Pembahasan seputar tema-tema ketuhanan sesungguhnya merupakan pembahasan yang tidak pernah habis-habisnya. Sudah banyak sudut pandang dan perspektif yang diambil oleh berbagai penulis untuk mendedah keberadaan dan sifat-sifat Allah, tetapi selalu saja tidak memadai, selalu saja tak cukup. Tampaknya ini relevan dengan ayat 109 surat Maryam [19] yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.” Terbukti, di sepanjang zaman hampir senantiasa ada tawaran-tawaran baru pemikiran mengenai tema ini yang ditulis oleh berbagai penulis dan diterbitkan oleh aneka macam penerbit.
Melimpahnya ruahnya penerbitan buku yang mengambil topik ketuhanan boleh jadi karena persoalan ini merupakan ruh kehidupan. Dalam Islam, misalnya, kita (dan golongan jin) diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah (QS. 51: 56). Persoalannya, bisakah kita menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya dengan benar di saat kita tidak memakrifati-Nya dengan benar pula? Rasanya muskil. Tanpa makrifat yang benar tentang-Nya niscaya ibadah kita tak akan punya dampak apa-apa, entah dampak personal ataupun sosial. Dalam hal ini, Imam ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah pernah berkata, “Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia...” (Nahj al-Balâghah, khutbah 1). Itulah sebabnya pembahasan tema ini tak pernah kunjung habis.
Buku ini termasuk di antara sekian banyak buku yang mengandarkan konsep ketuhanan dalam Islam (Allah) dengan porsi terbesar pada asma’ al-husna-Nya yang berjumlah sembilan puluh sembilan. Penulisan buku ini sendiri, menurut sang penulis, ditujtikan bagi non-Muslim yang terbuka dan jujur yang secara tulus ingin mengetahui bagaimana kaum Muslim memandang Sang Pencipta mereka dan kelompok Muslim yang lama menetap di Barat sehingga merasa malu dengan nama-nama Islam mereka (Pendahuluan).
Kami buru-buru ingin menambahkan bahwa selain dua objek dakwah tadi, tampaknya muqallid setia almarhum Imam Khomeini ini pun ingin membersihkan pencitraan Allah SWT yang sangat fisis sebagaimana terpahat dalam kitab-kitab hadis Sunni yang tersohor seraya membandingkannya dengan cara pandang Syi’ah terhadap Allah melalui ujaran-ujaran para imam Syi’ah―seperti ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ja’far ash-Shadiq―yang semuanya itu bersesuaian dengan al-Quran. Harap dipahami, perujukan pendapatnya kepada para pemuka Syi’ah itu niscaya disebabkan oleh rasionalitas pemikiran mereka dan bukan karena alasan lain. Sekiranya cara pandang Sunni terhadap Allah itu rasional, niscaya ia tidak akan mengkritisinya.
Merasakan perlunya menyerap akhlak Allah dalam kehidupan keseharian melalui nama-nama-Nya, al-Jibouri―da1am beberapa pembahasan nama atau sifat Allah tertentu―mencantumkan sejumlah doa yang mengandung nama-nama Allah tersebut (Bab 2). Sayangnya, hampir semua doayang tercantum tidak mencantumkan teks Arabnya―meski sebagian rujukannya disebutkan―sehingga pembaca boleh jadi merasa tidak afdhal. Betapapun demikian, tampaknya, penerjemah menyadari itu semua sehingga ia menyertakan teks Arab untuk beberapa doa yang bernada sama yang tampil dengan catatan kaki abjad sebagai perbandingan. Untuk validitasnya, penerjemah mencantumkan beberapa sumber rujukan di Bahan Bacaan. Kendati dalam teks aslinya tidak dicantumkan manfaat zikir 99 nama-nama indah Allah, namun mengingat relevansi tak langsungnya dengan pembahasan kami sertakan pula di Lampiran faedah nama-nama Allah tertentu dengan sumber rujukan yang bias dipertanggungjawabkan. Tentunya, ikhtiar dan kreativitas semacam ini patut dihargai dan diharapkan pembaca bisa memaklumi.
Singkat madah, semoga penerbitan buku Becermin pada 99 Asma Allah: Ikhtiar Menuju Akhlak Ilahi ini bisa memperteguh cita rasa ketuhanan kita―dalam segala matra kehidupan―seraya berusaha menubuhkan akhlak Allah dengan menyelami makna tauhid itu sendiri dan 99 nama indah-Nya sesuai dengan tajuk buku ini.
Jakarta, 15 Sya’ban 1424 H
PENDAHULUAN
Dalam agama teistik manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia membentuk sikap para penganutnya terhadap orang lain yang mereka cap sebagai “golongan tak beriman” (unbelievers). Ia mengilhami daya persepsi mereka, merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan mereka dalam kehidupan, bagaimana mereka seharusnya memperlakukan orang lain, apa yang harus mereka lakukan ketika mereka berdosa atau jatuh dalam kesalahan. Ia menentukan cakupan kemanusiaan mereka dan memberi mereka ukuran untuk mengukur cakupan kemanusiaan pihak lain. Ia memberi mereka cara-cara memperlakukan makhluk hidup lainnya di sekitar mereka: hewan- hewan, tumbuh-tumbuhan, lingkungan hidup secara umum, bagaimana mereka memandang alam, dan bagaimana merekamembayangkan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan menjaganya. Ia membuka jalan mereka kepada kebahagiaan duniawi dan keselamatan di akhirat nanti. Tidak satu katapun yang bisa salah taksir ihwal signifikansi konsep semacam itu dalam iman yang terberikan berdasarkan keyakinan pada Tuhan Yang Mahatinggi, Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu dan setiap orang.
Buku ini ditulis pertama-tama untuk kaum non-Muslim yang terbuka. Inilah alasan mengapa saya mencegah diri dari menggunakan ucapan salam yang biasa seperti “salam atasnya dan keluarga” setiap kali nama Nabi Muhammad disebutkan” atau “salam atasnya” setiap kali nama seorang rasul, nabi, atau seorang imam disebutkan.[1] Tentu saja, referensi utama yang digunakan adalah al-Quran. Tanda baca (:) memisahkan angka suratnya dari ayatnya. Misalnya surah 2:255 merujuk pada surat 2 (al-Baqarah), ayat 255, atau ayat al-kursi.
Selama sekitar seperempat abad tinggal dalam pengasingan di Amerika, saya memiliki kesempatan untuk secara langsung melihat sikap golongan non-Muslim di sekitar saya terhadap Islam dan kaum Muslimin.. Saya juga sering mengunjungi sejumlah gereja―dan satu sinagogdi Atlanta, Georgia―untuk mengamati dari tangan pertama bagaimana cara mereka menyembah Tuhan, apa yang dibolehkan dan dilarang oleh agama mereka, bagaimana mereka memandang orang- orang yang tidak menganut agama mereka.
Ketika saya masih tinggal di Atlanta, Georgia, dari tahun 1972 hingga 1979, sebanyak lima gereja memiliki nama dan alamat saya pada mailing list mereka. Gadis-gadis belia yang elok biasa berkunjung ke apartemen saya untuk mendampingi saya dan teman sekamar saya (seorang Hindu Pakistan bernama Udeshi dan Muslim Sunni India bernama Aziz) ke berbagai organisasi gereja. Makanan yang dihidangkan selalu yang lezat-lezat, meskipun saya dan teman sekamar India saya harus selalu memastikan tidak adanya daging babi atau bahan-bahan derivatifnya yang akan mengotori sistem pencernaan kami. Banyak dara belia yang berpenampilan menarik di sana. Perangkap tersebut tertata sangat baik untuk kami. Dan kami sendiri, muda, dan sehat. Dan, godaan senantiasa ada di sana. Saya telah meminta gereja-gereja tersebut untuk menghapus nama dan alamat saya pada pada mailing list mereka, membiarkan saya mengetahui kapan mereka mempunyai satu fungsi, dan mengirimkan dara-dara belia mereka yang menawan ke apartemen saya untuk mengantar ke gereja tersebut. Semua itu tidak terjadi secara kebetulan.
Menurut saya, tak sesuatupun, secara mutlak, yang terjadi secara kebetulan, sekalipun sebongkah batu yang jatuh berguling dari gunung atau sehelai daun yang jatuh ke tanah. Segala sesuatu yang terjadi menurut satu rencana dan pola yang diletakkan oleh Maha Perencana dan Pelaksana dunia, Zat Tuhan Yang Satu yang menciptakannya dan segala sesuatu di dalamnya. “Secara aksiden, secara kebetulan” dan “secara tak sengaja” adalah kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang harus dipupus dari bahasa. Ketiganya adalah penyusup. Ketiganya adalah bid’ah.
Kunjungan saya ke gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen tidak pernah dilakukan karena keinginan murni untuk menikmati waktu yang tepat, bersosialiasi, memiliki seorang kekasih atau lebih dari itu sebagaimana sebagian dari kalau-kalau sekamar saya telah mengantisipasi atau tidak pula untuk membunuh waktu. Bagi saya, membunuh waktu merupakan salah satu tindak pembunuhan terburuk. Saya punya hasrat yang menyala-nyala untuk melihat segala sesuatu bagi diriku sendiri. Sejumlah pendukung dari program-program gereja tersebut lebih agresif ketimbang yang lain. Mereka ingin menakar seberapa serius kami berpegang pada keyakinan agama kami untuk, barangkali, mengevaluasi kesempatan-kesempatan mereka agar berhasil dalam mengkristenkan kami. Untuk itu, mereka melakukannya dengan berbagai cara. Oleh sebab itu, ada kesempatan-kesempatan ketika kemarahan meningkat tinggi, tuduhan me.ngalir, dan pertahanan dilakukan. Ya, ada waktu-waktu ketika saya harus membayar harga yang tinggi untuk membela keyakinan Islamku di hadapan serangan-serangan yang dilancarkan oleh para pendukung tersebut, agar tidak membisukan mulutku sebagaimana yang terjadi pada teman India sekamarku Aziz yang tidak ingin melukai dan menyakiti siapapun. Saya tidak pernah ragu untuk membela yang lain, termasuk teman terdekatku, ketika aku diyakinkan bahwa mereka menyerang Yang Mahakuasa. Dan selalu ada yang harus dibayar.
Dengan senang hati, saya membayarnya sekalipun itu melukai. Inilah mengapa saya disebut-sebut dengan banyak nama oleh banyak orang, baik oleh Muslim maupun non-Muslim.
Saya masih dipanggil dengan banyak nama namun tidak apa-apa bagi saya sepanjang Yang Mahakuasa memanggil saya sebagai seorang hamba-Nya yang saleh, sekalipun jauh dari kesempurnaan. Saya tak peduli apabila semua orang di seluruh dunia memanggil saya dengan nama-nama yang buruk. Sepanjang Tuhan dan Pencipta saya tetap membuka pintu-pintu rahmat-Nya bagi saya, nama panggilan tersebut tidak akan melukai saya sedikitpun.
Pagi-pagi sekali saya mengetahui bahwa gereja-gereja tersebut melakukan upaya terbaik mereka―dan juga terburuk―untuk mengkristenkan orang non-Kristen; bukankah ini yang disebut dengan kerja misionari?! Dan siapakah calon yang lebih baik ketimbang para mahasiswa asing yang sedang menempuh studt pascasarjana mereka? Begitu mereka pulang, para mahasiswa ini akan menyebarkan agama baru mereka dengan penuh gairah dan antusiasme kepada orang lain. Setidaknya inilah apa yang diharapkan oleh gereja-gereja. Inilah mengapa para guru dan pendeta mereka giat menyebarkan literatur anti-Islam, menganggap bahwa dengan menyerang keyakinan orang lain, mereka akan melindungi keyakinan mereka sendiri dan mendapatkan penganut-penganut (Kristen) baru. Mereka telah melupakan hukum aksi dan reaksi. Sebagian dari gereja tersebut sedang memperlihatkan film-film yang menghina Islam dan Nabi Islam. Karena motto kehidupan saya adalah hadis Nabi saw yang mengatakan, “Barangsiapa yang tetap diam ketimbang menyatakan kebenaran, lidahnya diikat setan,” maka saya menolak menjadi setan tersebut.
Saya hampir selalu mengepalkan tinju ketika seorang pastur Atlanta yang kemudian tuan rumahku dan yang menyerang Islam dan Nabi Islam; ia harus menutup mulutnya setelah mendengar kontra- argumen saya dan serangan tuduhan atas keyakinan saya sendiri terhadap versi agama Kristen sekarang yang mencakup pelacakan kembalipadapenyimpangan gereja Kristen di tahun-tahun pertamanya. Saya menjelaskan kepadanya betapa kaum Muslim itu sangat menghargai kepada Kristus dan ibunya yang suci dan menjukstaposisikannya dengan pengabaian orang-orang seperti dia terhadap agama Ibrahimi kita.
Saya mengingatkannya perihal sejarah yang memalukan dan berdarah dari Perang Salib yang barbar yang didukung oleh Gereja, tentang negeri-negeri Muslim yang mereka bakar dan rampas, dan tentang darah kaum Muslimin yang mereka tumpahkan, tentang kaum Muslimin yang diangkut ke Eropa sebagai budak. Ia segera menyadari bahwa ia tengah menghadapi seorang musuh yang sulit yang sepenuhnya mengetahui sejarah gereja Kristen dan yang, selama beberapa tahun, telah mempelajari sejarah berdarah-darah tersebut secara akademis dan menulis banyak makalah tentangnya, dan yang mengetahui dengan baik tingkat kekeliruan yangmembebani di masa lalu dan tetap membebani Dunia Islam oleh para kolonialis dan Imperialis yang mengaku mengikuti Kristus, Pangeran Kedamaian, orang yang tak pernah melukai siapapun dan apapun. Ia menyadari betapa bodohnya ia tentang agama kita, betapa tolerannya agama kita, be tapa munafiknya sebagian besar para pemimpin Dunia Islam sekaran, ini, dan betapa banyaknya utang Barat Kristen terhadap peradaban Islam, dan betapa kasarnya ia dalam menyerang keyakinan saya meskipun ia mengetahui fakta bahwasanya saya adalah seorang editor dari penerbitan Islam yang beredar mendunia.[2]
Ingatan akan pertemuan dengan pastur tersebut masih mendidihkan darah dalam nadiku bahkan sampai hari ini, meskipun.sudah berialu bertahun-tahun; dalam upaya membela keyakinan Islam yang berharga dan mulia ini saya menulis buku ini dengan harapan Yang Mahakuasa akan menerima dan merahmatinya, memohon agar Ia menerima dan merestui artikel-artikel dan buku-buku yang saya tulis, sunting, dan terjemahkan selama tahun-tahun ini dan insya Allah di tahun-tahun mendatang.
Peristiwa ini terjadi sebelum pecahnya kemenangan Revolusi Islam di Iran. tentu saja, Revolusi ini memicu kemarahan dan memprovokasi musuh-musuh Islam. Sebagian besar adalah Yahudi Zionis yang mendominasi opini publik melalui kendali total mereka atas arus informasi dan berita media. Kelompok Yahudi Zionis ini pun mengontrol sistem keuangan dan politik Barat secara umum dan Amerika Serikat secara khusus. Revolusi Islam di Iran memberikan musuh-musuh tradisional Islam ini dan orang-orang yang mereka cuci otaknya dengan kesempatan emas untuk membuka kebencian mereka terhadap Islam dan Muslimin, menjadikan pihak terakhir sebagai sasaran serangan dan aktivitas favorit mereka sehari-hari. Sudah tentu, saya harus mengalami bagian periganiayaan saya; sebagai seorang pengikut setia dan kukuh mazhab fiqih Syi’ah Itsna-‘Asyariyah dan seorang muqallid almarhum Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini; pendiri Republik Islam Iran dan musuh-sengit semua penguasa yang tiran dan kaum munafikin dimanapun mereka berada.
Saya, seperti halnya jutaan orang lainnya, diilhami oleh Revolusi Agung ini yang menandai fajar kebebasan bagi semua kaum tertindas dan orang-orang yang dizalimi di seluruh dunia, tidak hanya kaum Muslim. Rincian penganiayaan terhadap saya, insya Allah akan saya lampirkan dalam jilid kedua autobiografi saya bertajuk Memoar Seorang Pendakwah Syi’ah di Amerika (Memoirs of a Shi’a Missionary in America). Jilid dua telah diterima dengan baik, banyak pembaca menyarankan teksnya menjadi plot bagi film kelas pertama!
Buku di tangan Anda semua tidak ditulis untuk mereka yang secara sengaja mendustakan keyakinan Islam kita, karena orang-orang ini tidak akan pernah melihat sesuatu pun kecuali gelas-gelas berwarna mereka sendiri, dan tidak ada obat untuk kebutaan mereka. Secara mental dan psikologis, semua inimerupakan sejenis penyakit yang disertai berbagai penyakit infeksi dan fatal: prasangka, arogansi, kepicikan pikiran, kompleks superioritas rasis..., dan itu adalah suatu penyia-nyiaan waktu berharga untuk mencoba mengurus mereka; mereka adalah sampah yang tidak perlu diperhatikan. Sebaliknya, buku ini ditulis bagi non-Muslim yang terbuka dan jujur yang secara tulus ingin mengetahui bagaimana kaum Muslim memandang Sang Pencipta mereka. Adalah karena non-Muslim inilah dan kelompok Muslim tersebut yang lama tinggal di negeri non-Muslim manapun yang telah mengambil jalan pintasnya tentang agama mereka―yang mengubah nama-nama mereka dari “Jasim” ke “Jessy”, dari “Husain” ke “Jose” dan lain-lain―maka buku ini pun ditulis.
Semoga Allah Ta’ala membimbing kita kepada jalan-Nya, Allâhumma Amîn.
Yasin T. al-Jibouri
26 September 1996
Falls Church, Virginia, Amerika Serikat
Referensi:
1. Bagaimanapun, dalam konteks keindonesiaan, gelaran kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, juga gelaran untuk para nabi yang lain kami sertakan-peny.[Catatan kaki penerjemah]
2. Di saat itu, saya tengah menyunting berita berkala Islamic Affairs yang dikirim ke para pembaca di seluruh AS juga 67 negara di seluruh dunia.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email