Wahai Nûr (Cahaya)! Wahai Yang Mahasuci! Wahai Yang Awal dari segala yang awal. Wahai Yang Akhir dari segala yang akhir.
Penafsiran Etimologis
Cahaya adalah sesuatu yang dengannya kita dapat mengetahui sesuatu yang lain. Cahaya sendiri secara subestansial adalah sesuatu yang terang dan jelas. Baik cahaya tersebut bersifat lahiriah―seperti cahaya matahari―ataupun bukan―seperti akal dan ilmu―keduanya disebut dengan cahya. Dan ketika cahya tersebut adalah cahya lahiriah seperti cahaya matahari maka itu juga dapat disebut dengan cahaya.
Sebab dengan perantaraan keduanya kita dapat mengetahui hal-hal yang rasional (ma’qûl) dan yang tidak diketahui (majhûl). Ilmu dan akal sendiri merupakan suatu hal perkara yang jelas dan terang.
Sementara itu kata Quddûs (Yang Mahasuci) merupakan bentuk mubâlaghah yang memiliki arti maha atau sangat, yang asal katanya adalah quds yang berarti suci dan bersih dari cacat dan kekurangan. Dia adalah Zat yang Quddûs.
Dalam pada itu, kata Awwal (Yang Awal) dikatakan pada suatu yang berdasarkan masa, waktu, dan peringkat, tidak ada sesuatupun (yang mendahului) sebelumnya. Sedangkan kata Âkhir (Yang Akhir) dikatakan untuk sesuatu yang berdasarkan masa, waktu, dan peringkat, senantiasa ada, sekalipun selainnya telah hancur dan musnah. Allah Swt adalah Yang Awal dan Yang Akhir, namun tidak berdasarkan perhitungan masa atau waktu, tetapi dalam peringkat dan urutan. Insya Allah, permasalahan ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Syarah dan Penjelasan Nûr (Cahaya)
Kata Nûr dan Quddûs merupakan dua kata di antara nama-nama Allah dan sebutan bagi zat Allah yang Mahasuci yang dalam doa ini berasal dari ayat al-Quran. Allah Swt berfirman:
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (al-Nûr: 35)
Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Mahasuci, yang Mahasejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Mahaperkasa, yang Mahakuasa, yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-Hasyr: 23)
Dalam beberapa ayat al-Quran yang dimaksud (awal dan akhir) adalah dua penyifatan bagi Allah Swt sedangkan dalam doa ini kedua kata tersebut merupakan kata benda nama (isim ‘alam). Oleh karena itu ia tidak menggunakan tanwîn tetapi menggunkan alif dan lam. Nama “Yang Awal” (al-Awwal) dan nama “Yang Akhir” (al-Akhir) diambil dari ayat al-Quran. Allah Swt berfirman:
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Hadîd:3)
Dengan demikian Allah Swt adalah cahaya sebab keberadaan segala sesuatu selain-Nya bergantung dan terikat kepadanya berkata keberadaan-Nya-lah segala sesuatu menjadi ada dan keberadaan-Nya merupakan keberadaan (wujud) yang substansial (zatî) sebagaimana cahaya secara substansial adalah jelas dan terang serta meneangi yang lain Allah Swt juga berdasarkan keberadaan substansial-Nya adalah jelas terang dan menerangi yang lain.
Allah Swt adalah cahaya dari sisi bahwa segala sesuatu selain-Nya dapat diketahui lantaran keberadaan-Nya sedangkan keberadaan-Nya dapat diketahui dengan keberadaan zat-Nya sendiri. Oleh karena itu dengan zat-Nya (Dia) menunjukkan keberadaan-Nya sendiri dan zat-Nya diketahui dengan perantaraan zat itu sendiri dan segala sesuatu (menjadi) dapat dikenali dan diketahui.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam doa Shabahnya dan Imam Husain dalam doa ‘Arafahnya mengisyaratkan masalah ini dan itu telah tercantum dalam pembahasan sebelumnya.
Selain itu Allah Swt adalah cahaya lantaran dia adalah petunjuk bagi penciptaan (takwînî) dan syariat (tasyri’î). Dia adalah penunjuk dan pembimbing dari berbagai sisi. Imam Ali al-Ridha berkenaan dengan penafsiran ayat: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, [6] berkata, “Dia adalah penunjuk bagi penghuni langit dan bumi.”
Bentuk-bentuk Bimbingan
Allah Swt memiliki sebuah petunjuk dan dan bimbingan secara penciptaan (takwînî), yang Dia isyaratkan dalam Kitab suci-Nya:
Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada segala sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk. (Thâhâ:50)
Adapula petunjuk yang bersifat syariat (tasyri’î) yakni memberikan jalan yang lurus. Hal ini juga tercantum dalam kitab suci-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus ada yang bersyukur dan ada pula yang Kafir. (al-Insân: 3)
Dan dia juga memiliki petunjuk berupa perhatian khusus kepada kelompok tertentu, yang itu juga tercantum dalam kitab suci-Nya:
... petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (al-Baqarah: 2)
Dan yang demikian itu telah mencapai tujuan yang diinginkan Allah. Jelas, bahwa upaya untuk meraih petunjuk tersebut berasal dari upaya sang hamba itu sendiri dan semua jenis petunjuk datangnya dari Allah. Dengan demikian, Dia adalah Penunjuk, dalam pengertian bahwa dia adalah Cahaya.
Mahasuci (Quddûs)
Pabila Allah adalah keberadaan murni, anugerah total, dan kesempurnaan di atas berbagai kesempurnaan, maka Dia sama sekali tidak memiliki cacat dan kekurangan. Sebab, cacat dan kekurangan merupakan ciri khusus keberadaan yang mungkin (mumkin al-wujud).
Yang Awal dan Yang Akhir
Mungkin dua nama ini dapat ditafsirkan sebagai berikut Allah Swt dengan penguasaan-Nya terhadap segala sesuatu, adalah Pertama dan Akhir, Dhahir dan Batin. Oleh karena itu sesuatu yang kita anggap sebagai “pertama”, maka dia telah ada sebelum itu dan sesuatu yang kita anggap sebagai “akhir”, maka dia masih ada setelah itu. Sesuatu yang kita dianggap sebagai “jelas” maka dia lebih jelas dari itu dan sesuatu yang kita anggap “paling tersembunyi”, maka Dia jauh “lebih tersembunyi” dari itu. Mengapa demikian? Sebab, Dia aalah Maha Berkuasa dan Mahamandiri serta ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Juga, itu dapat ditafsirkan sebagai berikut. Dia adalah “Yang Awal” lantaran Dia telah ada sebelum keberadaan selain-Nya dan tidak ada sesuatupun yang ada sebelum keberadaan-Nya. Dan, Dia adalah “Yang Akhir” lantaran Dia akan Yang Paling Akhir. Setelah kemusnahan dan kebinasaan segala sesuatu selain-Nya, hanya Dia-lah yang akan tetap ada dan kekal abadi. Dia disebut dengan Dhahir (Yang Nampak) adalah lantaran Dia adalah Cahaya yang secara substansial Dia adalah Nampak; berbagai perbuatan-Nya menunjukkan keberadaan-Nya. Dan Dia disebut dengan Bathin (Yang Tersembunyi) adalah lantaran berbagai sesuatu yang paling kecil (tersembunyi) tidak akan mampu mengetahui Zat dan Hakikat-Nya.
Nama-nama itu juga dapat ditafsirkan seperti ini. Bahwa yang dimaksud dengan Awwal dan Akhir, Dhahir dan Bathin adalah bahwa dalam satu rumah tidak ada yang lain selain pemilik rumah. Oleh karena itu, “keberadaan” hanyalah Dia, sedangkan yang lain hanyalah semacam gambaran atau “bayang-bayang”-Nya. Oleh karena itu, dari sisi perumpaman, Dia disebut dengan “Yang Awal dan Yang Akhir”.
Jelas, bahwa kalimat tersebut berisikan ungkapan dan pembicaraan dari peminta (da’iy), yaitu sang hamba yang hina, kepada Zat yang dipinta (mad’uw), yaitu Allah Swt. Namun, di sini tidak disebutkan berbagai perkara yang dipinta atau sesuatu yang dijadikan sebagai sumpah (mad’uwun bihi). Ini dalam istilah disebut sebagai menggantungkan hukum pada sifat, yaitu ada sebuah permohonan tersembunyi di balik seruan tersebut. Pemohon dan peminta meyakini bahwa tidak ada yang akan mengabulkan permintaan dan permohonan tersebut selain Zat-Nya yang Agung. Karena itu, dalam hal ini, tidak perlu diungkapkan bentuk permintaan tersendiri.
Takala sang pendoa berkata, “Wahai Yang Maha Pengasih!” pada dasarnya ada doa yang terselip di dalamnya, “Kasihanilah kami!” Dalam doa ini pun demikian. Tatkala disebutkan, “Wahai Nûr! Wahai Yang Mahasuci! Wahai Yang Awal dari segala yang awal. Wahai Yang Akhir dari segala yang akhir,” maka pada dasarnya di dalamnya berisi permohonan, “Sinarilah hatiku dan urusanku serta bebaskanlah aku dari berbagai kesalahan dan cela dari hatiku, serta bantulah aku dalam urusan dunia dan akhiratku. Wahai Yang Mahakuasa! Tolonglah aku dan bebaskanlah aku!”
Referensi:
6. Al-Nûr : 35
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email