Pesan Rahbar

Home » » Kisah Persahabatan Jakarta dan Moskow: 65 Tahun Pasang-Surut Relasi Dua Negara

Kisah Persahabatan Jakarta dan Moskow: 65 Tahun Pasang-Surut Relasi Dua Negara

Written By Unknown on Sunday, 5 February 2017 | 05:14:00

Sejak resmi menjalin hubungan diplomatik di tahun 1950, barulah enam tahun kemudian Presiden RI Soekarno menginjakkan kaki di Uni Soviet. Sejak kunjungan itulah, hubungan persahabatan antara kedua negara terus berkembang. Namun, itu tak berarti bahwa hubungan antara kedua negara tidak pernah mengalami kemunduran.

Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow, Juni 1961. (Foto: RIA Novosti)

Awal Terbukanya Pintu Hubungan Diplomatik

Prof. Dr. Aleksander Guber (1902 – 1971) adalah seorang sejarawan dunia dan sekaligus pendiri sekolah penelitian ilmiah mengenai Indonesia dan Filipina.

Nama ”Indonesia” sudah dikenal di Uni Soviet lama sebelum Indonesia merdeka. Dalam buku karangan Aleksander Guber yang ditulis pada 1933, nama “Indonesia” sudah tercantum. Saat itu, Indonesia sebenarnya masih disebut Hindia Belanda, namun Uni Soviet memilih menyebut negara ini sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh para pejuang Indonesia.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. Perjuangan menjaga kemerdekaan tidak otomatis selesai setelah proklamasi. Belanda dan pihak sekutu berusaha untuk merebut Indonesia dengan melancarkan agresi-agresi militer.

Di tengah tekanan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, sejarah mencatat Uni Soviet, Ukraina, Belarus, dan sekutu-sekutu Uni Soviet di PBB secara konsisten mengecam keras agresi Belanda terhadap Indonesia.

Meskipun pada masa itu Belarus dan Ukraina adalah bagian dari Uni Soviet, tapi Uni Soviet memiliki tiga perwakilan di PBB, yaitu Uni Soviet, Ukraina, dan Belarus.

Pada 1948, Uni Soviet berupaya membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Republik Indonesia. Bahkan, perwakilan Indonesia dan Uni Soviet pernah menandatangani kesepakatan di Praha, Ceko. Namun, kesepakatan tersebut dibatalkan karena Indonesia mendapat tekanan kuat dari Belanda.

Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky. (Foto: Wikipedia)

Pada 24 Desember 1949, Uni Soviet menerima informasi resmi mengenai kesepakatan hubungan Belanda dan Indonesia. Setelah itu, Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky langsung mengirimkan telegram kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang berbunyi, “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat memberitahukan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan bersedia membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.”

Telegram tersebut kemudian dibalas oleh Hatta pada 3 Februari 1950 untuk mengonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia telah menerima pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan dari Uni Soviet dan siap membina hubungan dipolomatik dengan pihak Soviet. Tanggal telegram yang dikirim oleh Hatta itu kemudian dikenang sebagai tanggal bermulanya hubungan diplomatik Indonesia dan Soviet.


Sempat Ditolak AS

Pada akhir 1950-an, Indonesia hendak memodernisasi angkatan bersenjatanya. Saat itu, angkatan bersenjata Indonesia hanya memiliki sisa persenjataan dari Perang Dunia II. Baik dari segi kuantitas maupun kualitas, kekuatan persenjataan Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk melindungi ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution berkunjung ke Amerika Serikat dengan membawa proposal agar mendapat bantuan untuk mereformasi angkatan bersenjata Indonesia. Namun, AS menolak proposal tersebut dengan alasan Indonesia masih memiliki konflik yang belum terselesaikan dengan Belanda, yakni terkait masalah Irian Barat. AS menolak memberi bantuan persenjataan bagi Indonesia karena khawatir senjata tersebut akan digunakan untuk berperang melawan sekutu AS di NATO, yaitu Belanda.

Ditolak AS, Indonesia kemudian berpaling ke Uni Soviet. Ternyata, Indonesia tidak hanya mendapatkan apa yang dibutuhkan, tetapi dengan dukungan Uni Soviet, Indonesia mampu mengembangkan teknologi dan pengetahuannya di bidang militer.

Uni Soviet memasok banyak peralatan militer pada Indonesia, mulai dari tank, kapal perang, dan berbagai jenis pesawat tempur. Tentu saja semua itu tidak gratis. Pemberian tersebut merupakan bagian dari kredit sebesar satu miliar dolar AS. Namun, Indonesia telah membayar lunas semuanya pinjaman tersebut pada pertengahan 1990-an.

Selain memasok peralatan militer, Uni Soviet juga memberikan pelatihan teknis untuk para tentara Indonesia di akademi militer di Moskow, Sankt Petersburg, Sevastopol, dan Vladivostok. Rusia juga mengirim seribu instruktur ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Madiun untuk melatih tentara Indonesia. Rusia sadar bahwa sebagai negara baru, militer Indonesia memiliki pengalaman yang sangat terbatas, terutama terkait pengalaman teknis. Belanda tidak mewariskan budaya yang berkaitan kemampuan teknis pada rakyat Indonesia. Padahal, perlu beberapa generasi agar Indonesia dapat benar-benar menguasai hal tersebut.


Kunjungan Soekarno ke Uni Soviet

Pada 1956, Indonesia dan Soviet memulai kerja sama bilateral di bidang perdagangan. Presiden RI Soekarno mengunjungi Uni Soviet untuk pertama kalinya. Sejak itu, hubungan kedua negara terus berkembang.

Awalnya, perbedaan ideologi politik dan sistem ekonomi kedua negara sempat membuat hubungan kedua negara tidak berjalan mulus. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi halangan untuk memperkuat hubungan bilateral mereka.

Ketika itu, ketegangan terasa di seluruh belahan dunia akibat pertentangan ideologi antara Blok Barat dan Timur. Selain itu, revolusi sosialis tengah terjadi di beberapa negara, dan berdampak sangat luas.

Pemerintah Uni Soviet paham bahwa mereka tidak dapat memaksakan kehendak dalam hal ideologi negara atau mengklaim posisi dominan terhadap Indonesia. Baik Indonesia maupun Uni Soviet saling menyadari bahwa kedua negara dapat fokus menjalin kerja sama yang saling menguntungkan, tanpa mempermasalahkan ideologi politik.

Pada 12 April 1961, Soekarno kembali berkunjung ke Soviet. Meski kunjungan Soekarno ke Uni Soviet kala itu merupakan kunjungan yang bersifat simbolis, beberapa pakar berpendapat pemerintah Uni Soviet kala itu telah berharap Indonesia dapat menjadi sekutu, baik secara militer maupun ideologi. Kunjungan pada tahun 1961 tersebut semakin mengukuhkan kemesraan hubungan Uni Soviet dengan Indonesia.

Presiden Soekarno kembali mengunjungi Uni Soviet pada 12 April 1961. (Foto: arsip Igor L. Kashmadze)

Beberapa dekade setelah 1950-an, hubungan Indonesia dan Uni Soviet berkembang secara signifikan. Namun, bukan berarti hubungan baik kedua negara hanya terkait hubungan militer semata. Uni Soviet juga banyak bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun infrastruktur sipil, seperti Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta, stadion, dan reaktor nuklir percobaan di Serpong.

Sayangnya, kondisi dalam dan luar negeri Indonesia tidak mendukung kelancaran proyek-proyek ini. Beberapa proyek terpaksa ditinggalkan karena ketiadaan dana. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, hubungan kedua negara sempat mengalami kemunduran.

Namun, gejolak politik yang sempat terjadi pada masa itu bukan berarti hubungan kedua negara tidak terjaga. Kedua negara sadar akan perbedaan ideologinya, namun tetap menjaga hubungan dalam batas-batas yang wajar.

Kini, 65 tahun telah berlalu sejak Hatta mengirimkan telegram ke Uni Soviet yang menandai dibukanya pintu kerja sama antara kedua negara. Hari ini semakin banyak warga negara Indonesia yang belajar di universitas-universitas di Rusia, begitu pula sebaliknya. Hubungan baik yang telah terbina ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian Rusia.

Di masa depan, sangatlah penting bagi Indonesia untuk mencari format baru dalam hubungan internasional. Dalam kaitannya dengan kerja sama Rusia-Indonesia, hubungan kedua negara harus berkembang ke level yang lebih tinggi, tidak hanya terbatas pada hubungan antarpemerintah, tetapi juga pada tataran hubungan masyarakat sipil.

(RBTH-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: