“Wahai tawanan, apakah tuhan-tuhan yang beragam itu lebih baik ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahakuasa?” (QS. Yusuf: 39).
Seluruh isi alam berjalan menuju suatu tujuan yang “sesuai” dengan masing-masingnya. Apa pun yang ada di alam ini memiliki tujuan. Dalam filsafat, tujuan ialah bagian dari suatu sistem kausal yang kita sebut dengan sebab final.
Segala sesuatu terjadi dengan sebab final ini, dan tanpanya sesuatu itu tidak akan terjadi. Membangun rumah, misalnya, membutuhkan berbagai sebab. Sebab material berupa tanah, semen, batu, batu bata.
Sebab formal berupa rancangan arsitektural bangunan. Kemudian ia juga membutuhkan sebab efisien, yaitu tukang bangunan. Akhirnya, (juga butuh) kepada sebab final yang boleh jadi, dalam kasus pembangunan rumah, adalah tempat tinggal.
Singkatnya, tak mungkin ada sesuatu yang terjadi tanpa tujuan tertentu. Berbeda dengan makhluk yang lain yang kebanyakan tujuan mereka sudah ditentukan Allah SWT melalui hukum-hukum alam, manusia memiliki kehendak (iradah) sebagai suatu kemampuan yang dapat mencipta berbagai tujuan tindakannya dalam hidup.
Kehendak adalah sumber segala tujuan manusia. Kehendak bisa menjadi suatu yang terintegrasi atau terdisintegrasi. Integritas kehendak terjadi bila ia menuju suatu titik, visi atau orientasi hidup yang terfokus.
Dalam terminologi Al-Qur’an, titik final itu diistilahkan dengan ‘Tuhan’. Ayat di atas ingin mempertanyakan kepada kita, siapa yang lebih baik: orang dengan “tujuan” yang banyak, ataukah orang dengan tujuan yang tunggal dan integral.
Tentu saja, bila kita amati, maka orang dengan satu tujuan akan bekerja lebih efektif, efisien, terkonsentrasi, terfokus, dan juga lebih “ringan”. Tujuan yang bercabang akan membuat pikiran manusia bercabang dan defocused, bahkan pada tingkat tertentu ia akan mengalami schizophrenia.
Pada titik ini, tauhid berfungsi sebagai fokus visioner hidup kita, yang pada gilirannya, akan membuat hidup kita lebih lancar, kinerja kita lebih efektif, dan kemampuan kita dalam melaksanakannya lebih terkonsentrasi.
Visi tauhid dalam hidup mempunyai dua dimensi yang seakan bertentangan. Satu di antaranya adalah penyembahan, sedang sisi yang lainnya ialah pembebasan.
Tidak terlalu sulit untuk membuktikan bahwa seluruh makhluk, secara alam merunduk, mengagumi, memuja, memelas, dan mengharap pada sesuatu. Itulah yang kita sebut dengan penyembahan. Karena sifat alami yang tidak akan terlepas itu, maka seluruh makhluk pasti memiliki sesembahan.
Jadi, yang menjadi masalah bukan bagaimana kita menyembah, tapi kepada apa atau siapa kita menyembah? Pada konteks ini, ajaran tauhid hadir dan mengatakan bahwa manusia mesti menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, ajaran tauhid telah memenuhi sifat alami manusia (yakni, penyembahan) sekaligus membebaskannya dari beragam sesembahan selain-Nya. Berbagai sesembahan yang lain itu bisa saja berupa diri sendiri, harta, tahta, keluarga, patung, kedudukan, syahwat, dan lain-lain, yang mengacaukan matlamat dan fokus hidup.
Dalam suatu ayat Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang bersekutu alam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki saja. Adakah kedua budak ini sama? Segala puji bagi Allah, tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar: 29).
Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa manusia itu selalu menjadi hamba dan budak bagi sesuatu. Tiada manusia yang tidak menjadi budak. Ayat itu memberikan perumpamaan kepada kita tentang dua macam budak.
Pertama, budak bagi berbagai tuan. Jiwa budak semacam ini akan mengalami berbagai hal berikut ini: (a) Terbatasi, dan terkurung ruang geraknya. Sebalikanya, ruang gerak muwahhid yang sangat tak terbatas, yakni pencipta alam raya; (b) Kebingungan mengutamakan perintah apa dan dari tuan yang mana; (c) Kesulitan menunaikan tugas dengan baik; (d) kemungkinan berbagai tuan yang memilikinya itu akan memberi perintah yang berbeda-beda, dan lain-lain.
Kedua, budak yang dimiliki oleh satu tuan saja. Budak ini akan menjalankan hidupnya dengan lancar dan nyaman. Karena, gerak hidupnya hanya akan integral dan uniter. Karena, ia menjalankan perintah dan meninggalkan larangan satu tuan saja.
Kalau kita mengumpamakan kehidupan kita ini sebagai sebuah bangunan, maka tauhid adalah fondasi besinya. Seluruh kemanusiaan kita mesti berlandaskannya.
Tanpanya, seluruh bangunan kemanusiaan kita akan selalu kacau-balau. Sebagai contoh, kemanusiaan mengajarkan kita untuk menyebarkan kasih sayang, kebajikan, membela dan menjaga perdamaian, benci akan peperangan, menolong orang papa, cacat, atau orang sakit, tidak menyikut sesama, bahkan berkorban demi sesama dan sebagainya.
Semua hal itu memang benar dan baik. Namun, tanpa tauhid yang mengajarkan akan adanya Pencipta Yang Tunggal dan Esa, apa yang mendorong kita untuk melakukan semua itu? Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa hukum karma sebagai landasan egoistis yang mengajarkan “kalau mau dibaiki, maka baiklah kepada orang lain” dapat menjadi alternatif fundamental kemanusiaan.
Alternatif itu sama sekali tidak benar. (Karena), pertama, betapa banyak orang yang tidak egoistis dalam pengertian tidak menghormati diri sendiri. Bahkan dalam istilah Al-Qur’an, ada manusia yang berlaku zalaim kepada dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman, “Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”(QS. at-Taubah: 70)
Kedua, hukum karma kepada bawahannya. Ketiga, hukum karma itu sama sekali tidak memiliki kekuatan logis yang bisa menekan seseorang untuk terus konsekuen, komit, dan konsisten dengannya. Keempat, lebih jauh, semua nilai kemanusiaan yang kita sebut tadi bersifat konseptual yang kerapkali bertentangan dengan kepentingan material dan personal manusia.
Jadi, kita hanya dihadapkan pada dua pilihan; bertauhid atau terjerumus kepada sistem hewani dan pemujaan pada kepentingan. Dengan kata lain, kita hanya bisa menjadi hamba Allah atau hamba perut, syahwat, kedudukan, uang, dan lain-lain.
Allah SWT berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon ini memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (syirik) seperti pohon yang buruk, yang tercerabut sudut akar-akarnya dari muka bumi ini dan tidak berpijakan sedikit pun.” (QS. Ibrahim: 24-26).
Ayat-ayat di atas secara gamblang menerangkan bahwa tauhid ialah fondasi yang kukuh bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial. Dalam kaitannya dengan kerja, tauhid merupakan landasan yang dapat memicu kerja kita secara fokus dan terarah. Landasan tauhid sanggup menggerakkan apa pun, kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun hidup kita.[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email