Masjid di Tengger
Idul Adha bernuansa Bhineka Tunggal Ika selalu terjadi di beberapa kawasan di Lamongan, Pasuruan, dan Probolinggo. Di sana umat non-muslim turut terlibat dalam proses persiapan dan penyembelihan hewan kurban.
Di Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan, warga berbagai agama telah lama hidup damai. Di Desa Pancasila, sekitar 4 km dari pusat kota Lamongan, ini perayaan Idul Adha telah menjadi bagian hidup umat non-muslim.
Adi Wiyono, Sekretaris Parisada Hindu mengatakan jika umat Hindu selalu bergandengan tangan dengan yang muslim. “Teman-teman non-muslim selalu terlibat. Biasanya kami ikut kerja bakti menyiapkan tempat dan membagi daging. Yang menyembelih teman-teman muslim, karena syarat rukun menyembelihnya (menurut syariat Islam) memang harus begitu,” kata Wiyono, Selasa 22 September 2015 di Desa Balun.
Saat Idul Adha tiba, kata Wiyono, warga Hindu dan Kristen terutama anak-anak dan kaum muda bergotong royong membantu mengangkat perkakas dan membersihkan daging kurban. bahkan ikut juga mencuci daging di kali atau sumur.
Saat pembagian daging kurban, panitia kurban membagi secara merata kepada semua keluarga di Desa balun. Warga Kristen dan Hindu juga kebagian daging kurban dengan takaran sama.
“Yang beda paling hanya pada tokoh-tokoh agama, yakni dilebihkan timbangannya,” ungkap Adi Wiyono.
Ungkapan Adi Wiyono juga dibenarkan Sukamto, Ketua RW 1. Tokoh Kristen ini mengaku tidak pernah absen membantu kepanitiaan Idul Adha, termasuk tahun ini.
Bagi Sukamto saling membantu adalah hal biasa. “Bukan hanya saat kurban, saat orang-orang punya hajatan dan menyembelih hewan ya biasa kami membantu. Tapi menyembelihnya ya pasti ditangani sendiri-sendiri. Yang muslim ditangani modin,” katanya.
Sutrisno tokoh Kristen lainnya juga mengungkapkan hal senada. Dua tokoh yang sama-sama berstatus PNS ini melihat kerukunan umat dengan tiga agama ini sebagai bentuk toleransi dengan pemahaman keberagamaan yang moderat.
Suwito, Takmir Masjid Balun mengatakan, setiap kali muslim punya hajatan, semua warga berbeda agama diundang dan mereka datang dengan memakai songkok.
Sebaliknya saat warga non-muslim punya hajatan, umat muslim juga datang. “Kami hidup rukun dan tidak pernah bersinggungan,” ujar Suwito.
Kearifan Lokal
Idul Adha juga menjadi bagian hidup warga Dusun Tlogosari, Desa/Kecamatan Tosari Pasuruan. Di sini, hewan kurban dibagi-bagikan kepada semua umat, terumasuk Kristen dan Hindu.
Kades Tosari, Iskandar (62) menjelaskan, daging kurban juga dibagikan kepada para mualaf. Ini sesuai anjuran syariat Islam bahwa mualaf termasuk golongan yang berhak.
Untuk mualaf, kata Iskandar, selain daging kurban juga dibagikan peralatan salat dan Al Qur’an. Sementara untuk fakir miskin penerimanya tak hanya warga muslim, melainkan juga non-muslim.
Di Desa Tosari ada empat masjid, enam puri di setiap dusun dan dua gereja. Masjid Al Mujahidin merupakan masjid pertama yang berdiri di desa Tosari.
Tidak jauh dari Masjid Al Mujahidin, ada pura dan punden tempat warga Tengger yang beragama Hindu menjalankan ibadah. Berjarak sekitar 500 meter ke arah utara ada gereja beserta sekolah tingkat SD, SMP dan SMA Kristen Protestan.
Masjid Al Mujahidin merupakan masjid terbesar di Desa Tosari. Masjid itu menjadi pusat pelaksanaan salat Ied umat Islam Tengger Desa Tosari.
Kali ini sekitar puluhan kambing dan beberapa ekor sapi akan disembelih di desa Tosari. Ada tujuh lokasi penyembelihan. Satu di antara tujuh tempat itu ialah di halaman Masjid Hikmatulhidayah.
Meskipun perbedaan terlihat dalam kehidupan warga Tengger, namun mereka semua masih tetap melaksanakan tradisi lokal. Tradisi itu menjadi pemersatu sekaligus wajah warga Tengger. Ketika warga Tengger melaksanakan tradisi lokal, mereka membaur satu dengan yang lainnya tanpa melihat latar belakang agama.
Pelaksanaan penyembelihan hewan kurban yang sesuai syariat Islam itu dibalut dengan tradisi kerarifan lokal yaitu berupa tamping. Ritual ini menyajikan sesajen di punden. Lokasi punden tak terlalu jauh dari masjid.
“Tamping ini bukan bagian dari ritual penyembelihan. Ini murni penghormatan untuk warga dan leluhur masyarakat Tengger. Kalau penyembelihannya sendiri tetap sesuai syariat Islam,” katanya.
Sejak dulu hingga era sekarang ini, secara turun temurun setiap generasi menjaga makna dan nilai filosofis ritual tamping. Ini pun dilakukan semua pemeluk agama lain karena menghormati tradisi masyarakat Tengger.
Hal senada juga diungkapkan Suryadi, Pendeta Gereja Protestan Keto, pemuka agama Hindu di Desa Tosari. Suryadi menjelaskan, umat kristiani saling menghormati perayaan agama lain di Desa Tosari, termasuk perayaan Idul Adha.
Sebagai gambaran, ada beberapa orang dari umat kristiani ikut berkontribusi ketika proses penyembelihan hewan kurban. Pun sebaliknya, ketika umat kristiani merayakan hari besar seperti natal, Suryadi selalu mengundang tokoh masyarakat dan agama ke Gereja.
Pada hari raya Idul Adha ada warga kristiani yang tidak mampu menerima daging. Suryadi tidak menolak jika ada pemberian daging kurban. Namun ia mempertimbangkan distribusi kurban menyasar pada kelompok warga yang kurang mampu terlebih dulu.
“Sebaiknya diberikan kepada yang berhak lebih dahulu,” katanya.
(Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email