Pemerintah Suriah resmi mengirimkan surat kepada PBB. Suriah menyalahkan Arab Saudi, Turki, dan Qatar atas tragedi pemboman oleh teroris pada Senin (23/05). Pemboman telah menewaskan hampir 150 orang di kota-kota pesisir di Tartous dan Jableh, peristiwa mengerikan ini sebagaimana yang dirilis kantor berita SANA.
Kementerian Luar Negeri Suriah dalam surat yang dikirim kepada PBB mengatakan bahwa ledakan adalah hasil dari eskalasi permusuhan berbahaya yang dilancarkan ekstremis dukungan rezim di Riyadh, Ankara dan Doha.
Surat itu menyatakan bahwa tiga negara tersebut berusaha untuk menggagalkan pembicaraan damai yang ditengahi oleh PBB di Jenewa. Ketiga negara ingin menggagalkan upaya dalam menghentikan pertumpahan darah di Suriah serta mengeliminir prestasi luar biasa dari tentara Suriah melawan teroris.
Kementerian Suriah juga menyatakan Dewan Keamanan PBB lamban dalam merespon kejahatan keji yang dilakukan oleh kelompok teroris yang disponsori asing di Suriah, dan rezim-rezim yang mendukung terorisme untuk menyebarkan pion-pion teroris mereka di Suriah.
Surat dari Suriah juga mengkritik Inggris, Perancis dan Amerika Serikat atas penolakan mereka dalam memberikan label kepada Jaysh al-Islam dan al-Qaeda yang berafiliasi pada Ahrar al-Sham sebagai kelompok teroris. Dalam surat juga ditegaskan tidak adanya pendekatan dan kurangnya keseriusan dalam memerangi terorisme.
Surat itu juga mengatakan bahwa peristiwa pemboman dan serangan teroris mengerikan yang terjadi Tartous dan Jableh tidak akan melemahkan tekad Suriah untuk memerangi terorisme di wilayah negara Suriah.
Surat ini adalah desakan pada Dewan Keamanan PBB untuk mengadopsi langkah-langkah hukuman langsung terhadap negara-negara yang mensponsori terorisme dan merusak perdamaian dan keamanan internasional.
Gerakan perlawanan Hizbullah Lebanon juga mengutuk pemboman mematikan dalam sebuah pernyataan, dan menegaskan dengan menyebut Hizbullah memiliki sikap yang jelas dan tegas terhadap kekuatan regional dan global pendukung terorisme.
“Genosida sedang berlangsung, dilakukan oleh kelompok teroris dengan dukungan dinas rahasia internasional CIA, Mossad, Arab Saudi, Qatar dan Turki, adalah hasil dari ideologi gelap yang bertujuan untuk menyebarkan ketakutan dan kekacauan di Timur Tengah dan masyarakat umat Islam”.
Trio Bandit “AS, Israel, Saudi” Tak Ingin Ada Perdamaian di Suriah dan Yaman
Dalam sekala lebih luas, rakyat Suriah dan Yaman menginginkan yang lebih baik daripada perdamaian. Tetapi kekuatan asing masih terus bertekad untuk melanjutkan kekacauan meskipun harus menghilangkan lebih banyak lagi nyawa warga sipil.
AS, Zionis dan Arab Saudi serta beberapa pemain lainnya tidak menginginkan perdamaian di Suriah dan Yaman. Hal ini meskipun ancaman kematian mencengkeram rakyat Yaman dan Suriah. Mereka yang akrab dengan realitas di kedua negara tersebut, tidak akan mengabaikan fakta ini keluar begitu saja dari tangan tanpa alasan yang jelas. Orang-orang di kedua negara itu menginginkan perdamaian, tapi sayangnya mereka bukan tuan rumah bagi negara dan sehingga lemah menentukan nasib mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh kekuatan asing yang bersikeras memaksakan agenda mereka pada orang-orang malang ini.
Pembicaraan damai Suriah yang ditengahi PBB di Jenewa, dan Yaman di Kuwait, telah menempatkan teroris sebagai kelompok oposisi dan moderat, di bawah instruksi dari tuan asing mereka, membuat tuntutan menggelikan yang hanya bisa menyabotase prospek penyelesaian yang dinegosiasikan.
Pertumpahan darah di Suriah dimulai lebih dari lima tahun lalu, melalui konspirasi bersama oleh para pejabat Saudi, Amerika, Israel di Paris. Trio poros kejahatan menghasut oportunis Suriah, sebagian besar dari mereka tinggal di pengasingan di London, Paris atau Washington dan mereka menjanjikan kemenangan cepat dengan kepala Bashar al Assad yang akan disajikan di piring. Konspirator mengklaim rezim Suriah akan digulingkan seperti Muammar al-Qaddafi di Libya digulingkan dalam hitungan bulan. Turki, Yordania dan Qatar juga bergabung dalam plot kejahatan ini.
Mantan perdana menteri Qatar, Sheikh Hamad bin Jassim Al Thani dalam sebuah wawancara dengan harian Inggris, Financial Times pada 15 April mengatakan bahwa Doha seharusnya menjadi pemain utama dalam pemberontakan Suriah. Krisis Suriah tidak ada kaitannya dengan politik dalam negeri. Ia juga mengungkapkan bahwa Arab Saudi awalnya enggan untuk terlibat tetapi kemudian mengambil alih peran utama dari Qatar. Ia juga tidak menampik keterlibatan mendalam mantan kepala intelijen Saudi, Bandar bin Sultan dalam menghasut agar muncul kekacauan besar.
Haytham Manna, salah satu pemimpin oposisi Suriah menentang pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan pemerintah, dan mengungkapkan ini segera setelah pertemuan pada Februari 2011 dalam konspirasi di Paris, yang ia ikut hadir dalam pertemuan itu.
Kekacauan di Suriah telah mengakibatkan hampir 400.000 kematian manusia, hampir setengah dari populasi warga Suriah mengungsi dan infrastruktur negara hancur total. Apa yang didapat dari kekacauan besar yang telah mereka buat?
Bashar al-Assad masih berkuasa dan tampaknya ada sedikit prospek bahwa ia akan digulingkan dalam waktu dekat. Tentara Suriah di sisi lain tidak dapat memberikan pukulan KO untuk melenyapkan teroris atau pemberontak moderat, dan sekarang AS mengirim pasukan khusus tambahan ke Suriah tanpa izin dari Damaskus. Mereka selain menambah kekuatan pemberontak, juga dapat memberikan lebih banyak senjata mematikan bagi para pemberontak.
Di sisi lain, pengurangan serangan udara Rusia, ketidak mampuan tentara Suriah dalam menutup perbatasan dengan Turki yang berfungsi sebagai pintu masuk bantuan senjata dan aliran teroris sehingga kekacauan masih berlanjut hingga sekarang atau beberapa tahun ke depan.
Dari semua ini, apa yang dapat anda simpulkan? Tampaknya jelas bahwa kekuatan luar ingin pertempuran dan kekacauan berlanjut. Tujuan yang telah ditetapkan adalah untuk melemahkan negara Suriah sedemikian rupa, sehingga tidak lagi mampu menyediakan banyak membantu perlawanan terhadap Israel. Dalam hal ini mungkin tujuan itu sudah tercapai.
Penghancuran Suriah dimaksudkan untuk mengamankan pendudukan rezim Zionis di Palestina. Tujuan yang juga tampaknya telah dicapai seperti yang dapat disaksikan dengan banyaknya aneksasi merayap Zionis dari Masjid al Aqsa di Yerusalem dan deklarasi Dataran Tinggi Golan adalah milik mereka selamanya! Bersamaan dengan itu, penguasa Arab bergegas merangkul rakasa Zionis untuk melawan Republik Islam Iran.
Di Yaman, situasinya terbalik. Rakyat Yaman menghadapi invasi penuh dari luar negeri, yang dipimpin oleh bandit Saudi Arabia yang secara ilegal telah menduduki Semenanjung Arab. Kerajaan barbar Saudi Arabia telah menewaskan ribuan orang tak bersalah di Yaman dan telah memberlakukan blokade total pada negara miskin yang mengakibatkan 22 juta dari 24 juta orang menjadi kekurangan makanan.
Kerajaan barbar Saudi Arabia juga telah menggunakan bom cluster untuk menyerang sekolah, rumah sakit, pabrik-pabrik dan infrastruktur umum lainnya. Ini merupakan kejahatan perang, tetapi mengingat bahwa kaum imperialis dan Zionis memberikan perlindungan kepada bandit Najd, mereka bisa lolos dari kejahatan seperti ini, setidaknya untuk saat ini.
Seperti di Suriah, pembicaraan damai Yaman juga tidak mendapatkan tempat. Houthi dan sekutu mereka bergabung dengan pembicaraan damai yang ditengahi PBB di Kuwait hanya setelah menerima jaminan dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB bahwa Saudi Arabia akan menghentikan pemboman negara mereka dan gencatan senjata yang seharusnya mulai berlaku pada tanggal 11 April. Houthi bergabung dalam pembicaraan itu pada tanggal 21 April 2016 tapi tidak ada sedikit pun kemajuan, mengapa?
Mantan presiden buronan Yaman, Abd Rabbuh Mansour Hadi bersembunyi di Arab Saudi. Ia mengajukan tuntutan yang akan mengkebiri perlawanan rakyat Yaman. Misalnya, ia menegaskan gerakan perlawanan Yaman yang dipimpin Houthi Ansarallah harus meletakkan senjata dan menarik diri dari ibu kota Sana’a. Ansarallah tidak mengontrol Aden atau Ta’iz. Pasukan loyalis Hadi mengendalikan dua kota ini, al Qaeda dan kelompok teroris ISIS terus membuat kekacauan, pembunuhan dan kehancuran di dua kota tersebut.
Para pejuang Ansarallah tidak akan membiarkan Sana’a menderita seperti nasib dua kota tersebut. Menyerahkan senjata kepada mereka telah berkhianat terhadap bangsa Yaman, atau tidak lagi memiliki legitimasi. Hanya orang-orang Yaman bisa memutuskan masa depan mereka, bukan bandit Najd Saudi antek Yahudi. Milisi premanisme Hadi tidak bisa mengambil alih Yaman dengan paksa, mereka menuntut melalui negosiasi. Ini yang terjadi sama persis dengan yang terjadi di Suriah. Teroris dan sponsor mereka tidak dapat menggulingkan pemerintah Bashar al-Asad dengan paksa, namun mereka memaksa menyerahkan kekuasaan di meja perundingan.
Melihat realitas yang terjadi, rakyat di Suriah dan Yaman akan terus menderita karena perang telah dipaksakan oleh kekuatan Barat dan sekutunya di Timur Tengah untuk memaksa pemerintah di dua negara itu melucuti kekuasannya.
Sumber: Why peace eludes Syria and Yemen by Zafar Bangash.
(SANA/Islam-Institute/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email