Dan dengan upaya baik-Mu yang dengannya Engkau mengalahkan segala sesuatu. Dan dengan kemuliaan-Mu yang tak tertahankan oleh segala sesuatu. Dan dengan kebesaran-Mu yang memenuhi segala sesuatu. Dan dengan kekuasaan-Mu yang mengatasi segala sesuatu.
Penafsiran Etimologis
Kata jabr (upaya baik) memiliki arti pembenahan terhadap sesuatu dengan menggunaan kekerasan. Oleh karena itu, para raja yang memaksa dan menguasai masyarkat sehingga mampu melaksanakan berbagai program-programnya disebut dengan jâbir atau jabâr ini jika raja-raja tersebut menegakkan keadilan dan memperhatikan hak-hak masyarakat.
Namun pabila mereka menguasai masyarakat secara lalim dan kejam mereka disebut dengan jabbâr; orang yang amat lalim dan kejam.
Kata jabrût juga merupakan kata dasar (isim mashdar) dari kata jabr, sedangkan tambahan huruf wauw adalah untuk penegasan (ta’kîd). Dalam hal ini, Allah memiliki kekuasaan yang haq dan Penebus kekalahan serta Yang Membenahi segala perkara. Karenanya, Dia disebut dengan Jabbâr dan Jâbir. Dalam doa, juga disebut dengan, “Wahai Yang Menebus kekalahan!” Allah Swt berfirman:
Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mahasuci, yang Mahasejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Memelihara, yang Mahaperkasa, yang Mahakuasa, yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sekutukan. (al-Hasyr: 23)
Sementara, kata ‘izzah (kemuliaan) memiliki arti sebagai sebuah kondisi yang ada pada setiap orang yang dapat mencegahnya dari kekalahan. Allah befirman:
Dan sesungguhnya Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijak. (al-‘Ankabût: 26)
SebagiaIi besar kala ‘izzah digunakan sebagai lawan dari kata dzillah (kehirtaan). Karena itu, seseorang yang berhasil menguasai hati atau banyak hati orang lain, ia disebut dengan ‘azîz. Sifat ini banyak sekali digunakan dalam al-Quran. Allah berfirman:
Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepad orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesunggungnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘Imrân: 26)
Kata ‘izzah juga berarti berharga dan tak tertandingi. Allah Swt berfirman:
Dan sesungguhnya al-Quran adalah Kitab yang amat berharga dan tak tertanding. (Fushshilat: 41)
Selain arti tersebut kata ‘izzah juga memiliki berbagai arti lain.
Sementara itu arti dasar dari kata ‘adhamah (kebesaran) adalah kokoh dan kuat. Oleh karena itu tulang yang terbungkus oleh dagian disebut dengan adhm. Juga segala sesuatu yang secara lahiriah dan makna memiliki arti yang besar. Begitu juga ‘adhîm adalah seseorang, yang akal tak mampu mengetahui hakikatnya.
Sementara kata sulthân (kekuasaan) memiliki arti kekuasaan, dari sisi kemenangan Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan-Nya. Sesungguhnya kekuasaannya hanya terhadap orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (al-Nahl: 99-100)
Oleh karena itu argumentasi dan penjelasan juga disebut dengan sulthân karena menguasai hati dan akal. Allah wt berfirman:
Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata. (al-Mu’min :23)
Syarah dan Penjelasan Tentang Jabarût (Upaya Baik) Allah
Maka kata ini dapat dilihat dari sisi di mana Allah memiliki kekuasaan yang hakiki terhadap segala sesuatu selain-Nya sebagaimana penguasaan pencipta tehadap ciptaannya. Allah Swt berfirman :
Katakanalah, “Wahai tuhan yang memiliki kerajaan …” (Ali ‘Imrân:26)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya … (al- Mâidah:120)
Mahasuci Allah yang di tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis ... (al-Mulk: 1-3)
Masih banyak ayat lain yang berisikan pembahasan seperti itu. Lantaran keberadaan segala sesuatu berasal dari-Nya dan dinisbahkan kepada-Nya; Dia yang Menguasai penguasaan sesuatu terhadap yang lain dan Dia menguasai secara haq (benar) terhadap selain-Nya (berbagai ciptaan-Nya), maka Dia adalah Jabbâr takwînî (Penguasa, penciptaan). Dan lantaran hukum dan pemerintahan hanyalah milik Allah, maka ayat berikut ini menegaskan:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (al-An’âm: 57)
... bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan (hukum). (al-Qashâsh: 70)
Hanya Dia-lah yang paling layak dan berhak untuk membuat hukum dan ketentuan. Dengan demikian, hukum dan ketentuan haq yang ada di tengah masyarakat berasal dari-Nya. Selain Dia, tidak satupun yang berhak untuk mengeluarkan sebuah produk hukum, undang-undang, atau keputusan. Keputusan dan hukum yang datangnya dari selain Dia adalah sebentuk kelaliman. Dengan demikian, dari sisi tasyri’î, Dia juga Jabbâr.
Benar, Allah adalah pihak yang menebus kekalahan, kegagalan usaha, membenahi berbagai perkara, Pemberi kesempurnaan pada berbagai jiwa, Pemenuh berbagai kekurangan dan Penyempurna kekurangsempurnaan dalam usaha, Pengubah kelemahan menjadi kekuatan, Pengubah kefakiran menjadi kecukupan, kehinaan menjadi kemuliaan, kelemahan menjadi kekuatan, dan seterusnya. Dengan demikian, Diaadalah Jabbâr, yang berasal dari kata dasar jubrân (menebus, mengganti).
Setiap orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki semua sifat-sifat itu, maka ia adalah Jabbâr, tetapi yang berasal dari kata dasar jabr yang artinya adalah zalim dan kejam. Sebab, ia telah mengenakan pakaian Allah; dan perbuatan semacam ini adalah sebuah perbuatan syirik. Ya, syirik adalah perbuatan zalim dan kejahatan amat besar. Allah Swt berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Alhasil seseorang yang mengeluarkan sebuah hukum yang berdasarkan pada hukum Allah―dan ia adalah orang yang ditunjuk Allah―pada hakikatnya hukum yang dikeluarkannya adalah hukum Allah sebagaimana seseorang yang menyiapkan sebuah sarana yang dapat membenahi aktivitas dan perilaku masyarakat adalah seorang yang amat mulia di sisi Allah. Ia merupakan perantara; tidak salah jika kita katakan bahwa ia adalah orang yang menutupi kekurangan pada masyarakat.
Alkisah, seorang dermawan bernama Khuzaimah mengalami musibah dan jatuh miskin serta terlilit hutang. ‘Akrumah gubernur al-Jazair waktu itu, mengetahui kondisi yang tengah menimpa Khuzaimah. Ia kemudian memberikan sekantong dinar kepadanya. Khuzaimah memaksa ‘Akrumah agar memperkenalkan dirinya, namun ‘Akrumah bertahan untuk tidak mengenalkan dirinya. Namun akhirnya ia berkata, “Sayalah yang menutupi kekurangan dan saya dermawan.”
Setelah Khuzaimah menunaikan hutang-hutangnya ia pun mendatangi sang Khalifah (waktu itu) dan menceritakan kejadian yang telah dialaminya. Kemudian Khalifah menunjuknya sebagai gubernur di al-Jazair seraya berkata, “Jika Engkau berhasil berjumpa dengan orang dermawan yang (mampu) menutupi kekurangan (orang lain), kenalkanlah ia kepadaku.”
Sesampainya di al-Jazair, ia bertemu dengan ‘Akrumah dan memeriksa kekayaan yang ada ternyata terdapat kekurangan. Ia lalu memenjarakan ‘Akrumah, Selang beberapa hari, isteri ‘Akrumah mendatangi Khuzaimah dan berkata, “Inikah balasan bagi orang yang menutupi kekurangan lagi dermawan?” Khuzaimah menjadi tersadar akan perbuatannya dan menyadari siapa orang yang telah dijebloskannya ke dalam penjara. Ia lalu minta maaf dan mendatangi sang Khalifah serta minta maaf. Khuzaimah kemudian menyerahkan kembali jabatannya kepada ‘Akrumah.
Ringkasnya, manusia mampu menutupi berbagai kekurangan dan menjadi dermawan, namun pada dasarnya ia adalah perantara. Allah-lah yang menutupi dan memenuhi berbagai kekurangan dan Dia-lah yang Mahadermawan.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kalimat ini kata jabarût mengandung pengertian bahwa Allah secara takwînî adalah Penutup dan Pemenuh kekurangan, dan ini bersandarkan kalimat doa yang berbunyi, “...yang dengannya Engkau kalahkan segala sesuatu.”
‘Izzah (Keperkasaan) Allah
Allah Swt adalah Mahaperkasa, lantaran Dia menguasai segala ciptaan; Dia Mahamenang dan tak terkalahkan. Ada kemungkinan, ungkapan Imam Ali, “yang tak tertahankan oleh sesuatu”, merupakan sebuah pertanda bahwa ungkapan kalimat ini memiliki arti bahwa Allah adalah Zat yang tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Oleh karena itu, dari berbagai sisi Dia adalah Esa dan Tunggal. Dengan demikian, tidak ada satupun selain Dia yang kekal dan abadi.
Mungkin juga, artinya adalah bahwa Allah memiliki kekuasaan secara tasyri’î (hukum dan syariat) terhadap berbagai ciptaan dan hati; baik ciptaan-Nya yang kecil maupun yang besar; dari bumi hingga berbagai lapisan langit, semua mencintai-Nya. Allah berfirman:
Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan. (Syûrâ: 53)
Oleh karena itu, secara fitriah, tidak satupun ciptaan yang menentang-Nya; bahkan semuanya merunduk, merendah, dan tunduk kepada-Nya.
Dalam pada itu, penggunaan kata kull (semua) dalam kalimat ini bukan tanpa arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, jika kita saksikan bahwa Allah menyatakan bahwa keadaan manusia adalah: Binasalah manusia; alangkah amat sangat keKafirannya [3], (maka itu berarti bahwa) manusia akan melampaui batas dan akan melarikan diri dari Allah lantaran kelaliman dan kebodohannya sendiri. Padahal fitrahnya tidak mendorongnya untuk berbuat semacam itu. Dengan demikian, sesuatu yang hilang (dari manusia) itu adalah Allah, sebagaimana yang telah dipaparkanpada mukadimah doa. Dan manusia mengira bahwa sesuatu yang hilang itu bukanlah Allah, namun sesuatu yang lain.
Keagungan Allah
Berkaitan dengan ‘adhamah (keagungan) Allah Swt dan bukti mengenai keagungan tersebut adalah bahwa apa saja yang dinisbahkankepada-Nya akan menjadi besar dan agung. Segala sesuatu yang memiliki hubungan erat dengan-Nya, akan semakin kuat, agung, dan besar. Misal, Rasul Mulia saww yang lantaran memiliki hubungan yang erat dengan Allah Swt, beliau menjadi makhluk yang paling mulia, sempurna, besar, dan agung. Karena itu, beliau menjadi perantara (wasîlah) bagi turunnya rahmat dan karunia Ilahi.
Alhasil, segala sesuatu itu menjadi agung dan besar sebatas kedekatannya dengan kebesaran Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang merupakan akibat (ma’lûl) dari Allah, memiliki kebesaran dan keagungan. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam Kitab suci-Nya:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar ia termasuk orang-orang yang yakin. (al- An’âm: 75)
Ya, dengan pemahaman bahwa keberadaan segala sesuatu bersandar dan bergantung kepada Allah, Dia tunjukkan apa yang ada pada diri Nabi Ibrahim as. Sebab, kerajaan (malakût) merupakan keberadaan berbagai ciptaan yang dari sisi penisbahannya adalah kepada Allah serta keberlangsungannya amat bergantung kepada-Nya. Begitu juga, berbagai ciptaan ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang agung karena semua itu adalah tanda-tanda dan kalimat Allah Swt. Allah berfirman:
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) lalu ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah itu, niscaya tidak akan habis (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijak. (Luqman: 27)
Benar, kalimat tersebut merupakan tanda-tanda Allah dan kebesarannya. Dengan demikian, berbagai ciptaan tersebut merupakan dalil dan bukti bahwa Dia Mahabesar dan Mahaagung. Dengan demikian, ungkapan doa yang berbunyi, “Dan dengan kebesaran-Mu yang memenuhi segala sesuatu,” artinya adalah bahwa Allah Swt adalah Mababesar dan Mahaagung. Keagungan serta kebesaraan-Nya meliputi segala yang ada di alam ini. Lantaran keberadaan alam ini bergantung kepada-Nya dan Dia yang Mahaagung, dan lantaran alam wujud ini merupakan tanda-tanda dan kalimat-Nya, maka semuanya menjadi besar dan agung pula. Selain itu, secara substansial, kalimat itu sendiri adalah besar dan agung.
Kekuasaan (Sulthân) Allah
Kata sulthân dan mulk memiliki arti yang berdekatan; dalam al-Quran dan buku-buku doa kedua kata ini memiliki arti yang dekat dan hampir sama. Namun, kata-kata ini, tatkala digunakan untuk Allah Swt, memiliki perbedaan dari sisi arti dan pemahaman dengan penggunaannya pada selain Allah.
Penjelasannya adalah bahwa sulthân (kekuasaan) dan mulk (kerajaan) yang ada pada menusia merupakn perkara yang bersifat tidak hakiki (i’tibârî) dan bersifat peletakan (wadh’î) sifat semacam itu diletakkan menusia pada diri seseorang untuk keperluan tertuntu yang pada dasarnya tidak memiliki bentuk nyata di luar (mishdâq). Penggunaan kata-kata tersebut sebagaimana telah saya katakana benar-benar tepat manakala disandarkan kepada Allah. Sebab, Dialah Pemilik dan Penguasa segala sesuatu sebagaimana kepemilikan pencipat atas ciptaannya. Ini sebagaimana kepemilikan menusia terhadap dorongan nafsu dan perbuatannya, sekalipun semuanya itu tetap berasal dari-Nya, bergantung kepada-Nya, dan tidak mandiri. Oleh karena itu, tatkala mata melihat (sesuatu), pada dasarnya yang melihat adalah jiwa (ruh) yang memandang dengan perantaraan mata. Dialah yang membri izin kepada mata untuk dapat melihat selain itu proses “melihat” itu sendiri merupakan aktivitas jiwa (ruh).
Ringkasnya makna dari sulthân dan mulk yang dinisbahkan kepada Allah adalah kembali pada sifat qayyûm (mandari) dan segala sesuatu tidak akan mampu berdiri sendiri kecuali dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya. Inilah arti dari kekuasaan-Nya terhadap segala sesuatu. Sungguh mustahil jika yang dimaksud dalam kekuasaan di sini adalah kekuasaan yang bersifat tak hakiki (i’tibârî). Arti sebenarnya dari kekusaan (sulthân) adalah bahwa kekuasaan-Nya lebih tinggi, lebih benar, dan lebih sempurna dari selain-Nya. Dialah Penguasa segala penguasa, Dialah Raja dari segala raja, dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Kemungkinan besar itulah yang dimaksud oleh firman Allah ini:
Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (Âli ‘Imrân:26)
Tidaklah jauh kemungkinannya pabila sulthân di sini diartikan sebagai dalil dan petunjuk, sebagaimana yang tercantum dalam doa bahwa dia adalah dalil dan petunjuk bagi keberadaan Diri-Nya. “Wahai Burhân ! Wahai Sultân!”
Dalam doa al-Shabah tertulis, “Wahai Yang Menunukkan Zat-Nya dengan perantaraan Zat-Nya.” Dan dalam doa Abu Hamzah al-Tsumali tertulis, “Dengan-Mu aku mengenal-Mu, dan Engkau menunjukkanku kepada-Mu dan Engkau. Dan sekiranya bukan karena-Mu maka aku takkan dapat mengenal-Mu.”
Dalam doa ‘Arafah disebutkan, “Bagaimanakah menunjukan kapada-Mu sesuatu yang keberadaannya butuh kepadamu-Mu? Adakah selain-Mu yang lebih jelas yang tidak ada pada-Mu, sehingga ia diperlukan untuk menjelaskan (keberadaan)Mu? Kapankah Engkau bersembunyi, sehingga diperlukan suatu petunjuk yang menunjukkan (keberadaan)Mu? Dan kapankah Engkau jauh, sehingga tanda-tandalah yang kan mengantarkan kepada-Mu? Sungguh buta, mata yang tidak mampu melihat Engkau sebagai Pengawas, dan merugilah hati seorang hamba yang tidak mampu merasakan curahan kasih dan sayang-Mu.”
Maksudnya adalah bahwa keberadaan-Mu merupakan burhan (petunjuk) dan petunjuk ini lebih luas dan lebih jelas sebab burhan yang itu adalah burhan limmî sedangkan burhan yang ini adalah burhan innî. [4]
Referensi:
3. Abasa : 17.
4. Burhan limmi adalah tatacara brargumentasi dari sebab (illah) menuju akibat (ma’lul) sedangkan burhan inni adalah dari akibat menuju sebab.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email