Tahun 1939 Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Ketika itu, MIAI langsung melakukan reformasi pada Kongres yang berlangsung selama dua hari, yaitu tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya. Dalam Kongres tersebut, semua hadirin bersepakat untuk memilih Kiai Wahid Hasyim sebagai pimpinan MIAI.
Di bawah kepemimpinannya, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nasional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Sebagai pimpinan MIAI, pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 ini bisa menolak keputusan apapun yang tidak pro rakyat pribumi oleh Kolonial Belanda, salah satunya ketika Pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia II.
Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Ayahanda Gusdur ini dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Ki Hajar Dewantara, Iskandar Dinata, dan Soepomo. Melalui jabatan ini, Wahid Hasyim pun berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama dan pejuang-pejuang lainnya.
Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari dan menahannya di Surabaya. Ia berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Bersama para pemimpin pejuang kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta dan lainnya, Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah, yang bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selain itu, pria termuda dari 9 anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini juga menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan konstitusi negara. Bahkan, Wahid Hasyim juga berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Pasca Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia Merdeka, Presiden Pertama Soekarno menunjuk Wahid Hasyim sebagai Menteri Negara pada September 1945. Bahkan, ia juga ditunjuk dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Ketika terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950, ia diangkat kembali menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Di antara keputusan-keputusan Wahid Hasyim yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia hingga sekarang, yaitu : Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Selain itu, ia juga turut membidani pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta, tahun 1944 dipimpin oleh Kiai Kahar Muzakkir. Kemudian, pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email