Pesan Rahbar

Home » » Ketuhanan dan Metafisika Nahjul Balaghah

Ketuhanan dan Metafisika Nahjul Balaghah

Written By Unknown on Tuesday, 23 February 2016 | 19:05:00


Tauhid dan Makrifat

Salah satu bagian utama Nahjul Balaghah membahas tentang ketuhanan dan metafisika. Sekitar empat puluh kali kajian ini diulas dalam ceramah, surat, dan kata mutiara Nahjul Balaghah. Kendatipun sebagiannya hanya berupa kalimat pendek, tapi umumnya sampai mencapai beberapa baris dan bahkan, sekian halaman.

Ulasan tauhid Nahjul Balaghah terhitung bagian yang sangat menakjubkan. Tidak berlebihan apabila pembahasan ini dikatakan setara dengan mukjizat. Tentunya hal itu dapat diterima jika situasi dan kondisi atau konteks kajian-kajian itu diperhatikan.

Diskursus Nahjul Balaghah tentang ketuhanan dan metafisika sangat beragam. Ada yang berbentuk telaah ciptaan dan hikmah Ilahi, seperti sistem universal langit dan bumi, dan terkadang meneliti eksistensi tertentu, seperti kelelawar, merak, atau semut, dan memperhatikan managemen serta tujuan dari penciptaannya. Akan bisa lebih dimengerti jika kita mengambil satu contoh keterangan Amirul Mukminin as tentang semut.
Beliau mengatakan dalam ceramah ke-177,

أَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى صَغِيْرِ مَا خَلَقَ، كَيْفَ أَحْكَمَ خَلْقَهَ وَ أَتْقَنَ تَرْكِيْبَهُ وَ فَلَقَ لَهُ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ، وَ سَوَّى لَهُ الْعَظْمَ وَ الْبَشَرَ، انْظُرُوْا إِلَى النَّمْلَةِ فِيْ صِغَرِ جُثَّتِهَا وَ لَطَافَةِ هَيْئَتِهَا لاَ تَكَادُ تُنَالُ بِلَحْظِ الْبَصَرِ وَلاَ بِمُسْتَدْرَكِ الْفِكَرِ، كَيْفَ دَبَّتْ عَلَى أَرْضِهَا وَ صَبَّتْ عَلَى رِزْقِهَا، تَنْقُلُ الْحَبَّةَ إِلَى جُحْرِهَا وَ تَعُدُّهَا فِيْ مُسْتَقَرِّهَا، تَجْمَعُ فِيْ حَرِّهَا لِبُرْدِهَا وَ فِيْ وَرْدِهَا لِصَدْرِهَا، مَكْفُوْلَةً بِرِزْقِهَا، مَرْزُوْقَةً بِوِفْقِهَا، لاَ يَغْفُلُهَا الْمَنَّانُ وَلاَ يَحْرُمُهَا الدَّيَّانُ وَلَوْ فِي الصَّفَا الْيَابِسِ وَ الْحَجَرِ الْجَامِسِ، وَلَوْ فَكَّرْتَ فِيْ مَجَارِيْ أَكْلِهَا فِيْ عُلُوِّهَا وَ سُفْلِهَا، وَمَا فِي الْجَوْفِ مِنْ شَرَاسِيْفِ بَطْنِهَا، وَمَا فِي الرَّأْسِ مِنْ عَيْنِهَا وَ أُذُنِهَا لَقَضَيْتَ مِنْ خَلْقِهَا عَجَبًا ...

"Apakah mereka tidak meneliti ciptaan-Nya yang kecil? Bagaimankah Dia kuatkan ciptaannya dan tegakkan susanannya; Dia bekali pendengaran dan penglihatan, Dia isi tulang dan lapisi dengan kulit? Pikirkanlah semut dengan posturnya yang amat kecil dan bentuknya yang lembut. Begitu kecilnya sehingga hampir tak terlihat oleh mata dan tak tercerna oleh pemikiran. Bagaimana ia berjalan di atas bumi dan berusaha mengumpulkan rejeki? Ia angkut biji-bijian ke dalam lubang dan disimpannya di sarangnya. Dia kumpulkan makanan itu di musim panas untuk perbekalan di musim dingin nanti, dan di musim dingin dia sudah dapat memperkirakan saat keluar dan bebas. Dengan demikian rejeki makhluk kecil ini sudah terjamin secara rapih dan teratur. Allah Maha Pemberi tidak akan pernah melupakannya walau dia terletak di bawah batu yang keras. Apabila kalian teliti dan pikirkan jalur keluar dan masuknya makanan, struktur perut, telinga, dan mata yang terletak di kepalanya, niscaya kalian akan sangat terheran-heran oleh ciptaan ini …."

Namun demikian, puncak dominasi pembahasan Nahjul Balaghah terletak pada tauhid dan kajian rasional felosofis. Semua argumentasinya berakhir pada kemutlakan, ketidakterbatasan, cakupan, dan kemandirian Dzat Allah SWT. Di sini, Amirul Mukminin as melantangkan pembicaraannya. Tiada seorang pun sebelum dan sesudah beliau mengucapkan hal ini, sebagaimana tidak seorang pun yang sampai pada tingkatan ini.

Hal berikutnya yang sering ditekankan adalah kesederhanaan tanpa batas dan negasi segala bentuk pluralitas, pembagian, analisa, dan kelainan sifat dari Dzat. Ada berbagai masalah pelik lainnya yang dipaparkan dalam Nahjul Balaghah seputar tema di atas, seperti kemulaan Allah sekaligus keakhiran-Nya, kelahiran sekaligus kebatinan-Nya, kedahuluan-Nya atas waktu dan bilangan, kedahuluan-Nya bukan dalam kategori waktu dan keesaan-Nya bukan dalam kategori bilangan, ketinggian dan kerajaan, serta kekayaan Dzat Allah, kreatoritas-Nya (mubdi’) dan bahwa kaadaan tertentu tidak menyibukkan-Nya dari keadaan yang lain. FirmanNya adalah tindakan-Nya itu sendiri. Keterbatasan akal dalam mengenali-Nya dan bahwa makrifat terhadap-Nya terbilang pengejewantahan Dia pada akal-akal, bukan seperti cakupan benak atas makna dan konsep tertentu, negasi kebendaan, gerakan, kediaman, perubahan, ruang, waktu, serupa, lawan, sekutu, duplikat, bantuan alat tertentu, keterbatasan dan juga negasi keterbilangan, serta serial pembahasan lain yang dengan ijin dan kekuatan Allah SWT masing-masing dari subtema di atas akan kita singgung dengan membawakan satu contoh dari ucapan beliau.

Itulah tadi sekilas tema dan subtema yang dipaparkan Nahjul Balaghah berkisar tentang ketuhanan dan metafisika. Seorang filsuf yang pakar dalam ideologi dan pemikiran filsafat kuno dan modern akan tenggelam dan terheran-heran membacanya.

Uraian masing-masing dari tema di atas—minimalnya—membutuhkan satu buku besar dan tidak cukup hanya dengan satu atau dua artikel saja. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, kita hanya melintas selayang pandang saja. Untuk memulai lintasan ini, saya rasa penting untuk menyampaikan pengantar pembahasan sebagai berikut:

Pengakuan Pahit

Kita—sebagai orang Syi'ah—harus mengakui, lebih dari orang lain dalam hal mengabaikan sosok yang sering kali kita banggakan diri sebagai pengikutnya. Pada dasarnya, kekurangan kita dalam memberi perhatian terhadap beliau adalah kezaliman tersendiri. Entah apa kita tidak mau atau tidak bisa mengenal Ali as. Seringnya usaha kita hanya terbatas pada hadis-hadis Rasulullah saw tentang Amirul Mukminin as sambil mencaci-maki setiap orang yang menutup mata atau bersikap bodoh terhadap teks-teks tersebut. Kita jarang berupaya untuk mengenal dan menggali kepribadian Ali as. Kita lupa bahwa misik yang beraroma wangi Ilahi dengan sebenar-benarnya memperkenalkan pribadi beliau. Dia sendiri memiliki aroma yang sangat memikat, dan sungguh lebih penting untuk kita perkenalkan indra-indra pencium kita dengan aroma wangi Ilahi ini. Dia harus terkenal dan diperkenalkan. Artinya, semua orang harus betul-betul kenal dengan aroma wangi itu, dan tidak boleh merasa cukup dengan iklan penjual minyak wangi. Masyarakat jangan hanya terpaku pada pembahasan tentang rekomendasi-rekomendasi seputar Ali as, tapi hendaknya mereka juga mengenal beliau secara langsung.

Andaikata Nahjul Balaghah merupakan karya orang lain, apakah akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti sekarang? Negara Iran adalah pusat masyarakat Syi'ah atau pengikut Ali as dan bahasa penduduk Iran adalah Persia. Dengan memperhatikan syarah dan terjemahan Nahjul Balaghah berbahasa Persia, kita akan dapat menilai rendahnya raport perlakuan kita terhadap kitab yang berharga tersebut.

Secara umum, riwayat dan hadis serta doa-doa Syi'ah tidak bisa dibandingkan dengan riwayat, hadis, atau doa-doa selain Syi'ah, baik dari sisi ajaran religi yang dikandungnya ataupun muatan-muatan yang lain. Satu contoh permasalahan yang terpapar dalam kitab Ushûl al-Kâfî, Tauhid Shaduq, atau al-Ihtijâj, karya Thabarsi tidak bisa ditemukan tandingannya dalam buku-buku selain Syi'ah. Apa yang terdapat di buku-buku selain Syi'ah di bidang ini terkadang hal-hal yang bisa dipastikan palsu (maj'ûl; karya orang lain yang dinisbatkan pada Rasulullah saw), karena jelas-jelas bertentangan dengan teks dan prinsip utama Al-Qur'an, dan lebih sering berbau tajsîm dan tasybîh (penjisiman dan penyrupaan; dengan kata lain, pernyataan bahwa Tuhan berfisik atau serupa dengan manusia).

Akhir-akhir ini, Hasyim Makruf Husaini menuangkan penemuan berharganya dalam kitabnya yang berjudul “Dirâsah fî al-Kâfî li al-Kulainî was Shahîh al-Bukhârî” (Kajian Tentang al-Kâfî, karya al-Kulainî dan as-Shahîh, karya Bukhari). Dia membandingkan secara singkat antara Shahîh Bukhari dan al-Kâfî Kulaini dari sisi hadis-hadis tentang ketuhanan dan metafisika.


Akal Syi'ah

Kajian dan analisa mendalam seputar ketuhanan yang telah dipaparkan oleh Ahlulbait as, seperti—puncaknya—dalam Nahjul Balaghah, menyebabkan akal Syi'ah jauh sebelumnya tampil sebagai rasio filosifis. Tentunya hal ini bukan bid'ah atau hal yang baru dalam Islam, melainkan sebuah jalan yang sejak semula, Al-Qur'an telah membangun dasar-dasanya di tengah masyarakat Islam. Berikutnya, dilanjutkan dan diikuti oleh Ahlulbait as. Mereka menapaki jalan yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan menyingkap hakikat untuk kita sebagai interpretasi yang sah, sempurna, dan benar terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an. Kalaupun harus ada yang dicela, maka celaan itu tertuju pada orang-orang lain yang mengabaikan jalur dan sarana ini.

Sejarah membuktikan bahwa sejak awal datangnya Islam, Syi'ah memiliki kecenderungan lebih daripada orang lain terhadap permasalahan ini. Adapun di tengah pengikut Ahlusunah, Mu'tazilah lebih dekat kepada Syi'ah daripada kelompok lainnya. Mereka juga memiliki kecenderungan terhadap masalah ketuhanan dengan pendekatan rasional filosofis. Akan tetapi—seperti kita ketahui bersama—selera sosial determinan pada waktu itu tidak menyambut baik kehadiran mereka, dan bisa dikatakan dari sekitar abad ketiga selanjutnya kelompok ini telah punah.

Ahmad Amin mesir membenarkan hal ini dalam jilid pertama karyanya yang berjudul “Zhuhr al-Islam”. Awalnya dia membahas kebangkitan felosofis di Mesir oleh kelompok Fatimiyun yang bermadzhab Syi'ah, kemudian dia berkata demikian, “Filsafat lebih melekat pada Syi'ah daripada Ahlusunah. Hal ini bisa kita saksikan pada masa Fatimiyun di Mesir dan Alu Buyeh di Iran. Bahkan sampai abad terakhir pun negara Iran yang beraliran Syi'ah lebih perhatian terhadap filsafat daripada negara-negara Islam lainnya. Sayid Jamaludin Asad Abadi yang memiliki kecenderungan kepada pemikiran Syi'ah dan belajar filsafat di Iran, begitu dia datang ke Mesir langsung menelorkan kebangkitan filosofis di Mesir”.

Hanya saja, entah lupa atau disengaja, Ahmad Amin salah dalam menjawab pertanyaan kenapa Syi'ah mempunyai kecenderungan filosofis? Dia mengatakan: "Sebab kenapa Syi'ah lebih cenderung pada pembahasan rasional filosofis adalah kebatinan dan kecenderungan mereka pada penakwilan. Mereka terpaksa mencari bantuan dari filsafat untuk menjustifikasi kebatinan yang mereka yakini. Oleh karena itu, Mesir periode Fatimiyun, Iran periode Buyeh, Iran periode Shafawi, dan Iran periode Qajari lebih memiliki kecenderungan filosofis daripada negara-negara Islam lainnya."

Ucapan Ahmad Amin tidak lebih dari igauan yang sama sekali tak bernilai. Kecenderungan ini dibangun oleh imam-imam Syi'ah (Ahlulbait as). Merekalah yang mengutarakan hikmah ketuhanan tertinggi dan paling teliti dalam argumentasi. Ceramah, hadis, dan doa-doa Nahjul Balaghah adalah salah satu contoh darinya. Bahkan tidak berhenti di situ saja. Hadis-hadis Rasulullah saw dari jalur Syi'ah berada di puncak ketinggian; riwayat yang tidak kita temukan dalam hadis-hadis beliau dari jalur selain Syi'ah. Dan sebetulnya, akal Syi'ah tidak spesial filsafat saja, melainkan juga akal teologi, fikih, dan ushul fikih. Dan semua itu mengalir dari satu muara yang sama.

Ada juga pendapat yang menyatakan, perbedaan ini muncul berkaitan dengan “bangsa Syi'ah” itu sendiri. Karena orang Syi'ah adalah warga negara Iran dan masyarakat Iran sebagai pengikut Syi'ah adalah orang-orang pemikir dan peneliti, maka mereka berhasil mengangkat ajaran-ajaran Syi'ah dengan akal pikiran yang kuat dan memberinya warna Islam.

Bertrand Russle berpendapat atas dasar yang sama dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Filsafat Barat”, jilid kedua. Sebagaimana watak dan kebiasaanya, dia mengungkapkan hal ini secara tidak sopan. Tentunya dia masih bisa dimaklumi dalam pengakuan yang dia bawakan ini. Karena pada dasarnya, dia tidak mengenal filsafat Islam. Sedikitpun dia tidak mengetahui, apalagi mau menentukan sumber munculnya filsafat Islam.

Kita katakan pada pendukung pola pikir di atas bahwa pertama-tama, tidak semua orang Syi'ah adalah warga negara Iran dan juga tidak semua penduduk Iran adalah Syi'ah. Apakah Muhammad bin Ya’qub al-Kulainî, Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qumi, Muhammad bin Abi Thalib al-Mazandarani adalah orang-orang Iran, sedangkan Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Abu Dawud as-Sajestani, dan Muslim bin Hajjaj an-Naisyaburi bukanlah orang Iran? Apakah Sayid Radhi yang telah mengumpulkan Nahjul Balaghah adalah orang Iran? Apakah Fathimiyun Mesir adalah orang Iran? …

Kenapa pemikiran filsafat hidup dengan datangnya Fathimiyun ke Mesir dan mati dengan kepergian mereka, kemudian hidup kembali dengan datangnya sayid Syi'ah dari Iran?!

Pada hakikatnya, ujung rantai gerakan pola pikir dan kecenderungan semacam ini tidak lain adalah Ahlulbait as. Semua peneliti Ahlusunah mengakui bahwa Amirul Mukminin Ali as adalah hakim di tengah para sahabat Rasulullah saw yang lain. Akal beliau dibandingkan dengan akal orang-orang lain memiliki ragam tersendiri. Pernah dinukil bahwa Ibn Sina pernah berkata, “Ali di tengah sahabat Rasulullah saw adalah seperti universal di tengah partikular-partikular indrawi atau seperti akal-akal dominan di tengah benda-benda materi.” Jadi, wajar saja apabila pola pikir orang-orang yang mengikuti pemimpin seperti ini sangat berbeda ketika dibandingkan dengan orang lain.

Ahmad Amin dan sebagian orang lain terjerumus pada anggapan berikutnya. Mereka meragukan datangnya kalimat-kalimat Nahjul Balaghah dari Amirul Mukminin as. Menurut mereka, sebelum filsafat Yunani masuk, Arab tidak mengenal pembahasan seperti ini dan sama sekali tidak mengerti analisa atau penelitian yang mendalam. Kalimat-kalimat ini dikarang oleh orang-orang yang mengenal filsafat Yunani dan kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Kita juga katakan bahwa memang benar Arab tidak mengenal kalimat-kalimat seperti itu. Bahkan bukan hanya orang-orang Arab, melainkan orang selain Arab pun tidak mengenalnya. Mereka juga tidak bisa menjangkau Yunani dan filsafat Yunani. Ahmad Amin telah menurunkan tingkat intelektual Amirul Mukminin Ali as sejajar dengan Arab badui, seperti Abu Jahal dan Abu Sufyan. Setelah itu, dia membangun premis major dan minor! Bukankah Arab jahiliah tidak mengenal makna dan konsep yang disampaikan Al-Qur'an?! Bukankah Ali as adalah didikan spesial Rasulullah saw?! Bukankah Rasulullah saw memperkenalkan Ali as sebagai orang yang paling pintar di tengah para sahabatnya?! Apa pentingnya kita untuk menjaga kehormatan sebagian sahabat Nabi saw yang biasa-biasa saja dengan menurunkan kehormatan dan kedudukan sahabat lain yang berada di puncak kedudukan 'irfan dan pencerahan batin, serta termasuk berkah Islam yang tak teringkari?!

Ahmad Amin mengatakan, "Sebelum datangnya filsafat Yunani ke dunia muslim, masyarakat Arab tidak mengenal makna dan konsep yang terdapat di dalam Nahjul Balaghah."

Jawabnya adalah, dengan bekal filsafat Yunani pun mereka tetap tidak kenal dengan makna dan kandungan Nahjul Balaghah! Bukan hanya orang Arab, muslimin selain Arab pun tidak bisa mencernanya! Karena filsafat Yunani sendiri tidak bisa menggapainya. Semua ini spesial produk filsafat Islam. Artinya, hadiah istimewa Islam yang kemudian secara gradual, filsuf-filsuf muslim menempatkannya dalam filsafat lintas inspirasi yang diperoleh dari dasar-dasar Islam itu sendiri.

(Al-Hassanain/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: