Sepintas tak ada yang istimewa dari Kampung Adat ini. Tak seperti kampung adat lain di tanah air yang dipenuhi rumah-rumah adat dan masyarakat berpakaian tradisional, di Kampung Adat Mahmud, pemandangan seperti itu tidak Nampak.
“Makom Karomah Mahmud” begitu tulisan yang terpasang di gerbang kampung. Meski tak seperti kampung adat lain, kampung ini menyimpan nilai historis perkembangan agama Islam di Kota Kembang, Bandung.
Kampung ini terletak di tepi sungai Citarum. Akses yang menjadi jalan utama menuju kampung ini terlihat lengang, sepi dan berdebu. Beberapa warung menjajakan minuman segar di tepian jalan. Sebagian lain memproduksi furniture dengan ukiran-ukiran khas. Kampung ini relatif sepi, penghuninya sekitar 400 Kepala Keluarga saja.
Meski agak terpencil, selayaknya perkampungan di tengah kota, akses ke Kampung Mahmud tak terlalu sulit. Kampung ini bisa dijangkau dari arah Soreang, maupun dari pusat Kota Bandung.
Kisah Sekepal Tanah dari Makkah
Kampung sederhana ini, ternyata menyimpan akar sejarah perkembangan Islam di Kota berjuluk Paris Van Java itu. Berbicara tentang Kampung Mahmud, sejarah, serta peranannya di masa lalu akan bertepi pada nama besar Eyang Dalem Abdul Manaf. Penduduk sekitar menggelari Eyang Dalem itu dengan sebutan waliyullah. Sosok wali tersebut dikenal sebagai putra dari Eyang Dalem Nayaderga, yang dimakamkan di Sentak Dulang, Ujungberung, Bandung, dus merupakan keturunan ketujuh dari Sunan Gunung Djati Raden Syarif Hidayatullah, satu dari Sembilan wali yang dipercaya sebagai penyebar utama agama Islam di Nusantara.
Menurut cerita lisan, warga sekitar percaya bahwa Eyang Dalem Abdul Manaf adalah penyebar Islam pertama di kawasan Bandung Raya. Tokoh tersebut diyakini pernah singgah di Kampung Mahmud di Kota Suci Makkah. Dari sanalah, sang wali membawa sekepal tanah yang kemudian ia tebar di daerah rawa-rawa pinggiran Sungai Citarum. Kelak, daerah rawa-rawa ini menjelma menjadi Kampung Mahmud. Lokasi ini dianggap cocok karena letaknya yang tersembunyi, sehingga dapat dijadikan pusat penyebaran agama Islam ketika itu.
Dari kampung inilah, Waliyullah Abdul Manaf bersama murid-muridnya mulai mendakwahkan ajaran agama Islam. Masyarakat setempat belajar akidah dan akhlak hingga mampu menerapkan perangai-perangai terpuji, atau akhlakul mahmudah, cikal bakal nama Kampung Mahmud.
Wisata Religi di Situs Islam Kampung Mahmud
Wisata religi merupakan bagian dari tradisi warga Muslim di Tanah Air. Salah satu bagian dari wisata religi itu adalah berziarah ke makam para ulama. Tradisi ini jamak dilakukan oleh kaum Muslim dari berbagai daerah.
Pun demikian, makam Eyang Dalem di Kampung Mahmud ini. Sampai hari ini, lokasi peristirahatan terakhirnya acap diziarahi banyak orang dari berbagai wilayah di Indonesia.
Meski tak ada ketentuan hari-hari khusus untuk berziarah, masyarakat biasanya ramai berkunjung pada hari-hari besar tertentu, seperti saat Muludan (Bulan Maulid), atau Rajaban (bulan Rajab). Di hari-hari besar tersebut, para peziarah melantunkan selawat, pengajian, hingga kesenian tradisional khas Sunda.
Yang menarik, hal lain yang menjadi nilai plus saat berziarah ke kampung ini adalah arsitektural rumah-rumah panggung milik penduduk yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Sunda yang sederhana dan religius. Rumah-rumah adat berbentuk panggung di situs religi dan budaya ini dibuat dari kayu dan berdindingkan bilik-bilik bambu, sehingga peziarah merasakan suasana asli Indonesia yang jarang ditemui di tempat wisata serupa lainnya. Suasana ini mencerminkan kesederhanaan hidup, kefanaan dunia, dan kerendahan hati. Menjadi tantangan bagi pemerintah kota setempat untuk mempertahankan model rumah tradisional di Kampung Mahmud ini agar tak tergerus oleh rumah-rumah berciri modern.
Bagi Anda yang gemar dengan wisata religi, Kampung Adat Mahmud adalah destinasi situs Islam yang tak boleh dilewatkan.
(Bimas-Islam-Kemenag/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email