Saya melihat “tragedi Rohingnya” di Myanmar” beberapa tahun terakhir ini kurang lebih sama dengan “tragedi Ambon” (dan Maluku) beberapa tahun silam yang pernah saya tulis dalam sebuah buku berjudul “Religious Violence and Conciliation in Indonesia” (diterbitkan oleh Routledge, London & New York).
Seperti di Ambon dan Maluku secara umum, tragedi kekerasan atas etnis Rohingnya ini sebenarnya dilakukan oleh faksi militer (dan pemerintah) garis keras yang berkoalisi dengan faksi kelompok Buddha radikal. Ingat: “faksi” atau “oknum”. Jadi bukan kekerasan antara umat Buddha dan umat Islam (Rohingnya).
Hati-hati dalam menyikapi persoalan, jangan terburu nafsu, dan jangan mudah diombang-ambingkan dan digiring oleh opini, kampanye, pidato, agitasi, dan ceramah kelompok-kelompok tertentu, baik kelompok yang lugu maupun kelompok yang bernafsu.
Peristiwa di Myanmar dan Ambon ini juga kurang lebih sama dengan sejumlah kasus kekerasan dan perang di Timur Tengah dimana para pelakunya adalah kaum ekstrimis-radikal di berbagai kelompok yang berseteru (militan Yahudi, militan Sunni, militan Syiah, militan Kurdi, militan Alawi, dan seterusnya), BUKAN antara Yahudi vesus Muslim, Sunni versus Syiah, Kurdi versus Syiah, dlsb).
Kekerasan itu, dimanapun dan kapanpun, bukan sesuatu yang bersifat “alami” atau “inheren” melainkan “kultural” atau “by design” (diciptakan) oleh sejumlah orang dan kelompok elit-menengah tertentu yang memiliki kepentingan tertentu, baik kepentingan politik, ekonomi, agama, ideologi, dlsb.
Seandainya kekerasan itu benar-benar bersifat “natural” antar-kelompok masyarakat, tentunya semua lapisan kelompok masyarakat selalu terlibat kekerasan. Kenyataannya tidak. Masyarakat bawah, apapun agama dan etnis mereka, sama-sama menjadi korban perang dan kekerasan, sama-sama hidup terlunta-lunta, sama-sama menjadi pengungsi, sama-sama tinggal dalam tenda-tenda, dan sama-sama membaur merasakan penderitaan yang sama.
Sama seperti di tempat-tempat lain, kasus Ambon dulu meledak sebetulnya awalnya juga karena ulah segelintir kelompok “elit-menengah militan” ini. Kelompok militan-radikal ini kemudian menyebar foto-foto hoax dan informasi palsu melalui media Internet, TV, radio, dlsb dengan tujuan untuk “mengambil hati” dan mendapatkan simpati dari kelompoknya (Muslim atau Kristen) dan pada saat yang sama agar membenci, marah, dan mengutuk kelompok / umat lain.
Sayangnya, masyarakat kebanyakan gampang diprovokasi dan mudah digiring oleh kelompok “elit-menengah militan” ini. Budaya baca masyarakat yang sangat rendah dan nihilnya kemampuan menyerap informasi yang valid dan akurat, membuat mereka gampang ditipu, “dikomodoi” (kadal terlalu kecil), dan “digelincirkan” oleh kaum Momon, baik yang bertengger di institusi politik (seperti politisi) maupun institusi agama (seperti tukang khotbah).
Hati-hatilah dalam bersikap sebelum nasi kebuli yang wangi berubah menjadi telek ayam yang wueekk.
Atas nama solidaritas kemanusiaan, mari kita kutuk kebiadaban dan aksi barbarisme atas etnis Rohingnya dan berbagai kelompok tertindas dan korban kekerasan apapaun agama dan suku-bangsa mereka, dimanapun mereka berada, baik di Indonesia maupun manca negara.
Jabal Dhahran, Arabia
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email