Oleh: La Ode Zulfikar Toresano
Dalam Nahjul Balagha, Imam Ali karamallahu wajhah berkata, “Teman dari musuh kamu adalah musuh kamu”. Dalam landskap politik Lebanon, PM Fouad Siniora menempatkan diri sebagai lawan Hisbullah karena seringkali kebijakannya (Siniora) sejalan dengan keinginan Amerika Serikat yang dalam hal ini antara lain tercermin dari dorongan untuk mengadili para tersangka dalam kasus pembunuhan mantan PM Lebanon Rafik Hariri (14 / 2 / 2005) lewat pengadilan internasional yang hendak dibentuk atas usulan PBB. Sebagaimana diketahui, dalam konteks Timur Tengah, penerapan kebijakan AS seringkali meminjam tangan PBB untuk mendapatkan legitimasi yuridis. Ini secara telanjang terlihat di Irak.
Dengan telah disahkannya rencana pembentukan pengadilan internasional oleh kabinet PM Siniora (Kompas, 28 / 11), bukankah itu berarti telah terjadi lompatan katak yang mengabaikan prosedur konstitusional? Setidaknya, kenapa Siniora tidak terlebih dahulu membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), seperti yang dilakukan untuk penyelidikan kasus Mei ’98 di Indonesia? Memang benar, untuk kasus tersebut, PBB telah membentuk tim pencari fakta dan konon menemukan bukti-bukti keterlibatan petinggi Suriah. Namun, sebagaimana alasan yang telah dikemukakan di atas, legitimasi pencarian fakta oleh PBB itu ditolak Hisbullah beserta sekutunya. Jika untuk pembentukan TGPF saja PM Siniora tidak mampu, bukankah sebaiknya ia mengundurkan diri (untuk tidak mengatakan ia sebaiknya memproklamirkan saja bahwa Lebanon telah menjadi negara protektorat PBB atau Negara Bagian AS)?
Peristiwa pembunuhan Menteri Industri Pierre Gemayel (21 / 11 / 2006) semakin menambah kerunyaman perpolitikan Lebanon. Seperti pada kasus pembunuhan mantan PM Lebanon Hariri, pembunuhan P Gemayel juga dituduhkan kepada Suriah sebagai pihak yang berada di balik pembunuhan tersebut. Pertanyaannya, dari segi logika bodoh saja, mungkinkah Suriah bermain bensin sementara jilatan lidah api yang diarahkan padanya belum juga padam?
Terkait dengan kematian P Gemayel, Al-Manar --- stasiun televisi Hisbullah --- memberi komentar (21 / 11), para pengawal P Gemayel yang berjumlah besar tidak memberi tindakan apa pun atas pelaku penembakan saat berjalan mendekati mobil Gemayel. Ditambahkan, pelaku tidak dicegah tatkala melarikan diri.
Dalam konteks tersebut ada tiga fakta menarik yang patut dikemukakan: (1) Dua pekan sebelum kematian P Gemayel, Samir Geagea --- komandan milisi Kataeb / Phalange (pasukan pengawal Gemayel) --- mengingatkan bahwa akan ada menteri yang menjadi target pembunuhan; (2) Beberapa tahun sebelumnya (14 / 9 / 1982) Presiden Bashir Gemayel, paman P Gemayel, juga tewas akibat ledakan bom (beserta 25 pengawalnya). Dua hari kemudian (16 / 9 / 1982), Elie Hobeika --- salah seorang komandan milisi Kataeb --- dan milisinya menumpang pasukan Israel membantai 1.500 orang Palestina di Beirut (kamp pengungsi Sabra dan Shatila); dan (3) Lima hari sebelum terbunuhnya P Gemayel muncul pernyataan di situs internet --- yang sering digunakan pendukung Al Qaeda di Irak --- yang menyerukan kesiagaan kelompok Sunni karena Hisbullah (Syiah) bermaksud menguasai Lebanon.
Dari perspektif intelijen kita mengenal adagium divide and rule (cerai-beraikan dan kuasai). Sebagai komparasi, berdasarkan data intelijen, Abu Musab al-Zarqawi yang banyak menciptakan teror bom (dan menghembuskan konflik Sunni-Syiah) di Irak --- setelah jatuhnya Presiden Saddam Husein --- adalah seorang agen yang dibina oleh badan intelijen salah satu negara Arab.
Kemudian, yang membidani lahirnya kelompok Taliban adalah beberapa personel dalam Dinas Rahasia Pakistan. Bukankah kita semua tahu siapa mentor badan-badan intelijen di kawasan itu? Nah, untuk Lebanon yang bergejolak, masuk akalkah jika tidak ada intervensi intelijen asing yang bermain untuk memengaruhi keputusan politik pemerintah dan menciptakan konflik, baik yang berdimensi vertikal maupun horizontal? Dan, bukankah penyusupan intelijen itu bisa saja hingga ke lingkaran terdekat P Gemayel atau dengan merekrut orang dalam? Sekadar renungan, untuk Asia Tenggara saja yang relatif stabil ada sekitar 500 ribu agen intelijen asing, baik yang direkrut secara sadar (direct) maupun tidak sadar (indirect). Bagaimana dengan Lebanon yang secara geopolitik sangat strategis di Timur Tengah?
Dalam konfigurasi seperti dibentangkan di atas, salahkah jika Hisbullah memperjuangkan hak konstitusional sebagian rakyat Lebanon seraya berusaha sekuat tenaga untuk menjaga aurat bangsa dari usaha pengoyakan para demagog atau selebriti politik yang kumisnya blepotan keju dan merasa berkepentingan melindungi proyek-proyek maksiat di Beirut, seperti kompleks perjudian terbesar di kawasan Timur Tengah (Casino du Liban)? Bisa jadi menurut Hisbullah, sekali diberi peluang, mereka itu akan dengan bernafsu mempertontonkan aurat dan mengumbar libido kekuasaan. Tetapi, mengapa Hisbullah juga tidak bersikap tegas terhadap Suriah yang notabene masih memiliki sisa pasukan (atau satuan intelijen) di Lebanon? Ini politik, Bung (Mba)! Bukankah politik adalah salah-satu elemen ideologi yang instrumennya adalah strategi dan taktik? Jelas, bagi Hisbullah, AS dan Israel (berikut konco-konconya) merupakan musuh ideologis; sedangkan Suriah bisa dipetakan sekadar musuh taktis. Nah, dalam wacana pertarungan sosial-politik-ideologis, perbedaan taktis bisa dirujukkan dalam koalisi strategis. Tapi kalau perbedaan terjadi pada tataran ideologi, apa yang mau bisa dirujukkan?
Bagi yang mengklaim diri tidak menganut ideologi tertentu atau menafikan peran ideologi (berpaham nir-ideologi), rujukannya mungkin pada “pragmatisme”. Namun, bukankah pragmatisme sering dijadikan kuda tunggangan (sadar atau tidak sadar) oleh ideologi tertentu? Sampai di sini mungkin kita perlu mengkaji ulang tesis Samuel Huntington: The Clash of Civilization atau juga layak memperdebatkan kembali proyek deidelogisasi filsafat yang diusung oleh filsuf mazhab Frankfurt Theodore Adorno seraya --- untuk sementara --- tidak begitu saja menelan bulat-bulat apa yang dikatakan oleh filsuf Jerman Fichte: ”Was fur eine Philosophie man wahle hangt davon ab, was fur ein Mensch man ist” (jenis filsafat yang dipilih oleh seseorang akan menentukan jenis manusianya). Mengapa? Karena kendati ada kelompok yang ngotot hendak memisahkan (decoupling) filsafat (dan juga kultur) dari ideologi, namun ideologi (baca: ideologi parsial) itu sendiri justru berpijak pada landasan filsafat tertentu. Tentu saja ada ideologi (baca: ideologi universal) yang berlandaskan “agama”, meski --- harus diakui --- tidak semua agama dapat dikatakan sebagai ideologi karena perangkat minimal dari suatu ideologi adalah harus memiliki sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum.
Oleh karena itu, tudingan bahwa kesalahan ideologi adalah karena menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap (konstan) dapat dianggap keliru atas dasar argumen bahwa --- dalam ukuran-ukuran tertentu --- suatu ideologi pastilah akan menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman dan situasi di mana dia beroperasi (dimensi ruang). Virus dan bakteri saja bisa beradaptasi, koq!
Kalangan nir-ideologi juga menyatakan: tak ada identitas (termasuk identitas ideologi), yang ada hanya interaksi. Mereka lalu mengajukan pertanyaan provokatif: Dalam interaksi, di manakah atom? Dalam interaksi, bagaimana kita bisa percaya kepada yang “asli”, mengingat ciri abadi hidup adalah berubah? Bukankah dalam interaksi atom-atom yang kemudian ada adalah “senyawa” atau “molekul”?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti di atas kita perlu balik bertanya, bukankah interaksi dapat diidentikkan dengan “aksi-reaksi”? Bukankah dalam perspektif ilmu kimia, aksi-reaksi bisa dipersamakan dengan aksi dapat balik (reversible), di mana --- misalnya ---unsur hidrogen (H2) dan khlor (Cl) bisa melakukan “aksi bersama” membentuk senyawa asam khlorida (HCl), tapi juga bisa berbalik atau mengurai kembali menjadi seperti semula? Jika keaslian atau identitas unsur khlor dan unsur atau molekul hidrogen sirna (secara substansial) ketika menjadi senyawa asam khlorida, bagaimana mungkin wujud atau identitas keduanya bisa kita saksikan lagi setelah terjadi “reaksi balik”?
Jangan-jangan pengamatan mereka (kelompok nir-ideologi) yang justru memiliki keterbatasan. Bukankah aksi-reaksi yang berlangsung terus-menerus itu merupakan proses perubahan (relative change) yang berlangsung kontinyu?
Sesungguhnya, proyek Amerikanisasi (ideologi neo-liberalisme atau ultra-kapitalisme) yang mengusung isu globalisasi (suatu istilah yang dipopulerkan oleh Anthony Giddens, mantan mentor PM Inggris, Tony Blair) telah mengkooptasi logika industri dan logika pasar bebas (harap dibedakan dari “pasar sosial”) yang menjelma menjadi budaya massa dengan bekerja melalui penyeragaman selera dan pelenyapan individualitas atau eksistensi (identitas) kelompok-kelompok masyarakat dan juga ideologi. Sehingga, keliru sekali jika seseorang atau sekelompok orang yang berpikir dan bertindak secara ideologis dituding tenggelam dalam idealisasi diri (nilai atau norma) yang menolak realitas baru (a-realistis). Kalau begitu, bukankah cara berpikir kelompok nir-ideologi ibarat menari dengan mengikuti irama genderang yang ditabuh oleh para demagog neo-kolonialis yang berlindung di balik topeng humenisme? [**]
(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email