Pesan Rahbar

Home » » LIHATLAH BULAN DI LANGIT !

LIHATLAH BULAN DI LANGIT !

Written By Unknown on Friday, 23 January 2015 | 01:01:00


Dimana anda melihatnya?

Auhaduddin : Aku melihat bulan di air dalam bejana.
Shams     : Kalau tidak merepotkan leher anda, kenapa anda tidak meliahtnya di  langit ?

Dialog singkat ini kelihatannya tidak ada istimewanya, akan tetapi sebenarnya ini bukan dialog biasa, akan tetapi ajang “adu” kedudukan antara Shams dengan Auhaduddin. Pertanyaan Shams merupakan pertanyaan untuk menguji sampai dimana “Hal”, “Maqam” atau kedudukan bathin Auhaduddin, dan jawaban yang diberikan Auhaduddin menunjukan menunjukan tingkatan maqam yang ia duduki. artinya ia ingin mengatakan kepada Shams bahwa kekedudukan saya, baru bisa melihat bulan dalam air. Tapi lain halnya dengan cerita yang terjadi dua ratus tahun sebelumnya, cerita yang memuat dialog antara Ibnu Sina dengan Abu Said Abulkheir.  Cerita yang dikutip oleh Muhammad bin Munawwar ini ditulis dalam bukunya Asrar Al-tauhid.  Diceritakan bahwa suatu hari Ibnu Sina dengan Abu Said adu ilmu dan berdebat  selama tiga hari tiga malam. Setelah Ibnu Sina keluar dari rumah Abu Said, para murid Ibnu Sina berbondong-bondong mendatangi sang guru untuk menanyakan apa kepadanya tentang Abu Said. Ibnu Sina menjawab : Apa yang aku ketahui ia meliahtnya.  

murid Abu Said pun tidak mau kalah mereka mendatangi sang muradnya dan menanyakan pendapat sang guru tentang Ibnu Sina, Abu Said berkata : Apa yang aku lihat ia mengetahuinya. Terdapat perbedaan antara cerita pertama dengan cerita kedua.

lakon dari cerita pertama kedua-duanya adalah arif, sementara lakon dari cerita kedua; yang satu Filsuf ( Ibnu Sina ) dan yang lain arif (Abu Said).

Cerita kedua menyuguhkan dialog dua orang yang berbeda jalan dalam mencapai hakekat; pertama lewat argumentasi falsafi dan hakekat yang diraih oleh jalan ini adalah sebuah konsep sedang yang kedua lewat shuhud irfani, yang pertama mengetahui dan yang kedua melihat.  Adapun pada cerita pertama keduanya  berada pada jalur yang sama yaitu kaum arif yang berusaha mencapai hakekat dengan shuhud irfani, Shams dan Auhaduddin  keduanya berada pada satu keyakinan yaitu bulan (hakekat, Tuhan…) hendaklah dilihat bukan diketahui. Hanya saja yang satu meliahtnya di langit dan yang lain di air, yang satu langsung dan yang lain melalui pelantara. Shams tidak menganggap bahwa melihat bulan dalam air adalah salah, akan tetapi ia menganggap itu suatu kekurangan.

Peringatan yang diutarakan oleh Shams terhadapa Auhaduddin adalah sebuah tuntunan irfani, Shams berkata : Sekarang carilah dokter yang bisa mengobati anda, sehingga setiap anda melihat, anda akan melihat hakekatnya”. Penyakit yang dimaksud oleh Shams dalam diri Auhaduddin adalah penyakit  ruhani yang berasal dari kelemahan maknawi. Dan yang dimaksud dokter oleh Shams juga adalah dokter ruh yang bisa mengajari bagaimana melihat hakekat dan bisa melihat bulan langsung dari langit. Dua jalan ini yaitu argumentasi akan dan shuhud yang didapat lewat riadhah (latihan bathin) serta dengan pensucian diri, bisa kita dapati dalam ucapan-ucapan Ma’shumin as. Terkadang kita dapatkan dalam ucapan mereka bahwa keyakinan dan hakekat bisa didapat oleh pensucian diri dan melaksanakan syariat Tuhan. Seperti dalam ziarah untuk para Imam as. : “ …Aku bersaksi sesungguhnya engkau telah mendirikan shalat, memberikan zakat, menyuruh kepada kebenaran serta melarang kejahatan, engkau telah mentaati Allah sehingga engkau mendapatkan keyakinan … “ (ziarah Imam Husein as).

Akan tetapi dalam teks lain mereka menyarankan untuk menggunakan akal ( argument ) untuk meraih hakekat, seperti  nasehat Rasulullah saw. Kepada Imam Ali as. “ Wahai Ali ! jika kamu melihat manusia mendekati Tuhannya dengan cara beribadah, maka kamu hendaklah mendekati Tuhan dengan akal, maka kamu akan mendahului mereka


yang kau cari tapi carilah musamma-nya Bulan di langit  bukan di air  ju

Semenjak pertemuanya dengan Shams, terjadi gejolak dalam jiwa Rummi. Ia tidak bisa melupakan pertemuan itu. Kata-kata Shams  selalu terngiang-ngiang, merasuk dan merusak pikiran serta ideology Rummi.  Pertemuan singkat itu mampu merubah kehidupannya.  Ia pun menjadi salik dan belajar menempuh tarikat dari Shams. Petikan syair di atas adalah salah satu pelajaran yang didapat Rummi dari Shams. pelajaran tentang melihat bulan di langit.

Dialog antara Shams dengan Auhaduddin serta syair Rummi bukan sekedar kejadian serta pandangan pribadi, akan tetapi mereka ingin menjelaskan esensi pengetahuan irfani dalam bentuk kinayah dan tamstil. Shuhud yang merupakan esensi pengetahuan irfani pada hakekatnya bisa kita kaji dalam dua sudut pandang. Pertma, shuhud sebagai sebuah predikat ( fi’il ) dan kedua, obyek dari shuhud (mashhud).

Shuhud memiliki akar kata shahada (mushahadah) dan memiliki banyak sinonim seperti ru’yah, abshar, bashirat, liqa dan nadzar yang memiliki arti dzahir yaitu sebuah pekerjaan yang dilakuakn oleh mata (melihat). Akan tetapi melihat yang dimaksud oleh para sufi bukanlah melihat sesuatu berupa materi yang dilakukan oleh mata lahir, akan tetapi yang dimaksud adalah penglihatan maknawi dan qalbi.

arif ketika hendak menceritakan pengalaman bathin serta hakekat yang didapatnya setelah melakukan sair wa suluk, mereka menggunakan istilah tadi ( shuhud ). Dalam pandangan mereka hati manusia merupakan alat yang serupa dengan mata yang secara langsung dan tanpa pelantara mampu melihat, oleh karenanya mereka menamakannya ‘mata hati’.  Sisi ini bisa kita sebuat psikologi irfani.

Sisi kedua dari kajian di atas yaitu objek dari shuhud ( mashhud ) yang disebuat dengan teologi atau ilahiat. Karena jelas hakekat yang hendak dicapai oleh seorang salik dalam irfan islami adalah wujud Haq Ta’ala.  Jadi objek dari shuhud yang dimaksudkan oleh para arif adalah wujud suci Allah swt.

Akan tetapi jika melihat dialog antara Shams dan Auhaduddin, ternyata terdapat perbedaan maqam dan kemampuan shuhudi antara para sufi. Furuzanfar adalah salah seorang dari para ulama yang coba menafsirkan istilah-istilah serta maksud dialog tamstili antara Shams dengan Auhaduddin. Menurut ia maksud dari kata bulan dalam dialog tersebut adalah Haq Ta’ala dan kata air adalah sebagai umpama dari manusia. Menurut Furuzanfar kemampuan Auhaduddin yang hanya mampu melihat bulan dari dalam air artinya ia hanya bisa melihat keindahan mutlak Haq ta’ala dalam madzhar insani. Sementara Shams yang memiliki maqam ruhani yang lebih tinggi mampu melihat Haq Ta’ala secara langsung tanpa perlu pelantara ( madzhar ).

Di kalangan para sufi mulai abad kedua pembahasan tentang liqaullah bisa didapatkan dalam do’a dan ucapan-ucapan mereka. Akan tetapi kajian lebih luas lagi pada awal abad ketiga. Kajian tentang ru’yat ukhrawi ( melihat Tuhan di akherat ), penjelasan hal serta maqam pencinta dan pendamba liqoullah, bagaimana pertemuan manusia dengan Tuhannya di surga serta bagaimana kondisi para wali ketika bertemu dengan kekasihnya Allah swt. Dimulai oleh seorang arif bernama Haris Muhasibi, dan dilanjutkan oleh para arif periode selanjutnya seperti Atha Al-Adami, Abu Said Kharraz, Abu Al-Husein Nuri, Junaid Bagdadi, Dzu Al-Nun mishri, Husein Mansur Hallaj serta Sibli. Di tempat lain para arif dari Khurashan seperti hakim Tirmidzi, bayazid masthami, Abu Nasr saraj, Abu Al-Qasim Qaishari serta Abu Hamid Ghazali ikut memberikan pendapat tentang maslah ini sehingga memberi pengaruh kepada sastra Persia.

Pendapat Imam Shadiq as. Tentang Hal Ini Imam Shadiq as.  secara mutlak menafikan bahwa Allah swt. tidak bisa dilihat oleh manusia dengan mata lahirnya. Seperti dalam ucapannya : “…dan Dia tersembunyi dari pandangan…”.  Akan tetapi apakah manusia mampu melihat Allah swt. dengan mata hati, kita bisa dapatkan penafisran-penafisran ayat alquran yang disampaikan oleh Beliau tentang hal itu. Tafsir beliau tentang ayat “ dan gembirakanlah kaum mukminin “  beliau berkata : “ bahagiakanlah orang-orang yang mencintaiku dengan melihat wajahku” ( Tafisr Ja’far Al-Shadiq as. hal. 211 ). Menurut Imam as. maksud melihat bukanlah melihat dengan mata kepala akan tetapi dengan mata hati. Dalam penafsiran Imam as. sering diisyaratkan tentang hati para arif dan muhib yang kadang di ungkapkan dalam kata ‘mushahadah atau liqa’.  Seperti penafisran Beliau tentang kata ‘assamad’ , Beliau mengisyaratkan kepada huruf serta makna tersembunyi dari setiap huruf. Huruf alif menunjukan kepada ‘ahadiat’ (keesaan) dan huruf laam mengandung arti ‘uluhiat’ (ketuhanan). Dimana kedua huruf ini dalam ucapan ( ketika dirangkai dengan kata sebelumnya ) tidak terucapkan akan tetapi tertulis dalam Alquran. Dalam tafsir ini Imam as. menyatakan bahwa tidak nampaknya dua huruf ini ( dalam ucapan ) menunjukan bahwa indra manusia tidak mampu menangkap makna ahadiat serta uluhiat Tuhan.

Tersembunyinya dua huruf ini mengisyaratkan bahwa akal tidak mampu memahami secara mutlak makna ahadiat serta uluhiat Tuhan. Akan tetapi dua huruf ini nampak dalam tulisan artinya bahwa Allah ta’ala nampak dalam hati para arif di dalam ‘dar al-salaam’ ( surga ). Artinya bahwa Allah swt. akan nampak dalam oleh mata hati para pencintaNya. Seperti dalam ucapannya : “ dan nampaknya di dalam kitab menunjukan bahwa Dia akan nampak dalam hati-hati para arif dan akan jelas oleh mata para pencinta di darussalaam “ ( Tafsir Ja’far As-Shadiq as. hal. 230 ).

(ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: