SANGAT penting melihat peristiwa G30S 1965 dari berbagai perspektif untuk memahami secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi sejak 1 Oktober 1965 dan peristiwa pembunuhan massal yang mengikutinya. Hal tersebut dikatakan oleh sejarawan Robert Cribb pada pembukaan konferensi sejarah alternatif peristiwa 1965 di kampus Australian National University, Canberra, dua pekan lalu (13/02).
Turut hadir dalam acara tersebut beberapa pakar Indonesia terkemuka antara lain peneliti militer Indonesia Harold Crouch, peneliti Islam Indonesia Greg Feally, peneliti pers di Indonesia David Hill dan antropolog James Fox.
Beberapa pemakalah yang hadir dalam acara tersebut mengemukakan temuan-temuannya seputar peristiwa 1965. Yosef Djakababa dari Center for Southeast Asia Studies CSEAS Indonesia mengungkapkan sejauh mana Amerika Serikat terlibat dalam peristiwa G30S 1965 itu. “Berdasarkan keterangan dari Duta Besar Marshal Green, dia mengatakan kalau Amerika Serikat hanya “riding the wave”, hanya ikut menunggangi gelombang saja,” kata Yosef mengutip dokumen CIA yang ditemukannya.
Sementara itu Baskara Wardaya dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengatakan kalau Amerika Serikat bukan hanya menunggangi tapi juga turut mendesain gelombang yang ditungganginya. Baskara, seperti juga Yosef, menggunakan sumber-sumber arsip CIA yang ditemukannya selama melakukan penelitian di Lyndon Johnson Library di Amerika Serikat.
Peristiwa sejarah yang berawal dari pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 itu ternyata membawa dampak besar. Penangkapan dan pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Indonesia bagian Timur.
Gerry van Klinken, peneliti sejarah Indonesia dari Lembaga Kerajaan Belanda untuk Bahasa, Sejarah dan Budaya (Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde, KITLV) memaparkan hasil penelitiannya di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Mery Kolimon dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) mempresentasikan hasil penelitiannya tentang kekerasan terhadap perempuan anggota Gerwani dan organisasi kiri afiliasi PKI di Nusa Tenggara Timur.Dua penelitian tersebut menunjukan bahwa kekerasan yang berlangsung selama tahun 1965-1966 tak hanya terjadi di pulau Jawa saja.
Dari Palu, Sulawesi Tengah Nurlaela AK. Lamasitudju membawakan makalahnya tentang proses rekonsiliasi masyarakat yang terlibat konflik pasca peristiwa 1 Oktober 1965. Lebih jauh lagi, kerjasa sama antar lembaga pencari keadilan di Palu telah berhasil mendesak Walikota Palu Rusdy Mastura untuk menyampaikan permintaan maaf bagi keluarga korban dan penyintas peristiwa G30S 1965. “Walikota juga menegaskan kembali janjinya untuk merealisasikan reparasi mendesak bagi korban dan keluarganya berupa jaminan kesehatan gratis, beasiswa, jaminan hari tua dan bantuan usaha. Reparasi mendesak telah dimasukan dalam anggaran belanja daerah kota Palu 2013,” ujar Nurlaela dalam presentasinya.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Australian National University itu juga menghasilkan keputusan untuk meningkatkan kerjasama di antara peneliti sejarah untuk pengumpulan data dan jejaring informasi penelitian. Seluruh makalah dan hasil konferensi akan diterbitkan dalam bentuk prosiding yang akan berguna bagi para peneliti lain untuk menelaah peristiwa G30S 1965 dan dampaknya di Indonesia.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email