Pesan Rahbar

Home » » Sejarah Lengkap: Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)

Sejarah Lengkap: Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)

Written By Unknown on Sunday 11 September 2016 | 01:41:00


NAHDLATUL ULAMA didirikan pada 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).

Muhammadiyah dibentuk di Yogyakarta pada 1912 dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia. Muhammadiyah sangat menekankan kegiatannya kepada pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa, rumah-rumah sakit dan panti-panti asuhan, namun ia juga merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan akidah. Ia bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta berbagai prakteknya dan menantang otoritas ulama tradisional.

Sarekat islam didirikan pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan-kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia berkembang menjadi gerakan nasionalis pertama yang mendapatkan banyak pengikut, mendapatkan dukungan yang sa- ngat luas di kalangan masyarakat pedesaan dan juga kelas pekerja yang barn mulai terbentuk.

Pada awal 1920-an, sayap paling radi kal dari Sarekat Islam memisahkan diri dan bergabung dengan partai komunis. Akibatnya, Sarekat Islam kehilangan banyak daya hidup yang dimilikinya pada dasawarsa sebelumnya. Namun, sebagai sebuah organisasi modern yang dlpimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, SI merupakan ancaman serius terhadap posisi para pemimpin tradisional umat, Kiai.

Dalam bab ini saya akan menggambarkan secara selintas berbagai peristiwa dan perkembangan yang mendorong kelahiran NU. Akan tampak bahwa aktifitas Muhammadiyah dan Sarekat Islam merupakan faktor yang penting, walaupun kelahiran NU tidaklah semata-mata sebagaimana dinyatakan banyak penulis. sebuah reaksi defensif terhadap pengaruh mereka yang semakin bertambah kuat. Konflik-konflik tajam antara kelompok reformis dan Islam tradisional sebagai latar belakang berdirinya NU tentu saja harus dilihat, tetapi sebagaimana akan terlihat perkembangan-perkembangan internasionallah yang memberikan alasan langsung bagi berdirinya NU.

Lebih dari itu, walaupun dalam persepsi dirinya sendiri tujuan utama NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan, dalam beberapa hal ia lebih dapat dilihat sebagai upaya menandingi dari pada menolak gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang lebih dahulu diperkenalkan kalangan reformis.


ISLAM JAWA TRADISIONAL: PESANTREN DAN LINGKUNGANNYA

Rapat yang merupakan peristiwa berdirinya NU berlangsung di Surabaya dan kebanyakan anggota pendirinya menetap dan bekerja di kota tersebut, namun orientasi dasarnya tidak bersifat kekotaan.

Lembaga yang menjelmakan corak Islam yang diwakili NU, pesantren atau pondok, pada dasarnya merupakan sebuah fenomena pedesaan. Pesantren adalah sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang disertai asrama di mana para murid, santri, mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kiai.

Tidak dapat diketahui secara pasti sudah berapa lama lembaga pendidikan Islam tradisional ini hadir di Jawa,(3) tetapi kita tahu bahwa jumlah pesantren meningkat tajam pada paruh kedua abad kesembilan belas dan terus berkembang sejak saat itu.

Banyak pemuda Islam yang telah menetap beberapa tahun di Mekkah untuk belajar kepada para guru terkemuka di sana, dan setelah kembali ke Jawa mereka mendirikan pesantren sendiri. Pesantren yang didirikan biasanya meski tidak selalu terletak jauh dari kota.

Semakin banyak daerah hutan Jawa dibuka dan dibersihkan untuk lahan penanaman padi dan tebu, begitu juga perkembangan pesantren. Dalam beberapa kasus, pesantrenlah yang membuka hutan dan kemudian diikuti oleh para pemukimnya.(4)

Sebuah pesantren paling tidak terdiri dari rumah kiai, sebuah mesjid, dan asrama-asrama untuk para santri. Sebagian santri berasal dari desa tetangga dan kembali ke rumah setiap hari setelah pelajaran usai.

Namun, para santri senior cenderung berasal dari tempat-tempat yang jauh; banyak santri dan orang tua mereka yang nampaknya lebih menyukai pesantren yang jauh daripada pesantren yang dekat. Kebanyakan santri biasanya membayar sejumlah biaya tertentu; sebagian yang lainnya memperoleh hak untuk tinggal di pesantren tersebut dengan bekerja di ladang atau rumah tangga kiainya.

Biaya pendidikannya biasanya jauh dari mencukupi kehidupan kiai dan perawatan pesantren, tetapi kebanyakan kiai mempunyai berbagai sumber pendapatan yang lain. Kebanyakan mereka memiliki tanah pertanian atau berdagang kecil-kecilan, dan hampir semuanya secara teratur menerima berbagai hadiah dari para pengikut setianya yang kaya.

Sekitar pergantian abad yang lalu, kaum muslim taat yang merupakan sumber dukungan bagi kiai adalah kelompok minoritas kecil di lingkungan masyarakat pedesaan. Mereka sering disebut kaum putihan, karena mereka lebih suka mengenakan pakaian dan peci putih.

Kita tidak' tahu banyak tentang komposisi sosial dari kelompok ini. Sumber-sumber Belanda dari periode tersebut menyebutkan bahwa mereka pada umumnya terdiri dari para pedagang keliling dan pengrajin, tetapi pastilah juga terdapat para petani dan buruh tani.

Pada umumnya, kelompok muslim taat ini tampak secara hati-hati menjaga jarak sosial mereka dari massa petani yang menganut kepercayaan sinkretis dan menjalankan praktek pemujaan arwah setempat yang di sebagian wilayah disebut kaum abangan, dan mereka seringkali bertempat tinggal secara terpisah dengan kelompok yang terakhir ini.(5)

Dari lingkungan inilah kebanyakan santri (dalam arti murid pesantren) berasal, walaupun tidak selalu demikian. Sebagian keluarga priyayi juga mengirim anak-anak mereka ke pesantren, untuk melengkapi pendidikan umum mereka.(6)

Sepanjang abad ini semakin banyak pula kelompok abangan yang secara bertahap terserap ke dalam lingkungan pesantren. Terdapat berbagai tingkatan pesantren. Yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh Al-Qur'an. Yang agak lebih tinggi adalah pesantren yang mengajarkan kepada para santrinya berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan Sufi, di samping tata bahasa Arab (Nahwu-Sharaf).

Di pesantren paling maju yang paling terkenal di antaranya, pesantren Tebuireng, Jombang diajarkan kitab-kitab fiqh, akidah dan tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.

Abad ini menyaksikan adanya pertambahan secara bertahap jumlah kitab-kitab (dalam bidang tersebut di atas) yang dipelajari. Dan wa- wasan disiplin intelektualnya juga mengalami perluasan, dengan diperkenalkannya kitab koleksi hadits, tafsir Al-Qur'an, logika, sejarah Islam, dan mata-mata pelajaran umum. Namun identitas tradisi intelektual pesantren sekarang, sebagaimana waktu itu, ditentukan tiga serangkai mata pelajaran, yang terdiri dari fiqh menurut mazhab Syafi`i, akidah menurut mazhab Asy'ari dan amalan-amalan Sufi dari karya-karya Imam al-Ghazali.(7)

Kiai memainkan peranan yang lebih dari sekadar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi me- reka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan do'a pada berbagai acara penting.

Banyak kiai Jawa yang juga dipercaya mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu; mereka bertindak sebagai orang yang dapat melakukan penyembuh spiritual dan mengusir roh jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan tubuh.

Banyak kiai yang menjadi guru pencak silat, yang menggabungkan berbagai teknik olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk meningkatkan kelincahan bertarung dan kekebalan terhadap senjata, atau untuk membuat tidak mempan dari pukulan senjata tajam atau senjata api dari pihak lawan. Pengaruh seorang kiai akan
menjadi semakin besar lagi jika dia berafiliasi dengan sebuah tarekat dan dapat mengajarkan amalan-amalan tarekat bagi mereka yang ingin belajar kepadanya. Tarekat tidak hanya menghubungkannya dengan kiai lainnya dalam jaringan yang luas tetapi juga melahirkan pengikut yang sangat taat dan setia.

Kiai merupakan perantara, dengan pengertian yang berbeda-beda, antara dunia ini dan dunia arwah. Kepercayaan kepada adanya dunia arwah yang harus diambil hati merupakan ajaran sentral dalam Islam Jawa tradisional dan juga dalam pandangan hidup kaum abangan.

Kebanyakan kiai dipercaya, karena penguasaannya atas ilmu-ilmu keislaman, mampu mengusir jin dan menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari dunia gaib. Mereka juga dipercaya lebih mampu dari orang lain dalam menjalin hubungan dengan arwah-arwah orang yang sudah meninggal.

Seorang kiai tarekat merupakan penghubung muridnya dengan seluruh mata rantai guru-guru terdahulu yang bersambung sampai kepada Nabi dan akhirnya Kepada Allah, dan dia adalah penyambung melalui mana berkah mengalir dari arwah-arwah para wali kepada pengikutnya.

Sebagian kiai terkenal sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni, pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara supernatural, dan terdapat banyak cerita tentang kiai yang dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan cara yang menakjubkan misalnya pergi melaksanakan shalat Jum'at ke Mekkah.

Arwah-arwah orang yang sudah meninggal tetap memainkan berbagai peranan dalam kehidupan Muslim Jawa tradisional. Ziarah ke makam orang yang dihormati keluarga dan leluhur, guru, wali dan raja tidak saja dianggap perbuatan yang berpahala besar di kalangan Muslim Jawa tradisional tetapi juga dipercaya mempunyai kegunaan-kegunaan praktis. Dipercaya bahwa pahala, yang diperoleh dari, miscllnya, pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur'an, dapat dipersen?

bahkan bagi arwah-arwah orang yang sudah meninggal. Sebagai balasannya, para arwah tersebut dapat di-
mintai sesuatu, misalnya pertolongan, wangsit, penyembuhan penyakit atau kemandulan. Di kebanyakan pesantren, makam kiai pendiri dan guru-guru lainnya merupakan tempat penting, dan hari kematian sang pendiri selalu diperingati setiap tahun. Dipercaya bahwa makam kiai atau lebih tepat, arwahnya masih dapat memberikan berkah; kehadiran makam menambah legitimasi bagi
pam penerusnya.

Berbagai ritual yang diperuntukkan bagi orang yang baru meninggal juga didasarkan atas kepermyaan bahwa komunikasi semacam itu tetap dapat diialin: Pam rekan dan kerabat berkumpul untuk mengadakan tahlilan dan slametan, yang pahalanya dipersembahkan kepada arwah almarhum. Ziarah dan tahlilan tidak harus menghadirkan kiai, tetapi dipercaya akan lebih afdol jika dipimpin seorang kiai.


KRITIK KAUM PEMBARU TERHADAP ISLAM TRADISIONAL

Ajaran-ajaran Muslim pembaru (reformis) dan modernis abad ke-19 dan ke-20 berlawanan dengan seluruh bangunan kepercayaan dan amalan Muslim tradisionaI. Banyak di antara kepercayaan dan amalan Muslim tradisional dinyatakan sebagai "bid'ah", bukan ajaran asli Islam.

Kaum puritan yang lebih ketat di kalangan mereka mengerahkan segala usaha untuk memberantas semua unsur lokal dalam kehidupan keagamaan dan bahkan sampai soal-soal furu` dalam peribadatan yang tidak pernah diajarkan Nabi.

Salah satu soal furu` menjadi pokok perdebatan sengit adalah niat atau ushalli, pelafalan niat ketika memasuki shalat. Menurut kalangan tradisional, niat ini dinyatakan dengan bersuara, tetapi karena tidak terdapat hadits yang menjadi dasarnya, kaum pembaru berpendirian bahwa niat tidak dilafalkan, hanya di dalam hati.(8)

Kritik paling keras terhadap amalan tradisionalis berkaitan de- ngan hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dunia.

Kaum pembaru menyatakan bahwa kematian berarti berakhirnya komunikasi antar manusia dan upaya-upaya untuk berhubungan dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan apapun, merupakan penyimpangan dari ajaran tauhid.

Mereka secara tegas menolak kepercayaan kepada per tolongan arwah dan bentuk-bentuk kontak spiritual lainnya; pemujaan wali dikutuk sebagai amalan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tahlilan, selamatan dan ziarah yang bagi kalangan tradisionalis merupakan amalan keagamaan yang sangat penting, sangat dibenci oleh kaum pembaru.

Menurut kaum pembaru, satu-satunya amalan yang sah yang dapat dilakukan untuk kerabat yang sudah almarhum adalah berdoa secara langsung kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Pengetahuan tekstual kiai, terutama fiqh ilmu terpenting dalam khazanah keilmuan tradisional, juga diserang oleh para pembaru.

Kaum modernis mempertanyakan relevansinya, kaum puri- tan menyatakan bahwa fiqh banyak mengandung bid`ah. Fiqh tra- disionai menuntut sikap taqlid kepada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam mazhab fiqh ortodoks abad pertengahan di Indonesia, mazhab Syafi`i.

Ajaran-ajaran ini dipelajari melalui berbagai karya yang bersifat ulasan (syarah), dan ulasan atas ulas- an (hasyiyah) atas karya-karya abad pertengahan, yang dalam pandangan pembaru menjadi tabir penghalang antara masa seka- rang dan masa Nabi.

Karena itu, gerakan pembaruan menolak taqlid dan menganjurkan kembali kepada sumber asli, yaitu Al-Qur'an dan hadits, yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat. Mereka juga menunjukkan sikap yang menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional, yang dalam masa formatifnya dipengaruhi oleh Filsafat Yunani serta pemikiran Kristen dan Persia.(9)

Bagi banyak ulama tradisional, kritik tersebut tampak sebagai tidak lain dari serangan terhadap inti ajaran Islam (dan, tentu saja, terhadap kedudulan kiai sebagai pemegang kewenangan keagamaan).

Pembelaan mereka terhadap tradisi-tradisi yang dijunjung tinggi ini membuat mereka semakin ketat memegang tradisi sebagai sebuah ciri kepribadian Mazhab Syafi'i menjadi inti dari tradisionalisme ini (walaupun tetap ada pengakuan terhadap tiga mazhab fiqh Sunni lainnya), tetapi sebagian soal furu' yang ditolak kaum pembaru juga memperoleh makna simbolik sangat penting. Karya-karya tulis para pembaru (dan karya pelopor mereka, seperti ulama puritan abad pertengahan, Ibn Taimiyah) dinyatakan sebagai bid`ah dan diharamkan di pesantren.(10)


LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA: SEBUAH REAKSI ANTI-PEMBAHARU

Sudah seringkali dinyatakan bahwa NU didirikan oleh kiai tra- disionalis yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis.

Pengaruh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas, demikian menurut argumen ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka.

Dikatakan, NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan kiai, vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu.(11)

Tentu saja ada kebenaran dalam tesis ini, walaupun ia gagal menjelaskan kenapa NU didirikan pada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal, ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap kaum pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa. Adalah, terutama, Faqih Hasjim, pedagang dan penyebar aktif paham reformis asal Minangkabau yang menetap di Surabaya pada akhir 1910-an, yang memancing respons keras dari kalangan tradisional.(12)

Ternyata, ketika sejum- lah ulama tradisional di Surabaya membentuk sebuah perhimpunan dan mendirikan sebuah sekolah agama, yang diberi nama Tash-wirul Afkar pada 1924, dilaporkan pada saat itu bahwa mereka melakukannya sebagai reaksi langsung terhadap propaganda Faqih Hasjim.(13)

Tashwirul Afkar umumnya dianggap sebagai cikal-bakal NU hanya karena Kiai Wahab Chasbullah merupakan tokoh penggerak di balik keduanya.

Tetapi Kiai Wahab, sebagaimana akan kita lihat di bawah, aktif dalam berbagai organisasi dan lingkungan intelektual yang ada pada waktu itu, dan juga bekerja sama dengan para pembaru moderat sebelum terjadi perselisihan di 1920-an yang membuatnya mengambil posisi tradisionalis secara lebih tegas. Tidak dapat dibantah, kelahiran NU merupakan bagian dari pola umum reaksi anti-pembaru.

Namun, sebab-sebab langsung berdirinya tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformis-me di Surabaya, dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan kongkret dibandingkan dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaru.

Tujuan-tujuannya berhubungan dengan perkembangan internasional pada pertengahan 1920-an: penghapusan jabatan khalifah, serbuan kaum Wahabi atas Mekkah dan pencarian suatu internasionalisme Islam yang baru. Perkembangan-perkembangan inilah, dan dampaknya bagi kaum muslim Indonesia, yang akan kita soroti terlebih dahulu.


LATAR BELAKANG INTERNASIONAL

Pada Februari 1924, Pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan ini tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru.

Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-18 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia Muslim.

Pada akhir abad ke-19 klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.(14)

 Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam prakteknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggeris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen sekalipun hanya bersifat simbolik semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.

Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husain (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuh- nya Daulah Utsmaniyah pada 1916).

Dia membentuk sebuah dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu'tamar al-hajj) di Mekah pada Juli 1924, de- ngan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an.(15)

Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husain. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, `Abd al-'Aziz ibn Sa'ud, menyerbu Mekkah dan membuyarkan ke- inginan-keinginannya.

Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa'udi, sementara Husain yang sudah melarikan diri keluar negeri tak punya kekuasaan sama sekali.

Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu'ad, calon lain untuk kursi khalifah.

Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridla, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia pada waktu itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.

Dalam pandangan Ibn Sa'ud, persiapan Kongres Kairo, de- ngan kemungkinan terpilihnya Raja Fu'ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz.

Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mek- kah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang urusan haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz.

Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam.

Kedua panitia penyelenggara kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta. Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu dimana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam.

Di tahun-tahun 1922 sampai 1926, para aktifis Muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres AL-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis mungkin terlalu banyak.(16)

Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai masalah khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke kongres Kairo.

Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agus- tus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah.

Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Mekkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rejim Sa'udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan. Tidak satupun dari kedua kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional.

Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridla, adalah salah seorang pe- nyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir.

Bagaimanapun juga, Ibn Sa'ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal.

Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktek keagamaan populer. 

Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat kepada praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang mencemaskan. Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridla di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan wahabi.

Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu'ad da- lam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Ing- gris untuk menguasai Dunia Islam.

Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibn Sa'ud.

Kaum tradisonalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting daripada semua permasalahan khilafah.

Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke Kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibn Sa'ud bahwa dia akan menghormati mazhab-mazhab fiqh ortodoks dan mem- bolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional.

Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah -di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar- sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi kiai biasanya menghabiskan waktu beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana.17 Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika ajaran fiqh Syafi`i dilarang di Mekkah.

Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum Muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting. Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa'ud agar melindungi praktek-praktek tradisional yang tidak mereka setujui tersebut.

Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum Muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itupun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas.

Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kongres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan.(18)

Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah).(19)

Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.(20)

Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan: jika Kongres Al-Islam tidak man menekan Ibn Sa'ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri.

Kiai Wahab Chasbullah, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para kiai terkemuka Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah mazhab dengan Ibn Sa'ud.

Untuk tujuan ini, mereka mem- bentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus.

Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel 'Oelama. Pada masa beberapa tahun awal kehadirannya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya.(21)


KIAI ABDUL WAHAB: SANG PENGGERAK

Walaupun sejak awal Kiai Hasjim Asj`ari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam Nahdlatul Ulama, na- mun tidak diragukan lagi bahwa penggerak di belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah, yang lebih muda hampir dua dasawarsa.

Kiai Wahab adalah pengorganisir yang bersemangat, dan peninjauan singkat terhadap berbagai kegiatannya sebelum pembentukan NU menunjukkan, paling tidak bagi dirinya sendiri, bahwa NU lebih dari sekadar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis.

Ketika dia sedang belajar di Mekkah pada usia dua puluhan tahun, Wahab mendengar kabar tentang Sarekat Islam, organisasi politik Islam pertama di Indonesia, dan dia kemudian mendirikan cabang organisasi ini di Mekkah. Setelah kepulangannya ke Indonesia pada 1914 dia menetap di Surabaya dan juga aktif di Sarekat Islam.

Pada 1916 dia bergabung dengan Mas Mansoer, yang pernah belajar ilmu agama di Kairo dan kelak menjadi aktifis Muhammadiyah.

Mereka bersama-sama mendirikan sebuah sekolah Islam (bukan pesantren atau madrasah!) yang diberi nama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), sebuah lembaga pendidikan yang bercorak nasionalis moderat.(22)

Cabang-cabang lemba- ga pendidikan ini dengan nama-nama yang sama patriotiknya, kemudian didirikan di berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada awal 1920-an, Kiai Wahab juga membentuk organisasi pemuda Muslim, Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

Sebuah organisasi yang sangat berbeda sifatnya yang didirikannya pada 1918 adalah sebuah koperasi pedagang (banyak di antaranya juga kiai) yang diberi nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang).

Dari sebuah kelompok diskusi tentang masalah-masalah yang murni agama, yang dia organisir bersama dengan beberapa ulama tradisional di Surabaya, lahir pada tahun 1919- madrasah yang bernama Tashwirul Afkar.(23)

Pemimpin formal perhimpunan ini adalah KH Ahmad Dachlan.(24)

Dengan demikian, sampai awal 1920-an Kiai Wahab masih aktif dalam berbagai lingkungan sosial dan intelektual sekaligus: Sarekat Islam-nya Tjokroaminoto dengan para aktifis politiknya, para patriot dan pembaru pendidikan Nahdlatul Wathan dan kaum tradisionalis Tashwirul Afkar.

Sekitar 1920, kaum pembaru Muhammadiyah semakin aktif di Surabaya dan merekrut kawan Kiai Wahab, Mas Mansoer. Sejak saat itu, keduanya mempunyai sekolah dan organisasi pemuda masing-masing. Konflik antara kaum pembaru dan tradisionalis sering terjadi, dan mungkin diperburuk oleh perselisihan di antara mereka yang dulu berteman.

Sejak saat itulah Kiai Wahab semakin mengidentifikasi dirinya dengan Islam tradisional. Sebagaimana telah kita lihat, dia adalah juru bicara Islam tradisional terkemuka dalam Kongres-kongres Al-Islam.

 Pada 1924, untuk pertama kalinya dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya, Kiai Hasjim Asj'ari, agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Kongres Al-Islam yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat ulama besar masa lain (taqlid) banyak mendapatkan kritik.

Kiai Wahab tentu saja sudah punya Tashwirul Afkar, tetapi perhimpunan ini sangat belum dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi. Banyak kiai yang enggan ikut dalam perhimpunan itu, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa.

Untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral dari orang yang lebih berwibawa secara keagamaan. Kiai Hasjim Asj'ari, pendiri pesantren Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di Jawa, dan tanpa dukungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi kiai yang solid.

Pada 1924, Kiai Hasjim tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetujuannya. Namun, setelah penyerbuan Ibn Sa'ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggar- an Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab.

Dalam risalah ini ia mengutip beberapa ayat Al-Qur'an yang menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konskuensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi tersebut.(25)


BASIS SOSIAL NAHDLATUL ULAMA

Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU, dipimpin oleh Kiai Hasjim sendiri. Kebanyakan mereka yang hadir dalam rapat tersebut (termasuk Kiai Wahab) menganggap diri mereka murid Kiai Hasjim, karena pernah belajar di pesantren Tebuireng.(26)

Kebanyakan mereka juga adalah kawan-kawan Kiai Wahab dan terlibat bersama Tashwirul Afkar (KH Ahmad Dachlan), Nahdlatul Wathan (Mas Alwi Abdul Aziz, pengganti Mas Mansoer) atau Nahdlatut Tujjar. Nama Nahdlatul Ulama menunjukkan adanya hubungan dengan organisasi-organisasi yang lebih awal ini.

Kita mendapatkan indikasi tentang basis sosial organisasi baru ini dari komposisi pengurus yang pertama (lihat Lampiran II).

Akan tampak bahwa semua anggota pendiri mendapat tempat di dalam kepengurusan ini. Kepengurusan ini terdiri dari unsur ulama dan bukan-ulama, tetapi unsur ulamanya lebih dominan.

Kebanyakan ulama ini tidak semuanya adalah kiai, yang memimpin pesantsen. Salah seorang di antara mereka (Syekh Ahmad Gha- na'im) adalah orang Mesir yang mengajar di Surabaya.

Lebih dari separuh ulama (15 dari 27 orang) bertempat tinggal di Surabaya; sisanya berasal dari Jawa Timur, kecuali satu orang dari Madura, dari Jawa Tengah dan satu orang dari wilayah Cirebon. Semua peserta rapat yang bukan ulama adalah orang Surabaya dan berprofesi sebagai usahawan kecil, kebanyakan adalah pedagang dan tuan tanah.(27)

Mereka yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif (Tanfidziyah), sementara para ulama menjadi badan legislatif (Syuriah). (Secara teoritis Tanfidziyah harus bertanggung jawab kepada Syuriyah). Kiai Hasjim Asj'ari menjabat sampai akhir hayat- nya, sebagai Ketua (Rois) Syuriah.(28)

Kiai Wahab semula menjabat sebagai Sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit menjadi penasehat (mustasyar), namun dalam prakteknya tetap menjadi kekuatan penggerak organisasi ini.

Jika komposisi pengurus awal NU menunjukkan bahwa NU merupakan aliansi strategis antara para usahawan kecil dan kiai (sebagaimana yang banyak terjadi sekarang), muktamar-muktamar (kongres) tahunannya -yang pertama di selenggarakan di Surabaya pada September 1926- jelas menunjukkan bahwa NU lebih merupakan organisasi ulama tradisional.

Hampir tidak ada yang bukan ulama ambil bagian dalam muktamar pertama. Pengurus Tanfidziyah yang bukan ulama nampaknya direkrut organisasi ini karena mereka mempunyai keterampilan penting yang tidak dimiliki ulama, tetapi mereka diharapkan menyerahkan semua keputusan penting kepada ulama.

Kita melihat di sini awal dari dualisme kepemimpinan yang tetap menjadi karakteristik NU sepanjang sejarahnya, dan merupakan sebab bagi banyak konflik yang terjadi.

Untuk menjembatani kesenjangan antara dirinya sendiri dengan sektor-sektor masyarakat yang lain, NU berulang kali harus merekrut, dan memberikan fungsi penting kepada, "orang luar" yang mempunyai keterampilan, pengetahuan dan kontak yang tidak dimiliki lingkungannya sendiri. Tidak mengejutkan, mereka yang direkrut ini seringkali berbeda pandangan tentang kemana NU harus melangkah.

Di samping dua kategori anggota di atas, NU menarik massa pengikut yang dengan cepat bertambah banyak. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing, yang terdiri dari keluarga-keluarga para santrinya dan penduduk desa yang biasa didatanginya untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Paling tidak, ada keinginan mereka untuk "melindungi" para pengikutnya dari pengaruh kuat kaum pembaru yang lebih terorganisir rapi, sehingga kiai tertarik kepada NU. Lama kemudian, setelah NU menjadi sebuah partai politik, barulah mulai disadari bahwa para pengikut desa ini merupakan anggota yang potensial.

Para pengikut kiai yang menjadi anggota NU dan semua orang yang menganut orientasi keagamaan serupa, adalah pendukungnya; dan untuk kepentingan para pendukung inilah NU berbicara dan berbuat; walaupun tidak mengklaim diri sebagai wakil mereka sampai jauh kemudian.

Organisasi Nahdlatul Ulama berkembang pesat. memperoleh banyak sekali pengikut, walaupun hampir tak terorganisir. Muktamar NU ketiga (1928) dihadiri oleh sekitar 200 kiai, sementara pengajian umum yang diadakan pada malam hari menarik pengunjung yang diperkirakan mencapai lima belas ribu orang.(29)

Pada masa itu, tidak ada organisasi lain yang dapat mengumpul sedemikian banyak orang. Seorang pejabat Belanda, sambil mengatakan bahwa rasa ingin tahu pasti ikut mendorong terkumpulnya begitu banyak orang, dengan gembira mencatat bahwa "ada kontras yang tajam antara sekelompok orang yang mendengarkan pidato nasionalistik [Haji Agus] Salim di Pekalongan (yang tidak mereka mengerti) dan jumlah massa sangat besar yang berkumpul di dalam dan di sekitar Masjid Ampel, yang berdesak-desakan untuk mendengar kan sebuah pemerintahan non-muslim dipuji-pUji!"(30)

Satu dasa- warsa sebelumnya, Sarekat Islam berhasil memobilisasi jumlah pengikut yang sama besarnya atau bahkan lebih besar lagi, tetapi dengan cepat pula kehilangan daya tarik massanya. Sebaliknya, pengikut NU terus bertambah. Kerumunan pengikut NU pada akhir 1920-an mungkin dapat disamakan dengan orang-orang yang berduyun-duyun mendatangi Kongres Sarekat Islam pada dasawarsa sebelumnya.

Pada 1934, menurut sumber Belanda, sekitar 400 kiai bergabung ke NU. Sumber Belanda yang lain menyebutkan adanya 68 cabang lokal pada 1935, dengan jumlah pengikut seluruhnya sebesar 67.000 orang.(31)

Tak diragukan lagi, gambaran inilah yang paling mendekati kenyataan; tetapi urutan besarnya sama dengan besarnya anggota Muhammadiyah, yang menurut laporan mempunyai pengikut sejumlah 43.000 pada 1935 dan 250. 000 pada 1938 (Noer 1973: 83).


ANGGARAN DASAR NAHDLATUL ULAMA 

Anggaran dasar formal (Statuten) NU yang pertama dibuat pa- da Muktamarnya yang ketiga pada 1928.

Formatnya, tentu saja, sesuai dsngan undang-undang perhimpunan Belanda; keinginan mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda barangkali merupakan alasan utama dibuatnya sebuah anggaran dasar yang eksplisit dan tertulis. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum (rechtspersoonlijkheid) pada Februari 1930.

Anggaran dasar ini tidak menyebut hubungan dengan Hijaz yang merupakan sebab langsung berdirinya NU.

Ia menyebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaru dan modernis.


Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :

Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: 
"Memegang de- ngan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe- hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan menger- djakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam".


 Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar: 
a. Mengadakan perhoeboengan di antara 'Oelama-'0elama jang ber- mazhab terseboet dalam fatsal 2. 
b. Memeriksai kitab-kitab sebelommja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soen- nah Wal Dja-ma'ah atau kitab-kitabnya Ahli Bid'ah. 
c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik. 
d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam. 
e. Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin. 
f. Mendirikan badan-badan ontoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.(32)


Sikap berpegang teguh kepada salah satu dari empat mazhab fiqh ortodoks merupakan ciri yang secara tegas membedakan kaum tradisionaIis dari kebanyakan aliran pembaru. Kaum pembaru, sebagaimana telah dikatakan, menolak sikap taqlid kepada kitab-kitab skolastik-klasik dan menganjurkan reinterpretasi terhadap sumber pokok Islam, Al-Qur'an dan Hadits.

Mereka mengutuk banyak kepercayaan dan praktek keagamaan tradisional, seperti ritual untuk orang yang sudah meninggal, pemujaan para wali dan ziarah ke makam-makam serta berbagai unsur ibadah. Semua kepercayaan dan praktek keagamaan tradisional ini mendapatkan le- gitimasi dalam kitab-kitab klasik, tetapi dianggap kaum pembaru sebagai penambahan belakangan, yang bertentangan dengan semangat Islam yang sebenarnya.

Dalam pandangan mereka, praktek-praktek tersebut merupakan bid'ah dan karena itu diharamkan. Sebagaimana kita lihat di atas (pasal 3.b) kaum tradisionalis justru membalikkan tuduhan tersebut, dengan menyatakan gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang dianjurkan kaum pembaru sebagai bid'ah.

Demikianlah anggaran dasar NU menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan-gagasan kaum pembaru.

Dalam kenyataannya, sejak lama NU sudah mempunyai sebuah badan sensor yang memutuskan ki- tab-kitab mana yang dianggap mu'tabar, yakni aman dibaca. Muktamar NU pertama menetapkan tidak hanya buku-buku penting mana yang termasuk dalam mazhab fiqh Syafi'i, tetapi juga mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya terdapat fatwa-fatwa yang berbeda.(33)

Namun, harus dicatat bahwa anggaran dasar NU yang pertama ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap semua pendirian kaum pembaru dan modernis.

Dalam prakteknya, tampak bahwa ia mendorong kepada pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif yang coraknya tidak jauh berbeda dari kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh para pembaru. Madrasah. yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada waktu itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan merupakan pembaruan penting dari pesantren tradisional.(34)

Pasal 3.e juga mengemukakan maksud mendirikan panti-panti asuhan yatim, lembaga sosial yang semula diasosiasikan sebagai usaha kaum pembaru.

Bagian terakhir Pasal 3 mengandung nada yang jelas non-tradisional dan nampaknya mencerminkan adanya pengaruh dari ga- gasan-gagasan Sarekat Islam: NU tidak hanya ingin melindungi kepentingan spiritual tetapi juga kepentingan ekonomi para anggotanya.

Dalam Peratoeran Roemah Tangga-nya, yang ditulis beberapa waktu setelah pembuatan anggaran dasar, kita menemukan usulan yang lebih kongkret tentang bagaimana cara mendorong saling tolong menolong, dengan menganjurkan para anggota NU untuk bekerja ke perusahaan anggota lainnya, yang dapat dikenali karena menggunakan logo NU.(35)

Pada akhir 1930-an, NU juga membentuk koperasi sendiri, walaupun tidak pernah berhasil be- sar.(36)

Dapat dimengerti, anggaran dasar tidak menyinggung sikap yang harus diambil terhadap penguasa kolonial dan gerakan nasionalis. Apapun perasaan patriotik yang mungkin dimiliki para tokohnya, mereka mengambil pendirian yang sangat akomodatif sampai akhir pemerintahan Belanda pada 1942.

Sebagaimana ditulis seorang pengamat Belanda mengenai Muktamar kedua NU pa- da 1927: 
"Terlihat seolah-olah ulama ingin masuk ke dalam buku-baik pemerintah, karena hampir tanpa kecuali mereka memberikan pujian yang berlebihan terhadap kebijakan-kebijakan keagamaan pemerintah, dengan berkali-kali menambahkan bahwa tanpa perlindungan dari pemerintah, Islam akan mengalami tekanan berat; dan merela meminta kepada pemerintah melanjutkan kebijakan ini, yakni menjamin kebebasan Islam yang sebenarnya tanpa turut campur dalam aspek-aspek keagamaan aktual. Selama pengajian umum (...) kebijakan pemerintah banyak dipuji-puji sebagai benar-benar tepat, adil dan cocok bagi Islam. Dan perilaku mereka yang ingin menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan politik (ini dialamatkan, misalnya, kepada Partai Sarekat Islam) dikritik."(37)


Referensi:

 3. Sekian banyak orang beranggapan bahwa pesantren hanyalah kelan- jutan dari lembaga pendidikan serupa di masa pra-Islam Anggapan ini tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat, dan ada alasan- alasan kuat untuk mempercayai bahwa corak pesantren yang ada pada abad sembilan belas tidak dapat ditemukan sebelum pertengahan abad delapan belas (Lihat van Bruinessen 1992s).

4. Demikianlah KH Hasjim Asj'ari mendirikan pesantren Tebuireng yang praktis berhadapan dengan pabrik gula Cukir, Jombang selatan, yang konon dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat perintis yang tidak patuh kepada syari'at KH Mohammad Hadi dari Girikusumo. (Lihat Bruinessen 1994:162) mewakili pola yang lain: dia mendirikan pesantren sederhana di sebelah selatan Semarang di tengah-tengah hutan yang dibukanya sendiri.

5. Lihat studi tentang salah satu komunitas semacam ini di wilayah Jom- bang, dalam Fox & Pradjarto 1989. Di sini kalangan santri hampir tampak sebagai kelompok etnis tersendiri: mereka menikah di kalangan mereka sendiri (walaupun orang dapat masuk menjadi anggota komunitas ini melalui pendidikan pesantren), mempunyai spesialisasi ekonorni mereka sendiri (pembuatan nila) dan bertempat tinggal secara terpisah di desa.

6. lihat ingatan (yang meragukan) dari Pangeran Ahmad Djajadiningrat yang kelak menjadi bupeti Banten tentang pengalamannya hidup di pesantren (Djajadiningrat 1908). Alumni pesantren terkenal lainnya adalah Ronggowarsito penyair besar istana Jawa, yang pemikiran mistik singkretisya barangkali banyak diambil dari kitab-kitab tasawuf dipelajarinya di pesantren Tegalsari. Beberapa keluarga besar ulama, ternyata mempunyai hubungan melalui perkawinan dengan keluarga- keluarga priyayi.

7. Kurikulum pesantren sebagaimana yang diajarkan pada abad ke19 digambarkan dalam MARTIN VAN BRUINESSEN 1990b dan 1992c. Untuk'studi yang lebih rinci tentang dunia pesantren lihat Prasodjo 1974, Dhofier 1986 dan 1982, Rahardjo 1985 dan Moosmuller 1989.

8. Sebab kenapa ushalli menjadi soal yang demikian penting antara kaum pembaru dan tradisionalis di Indonesia bersifat sangat kebetulan. Dalam padebatannya dengan kalangan pembaharu di Surabaya, Kiai Wahab ChasbuIlah menyatakan bahwa Al-qur'an dan Hadits saja tidak cukup sebegai sumber untuk ibadah-ibadah yang paling pokok sekalipun, dan beliau menyebutkan pelafadzan ushalli sebagai unsur ibadah yang ditetapkan melalui ijma' (kesepakatan ulama belakangan) Hal ini kemudian menyebabkan kalangan pembaru menolak ushalli sama sekali. A. Hassan yang kemudian menjadi pemimpin Persis berjuang gigih untuk memurnikan agama setelah beberapa kali berdiskusi dengan Kiai Wahab pada tahun 1924 (Noer 1973 : 86-87; Pijper 1977 : 121).

9. Ini tentu saja merupakan gambaran yang terlalu sekilas tentang perbedaan-perbedaan penting antara kepercayaan Para pembaru dan tradisionalis, dan tidak dapat secara adil menggambarkan berbagai ragam pendirian pembaru. Studi-studi terbaik yang menggambarkan secara umum aliran-aliran pembaharu di Indonesia dan kritik mereka terhadap Islam tradisional adalah Noer 1973 dan Pijper 1971. Un- tuk studi antropologis yang sangat bagus tentang padebatan yang masih berlangsung antara kaum pembaru dari berbagai aliran dan Muslim tradisional pada tingkat lokal di Aceh Tengah yang sangat banyak kemiripinnya dengan perdebatan yang sebelumnya terjadi di Jawa pada abad ini, lihat Bowen 1993

10. Pedebatan tentang ijtihad versus taqlid dan perkembangan Islam tradisional menjadi tradisionalisme Muslim yang fanatik dibicarakan secara lebih luas dalam artikel saya "Tradisions for the future" (van Bruinessen, akan terbit).

11. Ini adalah penjelasan tentang lahirnya NU yang diberikan beberapa penulis seperti Benda, Wertheim dan Geertz. Ada juga jenis penjelasan ynag lebih cenderung menyatakan adanya konspirasi, yang pernah sangat populer di lingkungan para pembaru. Menurut tesis ini, penguasa Belandalah, karena melihat Muhammadiyah dan Sarekat Islam mengancam pemerintahan Belanda atas Hindia, yang -melalui usaha-usaha Ch.O. van der Plass yang legendaris mendorong berdirinya NU yang apolitik dan kooperatif untuk melemahkan organisasi-organisasi Muslim yang lebih radikal. Teori ini sudah diabailan karena dianggap tidak berdasar oleh tidak kurang dari Deliar Noer, Sejarawan Islam modernis Indonesia terkenal (1973:234-5n), dan oleh ilmuwan pditik terkemuka, Alfian (dikutip dalam Irsyam 1984:18) tetapi masih ada saja penganutnya.

12. Faqih Hasjim adalah murid pembaharu Minangkabau terkenal Haji Rasul (Haji Abdul Karim Am- rullah, ayah Hamka). Faqih Hasjim tiba di Surabaya pada paruh kedua 1910-an dan berdakwah menyerang praktek-praktek tradisional, seperti tahlilan dan ritus-ritus untuk orang yang sudah meninggal lainnya, juga menyerang soal-soal furu` dalam ibadah tradisional yang dianggap bid'ah oleh kaum pembaru, seperti pelafalan ushalli (Noer 1973:226-7; Schrieke 1919).

13. Ini diceritakan oleh Penasehat Pemerintah Belanda untuk Urusan Pribumi, B.J.O. Schrieke, yang megunjungi Surabaya dan Madura pada 1919 untuk mensurvei keadaan gerakan-gerakan keagamaan di sana. Lihat Schrieke 1919.

14. Rakyat Aceh, misalnya, minta bantuan Turki ketika mereka berperang melawan Belanda pada awal abad ke 19, atas dasar bahwa mereka sebelumnya mengakui Sultan/Khalifah sebagai penguasa mereka. Sebagian jemaah haji yang kembali dari Mekkah membawa bendera Daulah Utsmaniyah sebagai simbol kesetiaan mereka kepada Khalifah. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, berusaha meyakinkan orang-orang sesama Eropanya bahwa Khalifah bukanlah sejenis Paus dan klaim para Sultan Utsmaniyah atas gelar tersebut palsu (lihat artikelnya dalam Verspreide Geschriftennya jilid III); bdk. artikel tentang "khalifah" yang lebih obyektif, oleh Dominique Sourdel, dalam Encyclopaedia of Islam). Kebanyakan Muslim mempunyai pikiran yang berbeda dan penghapusan jabatan khalifah menimbulkan kecemasan yang madalam.

 15. Kongres-kongres ini dan berbagai perkembangan berikutnya, yang membawa kepada terbentuknya badan-badan internasional permanen seperti Liga Dunia Islam (Rabitat al-`Alam al-Islami menjadi obyek tiga studi baru-baru ini: Kramer 1986, Schulze 1990 dan Landau 1990.

16. Sampai sekarang belum ada studi serius tentang Kongres-Kongres Al-Islam ini; Pengamatan singkat dalam Benda 1958 dan Noer 1973 masih merupakan studi yang terbaik. Dua laporan Belanda kontemporer yang menyebut-nyebut kongres-kongres ini diterbitkan dalam Kwantes 1978:188-195 dan 321-327. Lihat juga Amelz 1952:163-175.

17. Lihat Studi Snouck Hurgronje yang tak tertandingi tentang komunitas Indonesia (Jawah) yang menetap dan mempelajari ilmu agama tradisional di Mekkah (Snouck Hurgronje 1889). Perkembangan-perkembangan pada masa belakangan di Mekkah digambarkan sekilas dalam van Bruinessen 1992c.

18. Kiai Wahab Chasbullah, juru bicara kaum tradisionalis paling vokal, berhalangan hadir pada Kongres ini karena kematian ayahnya (Anam 1985:52-52). Namun, sebelum kongres para pemuka kaum pembaru sudah tidak bersedia meluluskan permintaan kaum tradisionalis, dan seandainya Kiai Wahab hadir sekalipun tidak mungkin akan menghasilkan peruhahan.

19. Daftar utusan pada Kongres Mekkah (dalam Schulze 1990:82) menunjukkan bahwa di samping dua uturan ini masih ada empat utusan Indonesia lagi. Dua di antara mereka adalah orang Indonesia yang bermukim di Mekkah, Muhammad al-Baqir (ulama tradisional asal Yogyakarta) dan Jenan Thayyib (pembaru Minangkabau. yang memimpin sebuah sekolah Indonesia di Mekkah). Dua lainnya 'Umar Naji dan Muhammad bin Thalib, mewakili organisasi keturunan Arab reformis di Indonesia, Al-Irsyad.

20. Lihat daftar utusan pada Kongres Kairo dalam Schulze 1990:77-8; bdk. Kramer 1986:95-6. Anam (1985:53) keliru ketika mengatakan bahwa mereka juga ikut dalam Kongres Mekkah. Hamka menggambarkan pengalaman-pengalaman ayahnya yang tidak menyenangkan di Kairo dalam Ayahku (Hamka 1982: 155-160). Tentang Abdullah Ahmad, lihat juga Hamka 1982:277-279.

21. Cerita yang tidak jauh berbeda tentang latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama diberikan dalam Aboebakar 1957:463-73; Noer 1973:222-34; Anam 1985:33-56. Utusan yang terpilih, Kiai Asnawi dari Kudus dan Kiai Bisi Sjansuri dari Jombang, tidak pernah berangkat karena masalah logistik. Baru dua tahun kemudian, Kiai Wahab Chasbullah sendiri dan Kiai Ahmad Ghanaim, seorang ulama Mesir yang mengajar di Surabaya, berangkat ke Mekkah dan diterima Ibn Sa`ud.

22. Kaum nasionalis dan Muslim modernis Indonosia seringkali membuat gambaran satu sisi mengenai NU sebagai kaum konservatif dan reaksioner. Sejarawan Nasionalis, A.K. Pringgodigdo, dalam surveinya mengenai gerakan nasionalis Indonesia (1950), hanya menyebut NU untuk mengkritik rendahnya kadar nasonalismenya. Para apolog NU. di pihak lain, berkali-kali mengklaim bahwa patriotisme sejak semula merupakan kekuatan pendorong berdirinya organisasi ini. Mereka tidak dapat mendukung klaim ini dengan banyak bukti kontemporer, tetapi nama sekolah ini adalah indikasi bahwa Kiai Wahab paling tidak juga didorong oleh kesadaran nasional tertentu. Sebuah indikasi yang lebih jelas lagi adalah nyanyian patriotik yang ditulis Kiai Wahab dalam bahasa Arab, yang biasa dinyanyikan oleh para murid di sekolah tersebut. Teks nyanyian dan terjemahan Indonesianya, yang agak dibumbui, dapat ditemukan dalam Anam 1985:25-6. Menurut beberapa sumber yang simpatik, Kiai Wahab juga ambil bagian dalam Indonesische Studieclubnya Dr. Soetomo, sebuah kelompok diskusi kaum intelektual nasionalis yang dibentuk pada 1924 (Anam 1985: 31).

23. Schrieke, yang mengunjungi Surabaya pada 1919, diberitahu oleh informan Arabnya bahwa Tashwirul Afkar terdiri dari para haji dari Ampel, benteng Islam tradisionalis di Surabaya Utara.

24. Jangan dikacaukan dengan pendiri Muhammadiyah asal Yogyakarta, yang juga bernama Ahmad Dachlan. Dia adalah kawan Kiai Wahab yang memimpin sebuah pesantren di Kebondalem, Surabaya.

 25. Risalah ini dikenal dengan Muqaddimah Qanun Asasi. Sebuah terjemahan bahasa Indonesianya terdapat dalam hasil-hasil Muktamar NU 1984(PBNU 1985a:121-132). Sejauh yang saya ketahui, belum pernah diungkapkan bahwa risalah ini sebenarnya merupakan satu contoh langka dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama tradisional.

26. Anam (1985:1n) memberikan sebagian daftar mereka yang hadir pada rapat tersebut. Daftar itu sedikit berbeda dengan daftar anggota pengurus yang pertama, yang konon dibentuk dalam rapat yang sama (Anam 1985:6~70). I)aflar yang terakhir yang lebih lengkap dimuat dalam buku ini (Lampiran II).

27. Saya belum menemukan profesi semua pendiri yang disebut dalam daftar 1926, tetapi pada tahun 1937 sejumlah mereka datang ke hadapan seorang notaris Belanda untuk mendaftarkan sebuah yayasan. Waqfiyah NU. Dari sebelas anggota pengurus yang hadir sebagai saksi, lima di antaranya adalah guru agama (Kiai Hasjim Asj`ari, Kiai Abdullah Faqih, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Sjansuri dan Kiai Muhammad Nur), empat tuan tanah kota ("huizenverhuurder"), seorang pedagang dan seorang juru tulis percetakan. Lihat Statuen dan Reglement Stichting Waqfijah Nahdlatoel Oelama Soerabaja dimuat sebagai lampiran IX dalam Anam 1985. Kiai Wahab, walaupun didaftar ini disebut guru agama, juga mendapatkan penghasilan utamanya dari usaha percetakannya di Surabaya.

28. Dalam perjalanan waktu, gelar ini mengalami perubahan; Kiai Hasjim Asj`ari disebut Rois atau Rois Akbar (Ketua Tertinggi); para penggantinya diberi gelar Rois Aam (Ketua Umum), sementara istilah Rois diturunkan nilainya dan digunakan untuk wakil-wakil Rois Am.

 29. Goverment Report on Nahdlatul Ulama, 1928". dalam Penders 1977:270-2. Choirul Anam, yang menggunakan sumber-sumber NU, megatakan bahwa 260 kiai ikut serta dalam muktamar, yang mewakili 35 cabang dari seluruh Jawa dan Madura (Anam 1985:76).

30. Penders 1977:271-2. Namun satu dasawarsa sebelumnya Sarekat Islam telah berhasil mengumpulkan orang kurang lebih sama banyaknya, jika justru tidak lebih banyak. Kongresnya yang pertama, di Surabaya tahun 1913, didatangi sekitar tujuh sampai sepuluh ribu orang dan organisasi ini memperoleh puluhan ribu anggota pada tahun pertama kehadirannya (Korver 1982: 190). Dan pada sekitar tahun 192O, gerakan keagamaan populer Islam Abangan merekrut, konon, sampai 120 ribu pengikut di kawasan Surakarta saja. (Kartodidjo, 1473: 131-2).

31. Encyclopaedia van Nederlansch-Indie dan Indisch Verslag 1936, keduanya dikutip dalam Bousquet 1938:21.

32. Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel-'Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche Courant 25 Februari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam 1985.

33. "Government Report on Nahdatul Ulama, 1928" (Penders 1977:271). Teks keputusan tersebut dapat ditemukan dalam Ahkam al-Fuqaha: Kumpulan Masalah-2 diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 (Semarang:Toha Putra, t.t), hal. 7-8. Tentang kitab fiqh tersebut dan urutan keutamaannya. Lihat van Bruinessen 1990b:244-8.

34. Di Indonesia, istilah madrasah biasanya merujuk kepada sekolah-sekolah agama yang didirikan dengan adanya ruang-ruang kelas, penjenjangan kelas dan sebuah kurikulum yang baku; ia berbeda dengan pesantren tradisional, dimana para santri dapat menetap dalam waktu lama untuk mengaji satu atau lebih kitab di bawah bimbingan seorang kiai. Pada abad ini, banyak madrasah didirikan di pesantren yang sudah ada, dan metode pendidikan bergaya lama dan modern dipakai secara basamaan. Sekarang istilah madrasah juga berarti sekolah dimana mata-mata pelajaran umum diajarkan di samping mata pelajaran agama (pamerintah mensponsori sebuah kurikulum madrasah di mana 70 persen waktu diperuntukkan bagi mata pelajaran umum): tidak jelas apakah istilah madrasah sebagaimana di dalam Anggaran dasar NU mempunyai arti yang sama. Kebijakan pendidikan Muhammadiyah lebih radikal: lebih mengarah kepada usaha mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa daripada madrasah. Tentang sejarah pembaruan pendidikan dan madrasah pertama di Indonesia, lihat Steenbrink 1974, terutama hal. 33-46.

35. Salah satu dari lima "departemen" yang akan dibentuk di dalam NU yang menangani berbagai tugas organisasi ini mengkhususkan diri mengurusi masalah bisnis (lihat teks dalam Anam 1985, Lampiran Para anggota yang memproduksi barang-barang sederhana seperti pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain diperkenankan memasarkan barangnya dengan nama "Nahdlatul Ulama", dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya mereka harus manbaikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Kiai didorong madirikan toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan di pesantren; departamen ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan bisnis mereka, dan para usahawan didorong menjual barang-barang mereka ke toko-toko ini dengan persyaratan yang lebih mudah.

36. Tentang koperasi-koperasi ini (Sjirkah Mu'awanah), yang didirikan tahun 1937, lihat catatan kecil oleh Noer 1973:232-3.

37. "Government Report on Nahdatul Ulama, 1928" (Penders 1977:271).

(PCINU/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: