh tahun di masa hidup Mu'awiah setelah kesyahidan Imam Hasan Mujtaba as sampai pada tahun 60 Hijriah (peristiwa Karbala).
5. Mempelajari sejarah secara obyektif dan komprehensif. Mempelajari budaya nikah dalam dua masa tersebut: yaitu masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan as
6. Menyimak istri-istri Imam dan alasan perkawinan mereka serta anak-anak yang lahir dari para wanita yang terhitung sebagai istri Imam as.
7. Menyimak kehidupan akhir anak-anak Imam Hasan Mujtaba as yang dengan gerakan revolusionernya telah mempersulit pemerintahan Abbasi. Dan kebanyakan kehidupan putra-putra Imam berakhir dalam kesyahidan.
8. Dan yang terakhir, mempelajari dan menyimak sejarah keilmuan dan amalan serta akhlak Imam Mujtaba as (akhlak pribadi dan sosial serta politik Imam as).

Penulis-dengan berpegang teguh kepada kepemimpinan Ali dan ahlul bait- mengenai masalah penting ini telah menulis secara terpisah dalam kitab yang berjudul (Imam Hasan phayambar-e shulh-Imam Hasan utusan perdamaian). Terbit pada bulan Ramadhan tahun 1422 Hijriah/1380 Hijriah Syamsiah. Dalam makalah itu secara singkat kami menyinggung kewajiban penting di atas. Dan dalam buku ini, juga dengan tujuan yang sama yaitu menolak fitnah tentang nikah poligami Imam dengan tanpa dalil.

Kisah perkawinan Imam Hasan as dan penjelasan ringkas tentang keadaan putra-putranya kami persembahkan kepada para pembaca dan pencari kebenaran yang budiman, sehingga mampu menilai dengan seadil-adilnya (bukan hanya karena punya-tidaknya rasa hormat dan cinta terhadap keluarga agung dan suci ini).

Yang sangat menarik di sini adalah pada masa Mu'awiah, dimana ia adalah masa pembunuhan Ali dan keluarga Ali as, tak satu pun tersiar berita atau hadis-hadis dan cerita-cerita tentang masalah ini.

Para penganalisa kontemporer meyakini bahwa semua tuduhan ini (nikah poligami tanpa dalil) bersumber dari tiga orang:
1. Muhammad bin Ali bin 'Athoyyah Abu Thalib Makki, penulis kitab Quatul Qulub (meninggal tahun 380 Hijriah).
2. Abul Hasan Ali bin Muhammad Madaini (meninggal tahun 225 Hijriah).
3. Manshur Dawaniqi.

Ibnu Syahr Asyub menukil dari kitab Qutul Qulub48: Sebanyak 250 sampai 300 wanita dicerai. Dalam kitab ini banyak terdapat hadis-hadis tak berdasar. Banyak orang besar telah men-dhoif-kan dan melemahkannya, di antaranya:
1. Ibnu Katsir dalam al Bidayah, jilid 11, hal. 319.
2. Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan, jilid 5, hal. 200.
3. Ibnu Jauzi dalam al Muntadzam, jilid 7, hal. 190.
4. Ibnu Atsir, dalam Libabul Insab, jilid 3, hal. 174.
5. Dan Muhaddits Qommi dalam al Kauni wa al Alqab.

Ustadz Muhammad Baqir Syarif Qursyi dalam kitab Hayatul Imam al Hasan as jilid 2, hal. 456, mengatakan: "Abu Thalib Makki seorang laki-laki yang memiliki kelainan jiwa dan mengidap penyakit amnesia. Suatu hari ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan masalah dengan mengacau. Dalam ocehannya dia mengatakan:
"Tak ada yang lebih merugikan makhluk kecuali Khaliq."

Kebanyakan ulama' mengatakan:
"Sesungguhnya ia memuat hadis yang tidak memiliki sumber dalam bukunya Qutu al-Qulub."
Penulis kitab "Dar maktab-e karim-e ahli bait", DR Ali Qoimi mengadakan penyelidikan menarik tentang masalah ini. Tetapi Madaini yang dinukil oleh Abi Abil Hadid dalam syarah 31 Nahjul Balaghah mengatakan: "Aku telah menghitung istri-istri Hasan bin Ali. Mereka berjumlah tujuh puluh orang." (Madaini sendiri hanya menyebutkan sebelas orang dengan jumlah anak-anak yang bisa dihitung).

Menurut sebuah riwayat, Madaini tergolong dhuafa' (orang fakir dan miskin). Dengan alasan ini, Muslim dalam Shahih-nya tidak menukil hadis darinya (Mizanul I'tidal, jilid 3, hal. 138).
Dia membuat hadis untuk menyanjung dan memuji Bani Umayah.

Almarhum Muqarram dalam kitab Hadhrat-e Sukainah dengan tema Durugh pardozon (orang-orang pembohong) mengecam Madaini. Akan tetapi Manshur Dawaniki, dia adalah khalifah kedua Abbasi yang karena geram menghadapi pemberontakan-pemberontakan putra-putra dan cucu-cucu Imam Hasan as, mengarang hadis-hadis bohong menentang keluarga ini.

Mas'udi dalam Muruju al-Dzahab menulis: "Setelah ia menangkap Abdullah bin al Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ia berpidato dimana dalam pidatonya ia mengecam Ali dan anak-anaknya. Dan ketika sampai ke Imam Hasan Mujtaba as, ia berkata:
"Dia (setelah perdamaian dan menyerahkan pemerintahan kepada Bani Umayyah) suka mengawini wanita lalu mencerainya setelah sehari. Begitu seterusnya sampai ia mati di atas pembaringannya."49

Dalam Ushul Kafi, mengenai dua riwayat di atas yaitu perceraian Imam Hasan yang banyak, salah seorang perawinya adalah Yahya bin 'Ulak. Dia adalah Qadhi (mufti) Manshur Dawaniqi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama' Rijal terjemahan Ja'far bin Yahya. Dan yang lainnya bernama Abdullah bin Sanan. Dia adalah penjaga harta dan qodhi Manshur, Mahdi, Hadi dan Rasyid.

Oleh karena itu, dalam masalah ini kata-kata mereka tidak bisa dipercaya, walaupun perkataannya dinisbatkan kepada Imam Shadiq as. Dan mungkin saja ia berbicara demikian dalam rangka berpura-pura supaya bisa selalu berada bersama Manshur. Abu Ja'far mengganti nama Manshur dengan Ja'far bin Muhammad dan kemudian diubah dengan Abi Abdillah. (Dalam catatan kaki Maqotil Abu al Faraj-seorang muhaqqiq berpengalaman, Ali Akbar Ghifari).

Selain dari tiga orang yang telah kami sebutkan di atas, orang keempatnya bernama "Syablanji", dari ulama awal abad keempat belas. Dalam kitab Nurul Abshor, ia mengatakan: "al-Mujtaba memiliki sembilan puluh wanita (istri) yang dicerai." Berhubung kata-katanya tak memiliki sanad, maka tidak bisa diteliti lebih lanjut.

Pemahaman kami adalah bahwa Manshur Dawaniki dan para pembuat hadis berpengalaman menjalankan siasat kotor dengan tidak memperhatikan maqam dan posisi Imam adalah semata-mata untuk mencemarkan dan menodai keluarga suci Nabi saw.


Pernikahan Imam Hasan as dengan Kholah Fazariah

Kholah putri Mandzur Fazariah, di kalangan para wanita dikenal dengan akal dan kesempurnaannya. Sebelum menikah dengan Imam Hasan as, ia diperistri Muhammad bin Thalhah, yang terbunuh dalam perang Jamal, dan ia mendapatkan tiga putra darinya. Setelah beberapa lama, banyak laki-laki datang melamarnya. Tetapi ia sendiri menampakkan keinginannya untuk menikah dengan cucu terbesar Rasulullah saw. Oleh karena itu, ia menyerahkan urusannya kepada Imam Hasan as. Dan Imam Hasan as menikahinya. Dari perkawinan ini lahirlah Hasan bin Hasan (Hasan Mutsanna).

Sampai akhir hayat Imam Hasan as, kebanggaan ini (kebanggaan menjadi istri Imam) tetap dimilikinya. Dan pada saat Imam syahid, ia begitu sedih dan berduka meratapi kepergian suami tercintanya. Dalam ucapan bela sungkawa dan untuk menghibur putrinya, ayahnya membacakan dua bait syair ini:

Kudengar jeritan Kholah kemarin
Karna ribuan bencana telah menimpa

Jangan mengeluh dan bersabarlah wahai Kholah
Karena kemuliaan dibangun di atas kesabaran.

Penjelasan keadaan putranya, al marhum Muhaddits Qommi menyebutkan secara terperinci dalam "Muntahal Amal." Penjelasan keadaan Kholah dan kisah pernikahannya dengan Imam Hasan as terdapat dalam Durrul Mantsur, halaman 187 dan 'Umdatu at Thullab, halaman 73. Dan untuk lebih jelasnya silahkan Anda merujuk kepada kitab "Hayatu al Imam al Hasan, Qarasyi, halaman 666).


Aisyah Khats'amiah

Aisyah adalah salah seorang wanita yang menikah dengan Imam Hasan as di masa hidup ayahnya, Amirul Mu'mini Ali as. Dan ketika Imam Ali as syahid, dengan wajah riang gembira ia mendatangi Imam Hasan as dan berkata: "Kekhalifahan tidak akan menjadi milikmu."

Imam as marah karena perkataan yang menandakan kejelekan hatinya ini dan berkata: "Atas kematian Ali as kau menampakkan keceriaan? Pergilah, kau telah kucerai."

Aisyah pergi dan tinggal di rumah sampai masa `iddah-nya habis, dan Imam membayar sisa mahar (maskawinnya) serta memberikan uang sebanyak sepuluh ribu Dirham untuk biaya hidupnya. Ketika pandangannya tertuju pada Aisyah, Imam berkata: "Sedikit keuntungan berpisah dari teman."

Dan sejarah perceraian Imam Hasan tidak disebut kecuali perceraian ini dan perceraian Ummu Kultsum putri Fadhl bin Abbas serta seorang wanita dari kabilah Bani Syaiban. Lalu dimana para wanita yang telah dicerai itu yang oleh para pendusta telah dinisbatkan dan dituduhkan kepada Imam Hasan as?!


Ju'dah putri Asy 'ats bin Qais

Mengenai nama wanita ini, di kalangan perawi ada perbedaan. Ada yang mengatakan ia bernama Sukainah, ada yang mengatakan Sya'tsak, dan Aisyah. Tetapi yang paling benar adalah Ju'dah. Dan sebab pernikahan ini adalah:
Suatu hari Amirul mukminin Ali as melamar putri Sa'id bin bin Qais Hamadani yang bernama Ummu Imran untuk putranya Hasan as. Sa'id berkata: "Berilah saya waktu karena dalam hal ini saya harus bermusyawarah dahulu." Kemudian dia pergi meninggalkan Imam Ali as. Dalam perjalanan, dia berjumpa dengan Asy'ats, kemudian ia menceritakan peristiwa yang ia alami kepadanya.

Laki-laki munafik itu dengan liciknya berkata kepada Sa'id: "Bagaimana kamu akan memberikan putrimu kepada Hasan yang akan selalu membangakan dirinya atas putrimu. Dan tidak akan pernah berbuat adil kepadanya dan ia akan diperlakukan dengan buruk. Dan akan selalu mengatakan: "Aku adalah putra Rasulullah saw dan Amirul Mu'minin as, sedangkan dia (putrimu) tidak memiliki kemuliaan dan keutamaan apa-apa. Karena itu, lebih baik kau berikan putrimu itu kepada putra pamannya. Mereka sesuai dan cocok satu sama lain."
1. "Anak pamannya yang mana?"
2. "Muhammad putra Asy 'ats"
Laki-laki malang itu tertipu, lalu berkata: "Putriku telah kuberikan kepada putramu." Asy 'at segera mendatangi Amirul Mu'minin dan berkata:
3. "Anda melamar putri Sa'id untuk putramu Hasan as?"
4. "Ya."
5. "Apakah Anda tidak menginginkan seorang gadis yang lebih utama dan dari keluarga yang lebih besar, lebih cantik serta lebih kaya?"
6. "Siapa gadis itu?"
7. "Ju'dah putri Asy 'ats."
8. "Dalam masalah ini, kami sudah berbicara dengan orang lain."
9. "Dalam pembicaraan itu tidak ada jalan bagi Anda."
10. "Dia sedang pergi untuk bermusyawarah dengan ibunya."
11. "Dia telah memberikan putrinya kepada Muhammad bin Asy 'ats."
12. "Kapan ia melakukan hal ini?"
13. "Sebelum saya datang kemari."

Amirul Mu'minin menyetujui usulnya. Ketika Sa'id menyadari bahwa ia telah tertipu oleh Asy 'at, ia segera mendatanginya dan berkata: "Wahai Asy 'ats, kau telah berbuat licik kepadaku." Asy'ats berkata: "Orang buta yang dengki, kamulah yang ingin bermusyawarah tentang putra Rasul saw. Apakah kamu tidak bodoh?"
Asy'ats segera mendatangi Hasan as dan berkata: "Apakah Anda tidak ingin menjumpai istri Anda? Dia khawatir akan kehilangan kesempatan." Lalu dia menghampari jalan yang menghubungkan rumah Hasan as dengan rumahnya dengan permadani dan menikahkan putrinya dengan Imam as.50 Demikianlah Ju'dah memasuki rumah Imam Hasan as.

Seandainya wanita ini tidak menginjakkan kakinya ke rumah Imam, maka ia tidak akan semenderita kakeknya Rasul saw. Putra Nabi ini dibuat tak berdaya oleh Ju'dah, putri Asy'ats dengan kelicikan Muawiah dan racun oleh-oleh raja Rumawi. Ju'dah tidak mendapatkan keturunan dari Imam Hasan as.51

Dikatakan bahwa sepeninggal Imam Hasan as, Ju'dah menikah lagi dan mendapatkan keturunan dimana dalam setiap pertengkaran anak-anak, mereka mengejek anak-anak Ju'dah dengan ejekan: "Wahai anak wanita yang telah meracun suaminya."

Keluarga Asy'ats adalah keluarga yang pandai memanfaatkan kesempatan, yang dengan perilaku mereka yang tak terpuji mereka telah menulis sejarah hitam untuk diri mereka sendiri. Imam Shadiq as berkata: "Asy'ats punya andil dalam pembunuhan Amirul Mu'mini as. Putrinya meracun Imam Hasan as dan Muhammad putranya terlibat dalam penumpahan darah Imam Husain as." (A'yanu as Syi 'ah, 4/78).

Perlu diperhatikan bahwa sebagaimana Muntahal Ummal dalam Syarah Hal-e Aulad-e Imam Hasan as (penjelasan keadaan putra-putra Imam Hasan as), kami sebutkan dari sumber-sumber yang terbaik. Sampai saat ini-hari Rabu pagi sebelum terbit matahari, tanggal 16 Dzulqa'dah tahun 1422 Hijriah-di depan penulis ada beberapa karya tulis yang berhubungan dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as, yang dari sisi analisis sangat berdasar dan bisa diperhitungkan, seperti kitab-kitab:
1. Shulh-e Imam Hasan as, karya Syekh Radhi Aali Yasin-terjemahan Ayatullah
Khamenei.
2. Hayatu al Imamu al Hasan as, karya Muhammad Baqir Syekh Muhammad Baqir
Syarif Qursyi.
3. Dar Maktab-e Karim-e Ahli Bait-e Imam Hasan as, karya Dr Ali Qoimi.
4. Zindegi-e Tahlili-e Phisywoyon-e mo, karya Adil Adib.52 Ini semua tergolong yang terbaik.

Harapan kami, semoga para pembaca mengetahui dengan baik sisi kehidupan Imam yang tertindas ini dengan pengetahuan yang lebih benar dan serius, sehingga debu penghinaan dan fitnah yang tak berdasar terangkat dari seluruh kehidupan cahaya suci putra Zahra ini.
Apakah lidah teman tidak lebih tajam dari tombak musuh? Walaupun dia sendiri berkata kepada saudaranya Husain as:
"Tidak ada hari ( penderitaan ) seperti harimu wahai Aba Abdillah."53

Walaupun tulisan ini keluar dari tugas dan kewajiban buku ini, akan tetapi ketika langkah pena sudah sampai di sini, seakan-akan kertas putih yang tanpa hiasan ini dengan penuh rendah diri memanggil-manggil saya seraya berkata: "Tulislah, tulislah! Mungkin seorang di antara teman-teman Imam ada yang tidak mampu menjangkau kitap-kitab yang lengkap dan terperinci itu."

Satu contoh saja sudah cukup, supaya kalian tahu bahwa para penulis tak berharga seperti Lamans, Filip dan bahkan Ahmad Abbas Shaleh serta orang-orang yang sepaham dan seakidah dengan mereka telah melakukan apa saja untuk merusak keluarga suci ini. Tulisan mereka itu dipersembahkan kepada masyarakat Islam sebagai karya tulis dan tanda keintelektualan mereka.

Ahmad bin Abbas Shaleh dalam buku berjudul "Chaph wa Rast dar Islam", halaman 142 mengatakan: "Yang sangat menakjubkan di sini adalah pendirian yang kokoh dan keteguhan hati yang sangat diharapkan dalam menghadapi Muawiah tidak dimiliki oleh Imam Hasan as. Husain sangat berbeda dengan Hasan. Dalam dirinya banyak terdapat kekhususan-kekhususan yang dimiliki sang ayah. Husain tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan saudaranya. Ia berdebat dengannya dan sangat berpegang teguh pada pendapat dan akidahnya."

Dalam kitabnya yang bejudul "Nihdhatha-e zir Zamini dar Islam" (kebangkitan bawah tanah dalam Islam) ia mengatakan: "Setelah meninggalnya Ali as, orang-orang Syi'ah bekumpul mengelilingi Hasan as, tetapi dia memilih ketenangan. Dengan kerelaah hati, ia tidak merebut apa yang telah menjadi haknya, supaya tidak terjadi fitnah. Setelah meninggalnya Hasan, Husain yang menginginkan kekhalifahan dan mengingkari kekhalifahan sebagai warisan Bani Umayah menjadi perhatian mereka."54

Berkata Imam Husain as:

اتقوا هذه الأهواء التي جماعها الضلالة و ميعادها النار

"Takutlah kepada hawa-hawa nafsu yang hasilnya adalah kesesatan dan akibatnya
adalah api neraka." (Ihqaqu al Haq, jilid 11, hal. 591)

(Al-Hassanain/IRIB-Indonesia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: