Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, belakangan ini marak beredar informasi dalam bentuk provokasi, agitasi, dan propaganda yang dilancarkan kelompok tertentu. Karena itu, kata Wiranto, pemerintah membentuk Satuan Tugas Lawan Provokasi, Agitasi, dan Propaganda (Satgas Lawan Proapro).
“Beberapa waktu lalu saat rapat terbatas dengan Presiden, saya usulkan pemerintah membentuk Satgas Lawan Provokasi Agitasi dan Propaganda. Satgas itu sudah diinisiasi sejak dua bulan lalu,” ujar Wiranto seperti dilansir Kompas.com, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).
Kelompok yang sengaja menyebar informasi provokatif, agitasi dan propaganda ini, lanjut Wiranto, bertujuan untuk mengganggu stabilitas negara. Informasi yang disebar secara terus-menerus dikhawatirkan akan diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran meski belum melalui proses verifikasi.
“Masalah ini kan akan mengganggu eksistensi negara. Ada yang mau memisahkan rakyat dan pemerintah. Ada upaya propaganda seperti itu, maka harus kita redam,” ucapnya.
Satgas Lawan Proapro, lanjut Wiranto, memiliki kewenangan melakukan counter-narasi dalam meredam informasi yang tidak benar. Selain itu, satgas juga memiliki kewenangan menelusuri sumber informasi dan melakukan penindakan terhadap pelaku penyebaran.
Wiranto menegaskan bahwa Satgas Lawan Proapro akan bekerja di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Pelaku akan ditindak sesuai undang-undang. Sumber-sumber itu harus dilibas,” tutur Wiranto.
Sebelumnya, Prof. Komaruddin Hidayat mengatakan, pada awalnya, penyebaran berita bohong (Hoax) yang dilakukan dengan sengaja ialah karena motif kebencian. Akibat lebih jauh yang diharapkan, bisa saja untuk mempermalukan atau pembunuhan karakter seseorang di depan publik.
“Hoax ini begitu cepat tersebar dengan munculnya media sosial (medsos) dan sikap masyarakat yang tidak kritis atau memang senang dengan berita sensasi, lalu dengan mudah meneruskan (forward) lewat Facebook, Twitter atau WhatsApp tanpa berpikir panjang dan rasa empati, bagaimana andaikan hoax itu tertuju pada dirinya atau keluarganya,” kata guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Fenomena hoax ini yang tampaknya semakin akut menghinggapi masyarakat Indonesia, bagaikan penyebaran pornografi atau narkoba. Orang menjadi addicted atau kecanduan mengonsumsi dan melakukan sesuatu yang dirasakan mengasyikkan, namun merusak diri dan masyarakat.
“Siklus penyebaran virus hoax ini terjadi biasanya setiap menjelang pemilu dan pilkada. Diluar itu, juga sering kita dengar terjadi di lingkaran dunia bisnis dan selebriti akibat persaingan yang tidak sehat,” katanya.
Jebolan Ponpes Pabelan Magelang ini menyebut, mereka yang menyebarkan kebohongan, – antara lain dengan memutarbalikkan fakta -, karena motif cemburu dan kebencian. Namun yang menonjol dalam persaingan politik untuk memperebutkan jabatan kekuasaan, sejak dari jabatan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota.
“Akibat hoax, masyarakat bisa terbelah saling curiga dan mencaci yang lain gara-gara berbeda pilihan politiknya,” katanya.[]
(Kompas/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email