Pesan Rahbar

Home » » Boven Digul; Jalan Terjal Merintis Kemerdekaan

Boven Digul; Jalan Terjal Merintis Kemerdekaan

Written By Unknown on Thursday 10 March 2016 | 17:44:00

Foto: afandri81.files.wordpress.com

Nama Boven Digoel memiliki sejarah yang erat dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Boven Digul merupakan tempat pengasingan/pembuangan atau kamp bagi para pejuang Indonesia yang melawan atau dinilai membahayakan Pemerintah Kolonial Belanda. Penjara alam seluas 10.000 hektar itu dikelilingi rawa-rawa, hutan lebat dan sangat terpencil. Letak geografis Digul berada di hilir tepi sungai Digul, Kabupaten Boven Digul, Papua.

Kamp konsentrasi Digul didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927. Dulu, “di-Digul-kan” berarti harus menghadapi maut. Hal ini dikarenakan banyaknya nyamuk malaria yang sering menyerang para penghuni kamp.

Selain penyakit tersebut, musuh terbesar para penghuni kamp adalah rasa sepi dan kejenuhan yang luar biasa. Tekanan semacam ini kemudian menimbulkan ketegangan dan gangguan jiwa bagi sebagian interniran.

Orang-orang yang dibuang ke Boven Digoel harus siap menderita. Pemerintah Belanda hanya memberi modal awal yang sangat terbatas berupa 1 kelambu kecil, 1 tikar kecil, 1 selimut kecil, 1 parang tumpul, 1 kapak yang belum bertangkai, 1 cangkul belum bergagang, dan 1 sekop yang juga belum bergagang.

Kamp tersebut dibangun oleh Pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan komunis 1926 di Banten dan 1927 di Sumetera Barat, hingga tahun 1943, ketika kamp ini ditutup, ribuan aktivis pergerakan dikirim ke Digul. Diantara mereka adalah aktivis dan tokoh PKI, Partai Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (PARTINDO), Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI).

Nama-nama yang pernah mendiami tempat ini antara lain Chalid Salim, Najoan, Mas Marco Kartodikromo, Xarim M.S., Aliarcham, Sardjono, Sjahrir, Hatta, Soenarjo, Mardjono, Sarosan, Djamaluddin Tamin, Daja bin Joesoef, Kandor, Moechtar Loetfi, Ilyas Jacob, Jalaloedin Thaib, Moehidin Nasoetion, Abdoel Hamid Loebis, Jahja Nasoetion, Dawud, Amir Hamzah Siregar, Ahmad Soemadi, Moerad, dan Bernawi Latif.

“Kebanyakan yang mendapat sebutan “perintis kemerdekaan” adalah mereka yang berasal dari (pembuangan) Digul…….Kami tidak memikirkan, siapa yang pantas atau tidak untuk disebut sebagai pahlawan atau perintis kemerdekaan.” (Willy Mangoal, eks Digulis)

Serangan Jepang ke Hindia Belanda langsung mempengaruhi kondisi Digul. Militer yang hadir sejak Boven Digul dibuka, ditarik dan digantikan oleh polisi. Sesudah tentara Jepang masuk Hindia Belanda, hubungan Digul dengan dunia luar terputus. Dengan sendirinya, pengiriman bahan makanan bagi interniran terganggu.

Kekhawatiran akan terbongkarnya cara-cara “tidak manusiawi” Belanda dalam memperlakukan Digulis (orang-orang yang dibuang ke Boven Digul) mendorong pemerintah Belanda menutup kamp Boven Digul dan mengungsikan seluruh interniran ke Australia. Evakuasi interniran tersebut dipimpin oleh Ch. O. Van der Plas pertengahan tahun 1943.

Pengasingan ke Australia tidak lantas mematikan semangat eks Digulis. Di bawah payung Sarekat Pelayaran Bangsa Indonesia (Sarpelindo) dan Australian Indonesian Association, para eks Digulis membangun kekuatan dan berusaha berjuang dari negari seberang.

Di Brisbane, mereka turut mensponsori pemogokan buruh-buruh pelabuhan. Tak hanya itu, mereka juga mensabotase kapal-kapal yang akan mengangkut persenjataan ke Hindia-Belanda. Puncak perjuangan tersebut ialah pemogokan tanggal 23 Agustus 1945. Sebanyak 1.500 interniran mengadakan demonstrasi besar-besaran dari Darlinghurst ke King Street di Sydney.

“Pengasingan di Digoel mengingatkan kita bahwa negeri ini dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang mau menderita, seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Bondan, dan sebagainya. Mereka sebenarnya bisa hidup enak jika mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi memilih untuk dibuang dan diasingkan karena idealisme dan cita-cita memerdekakan bangsa Indonesia,” ujar Sejarawan, Anhar Gonggong seperti dikutip dari Kompas (18/05/2015).

Sementara itu, Asvi Warman Adam memaparkah bahwa benih-benih persemaian nasionalisme di bumi Irian dapat dilacak melalui para Digulis sejak tahun 1926/1927. Digul menyimpan banyak memori berharga yang harus kita gali, jalan terjal dalam merintis kemerdekaan yang harus ditempuh para pejuang yang telah mewakafkan seluruh hidupnya demi Indonesia yang Merdeka dan berdaulat.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: