Dosen di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ma’mun Murod Al Barbasy memberikan tanggapan singkat terhadap Surat Terbuka yang dikirim Dosen Pascasarjana UGM, Ir. Bagas Pujilaksono, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D. kepada Presiden Jokowi, sebagai berikut:
Bagus juga mentradisikan berkirim surat pada siapapun secara terbuka, termasuk kepada Presiden RI. Kalau saya mencermati isi suratnya, saya mencoba menanggapi secara singkat bahwa kalau mendasarkan pada dikotomi klasik terkait kelompok Islam dan kelompok nasionalis, maka isi surat tersebut menggambarkan bahwa sang dosen yang berkirim surat tersebut masuk tipologi dosen kelompok nasionalis, sehingga wajar kirim surat isinya begitu.
Dalam pandangannya, masjid ya hanya untuk shalat, tak boleh untuk membincang persoalan umat lainnya, termasuk politik keumatan. Itu persis model dikotomi Islam ibadah dan Islam politik yang dulu dicanangkan dan diterapkan oleh Belanda. Dosen model begini nih (jumlahnya banyak) dalam otaknya tertanam bahwa radikalisme yang marak akhir-akhir ini karena pengaruh ideologi radikal dari luar, seperti HTI, ISIS dan Ikhwanul Muslimin. Padahal penyebab dominan radikalisme di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perilaku, sikap dan kebijakan culas yang dibuat dan diterapkan oleh negara dan kroninya.
Sebelum muncul organisasi yang masuk kategori radikal, di masyarakat sudah tumbuh sikap-sikap radikal dalam menyikapi berbagai kebijakan negara. Sikap radikal ini mengalir saja, ketika masyarakat tertekan secara politik, agama, hukum dsb, pasti naluri untuk melawan akan muncul. Sikap radikal yang ditunjukan dalam pemberontakan petani jenggawah, pemberontakan masyarakat kedung ombo, dan banyak lagi, termasuk perlawanan bangsa kita terhadap penjajah Belanda, saya yakin bukan karena aliran radikal.
Perlawanan umat Islam menjelang pemilu 1971 bukan juga karena pengaruh aliran radikal, temasuk sikap umat Islam dalam menyikapi asas tunggal Pancasila bukan pula karena aliran radikal. Saya sedih saja kalau ada dosen dengan pola pikir yang begitu “sederhana”, cenderung generalisasi dan tanpa berusaha melihat konteksnya. Demikian sekadar tanggapan saya. (Ma’mun Murod Al Barbasy)
***
Belakangan beberapa orang dan selebritas media sosial sangat mudah menisbatkan stigma radikal kepada umat Islam dengan pemaknaan peyoratif seolah tafsir kebinekaan dan NKRI hanya mereka yang paham dan umat Islam bagi mereka adalah ancaman terhadap NKRI. Justifikasi ini jelas serampangan karena lebih kepada phobia berlebihan terhadap Islam. Untuk itu umat Islam perlu melakukan kontra opini terhadap framing mereka, dan sebutan “Sekuler Radikal” rasanya pantas bagi mereka yang kerap melakukan label negatif terhadap umat Islam.
Lalu apa kata ‘wong cilik’, menanggapi hal tersebut?
Menarik diperhatikan adalah tanggapan sebagian masyarakat akar rumput terhadap adanya aksi saling ‘hujat’ dan polemik wacana antara kedua tokoh intelektual dan akademisi UGM Yogya dan UMM Jakarta itu.
“Dua duanya dosen hebat, tapi sayangnya belum menangkap keluhan sesungguhnya. Yang dari UGM gegabah memberi solusi terhadap radikalisme di kampus, sebagaimana memahami fenomena alami perlawanan. Yang nanggapi juga seakan tidak peduli dengan dampak yang timbul jika terus tidak memberi alternatif solusi selain radikalisme anti Pancasila dalam mengaddress kegalauan massif,” tulis Hardya Pranadipa, warga asal Bekasi.
Sementara itu menjawab Hardya, Wahidah Mahanani yang mengaku bekerja di Universitas Ahmad dahlan Yogyakarta, menulis, “Secara tersirat sudah ditulis di atas ‘Padahal penyebab dominan radikalisme di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perilaku, sikap dan kebijakan culas yang dibuat dan diterapkan oleh negara dan kroninya’. Tegakkan hukum dan keadilan. Maka penduduk negeri akan sejahtera raga dan batinnya.”
Bagaimana menurut Anda?
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email