Apakah Imam Ali as. menyepakati pengerahan pasukan Abu Bakar dan Umar ke beberapa negara untuk memperluas wilayah Islam?
Terkait peperangan yang berkecamuk, seperti perang dengan Iran (Persia) dan Roma serta pembebasan Baitul Muqaddas, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak ikut dalam peperangan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali As memandang tak hanya berdasarkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin akan tetapi juga berdasarkan kemaslahatan seluruh umat manusia, khususnya kaum tertindas dan kalangan mustadh'afin.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
Para khalifah pada masa itu sengaja menyingkirkan dan merumahkan Imam Ali As. Sehingga pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, beliau lebih banyak berdiam di rumah. Namun ketika para khalifah memerlukan, mereka tetap meminta pendapat dan selalu berkonsultasi dengan Imam Ali As.
Imam Ali As dalam hal-hal seperti ini, tak hanya berpendapat berdasar kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saja, namun juga berasaskan kemaslahatan dan manfaat bagi orang banyak, khususnya kaum mustadh'afin dan orang-orang tertindas.
Pada sebagian peperangan, seperti perang dengan Iran dan Roma, Amirul Mukminin diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak turut serta dalam peperangan tersebut.
Misalnya terkait peran Imam Ali As dalam penaklukan dan perang melawan Iran disebutkan, ketika Umar bin Khattab memahami bahwa lasykar Iran tengah melakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang. Untuk itu, ia datang ke masjid dan mengajak semua yang hadir di tempat itu untuk berkumpul kemudian meminta pendapat dari mereka. Thalha mengusulkan, "Engkau sendiri harus ke medan perang sehingga kaum Muslimin dengan melihatmu akan menjadi lebih kuat dan berperang dengan gagah berani." Usman berpendapat, "Gerakkan seluruh warga Syam, seluruh warga Yaman, warga Madinah dan warga Mekkah dan pergi ke medan perang sehingga kaum Muslimin dan seluruh lasykar ini dengan melihatmu akan berperang dengan gagah berani." Usman lalu duduk dan tidak ada orang lagi yang berdiri. Umar bin Khattab kembali angkat suara, "Wahai kaum Muslimin, berilah pendapat!" Imam Ali As berujar, "Tidak benar warga Syam Anda gerakkan untuk ke medan perang karena kalau demikian orang-orang Roma akan menyerang dan membunuh anak-anak mereka. Jangan (juga) gerakkan warga Yaman karena lasykar Habsya (Afrika) akan menyerang dan membunuh serta merampas harta orang-orang Yaman. Apabila engkau membawa keluar orang-orang Madinah dan Mekkah maka orang-orang Arab di sekelilingnya akan menyerang dan akan merebut dua kota ini. Engkau pun jangan pergi tetapi tulislah surat ke Basrah agar mengirim sejumlah pasukan dari sana untuk membantu kaum Muslimin." Pendapat Imam Ali ini diterima oleh Umar bin Khattab seraya berkata, "Pendapat inilah yang benar dan saya harus bertindak berdasarkan pendapat ini."[1]
Imam Ali as dengan pendapatnya juga menyinggung poin penting ini: Bahwa pada masa Rasulullah Saw kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan besarnya jumlah pasukan melainkan berperang dengan bantuan Allah Swt. Karenanya, engkau tak perlu gentar dengan minimnya jumlah pasukan kaum Muslimin.
Dengan pengaturan seperti ini, Imam Ali telah menyelamatkan baik warga Muslimin Syam, Yaman, Mekkah maupun Madinah dari mara bahaya, disamping menyelamatkan warga Iran dari pembunuhan di medan perang. Karena, bila Roma menyerang maka wanita dan anak-anak kaum Muslimin akan terbunuh. Apabila Habasya (Afrika) melakukan agresi maka mereka akan membunuh wanita dan anak-anak Yaman. Dan jika orang-orang Arab sekitar Madinah dan Mekkah menginvasi dua kota ini maka orang-orang yang tinggal di dua kota ini semuanya akan terbunuh.
Dari sisi lain, apabila seluruh lasykar perang ini menyerang Iran maka, hanya Allah yang tahu, petaka dan musibah apa yang akan menimpa masyarakat Iran karena pada masa itu (masa Yazdgerd III, raja terakhir dinasti Sasaniyah) pemerintahan Iran sangat lemah dan berada di ambang keruntuhan[2]. Dengan jumlah lasykar kaum Muslimin yang sedikit saja mereka akan mampu mengalahkan pasukan Iran. Apalagi bila pasukan yang menyerang sepuluh kali lipat jumlahnya dari pasukan yang bersiaga di medan Iran, maka tentu akan lebih banyak jatuh korban harta dan jiwa dari kedua belah pihak.
Karena itu, Imam Ali As sebagai Imam Maksum dan wali atas kaum muslimin, sangat peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya yang mengarahkan berbagai perang ini supaya tidak terlalu mengambil resiko dan tidak terlalu menelan banyak korban dan biaya. Dan demikianlah kenyataan yang terjadi.
Dari apa yang disampaikan di atas menjadi jelas bahwa pada masa agresi kaum Muslimin ke Iran, peradaban Iran sejatinya berada di ambang keruntuhan dan kepunahan. Dengan datangnya Islam, peradaban ini mendapatkan jiwa baru dan dapat melanjutkan kehidupannya. Hal ini tak mungkin tercapai tanpa konsultasi elegan dan musyawarah jitu dengan Amirul Mukminin Ali As.
Dalam perang Islam melawan Imperium Roma, karena kaisar Roma termasuk salah satu musuh besar Islam, pada masa Rasulullah saw, beliau senantiasa memikirkan hal ini. Atas dasar itu, pada tahun 7 Hijriah, Rasulullah saw mengirim satu pasukan yang dikomandoi oleh Ja'far bin Abi Thalib untuk berperang melawan pasukan Roma yang berujung pada kesyahidan Ja'far dan sebagian orang lainnya.
Pada tahun 9 Hijriah, Rasulullah saw dengan pasukan lengkap bergerak ke arah Tabuk namun sebelum kontak senjata dengan pasukan Roma, beliau kembali ke Madinah. Pada akhir masa hidupnya, beliau menugaskan pasukan Usamah untuk bertempur melawan pasukan Roma. Namun sebelum keberangkatan pasukan Usamah, Rasulullah saw wafat dan misi ini tak jadi dijalankan.
Setelah berdirinya pemerintahan Abu Bakar di Madinah, Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi Saw tentang masalah ini dan masing-masing melontarkan pendapatnya, namun tak diterima oleh khalifah.
Pada akhirnya Abu Bakar bermusyawarah dengan Imam Ali As. Imam Ali As mendorongnya untuk menunaikan instruksi Rasulullah saw dan memberikan berita gembira bahwa kaum Muslimin akan meraih kemenangan dalam perang melawan Roma. Khalifah sangat senang menerima motivasi dari Imam Ali as dan berkata, "Anda telah memberikan pertanda baik dan berita gembira kepada kami."[3]
Sehubungan dengan penaklukan Bait al-Muqaddas, ketika Khalifah Kedua bermusyawarah dengan Imam Ali, beliau pun memberikan motivasi kepadanya terhadap perang ini.[4]
Demikian juga dalam peperangan dan pengerahan pasukan lainnya, apabila bermusyawarah dengan Imam Ali As, maka beliau melontarkan pendapat dengan penguasaan dan kebijaksanaan sempurna, mengkaji seluruh dimensi perbuatan dengan menimbang kemaslahatan Islam, kaum Muslimin dan khalayak umum, bahkan kemaslahatan generasi mendatang seperti yang terjadi paska eskalasi pasukan Islam ke Irak. Sebagian orang meminta Umar untuk membagi-bagi tanah-tanah rampasan di antara kaum Muslimin sebagai milik pribadi masing-masing orang. Umar pun berkonsultasi dengan Imam Ali As terkait pembagian tanah Irak tersebut. Imam Ali As bersabda, "Pembagian tanah-tanah yang dilakukan untuk generasi kaum Muslimin sekarang ini tidak akan membuahkan manfaat bagi generasi-generasi mendatang.."[5]
Ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Sesuai dengan tuntutan pakem-pakem dan ideologi Islam; artinya dengan memperhatikan kandungan agama Islam -yang mencakup jihad, pembelaan, amar makruf, nahi mungkar, menuntut keadilan, menolong orang-orang tertindas dan melawan penindasan dan lain sebagainya- dan sirah Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As dapat disimpulkan bahwa jihad dan pembelaan diri (defâ') untuk menyingkirkan berbagai rintangan yang menghadang dalam upaya penyebaran Islam, hingga pada batasan tertentu, itu pun dengan adanya berbagai pakem dan syarat-syarat tertentu dapat diterima. Peperangan yang mendapat dukungan Islam bukanlah peperangan untuk melakukan ekspansi dan penaklukan raja-raja, melainkan perlawanan untuk membebaskan. Slogan Rasulullah Saw adalah slogan kejayaan, kebebasan dan pembebasan manusia (qulu laa ilaha illaLlah tuflihu)[6] dan berusaha dengan melakukan berbagai aktifitas kultural membimbing masyarakat ke jalan kemenangan. Peperangan bagi Rasulullah Saw adalah semata-mata untuk menyingkirkan berbagai rintangan karena para musuh menciptakan berbagai rintangan dan halangan terhadap berbagai aktifitas konstruktif Rasulullah Saw.
Nah, apabila Rasulullah Saw tidak menyingkirkan berbagai rintangan tersebut maka beliau tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan mulianya yaitu memberikan petunjuk dan kebahagiaan manusia; maka mau tak mau beliau menggunakan strategi jihad dan pembelaan diri supaya dapat menghilangkan berbagai rintangan yang menghadang di jalan untuk mencapai kebahagiaan dan kejayaan. Sejatinya, Islam membenarkan penggunaan kekuatan militer hanya pada tiga perkara: Pertama, untuk menghilangkan pengaruh syirik dan penyembahan berhala. Karena dalam pandangan Islam, syirik dan penyembahan berhala, adalah penyimpangan, penyakit dan khurafat (superstisi). Karena itu, Rasulullah saw pertama-tama menyeru para penyembah berhala kepada tauhid, baru kemudian melakukan perlawanan dan menggunakan kekuatan senjata. Kedua, untuk menghilangkan konspirasi dan plot musuh-musuh serta orang-orang yang membuat konspirasi menghancurkan Islam dan menyerang kaum Muslimin, maka Islam mengeluarkan instruksi jihad dan menggunakan kekuatan militer untuk melawan mereka. Ketiga, demi kebebasan dalam penyebaran agama, karena setiap ajaran memiliki hak secara bebas dan dalam bentuk yang logis memperkenalkan dirinya. Apabila ada orang yang mencoba menghalangi maka ia dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk merebut haknya ini. Namun ketiga hal ini dapat ditempatkan pada daur pembelaan terhadap kemajuan, kemuliaan dan kesempurnaan manusia.[7]
2. Apa yang telah dijelaskan tentang pandangan konsultatif Imam Ali As tidak dapat disimpulkan bahwa berbagai penaklukan pada masa khalifah mendapat dukungan mutlak sesuai aturan-aturan Islam dan Imam Ali As setuju dengan segala tindakan yang telah dilakukan para khalifah dalam penaklukan-penaklukan ini. Artinya bahwa sekiranya Rasulullah Saw hidup atau Imam Ali yang menjadi khalifah paska Rasulullah Saw, tentu saja berbagai penaklukan yang terjadi tidak akan seperti itu. Dengan kata lain, ekspansi wilayah Islam tanpa agenda yang jelas dan dengan tiadanya Imam Ali di pucuk pemerintahan, maka apabila terjadi berbagai penyimpangan sudah pasti semua itu tidak sesuai dengan agenda-agenda Imam Ali As. Kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan ini di sini sebagai contoh. Adapun pembahasan rinci tentang hal ini akan kami alokasikan pada kesempatan yang lain:
Pertama, sekelompok orang dalam masyarakat Islam secara perlahan muncul. Mereka adalah orang-orang yang cinta kepada Islam, beriman kepada Islam, meyakini namun hanya mengenal Islam dari kulitnya saja tanpa mengenal ruhnya; sebuah kelompok yang hanya mengenal Islam sebatas ritual, misalnya shalat, bukan berdasar pengetahuan dan pengenalannya terhadap tujuan-tujuan Islam.
Kedua, mengambil jarak dari keadilan Islam dan menyebarnya diskriminasi; misalnya warga kota - non Arab - di Irak dikenal sebagai warga kelas dua dan atas dalil ini semenjak pertama, pekerjaan-pekerjaan berat seperti mendirikan pasar dan membuat jalan diserahkan kepada mereka.
Pada masa khalifah kedua, orang-orang Ajam tidak diberi kesempatan masuk ke kota Madinah agar mereka tidak bercampur dengan orang-orang Arab. Demikian juga dengan orang-orang Iran, agar mereka tidak memberikan pengaruhnya di sentral-sentral Islam. Khalifah ketika itu melihat bahwa masyarakat bebas memiliki budak Ajam dan tidak pantas melihat ada orang Arab yang menjadi budak.
Ibnu Jarih menulis, "...Tatkala Khalifah Kedua menyaksikan pada waktu thawaf dua orang yang bercakap-cakap Persia, ia berkata kepada mereka, ‘Bercakaplah dengan bahasa Arab, karena apabila seseorang bercakap-cakap dengan bahasa Persia dan mempelajarinya maka kehormatannya akan hilang." Sesuai aturan yang dibuat Khalifah Kedua, orang-orang Arab boleh menikahi para wanita Ajam namun tidak membolehkan orang-orang Ajam menikahi para wanita Arab.
Mengikuti tradisi ini, pada masa Muawiyah, anak-anak dari istri-istri Ajam tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Hajjaj, khalifah masa itu di Irak berkata, "Tidak seorang Ajam pun yang boleh menjadi imam jamaah di Kufah." Ia bahkan dengan paksa membawa mawali ke medan perang. Atau mawali turut serta dalam peperangan namun ketika pembagian harta rampasan perang maka jatah orang-orang Ajam lebih minim dibandingkan jatah orang-orang Arab. Hal yang lebih menyedihkan lagi, yakni memberikan harta baitul mal kepada masyarakat, namun tidak memberikan saham kepada mawali.[8] Namun hal ini telah menyebabkan kaum Muslimin terjauhkan dari Islam hakiki dan menyangka bahwa Islam adalah apa yang mereka saksikan dan dengarkan. Hal inilah yang telah menyebabkan paska berbagai penaklukan, terjadi banyak pemberontakan di daerah-daerah yang ditaklukan. Itulah yang membuat Imam Ali terpaksa mengirim satu pasukan ke Qazwin dan dua lasykar ke Khurasan, karena kota-kota Khurasan seperti Naisyabur memang harus ditaklukan kembali.[9]
Akhir kata, bahwa tujuan Imam Ali As dalam pemerintahannya yang singkat adalah mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi pada umat Rasulullah Saw paska kepergian Rasulullah Saw. [IQuest]
Referensi:
[1]. Silahkan lihat, al-Irsyâd, Syaikh Mufid, hal. 207. Nahj al-Balâghah, Khutbah 144. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 237-238. Târikh Kamil, jil. 3, hal. 3. Târikh Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 107. Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 501.
[2]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab.
[3]. Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, "Jatuhnya dinasti Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba'd az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, "Iran pada masa itu, dengan segala chaos dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan, "Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan, ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan melenyapkan ajaran Zoroaster." Karena itu, kondisi sosial dan agama yang tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[4]. Târikh Ya'qubi, Ahmad Ya'qubi, jil. 2, hal. 132. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 168.
[5]. Furûgh Wilâyat, hal. 285.
[6]. Katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan berjaya.
[7]. Târikh Ya'qubi, Ahmad Ya'qubi, jil. 2, hal. 151. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 170.
[8]. Târikh Tasyayyu' dar Iran, Rasul Ja'fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[9]. Târikh Thabari, Peristiwa-peristiwa Tahun 38 Hijriah.
______________________________
Wawancara: Imam Ali as di Mata Ben Sohib
Siapa yang tidak mengenal Ben Sohib?!! Dia adalah penulis esai humor dan cerpen satir juga sastrawan. Da Peci Code, novelnya yang pertama dipublikasikan, menjadi bestseller. Setelah sukses dengan karya pertama, Da Peci Code, Ben Sohib kembali meluncurkan buku keduanya,"Rosid dan Delia". Kedua buku karya Ben Sohib berhasil menggebrak dunia pernovelan Indonesia. Tidak salah bila Mizan Cinema melirik karya Ali Shahab yang akrab disapa dengan nama Ben Sohib, untuk diangkat menjadi film layar lebar. Dua karya itu disulap menjadi film 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta.
Mizan Productions setelah sukses membuat beberapa film yang diangkat dari bovel seperti Laskar Pelangi , Sang Pemimpi, Emak Ingin Naik Haji, kembali memproduksi film yang kisahnya berasal dari buku. Tak tanggung-tanggung, dua novel karya Ben Sohib dijadikan dasar untuk membuat film yang berjudul 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Film ini akan ditayangkan secara serentak di tingkat nasional pada tanggal 1 Juli.
Belum lama ini, IRIB berhasil mewancarai Ben Sohib soal sosok Imam Ali as. Bagaimana novelis bernas ini memandang sosok agung Imam Ali as? Berikut ini adalah wawancara IRIB dengan Ben Sohib.
IRIB:Tanggal 13 Rajab adalah hari kelahiran Imam Ali as. Bagaimana anda memandang sosok agung ini?
Ben Sohib: Buat saya Imam Ali seorang manusia paripurna. Beliau merupakan sosok yg kuat dalam berbagai sisi. Di satu sisi beliau seorang sufi yg berlimpah cinta, tapi di sisi lain beliau seorang yang mencengangkan dalam perkelahian di medan pertempuran. Beliau memiliki kharisma yg amat kuat sehingga disegani oleh lawan maupun kawan. Beliau juga seorang filosof, sosiolog, dan psikolog. Melalui kata-katanya, kita dapat menangkap bahwa beliau merupakan orang yg mengerti setiap serat yg terdapat dalam jiwa manusia dan masyarakat. Buat saya, Imam Ali adalah keajaiban.
IRIB: Salah satu aspek yang menonjol pada figur Imam Ali as adalah keadilan beliau, bahkan ada buku tentang keadilan Imam Ali as yang ditulis seorang penulis Kristen, George Jordac. Bagaimana anda memandang keadilan Imam Ali as?
Ben Sohib: Salah satu kata-kata Imam Ali yg saya ingat : "Bersikaplah adil bahkan dalam kemarahanmu." Tentu saja orang semacam George Jordac yang Kristen mengagumi beliau. Imam Ali milik seluruh pecinta kebenaran. Kearifan dan kebesarannya melampaui segala sekat, baik etnis maupun agama. Sebuah kekeliruan yang teramat besar jika Imam Ali dianggap sebagai milik umat Islam saja, atau lebih spesifik milik penganut Syiah saja.
IRIB: Bisakah anda jelaskan kepada kami mengenai kedekatan Imam Ali as dengan Rasulullah Saw?
Ben Sohib: Setahu saya Imam Ali berada dalam asuhan dan didikan Rasulullah semenjak beliau masih bayi. Saya rasa dibandingkan seluruh manusia pada zamannya, Imam Ali lah yg paling dekat dengan Rasulullah. Semenjak bayi hingga dewasa, Imam Ali menjadi murid Rasulullah. Buat saya, Imam Ali merupakan Platonya Muhammad. Orang yg paling menguasai dan mengerti ajaran Muhammad. Seperti Plato dengan Socrates
IRIB: Bagaimana anda memandang kepemimpinan atau imamah Imam Ali as?
Ben Sohib: Saya dibesarkan dalam tradisi Sunni sehingga saya tidak begitu akrab dengan persoalan imamah dalam pengertian teologis. Tetapi kalau dalam konteks kepemimpinan beliau sebagai seorang khalifah, tentu dapat kita yakini keadilan beliau dalam memimpin. Lihat saja bagaimana surat-surat dan nasihat beliau kepada para gubernurnya. Atau bagaimana sikap beliau menghadapi tipu daya musuh-musuh politiknya. Imam Ali jelas lebih mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan dirinya sendiri. Imam Ali tidak pernah membalas tipu daya politik dengan tipu daya politik, padahal beliau mampu jika mau.
IRIB: Bisakah anda ceritakan keutamaan-keutamanan Imam Ali as, kepada kami?
Ben Sohib: Menceritakan keutaman-keutamaan Imam Ali sulit buat saya. keutamaan beliau terlalu banyak. Tapi satu hal yg jelas buat saya, Imam Ali seorang sastrawan hebat. Beliau ahli retorika yg luar biasa. Kalimat-kalimatnya sangat berkharisma.
IRIB: Apakah anda tidak tertarik menulis novel yang mengambil inspirasi dari ketokohan Imam Ali as? Ben Sohib: Tidak. Setidaknya untuk saat ini.
(irib/24/6/2010)
____________________________________
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) Hakim yang Zuhud
Ali bin Abi Thalib (sa), selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.” (Biharul Anwar, jilid 40, hlm. 326).
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?”
Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.” (Biharul Anwar, jilid
4, hlm 323)
Dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif, Imam Ali (sa) menyatakan:
“Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah ‘merasa cukup’ dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah (kesucian diri) dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikitpun dan dari ghanimah (harta rampasan perang), aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan?
Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa
depannya.” (Nahjul Balaghah, surat nomor 45).
Di bagian lain dari surat yang sama, beliau menyatakan: “Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada berbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, banyak perut yang lapar dan kerongkongan yang haus.” (Nahjul Balaghah, surat 45).
____________________________________
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dan Belanja Harta Negara
Di masa khilafah-nya, secara syariat Imam Ali (sa) memiliki hak seperti para penguasa pada umumnya, dalam membelanjakan baitul-mal untuk keperluan pribadi dalam batas yang umum.
Namun, berbeda dengan khalifah yang lain, Imam Ali (sa) sama sekali tidak pernah menggunakan harta milik umum.
Adakalanya beliau menggunakannya hanya dalam batas yang sangat kecil yang tak berarti. Imam Ali hidup sangat sederhana dan zuhud.
Belanja hidupnya ditopang dari panen ladang kurma di Madinah yang beliau miliki sebelumnya.
Zadan berkata: “Bersama dengan Qanbar (pembantu Imam Ali), aku menjumpai Imam Ali (sa).
Qanbar berkata, “Wahai Imam Ali! Aku menyembunyikan sesuatu untukmu.”
Beliau bertanya, “Apa itu?”
Qanbar berkata, “Datanglah ke rumah kami agar aku tunjukkan kepada Anda.”
Imam bangun dan bersama Qanbar menuju rumah pembantunya itu. Qanbar menunjukkan satu wadah besar yang dipenuhi dengan emas dan perak.
Dia berkata, “Engkau telah membagikan semua harta baitul-mal kepada Muslimin dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk diri Anda sendiri. Maka, aku menyimpan dan menyembunyikan harta ini untuk Anda.”
Imam Ali (sa) berkata: “Engkau ingin memasukkan api ke dalam rumahku?”
Kemudian, Imam Ali (sa) mengeluarkan pedangnya dan memotong-motong emas dan perak itu lalu memerintahkan agar dibagikan kepada Muslimin.
Lantas beliau berkata: “Wahai emas dan perak! Janganlah menipuku!
Tipulah selain aku!”
Harun bin Antharah mengutip dari ayahnya yang berkata: “Suatu ketika, aku menemui Imam Ali (sa) di gedung Khurnaq. Beliau melilitkan sehelai handuk di tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Aku bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Allah swt telah menetapkan bagian dari baitul-mal untukmu dan keluargamu. Namun, mengapa engkau menyiksa dirimu seperti ini!”
Imam berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah membeli pakaian dari harta milik kalian dan handuk yang aku lilitkan di tubuhku ini aku bawa dari Madinah.” (Tarjumah Imam Ali bin Abi Thalib (sa), jilid 3,
hlm 181).
Asbagh bin Nabathah mengutip ucapan Imam Ali : “Demi Allah! Aku datang ke negeri kalian dengan satu pakaian ini dan perlengkapan hidupku hanyalah kuda (binatang kendaraan). Apabila aku keluar dari negeri kalian dalam keadaan membawa sesuatu yang lain dari apa yang aku miliki sebelumnya, niscaya aku termasuk orang yang berkhianat.”
Di dalam riwayat lain, beliau berkata: “Wahai penduduk Basrah! Mengapa kalian masih mengkritikku?” Kemudian beliau menunjuk pakaiannya dan berkata : “Pakaian ini telah kumiliki sebelum aku berkuasa dan dijahit oleh keluargaku.” (Biharul Anwar, jilid 4, hlm 325).
Pembelanjaan hidup Imam Ali (sa) ditopang dari hasil ladang yang beliau miliki di Madinah dan diperoleh dari Yanbu’ (mata air). Beliau mengundang makan orang dengan daging dan roti sedangkan yang beliau
makan sendiri adalah roti, zaitun, dan kurma. (Gharat, jilid 1, hlm. 68).
___________________________________
Nasehat Imam Ali (sa) untuk para Pejabat Negara
Dikutip dari:
Surat Imam Ali bin Abi Abi Thalib (sa) kepada Pembantunya yang Menyalahgunakan Jabatan
Ammâ ba’du. Sesungguhnya aku telah mempercayakan kepada Anda amanat yang dibebankan atas diriku.
Kuanggap Anda sebagai “orang dalam” yang amat kupercayai. Tidak ada seorang pun dari keluargaku terdekat yang sangat kuharapkan dukungannya serta keikhlasan dan kejujurannya lebih daripada Anda.
Namun kini, ketika Anda lihat aku ditantang oleh keganasan zaman dan kekalapan lawan, di saat rusaknya amanat kebanyakan manusia, dan parahnya kelalaian yang menimpa umat ini …, justru Anda sendiri telah “membalikkan punggung”, meninggalkan aku bersama orang-orang yang meninggalkan, menelantarkan aku bersama mereka yang menelantarkan, dan mengkhianati aku bersama mereka yang berkhianat. Maka, tiada bantuan yang Anda berikan dan tiada pula amanat yang Anda tunaikan.
Seolah-olah bukan karena Allah Anda berjuang sebelum ini, dan bukan berdasarkan petunjuk-Nya Anda berjalan selama ini. Seakan-akan Anda hanya ingin menjerumuskan umat ini guna memperoleh dunia mereka, dan merencanakan tipu daya demi merampas hak mereka.
Manakala kesulitan negeri ini makin bertambah, membuka jalan bagi Anda untuk mengkhianati umat, Anda pun segera bertindak dan meloncat, menerkam apa saja yang dapat Anda kuasai – dari harta mereka yang tersimpan untuk janda dan anak yatim – dengan kecepatan laksana seekor serigala menerkam anak domba yang terluka.
Lalu Anda bergegas membawanya semua jauh ke negeri Hijaz dengan hati amat puas, tak sedkit pun bercampur perasaan berbuat dosa, seakan-akan Anda telah mewarisi dari ayah dan ibu Anda …!
Sungguh, sebelum ini Anda termasuk di antara orang-orang yang berpikir sehat.
Betapa kiranya Anda dapat menelan minuman dan makanan yang Anda tahu benar-benar sebagai minuman haram dan makanan haram …!
Betapa teganya Anda membeli sahaya dan menikahi wanita dengan harta anak yatim, kaum fakir-miskin, orang-orang mukmin dan para mujahidin yang untuk merekalah Allah swt telah memelihara semua harta ini, dan dengan mereka pula ditundukkan-Nya negeri-negeri ini?!
Bertakwalah kepada Allah dan kembalikan semuanya itu kepada mereka!
Jika tidak, dan Allah memberiku kuasa atas Anda, niscaya akan kuhukum
Anda dengan hukuman yang setegas-tegasnya demi memenuhi pertanggunganjawabku kepada Allah.
Dan akan kuhantam Anda dengan pedangku yang tidak seorang pun kuhantam dengannya melainkan ia pasti masuk neraka!
Demi Allah, seandainya salah seorang di antara kedua putraku Hasan dan Husein, melakukan perbuatan yang Anda lakukan, tidak sedikit pun akan kuringankan perlakuanku terhadap mereka, dan tidak sejenak pun akan kubiarkan mereka selamat dari kejaranku sampai aku berhasil mengambil kembali segala yang bukan menjadi haknya dan menghapus kebatilan dari perbuatan aniaya mereka.
Aku bersumpah demi Allah, Tuhan semesta alam, sekali-kali aku takkan merasa senang sedikit pun sekiranya apa yang Anda ambil itu menjadi milikku yang kemudian kutinggalkan sebagai warisan bagi keluarga sepeninggalku.
Perhatikan dirimu baik-baik, sebentar lagi Anda sudah akan mencapai “tujuan akhir dan tertanam di bawah lapisan tanah. Segala perbuatanmu akan diperlihatkan kepada dirimu di padang mahsyar, tempat orang-orang yang telah berbuat aniaya akan merintih menyesali diri, orang-orang yang lalai akan sangat mengharap seandainya ia dapat kembali ke dunia…
Namun waktu itu tiada sedikit pun kesempatan untuk melarikan diri…!
(Syarah Nahjul Balaghah Syeikh Muhammad Abduh, jilid 3, hlm 62)
_____________________________________
Ali bin Abi Thalib, Insan Yang Sempurna
Hari ketika Ali terlahir ke dunia di dalam Kaabah, mata warga Mekah terbelalak menyaksikan keajaiban ini. Sebab, tak pernah ada seorangpun yang lahir di dalam Kaabah selain putra Abi Thalib ini. Kejadian tersebut mengisyaratkan bahwa putra yang lahir pada tanggal 13 Rajab ini adalah orang besar yang disegani dan dikagumi bahkan ribuan tahun setelah kematiannya. Kehidupannya yang penuh makna telah melahirkan pemikiran besar yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup sezaman dengannya dan diwarisi oleh generasi-generasi berikutnya.
Hari ini kita memperingati kelahiran insan yang dikenal keluasan dan kedalaman ilmunya. Dia figur pemimpin yang bijak dan ramah. Dia adalah sosok manusia dengan kepribadian yang kuat dan stabil. Sebelum menjalankan keadilan dia terlebih dahulu menerapkannya pada diri sendiri. Kemuliaan akhlak menjelma dalam bentuk terindah dalam dirinya. Beliau memadukan antara pemikiran yang tajam dan mendalam dengan kasih sayang yang lembut. Malam hari ketika larut dalam ibadah, dia terputus dari segala sesuatu kecuali Allah. Di siang hari, dia terjun ke tengah medan dengan berbagai aktivitas sosial dan politik.
Sosok pemimpin agung ini dikenal pemaaf, pemberani dan ksatria tanpa tandingan. Jawara di medan perang ini tampil sebagai ilmuan yang bijak saat berbicara menebar hikmah. Semua orang dengan seksama mendengar tutur kata yang bak mutiara bertebaran dari lisannya. Setiap malam bintang-bintang di langit menjadi saksi air mata penghambaan dan kekhusyukannya dalam beribadah. Suara lirih munajatnya di kegelapan malam menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Dialah Ali bin Abi Thalib, sosok insan kamil yang menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan keindahan manusia Ilahi.
Imam Ali (as) putra keempat Abi Thalib lahir tanggal 13 Rajab sepuluh tahun sebelum kenabian Rasulullah Saw. Ibunya bernama Fatimah binti Asad, wanita agung yang dikenal karena kesucian dan kemuliaannya. Ali yang lahir di dalam Kaabah hanya hidup bersama ayahandanya sampai berusia enam tahun. Sebab, kota Mekah kala itu didera paceklik yang melambungnya harga barang-barang kebutuhan hidup. Beban biaya pengeluaran keluarga warga Mekah melonjak. Nabi Saw akhirnya mendatangi sang paman dan menawarkan diri untuk mengasuh Ali demi meringankan beban ekonomi Abu Thalib. Sejak itulah Ali diasuh dan dididik langsung oleh Nabi Saw. Dalam salah satu khotbahnya yang tercatat dalam kitab Nahjul Balaghah, Imam Ali (as) menceritakan masa itu dan mengatakan, "Aku selalu mengikuti Nabi layaknya anak unta yang mengikuti induknya. Setiap hari Nabi Saw mengajarkan akhlak yang mulia kepadaku dan memintaku untuk mencontohnya."
Setelah wahyu turun dan Nabi Saw memulai tugas risalah kenabian, Ali adalah orang pertama yang menerima seruan Nabi dan mengikuti agama yang beliau bawa. Suatu hari, Abu Thalib melihat putranya sedang shalat bersama Nabi Saw. Kepada putranya itu, Abu Thalib bertanya, "Anakku, apa yang kau lakukan tadi?" Ali menjawab, "Aku telah menerima ajaran Islam dan demi mendapat keridhaan Allah aku melaksanakan shalat bersama sepupuku." Abu Thalib berkata, "Anakku, jangan sampai engkau berpisah darinya, sebab dia tak akan pernah mengajakmu kecuali kepada kebaikan dan kebahagiaan."
Allah memerintahkan RasulNya untuk pertama-tama mengajak sanak keluarga terdekatnya kepada ajaran tauhid. Untuk melaksanakan perintah Allah, Nabi Saw mengundang 40 orang dari keluarga dekatnya untuk sebuah jamuan makan. Namun di hari pertama, beliau tak sempat menyampaikan risalah kenabian kepada mereka. Di hari berikutnya, beliau melakukan hal yang sama. Di hadapan sanak keluarga itu, Nabi Saw bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bersedia membantuku dan beriman kepadaku sehingga aku menjadikannya sebagai saudaraku dan penerus setelahku?' Ali bangkit dan menjawab, "Aku siap membantu dan membelamu, ya Rasulullah." Nabi Saw meminta sepupunya itu untuk duduk. Beliau mengulang kata-kata sebelumnya untuk kali kedua. Tak ada yang menjawab selain Ali. Kejadian yang sama terulang sampai tiga kali. Akhirnya Nabi Saw di hadapan sanak keluarga beliau bersabda, "Ali adalah saudara, penerima wasit, pewaris dan penggantiku di tengah kalian."
13 tahun berlalu sejak Nabi Saw pertama kali menyampaikan risalah tauhid di Mekah. Segala macam gangguan beliau hadapi dengan tabah dan kesabaran yang tak terlukiskan. Akhirnya, setelah kondisi tidak lagi memungkinkan bagi beliau untuk melanjutkan misinya di kota itu, Rasul Saw hijrah ke kota Madinah setelah sebelumnya beliau memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah terlebih dahulu. Malam hari ketika hendak meninggalkan rumahnya, beliau meminta Ali (as) untuk tidur di pembaringannya. Ali menerima perintah itu dengan senang hati meski nyawa harus menjadi taruhannya. Kisah pengorbanan besar putra Abu Thalib itu diabadikan oleh Allah Swt dalam al-Qur'an. Allah berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambanya. (QS. al-Baqarah (2) : 207)
Selama tiga hari setelah Rasulullah hijrah, Ali menyerahkan semua amanat yang ada di tangan Rasul kepada para pemiliknya. Selanjutnya, beliau bersama ibunya Fatimah binti Asad, Fatimah putri Rasulullah Saw dan beberapa orang lainnya bertolak meninggalkan Mekah menuju Madinah. Menyaksikan kedatangan Ali dan rombongan di Madinah, Rasulullah Saw bersuka cita dan memuji pengorbanan Ali yang tiba di kota baru itu dalam kondisi kaki yang melepuh dan terluka.
Di Madinah, Rasulullah Saw mengikat kaum muslimin dalam ikatan persaudaraan antara mereka. Masing-masing orang menemukan saudaranya sedangkan Ali dikhususkan oleh Rasul untuk menjadi saudaranya. Beliau bersabda, "Wahai Ali, engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat." Tahun kedua, Nabi menikahkan putri kesayangannya, Fatimah (as) dengan Ali. Tak lama kemudian, terjadi perang Badar yang mementaskan keberanian, kepahlawanan dan ketulusan Ali. Kepahlawanan Ali pun menjadi buah bibir.
Sheikh Mufid mengatakan, "Ketika perang berkecamuk di Uhud, Ali menjadi primadona sehingga Nabi Saw bersabda, "Ali dariku dan aku darinya." Di perang inilah, dari langit terdengar suara yang berseru, "Tidak ada ksatria seperti Ali dan tak ada pedang seperti Dzul Fiqar."
Tahun kelima hijrah terjadi perang Khandaq. Lebih dari sepuluh ribu orang memperkuat lasykar Kafir. Mereka datang dari berbagai penjuru jazirah Arabia untuk menghancurkan Madinah. Terjadi duel yang terkenal antara Ali dari pasukan Islam dan Amr bin Abdi Wad, dari pasukan Kufur. Duel itu dikomentari oleh Nabi Saw dalam sabdanya, "Keimanan sepenuhnya tengah bertempur melawan kekafiran seutuhnya''. Ali berhasil menyungkurkan Amr dan jawara kafir yang ditakuti itu tewas di tangan pemuda bernama Ali.
Perang Khaibar pecah. Pengkhianatan orang-orang Yahudi Khaibar tidak bisa dibiarkan. Nabi Saw dua kali mengirim ekspedisi militer untuk menundukkan Khaibar yang dikokohkan dengan sejumlah benteng kuat. Kedua ekspedisi itu gagal. Akhirnya, Rasul Saw mengumumkan akan mengirim ekspedisi berikutnya dan bersabda, "Besok aku akan menyerahkan bendera ini kepada orang yang tidak akan pernah lari dari medan perang. Dia orang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya. Allah akan membuka benteng Khaibar dengan tangannya." Esok hari, Rasulullah Saw menyerahkan panji itu kepada Ali bin Thalib dan Allah menganugerahkan kemenangan kepada kaum muslimin.
Ali selalu menyertai Rasul dalam suka maupun duka. Ali bersama Nabi kala beliau terusir dari Mekah dan menyertai beliau kala Mekah ditakluk. Tahun kesepuluh hijrah, sekembalinya dari Haji Wada' atau haji perpisahan, Nabi Saw mengumpulkan semua yang bersama beliau di Ghadir Khum dan bersabda, "Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, Ali adalah pemimpinnya pula."
Imam Ali (as) adalah sosok pemimpin yang dikenal adil. Tak ada yang dapat menandingi keadilan figur yang dididik langsung oleh Nabi Muhammad Saw ini. Dalam sebuah riwayat, Imam Ali (as) berkata, "Ketahuilah, bahwa sejengkal pun tanah yang dihadiahkan kepada orang tanpa hak dan sekeping pun uang yang diambil secara tidak benar dari baitulmal akan ditarik kembali ke kas pemerintahan Islam Sesungguhnya kebenaran tidak akan mengubah apapun menjadi batil. Berlalunya masa tidak membuatku melupakan masalah ini..."
Suatu malam, Talhah dan Zubair datang menemui Imam Ali saat beliau sedang melakukan penghitungan khazanah Baitul Mal. Ali memadamkan lampu dan menghidupkan lampu yang lain. Beliau berkata, "Lampu ini adalah milik baitul mal yang aku gunakan untuk kepentingan baitul mal sendiri. Tapi lampu yang sekarang ini kuhidupkan adalah milik pribadi sebab kalian datang kepadaku untuk berbicara soal pribadi. Aku tak mau menggunakan barang baitul mal untuk kepentingan yang lain." Setelah pertemuan itu usai, keduanya beranjak pergi sambil bergumam, "Tidak ada orang yang kuat menghadapi keadilan seperti ini."
Mengapa Ali sedemikian diagungkan dan dipuja? Mengapa sepanjang sejarah dia dicintai dan disanjung? Ali adalah manusia Ilahi yang hanya berbuat dan berkata untuk keridhaan Allah. Itulah yang membuatnya kekal. Beliau pernah menggambarkan keunggulan ilmu atas harta, yang salah satunya adalah;
"Pengumpul harta adalah orang yang mati saat mereka masih hidup sementara orang yang berilmu akan tetap hidup meski ia telah mati. Jasadnya telah lebur dan binasa tapi kesan dan pengaruhnya kekal di hati."
(Islam-Quest/IRIB-Indonesia/Syamsuri-Rifai/Banjarku-Umai-Bungasnya/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email