Pesan Rahbar

Home » , » Haji Agus Salim, Pembuka Hubungan Diplomasi dengan Negara Arab. Haji Agus salim: Lebih Baik Saya Bakar Indonesia

Haji Agus Salim, Pembuka Hubungan Diplomasi dengan Negara Arab. Haji Agus salim: Lebih Baik Saya Bakar Indonesia

Written By Unknown on Thursday 10 March 2016 | 17:54:00

Soekarno (kiri) dan Haji Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.

Pada waktu dilahirkan di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884, ia memiliki nama Mashudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Namun, sesuai tradisi yang ada setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Haji Agus Salim. Pria inilah yang memimpin Sarekat Islam (SI) setelah H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1915. Selain itu, Haji Agus Salim juga aktifis Volksraad antara tahun 1921-1924 – sebagai organisasi gerakan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menjelang Indonesia merdeka, pria dari pasangan Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau dengan gelar Soetan Mohammad Salim dan Siti Zainab itu merupakan anggota panitia 9 yang bertugas untuk merumuskan dasar negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945. Dia lah Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947, dia juga yang membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947, serta Menteri Luar Negeri pada Kabinet Hatta 1948-1949.

Perjuangan dan prestasi lulusan terbaik Se-Hindia Belanda di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia ketika itu, ibarat bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga ia kerap kali digelari sebagai “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man) oleh kawan-kawan sezamannya. Berkat prestasi yang diraihnya, ia pun kembali diangkat menjadi Menteri Luar Negeri ketika Republik Indonesia menerapkan sistem presidensil pada tahun 1950 dan sebagai penasehat Menteri Luar Negeri hingga akhir hayatnya.

Di usia Haji Agus Salim yang mulai senja, akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia politik pada tahun 1953, namun pada tahun sebelumnya ia masih diangkat menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indoesia) tahun 1952. Pada tahun-tahun inilah ia banyak mengorbitkan karya buku, di antaranya adalah Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia pun akhirnya meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta dan namanya diabadikan di stadion Haji Agus Salim di Padang. Selain itu ia ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: