Pesan Rahbar

Home » » Ibadah Qurban dan Haji; Bukti Kecintaan Makhluq Kepada Khaliq (Sang Pencipta)

Ibadah Qurban dan Haji; Bukti Kecintaan Makhluq Kepada Khaliq (Sang Pencipta)

Written By Unknown on Tuesday, 18 October 2016 | 23:06:00

Ali Syariati Berhaji

Sejak 17 November 2007 ini, calon jama’ah haji asal Indonesia mulai berbondong-bondong mendatangi kota Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah rukun Islam kelima. Selasa, 11 Desember ini pun merupakan awal dari bulan Dzulhijjah (bulan yang memiliki fungsi waktu untuk berhaji) 1428 hijriah. Alhasil, sepuluh hari selanjutnya merupakan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban.

Pada bulan penuh agung tersebut, setidaknya ada dua ibadah yang menjadi ritual umat Islam, yaitu: ibadah haji dan ibadah qurban.

Haji menurut bahasa ialah berkunjung, karena dalam ibadah ini seorang muslim mengunjungi dua masjid agung nan mulia: Masjid al-Haram (baitullah, tempat beradanya ka’bah) di Makkah dan Masjid an-Nabawiy di Madinah. Dalam al-Quran terdapat surat khusus yang membahas prosesi ibadah haji, seperti ihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan mencukur rambut. Surat itu ialah surat al-Hajj (surat ke-22 dalam al-Quran).

Salah ayat dari surat al-Hajj yang secara pasti menegaskan perintah berhaji ialah ayat ke-27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Q.S. al-Hajj [22] 27).

Pada ayat tersebut secara eksplisit (tersurat), bahwa haji merupakan ibadah yang disyaria’tkan kepada yang mampu (lihat QS. Ali Imran [3] : 97). Ini pula sesuai dengan bunyi salah satu hadits nabi tentang pondasi Islam (H.R. Muslim tentang rukun Islam).

Melaksanakan ibadah haji bagi umat Islam di Indonesia merupakan ibadah bagi kalangan ekonomi menengah ke atas, karena biaya untuk menyelenggarakannya pun terbilang mahal. Biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun ini saja mencapai U$D 2.959,1 (sekitar Rp 28.000.000). meskipun ada orang menengah ke bawah yang melaksanakan haji, mungkin ia menjual rumahnya (HAJI HALIMA; Haji Hasil Menjual Rumah), mungkin ia menjual sawah (HAJI WAHYU; Haji Menjual Sawah yang layu), bahkan bisa jadi mereka hasil gusuran tanah (HAJI MANSUR; Haji karena Rumah-Bangunan tergusur). Namun, di antara mereka ada pula yang berhaji hingga berkali-kali, ini karena diberangkatkan haji atas biaya dinas atau dihajikan (HAJI KOSASIH = Haji Ongkos dapat ngasih atau HAJI ABIDIN = Haji atas biaya dinas).

Itulah ibadah yang terbilang unik dan menarik. Bahkan, untuk menjalankan ibadah haji, tidak sedikit yang menabung bertahun-tahun, atau ada pula yang membaca wirid dan surat-surat tertentu. Tapi, ada anekdote yang menarik, menurut seorang teman, ada surat yang paling manjur dan bisa membawa kita pergi haji. Surat yang harus dibaca itu ialah surat tanah kemudian dijual. J


Hikmah Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah klasik dan masih bertahan hingga saat ini. Pada dasarnya, prosesi dalam ibadah haji merupakan hasil dari simbolisasi perjalanan heroik Nabi Ibrohim, Nabi Ismail (‘alaihimaa al-Salaam), dan Sayyidatuna Hajar. Sebagai contoh, sa’i (berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah), merupakan gambaran sejarah ketika Siti Hajar (ibunda Isma’il) mencari air minum untuk anaknya itu.

Hajar adalah isteri kedua dari Nabi Ibrohim As. Ia dinikahi karena isterinya yang pertama belum membuahkan putera. Nabi Ibrohim pun menikahi Hajar, yang merupakan pelayannya. Setelah Ibrohim mempunyai putera dari Hajar, ia pun membawa isteri dan puteranya ke kota Makkah. Di sana, keduanya ia tinggalkan dengan memberi bekal makan dan minum secukupnya. Saat Isma’Il kecil menangis kehausan, sang ibu pun berlari-lari mencari air. Ia pun bolak-balik antara bukit Shafa dan bukit Marwah sebanyak tujuh balik. Inilah bukti bahwa prosesi ibadah haji merupakan ibadah simbolisasi dari perjuangan Nabi Ibrohim As dan keluarganya.

Sekarang timbul pertanyaan, mengapa ibadah haji mencontoh perilaku sejarah Nabi Ibrohim? Karena Ibrohim merupakan bapak para Nabi dan bapak monoteisme, yang mengajarkan ketauhidan kepada Allah Swt.

Ada hikmah lainnya yang menarik. Sejak para tamu-tamu Alloh meninggalkan tanah air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan dan lain sebagainya. Di sana tak ada lagi diskripsi kerena perbedaan golongan, jenis, pangkat, suku ataupun ststus sosial. Yang ada hanyalah pertujukan secara komunal kebrsamaan dan yang memegang peranan dalam pertunujkan ini adalah masing-masing pelaksana ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama. Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual dan seremonial ibadah haji ini, adalah pada tanggal 9 Dzul-Hijjah, ketika mereka melakukan wukuf di padang Arafah. Tanpa wukuf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah idadah hajinya. Rasulullah s.a.w menegaskan dalam sabdanya : Haji adalah wuquf di Arafah. (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Bagaimana hikmah bagi yang tidak melaksanakan ibadah Haji? Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, ada sebuah hikmah yang tak kalah penting. Tatkala di antara kita mengantarkan sanak-saudara-handaitolan untuk berangkat haji, seakan-akan mereka akan meninggalkan kita selamanya. Isak tangis dan haru pun mewarnai kepergiannya. Kita pun serasa tidak merelakan kepergiannya. Bahkan, seorang anak yang masih berusia delapan tahun, ketika ia akan ditinggalkan sang ibu pergi haji, sang anak pun menangis tak henti-hentinya. Apa maksudnya? Ini menandakan betaa rasa ikhlas kita sedang diuji. Ikhlas-kah kita ketika ditinggalkan orang-orang tercinta untuk berhaji? Dan seberapa besar pula rasa cinta para calon jama’ah haji terhadap Alloh, sehingga mereka ikhlas meninggalkan orang-orang tercinta? Ingat, tiada kata cinta tanpa pengorbanan penuh keikhlasan.


IBADAH QURBAN

Setiap ibadah pasti ada hikmahnya, meskipun tidak semua orang dapat mengetahui hikmah tersebut melalui penalaran akal pikirannya. Hanya Allah sendiri yang mengetahui rahasia dan hikmah seluruh ajaran agama yang diturunkan-Nya. Hikmah-hikmah Allah sendiri tersebut ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain (QS Ali Imran, 3:7)

Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran:

“… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj, [22]:36)

Hikmah selanjutnya adalah dalam rangka menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak agama monoteisme (Tauhid), Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap puteranya yang emenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan takwanya yang tinggi dan murni, kemudian megganti puteranya Ismail yang akan dikurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37:107).

Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah s.w.t. dan dengan setulusnya bersaksi dahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar,Maha Esa, Maha Perkasa dan sifat kesempurnaan lainya.

Kebahagiaannya yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56)

Di samping itu semua, Hari Raya Qurban-pun merupakan Hari Raya yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter yang dialami sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.


Dimensi Keikhlasan Setiap Ibadah

AGAMA mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah Qurban. Karena hanya dengan niat yang terikhlalah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5)

Dalam kaitan dengan ibadah qurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang diqurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaan pelaksana qurban itu (QS Al-Haj, 22:37). Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan qurban itu, tetapi mental ketaqwaan ini tidak akan tumbuh di hati yang bersih dan ikhlas.

Ibadah qurban mempunyai hikmah untuk membersihkan hati agar menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya iman dan taqwa. Dengan demikian, dimensi keikhlasan sudah seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan manusia, agar manusia mengorientasikan kehidupannya semata-mata untuk mencapai ridha Allah s.w.t. Dengan ikhlas beramal, berarti seseorang membebaskan dirinya dari segala bentuk rasa pamrih, agar amal yang diperbuat tidak bernilai semu dan bersifat palsu. Dengan keikhlasan, seseorang dapat mewujudkan amal sejati. Kesejatian setiap amal diukur dari sikap keikhlasan yang melandasinya. Dan kesediaan berqurban yang dilandasi rasa keikhalan semata-mata, dapat mengurangi atau mengekang sifat keserakahan dan ketamakan manusia untuk berlaku serakah dan tamak, namun kecenderungan itu dapat dieliminir dengan membangkitkan kesadarannya agar bersedia berqurban untuk sesamanya. Kesediaan berqurban mencerminkan adanya pengakuan akan hak-hak orang lain, yang seterusnya dapat menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi.

Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Oleh karenanya orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemasyarakatan, dianggapsebagai pendusta agama(QS Al-Ma’un, 107:1-3). Karena ibadah haji dan Idul Qurban kali ini datang di saat sebagian besar kaum muslimin sedang dalam kesulitan ekonomi, maka mari kita manfaatkan momen ini untuk mawas diri dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Fastabiqul-khairat. Maka kita berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.


Dua Ibadah penuh rasa cinta

Bagi kaum muda maupun tua, cinta adalah rasa paling berharga. Bagi seorang ibu, betapa pun jeleknya muka anaknya, misalnya, namun sang ibu tetap mencintainya sebagai darah dagingnya. Ia pun tetap mengurusinya penuh keikhlasan. Bagi seorang suami, cinta merupakan perekat dan pengikat hubungannya dengan sang isteri. Cinta berbeda dengan suka. Suka hanya bersipat tiba-tiba, instant (praktis), dan mudah hilang. Sedangkan cinta merupakan kecocokan jiwa dan hati, selalu terbenam dalam hati, dan untuk menjaganya diperlukan pengorbanan penuh keikhlasan.

Manusia sebagai makhluq, diciptakan oleh Allah Swt. Sebagai makhluq, kita senantiasa menghambakan diri kepadaNya penuh cinta dan keikhlasan. Bahkan, dengan kecintaan Ibrohim kepada Allah Swt., ia ikhlas mengorbankan putera yang dicintainya. Padahal, di satu sisi Ibrahim mencintai puteranya (karena umur 80an tahun baru dkaruniai utera), dan di sii lain ia harus membuktikan kecintaannya pada sang Khaliq. Akibat engorbanannya itu, ia dijuluki Khalilullah.

Haji dan qurban, merupakan dua ibadah pembuktian kecintaan dan keikhlasan kita kepada sang Khaliq. Ingat, tidak akan pernah ada kata cinto tanpa ada pengirbanan.

Wallohu a’lam bish-shawab.

(Komma-Bogor/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI