Pesan Rahbar

Home » » Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab V: Wajah Tuhan

Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab V: Wajah Tuhan

Written By Unknown on Thursday, 20 October 2016 | 22:11:00


Dan dengan wajah-Mu yang kekal, setelah fana segala sesuatu. Dan dengan asma-Mu yang memenuhi tonggak segala sesuatu. Dan dengan ilmu-Mu yang mencakup segala sesuatu. Dan dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari segala sesuatu.


Penafsiran Etimologis

Kata wajh memiliki arti rupa, wajah, atau gambar dari sesuatu. Adakalanya penyebutan kata itu adalah untuk mengungkapakan zat (substansi) dari sesuatu dan kedangkala untuk mengungkapakan gambar atau bentuk sesuatu. Dapat pula itu memilki arti sesuatu yang dijadikan titik pandang ataupun sesuatun yang menjadi pusat perhatian.

Sementara kata fanâ’ memiliki arti kebinasaan dan kemusnahan. Penggunaan kata itu pada umumnya dimaksudkan untuk pengungkapan kebinasaan secara lahir segala sesuatu. Karena itu seorang yang mati secara lahiriah ia fanâ’

dan binasa, lantaran secara lahiriah ia tidak memiliki aktivitas lagi. Terkadang, penggunaan kala fanâ’ adalah untuk menjelaskan suatu keberadaan yang senantiasa bergantung, bersandar, dan membutuhkan kepada yang lain dan tidak berdiri sendiri. Itulah berbagai perkara yang sifatnya “mungkin” yang secara substansial (zatî’) tidak memiliki kekuatan. Bahkan dapat dikatakan sebagai fakir dan miskin sepenuhnya.

Kata ism memiliki arti nama atau tanda. Tujuan penggunaannya adalah untuk mengungkap si pemilik nama atau tanda. Sebagai contoh, tatkala dikatakan, “Zaid datang,” maka tujuan dari kata Zaid dalam kalimat ini adalah si pemilik nama itu. Terkadang, tujuan pengungkapan kata tersebut adalah untuk memperhatikan nama, sebutan, dan tanda itu sendiri. Misal, ketika kita mengatakan, “Nama si fulan adalah Zaid.”

Kata ilm (ilmu) merupakan sesuatu yang diketahui. Adakalanya ilmu bersifat syuhûdî (penyaksian) atau hudhûrî (kehadiran), yaitu ilmu tentang sesuatu yang telah ada dalam diri dan dapat dirasakan secara langsung oleh diri. Terkadang juga, ilmu bersifat hushûlî, yaitu ilmu yang dipetoleh melalui berbagai gambaran yang ada di luar diri. Ilmu jenis ini disebut orang dengan ilmu hushûlî atau ‘aradhî (aksiden). Dengan demikian, pabila penyebutan ilmu bertujuan untuk mengungkapkan berbagai hakikat dari bentuk yang ada dalam diri, maka itu disebut dengan ilmu hudhûrî. Sementara, jika bertujuan untuk mengungkapkan bentuk yang ada di luar diri atau wujud luar diri, itu disebut dengan ilmu hushûlî atau ‘aradhî, yang pada hakikatnya bukanlah ilmu.

Kata nûr (cahaya) adalah sesuatu yang secara zatî (sub- stansial) adalah nampak (terang) danmenampakkan (menerangi) yang lain selain dirinya. Oleh karena itu, wujud (keberadaan) dan nûr (cahaya), selain berdiri sendiri, juga menjaga dan menjelaskan keberadaan yang lain, dengan pengertian bahwa keberadaan yang lain bergantung padanya.


Syarah dan Penjelasan tentang Baqâ’ (Kekal) dan Fanâ’ (Musnah)

Di sini, persoalannya sudah cukup jelas sehingga kita tidak membutuhkan pembahasan bahwa Zat Wajib al-Wujûd (keberadaan yang wajib, pasti), yakni Zat Allah Swt, adalah hidup. Juga, (tidak membutuhkan pembahasan) bahwa hidup adalah kekekalan Zat-Nya dan merupakan Zat-Nya itu sendiri. Cukup jelas juga bahwa mumkin al-wujud (keberadaan yang mungkin) adalah ketiadaan, keterbutuhan, dan kebergantungan. Dengan demikian. kehidupannya bergantung kepada sesuatu yang lain selain dirinya. Itulah yang ditegaskan oleh firman Ilahi ini:

Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup kekal yang senantiasa berdiri dengan sendiri-Nya. (al-Baqarah: 255)

Dengati demikian, arti ungkapan doa yang berbunyi, “dan dengan wajah-Mu yang kekal setelah fana segala sesuatu,” adalah bahwa kekekalan dan keabadian khusus bagi Zat Allah Swt. Selain itu semuanya akan musnah dan binasa. Ungkapan doa ini sama persis dengan firman Allah:

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). (al-Qashâsh: 88)

Dan juga memiliki kesamaan dengan firman Allah:

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (al-Rahmân: 26-27)

Boleh jadi, yang dimaksud (ungkapan doa itu) adalah arti yang terakhir, yang lebih dekat dibanding arti yang pertama. Yakni, bahwa dunia ini adalah tempat berbagai sebab dan angan-angan. Beragam sebab dan angan-angan ini telah membuat manusia lalai terhadap hakikat perkara yang ada. Betapa banyak manusia yang merasa bahwa dirinya merdeka dan tidak tergantung, namun tatkala kematian menghampiri, barulah disadari bahwa semua itu hanyalah khayalan dan nampak jelaslah hakikat keberadaan manusia yang sesungguhnya.

Dengan demikian, kebinasaan atau kemusnahan (fanâ’) yang hakiki adalah kemusnanan kemerdekaan manusia dan berbagai sebab yang ada, bukan ruh, manusia. Sebab, ruh manusia tidak mati, tetapi berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Allah Swt berfirman:

(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” Hanya kepunyaan Allah yang Mahaesa lagi Maha Mengalahkan. (al-Mu’min: 16)

Dengan demikian, arti kalimat tersebut adalah bahwa “wajah” Allah akan senantiasa kekal dan tidak akan musnah. Selain Dia, akan musnah dan binasa serta akan mengalami kematian. Allah Swt juga mengisyaratkan ucapan orang-orang tidak beriman, yang berprasangka bahwa harta dan kekuasaan mereka memiliki manfaat dan keuntungan bagi mereka: Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang dariku segala kekuasaan. (al-Hâqqah: 28-29)

Alkisah, Harun al-Rasyid, tatkala di ambang kematian, membaca ayat tersebut berulang-ulang hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu, alangkah beruntung orang yang mengakui dan menyadari kekekalan Zat Ilahi yang Mahasuci dan menyadari bahwa segalanya akan musnah dan binasa kecuali yang ada di sisi Allah. Celakalah orang yang hingga ajal menjemputnya melalaikan kenyataan ini.

Rasul Mulia saww bersabda, “Barangsiapa yang memasuki waktu pagi dan semangatnya hanya dicurahkan untuk urusan dunia dan tidak memiliki (membangun) hubungan dengan Allah, maka Dia akan menanamkan dalam hatinya empat perkara: angan-angan yang tidak ada habis-habisnya, kefakiran yang tiada berkecukupan,harapan yang tidak akan tercapai, dan merasa bencana yang tidak akan ada habisnya.”


Nama Allah

Nampaknya,yang dimaksud di sini dengan asmâ’ (nama- nama) adalah sifat sedangkan yang dimaksud dengan ism adalah musammâ (pemilik nama). Segala sesuatu yang ada di alam wujud ini merupakan penampakan sifat Zat yang Mahaagung. Dengan demikian, sifat ini merupakan penjaga dan pemelihara berbagai penampakan tersebut. Karenanya, segala sesuatu mampu berdiri lantaran keberadaan sifat-sifat itu. Dan hahya Dia-lah yang mandiri dan hidup. Selain Dia adalah fakir, miskin, dan butuh.

Inti pembicaraan kita (di sini) adalah bahwa Zat yang Mahasuci, adakalanya menampakkan (Diri) dalam sifat rahmaniyyah (Kasih) dan adakalanya menampakkan (Diri) dalam sifat rahimiyyah (Sayang). Kadangkala menampakkan (Diri) dalam sifat qahhariyyah (Mengalahkan) dan terkadang pada sifat ‘adhamah (Keagungan), pada sifat hilm (Kesabaran), dan seterusnya.

Berdasarkan ungkapan di atas, berbagai sifat tersebut memenuhi tonggak dan asas segala sesuatu. Namun, dari sudut pandang lain, Zat-Nya, yang Mahasuci yang memenuhi asas segala sesuatu. Oleh karena itu, Dia adalah Mahamandiri dan selain Zat-Nya seluruhnya bergantung dan butuh kepada-Nya, sebagaimana sang fakir dapat tetap hidup lantaran keberadaan Sang Mahakaya.

Mungkin juga yang dimaksud dengan asmâ’ (nama-nama) adalah nama-nama Ahlul Bait (Nabi saww). Mengapa? Karena mereka merupakan perantara bagi tercurahnya anugerah dan karunia Ilahi. Berkenaan dengan penafsiran firman Allah: Hanya milik Allah al-asmâ’ al-husnâ (nama-naina yang terbaik) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asmâ’ al-husnâ itu,[5] dalam riwayat disebutkan, “Demi Allah, kami (Ahlul Bait) adalah nama-nama Allah yang terbaik.”

Kemungkinan, penafsiran ini merupakan sebuah penafsiran yang sangat mendekati kebenaran.

Di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada penafsiran yang lebih tepat selain bahwa nama-nama itu adslah Ahlul Bait. Dengan demikian, maksud dari nama-nama (al-asmâ’) adalah tanda-tanda (‘alâmah) dan bukan pemilik nama (musammâ). Sebab, Ahlul Bait adalah tanda-tanda Ilahi, sebagaimana dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nama-nama (al-asmâ) adalah bukti-bukti (âyât).

Maksud nama-nama tersebut adalah berbagai kata yang menunjuk pada Zat Allah yang Mahasuci. Dalam hal ini, urafa’ (para ahli ma’rifah) serta para ulama ilmu huruf dan angka, memiliki berbagai pendapat sekaitan dengan masalah ini, dan ini keluar dari pembahasan kita. Tidak diragukan lagi bahwa nama-nama tersebut memang memilki pengaruh besar bagi upaya pembehahan berbagai hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana, kalimat al-Quran merupakan cahaya yag mampu menerangi hati. Dan, huruf-huruf yang ada pada nama itu merupakan cahaya yang dapat menyinari hati. Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orangyang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cdhaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Mâidah: 15-16)

Kami mengenal orang-orang yang mampu menyaksikan cahaya al-Quran. Ada seorang yang hidup sezaman dengan saya, yang tidak mengenal huruf (buta huruf). Namun, berkat karunia Waliyullâh yang agung, Imam Mahdi―semoga Allah menyegerakan kehadirannya―ia dapat menghafal dan mengenal al-Quran melalui huruf-huruf (sinar-sinar) yang dipancarkan oleh tulisan yang ada dalam Kitab Suci tersebut.


Ilmu Allah Swt

Tatkala kita meyakini bahwa Allah Swt adalah Zat yang Maha Mengetahui dan tidakada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya, baik yang materi maupun yang non-materi, maka hal ini cukup jelas dan tidak memerlukan pembahasan lagi. Allah Swt berfirman: .

Tidak ada yang luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar biji zarrah di bumi ataupun di langit. (Yunus: 61)

Tidak tersembunyi dari Dia seberat zarrah pun apa yang ada di langit dan di bumi. (Sabâ’: 3)

... dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu. (al-Thalâq: 12)

Setelah kita mengetahui bahwa ilmu Allah adalah Zat-Nya, maka dengan demikian Dia Mengetahui segala sesuatu. Allah Swt berfirman:

Ingatlah, bahwa sesungguhnya (ilmu)Nya meliputi segala sesuatu. (Fushshilat: 54)

... dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (al-Nisâ’: 126)

Sampai di sini jelaslah bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, baik dari sisi Zat maupun ilmu, bukan sebagaimana yang terjadi pada makhluk. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Berada di dalam sesuatu (tetapi) tidak seperti masuknya sesuatu ke dalam sesuatu. Berada di luar sesuatu (tetapi) tidak seperti keluarnya sesuatu dari sesuatu.”

Kemahakuasaan-Nya adalah mandiri (qayyûm). Dengan demikian, Dia, baik secara Zat maupun ilmu, adalah mandiri dan tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Semua selain Dia adalah fakir, miskin, dan butuh.

Tidak diragukan lagi bahwa ilmu semacam itu adalah ilmu -hudhurî dan penyaksian yang sebenar-benarnya (syuhûdî haqîqî). Jika seseorang benar-benar memahami duduk persoalan ini, cukup baginya untuk mencegah diri dari keterjerumusan pada kesalahan. Oleh karena itu, al-Quran secara berulang kali menyatakan bahwa Allah melihat perbuatan yang dilakukan manusia dan Dia mengetahui apa yang terjadi pada seluruh manusia. Dia mengetahui semua perbuatan yang dilakukan setiap makhluk-Nya dan tidak sesuatu pua yang terbebas dari pantauan-Nya.

Diriwayatkan, seseorang yang telah melakukan dosa datang menemui Imam Ja’far al-Shadiq dan mengeluhkan tentang ketidakmampuannya dalam meninggalkan perbuatan dosa. Imam al-Shadiq memperingatkannya dengan nasihat berikut, “Pertama, jika Anda hendak bermaksiat kepada Allah, bermaksiatlah di mana Dia tidak melihat Anda. Kedua, bermaksiatlah di tempat yang bukan milik-Nya. Ketiga, bermaksiatlah dan janganlah Anda menggunakan rezeki-Nya. Keempat, bermaksiatlah jika Anda mampu menahan malaikat maut untuk tidak mencabut nyawa Anda, atau Anda mampu menahan malaikat penjaga neraka tidak memasukkan Anda ke dalam neraka.” Setelah mendengar peringatan dan nasihat ini, pria tersebut bertobat dan berhenti melakukan perbuatan maksiat.


Cahaya “Wajah” Allah

Yang dimaksud dehgan cahaya di sini adalah keberadaan yang mungkin (wujûd imkânî), yang disebut sebagai anugerah Ilahi, kun (jadilah) rahmâni, rahmat rahmaniyyah, perbuatan Allah (fi’lullah), penampakan Zat, dan seterusnya. Semua keberadaan berasal dari cahaya Allah Swt dan merupakan penampakan-Nya. Pabila tidak demikian, maka semuanya akan berada dalam kegelapan dan kebinasaan. Dan pabila dalam berbagai benda terdapat cahaya yang menyinari, maka cahaya tersebut berasal dari keberadaan dan penampakan-Nya.

Oleh karena itu, arti kalimat tersebut adalah sebagai berikut. Semua ciptaan yang ada di alam ini dapat menjadi ada (lantaran) melalui perantaran sebuah keberadaan (wujud) dan keberadan tersebut merupakan perbuatan Allah Swt, penampakan-Nya, dan cahaya-Nya, yang itu adalah Zat-Nya.

Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan “cahaya wajah Allah” (nûru wajhillah) adalah hakikat Ahlul Bait. Sebab, mereka adalah sebaik-baik ciptaan dan merupakan makhluk yang paling layak disebut dengan wujûd (ada) ketimbang yang lain. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam riwayat, “Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya muhammad. Sesungguhnya mereka adalah dari cahaya yang satu.”

Secara umum, tidak masalah pabila maksud “cahaya wajah-Mu” adalah Ahlul Bait yang mulia, sebagaimana, yang tercantum dalam mukadimah doa ini dan yang terdapat pada pembahasan tentang keharusan untuk ber-tawassul kepada Ahlul Bait adalah lebih tepat. Meskipun, berdasarkan urutan kalimat yang ada, nampaknya kemungkinan ini sangat jauh.


Referensi:

5. Al-A’raf : 180

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI