Di tengah mewabahnya islamophobia, hidup sebagai mahasiswa Muslim di Barat menjadi penuh tantangan. Hijab saja bisa memicu anggapan teroris atau ekstremis.
Namun di Inggris, atribut agama ternyata tidak menjadi isu. Syafira Fitri Auliya, mahasiswi Muslim Indonesia di University of Edinburgh, menuturkan pengalamannya.
“Waktu awal datang, saya takut mendapat perlakuan kurang menyenangkan karena identitas agama. Tapi ternyata pas di sini ada kejadian yang memorable dalam artian baik,” ungkapnya.
Salah satu yang paling diingat adalah saat pertama kali berjalan di Edinburgh dengan jilbab lebar dan rok longgar.
“Di jalan memang ada yang ngeliatin, tapi teman-teman sekelas justru senang melihat penampilan itu dan memuji-muji,” katanya saat media trip ke Inggris, November lalu.
Lalu saat bercerita tentang pengalaman teman sekelas mendapat perlakuan kurang menyenangkan karena memang jilbab saat berjalan-jalan ke wilayah sub-urban Edinburgh.
“Teman-teman sekelas langsung memeluk saya dan mengatakan, ‘don’t worry, we are supporting you’ dengan nada sungguh-sungguh,” jelasnya.
Terakhir, kekhawatiran ia ungkapkan lewat pesan singkat pasca penembakan Duta Besar Rusia untuk Turki dan aksi penembakan di Berlin Desember lalu.
“Aku pas banget lagi jalan-jalan di London naik bus sendirian. Aku udah khawatir banget bakal ada action islamophobia, tetapi ternyata orang-orang terlihat lebih simpatik,” urainya.
Baru beberaopa bulan di Inggris, Syafira menyadari bahwa menjadi Muslim bukan masalah besar. Warga Inggris, khususnya Edinburgh, bisa menghargai perbedaan budaya.
“Di kelas ada yang pernah deklarasi atheis dan menjelaskan argumennya. Aku juga memberi argumen berdasarkan kepercayaanku. Walau beda argumen, akhirnya kita sama-sama tahu itu kepercayaan masing-masing,” jelasnya.
Sementara Wahyu Setianto, mahasiswa Muslim Indonesia lain di University of Edinburgh mengungkapkan, Inggris justru bisa memberi pelajaran bagi Muslim Indonesia.
“Di sini jauh lebih toleran,” kata Wahyu. Saat perayaan Natal misalnya, umat Islam setempat ikut hadir dalam makan malam lintas iman yang biasa diadakan di Chaplaincy.
Toleransi juga diwujudkan lewat volume pengeras suara masjid. Di Edinburgh, suara azan tidak terdengar hingga ke luar area masjid.
“Masjid di Edinburgh juga membuka diri bagi siapa pun yang ingin tahu untuk kenal lebih dekat. Di Indonesia mungkin orang yang dianggap kafir enggak boleh masuk. Tapi bukan itu yang dipahami di sini,” urainya.
Wahyu mengatakan, Muslim Indonesia bisa meniru apa yang dilakukan Muslim Inggris untuk membangun wajah Islam yang lebih toleran.
Masjid-masjid besar bisa memulai membuka diri bagi umat lain, bukan sebagai tempat wisata macam di Masjid Kotagede Yogyakarta dan Demak, tetapi sebagai tempat mengenalkan Islam.
“Di sini, kunjungan berlangsung rutin. Kadang dari anak sekolah dari TK sampai remaja, kadang juga dari kalangan universitas. Imamnya sendiri yang memandu, menjelaskan makna simbolis, ritual ibadah,” ungkapnya.
Edinburgh sendiri juga bisa menjadi kota tujuan untuk mengkaji islam secara kritis. University of Edinburgh menawarkan program Islamic Studies.
“Kita mempelajari Islam dari kacamata linguistik, bahasa,” kata Andrew Marsham, Kepala Departemen Islamic and Middle East Studies di universitas itu.
“Dengan mengkaji Islam dari kacamata linguistik dan berada di kota yang berpenduduk mayoritas non Muslim seperti Edinburgh, kita bisa belajar Islam dengan lebih kritis,” ungkapnya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email