Pesan Rahbar

Home » » Wanita Arab Saudi Pilih Tidak Menikah

Wanita Arab Saudi Pilih Tidak Menikah

Written By Unknown on Wednesday 13 July 2016 | 18:07:00


Tampaknya perempuan Saudi lebih memilih untuk tetap melajang setiap kali mereka menginjak dewasa. Ditemukan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Departemen Keuangan dan Perencanaan di Arab Saudi bahwa, 97,4% dari perempuan Saudi menikah sebelum usia 30 tahun.

Ada lebih dari 180.000 perawan tua di Arab Saudi yang telah mencapai usia 30 tahun, tapi, kehilangan kesempatan emas untuk menikah, menurut sebuah artikel yang diterbitkan dalam surat kabar Gulf News Agency pada tanggal 14 Agustus.

Dengan kata lain, wanita di Arab Saudi menjelang 30 tahun belum menikah, melajang tetap menjadi pilihan.

Nouf Al-Syafi’i, penduduk Saudi yang mukim di Mesir pernah mengatakan kepada majalah “Syarfah”: “Adalah gila mereka menganggapku lajang pada usia 29 tahun, sementara di lain tempat 29 tahun diklaim usia gadis. Lebih-lebih ketika aku kembali ke rumah keluarga semua saudara mengkritikku dan merasakan kasihan karena aku sudah terlalu tua dan dalam status tampa perkawinan.”

Nouf menambahkan, salah satu alasan di balik pilihan untuk tetap melajang adalah, angka perceraian terus meningkat di Arab Saudi. 2,4 persen dari komunitas perempuan atau hampir 180.000 perempuan di tahun 2007. Mungkin juga karena tingginya angka perceraian, menurut studi yang dilakukan oleh departemen kementerian.

”Ternyata, teman-temanku lebih memilih menikah karena mereka takut kelewat usia tanpa seorang pendamping hidup. Hal ini sediannya diharapkan dalam masyarakat Saudi, seperti halnya dalam budaya masyarakat Arab konservatif dimana perempuan cenderung menikah dan beranak dalam usia yang relatif masih muda. Namun, tidak dipungkiri juga sebagian mereka hidup tidak bahagia, jadi aku menunggu sampai ada lelaki yang mau menambat hatiku.”

Menurut Business Arab.com, hampir 62 persen perkawinan di Arab Saudi berakhir dengan perceraian.

Ada berbagai teori para ahli tentang penyebab masalah ini, mulai dari pembentukan pola didik orang tua kepada anak-anak mereka atas arti penting tanggung jawab dan sebuah status ikatan, sampai kekerasan dalam rumah tangga dan poligami.

Dalam wawancara dengan harian ‘Al Sharq Al Awsat’, Dr Jamal Atuweriqi, spesialis psikologi anak di rumah sakit ‘Raja Fahad National Guard’, mengungkapkan fakta, bahwa ada kecenderungan orangtua sendiri yang merusak anak-anak mereka dengan tidak mengajarkan bagaimana menangani problema sehari-hari. Dan tidak mempersiapkan mereka untuk mengambil tanggung jawab sebagai seorang dewasa. Sepasang suami istri akan sulit menghadapi masalah jika tidak dipersiapkan sebelumnya metode menyelesaikan masalah. Mereka tidak tahu bagaimana menghadapi tanggung jawab baru.

Sebagian besar kasus perceraian di Arab Saudi, terjadi dalam rentang waktu tiga tahun pertama perkawinan, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Dr Ibtisam Al-Halwani di Universitas King Abdul Aziz yang muncul di sebuah artikel yang diterbitkan Website ArtArabia.com pada bulan Agustus 2008.

Halwani menuturkan, kekerasan dan perlakuan buruk, satu dari dua alasan utama di balik sebagian besar kasus perceraian. Sementara sosiolog Abdullah Fauzan, yang bekerja di King Saud University di Riyadh, mengatakan kepada Al-sharg Al Awsat, bahwa praktek poligami bertanggung jawab pada 55 persen kasus perceraian.

Fauzan menambahkan, fenomena muda mudi yang akan melangsungkan pernikahan, lebih didominasi alasan penampilan bukan kesesuaian, atau hasil dari penentuan keluarga (kawin paksa). Dengan demikian, mereka tidak punya kesempatan saling mengenal satu sama lain. Sebagai hasilnya, ketidak-patuhan dan kurangnya pengertian, menyebabkan runtuhnya sebuah ikatan.

Hasna’ Abdel-Fattah, 28 tahun kepada majalah Syarfah mengatakan: “Begitu perceraian sangat mudah di Arab Saudi. Dahulu, generasi orang-orang tua kami, benar-benar menjaga ikatan sakral ini bagaimana pun ia. Kini, banyak temanku bercerai atas alasan paling sepele. Kami telah terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, sehingga bila ada sesuatu yang pahit dalam hubungan perkawinan, segera mereka pisah. Mereka tidak dibekali pengetahuan dasar tentang bagaimana melangsungkan hubungan.

Studi yang dilakukan Khalwani menunjukkan; bahwa angka perceraian akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2020 bisa mendekati 8 juta perempuan yang tidak menikah.

Dahulu, perceraian tidak pernah terdengar di masyarakat Saudi, namun karena frekwensinya terus meningkat, nampaknya hal itu tidak lagi tabu di masyarakat yang sangat konservatif. Komunitas para lajang menjadi trend panutan masyarakat.

Kepada situs Art Arabia.com, Schaden Rayes – ibu tiga anak berstatus terceraikan dari suaminya- menjelaskan, bahwa, “Nikah tidak berarti bahagia selamanya, meski, perceraian tidak selalu berarti sengsara.”

Di sisi lain, Nouf menambahkan kepada majalah Syarfah, “keluargaku akan terus memberikan tekanan padaku, aku tahu itu. Tapi pasti menurun perlahan-lahan ketika aku pergi ke sana, dan aku pikir mereka tidak berharap banyak dariku, mereka akan cuek denganku.”

(02/09-2008 dari majalah Syarfah-Timur tengah).

(Business-Arab/Buali/The-Global-Review/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: