Oleh: Anna Mariana
“Atuda kos, ah.. kumaha nyarioskeun nana ge. (hampir menangis) Jadi …kamar teh dua. Ari di kamar teh ranjang teh dua-dua. Jadi urang teh silih tingali mun “kitu” teh… make erok oge… ditaranjangan, disiksa, tapi di dinya teh aya nu betah… Lah.. aya nu betah didinya teh… ema mah teu betah. …keur ceurik jejeritan…“
“Harus bagaimana lagi menceritakannya, (hampir menangis—pen), jadi… kamar itu ada dua. Dalam kamar terdapat ranjang masing-masing dua. Jadi satu sama lain bisa saling melihat bila sedang “seperti” itu (diperkosa—pen), pakai rok… ditelanjangi, disiksa, meski terlihat ada yang betah, …tapi ema tidak betah… selalu menangis berteriak…“. (Wawancara dengan Mimin Sukartin di Sukabumi, 30 Juni 2009)
…………………………….
Gedung itu sekarang bernama Inspektorat. Terletak di jalan utama kota Sukabumi, saat ini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Tampilan gedung ini tampak cukup megah dan berwibawa dengan adanya kibaran bendera merah putih di halamannya. Tetapi, tak banyak orang yang tahu, gedung itu ternyata menyimpan kesaksian bisu pada masa pendudukan Jepang, tentang kekejaman balatentara Jepang, terutama bagi para perempuan penyintas kekerasan seksual masa Jepang, atau sering disebut secara eufemistik dengan Jugun Ianfu. Para perempuan yang “terseret” tanpa daya dan upaya ini berlangsung di sebuah lokasi yang lebih tepat dikatakan sebagai tempat berlangsungnya “algojo” seksual Jepang. Pada masa itu, gedung ini dikenal dengan “rumah Kipers”, sebuah rumah yang menurut ingatan orang, merupakan rumah milik seorang Belanda yang bernama “Tuan Kipers”. (1)
Rumah tuan Kipers ini kemudian menjadi tempat yang disulap menjadi bordir “liar”. Dikatakan seperti itu, karena di tempat ini cara “beroperasi” tanpa ada aturan yang lazimnya terdapat dalam sebuah ianjo. Ianjo yang selama ini dikenal adalah suatu tempat yang disulap menjadi tempat “bordir” yang memiliki sistem antrean, pemeriksaan kesehatan, dst (2). Rumah-rumah “liar” yang berlaku sebagai tempat perbudakan seksual semacam ini banyak ditemukan di kota Sukabumi. Bahkan tak hanya rumah-rumah yang “disulap” sebagai tempat pemerkosaan massal, tempat-tempat itu tersebar pula di perkebunan-perkebunan, hotel-hotel hingga rumah dinas (3). Sebagaimana penuturan Mak Mimin di pembuka tulisan ini, nampak bahwa Kipers adalah suatu rumah yang telah “disulap” menjadi sebuah “bordir liar”.
Salah seorang penyintas yang berkisah mengenai rumah Kipers itu adalah Mimin Sukartin yang sempat penulis temui di Jalan Kepodang. Penderitaan yang dialami Mimin, nampaknya hanyalah satu dari kisah yang baru dapat diungkap dari kisah “rumah” itu. Mimin berkisah, bahwa gedung Inspektorat/Kipers, dahulu digunakan sebagai tempat para tentara Jepang melampiaskan hasrat seksual kepadanya. Sikap para tentara yang haus seksual bersikap sangat kasar bahkan tak jarang melakukan beragam penyiksaan. Peristiwa itu masih terekam secara kuat dalam ingatan-ingatan masa tua Mimin. Mata yang menerawang ketika menceritakan rasa traumatis itu, dengan sedikit terbata dan tercekat ketika menceritakan kisahnya, tidak menyurutkan Mimin untuk melanjutkan cerita mengenai perbudakan yang dialami dirinya kepada penulis. Mimin nampaknya sedang berusaha untuk meruntuhkan kebisuan yang selama ini dipendamnya, agar dapat mengobati rasa sakit yang masih ia rasakan. Jika diibaratkan, ia bagaikan seseorang yang tengah meradang, namun tak dapat mengeluarkan erangan kemarahannya sama sekali. Hanya sorot mata tajam dengan sudut mata yang mengambang air mata, menjadi saksi mengenai kemarahan atas peristiwa masa lalu yang ia alami.
Ya, ia masih ingat, bagaimana proses saat ia harus menjadi “penghuni” gedung itu: tentara Jepang “menjemput” paksa dirinya. Malam itu, seperti biasa, ia sedang mengaji, setelah selesai menunaikan sholat Isya. Kebiasaan itu ia lakukan bersama dengan ayahnya. Tiba-tiba saja, tanpa diketuk, pintu rumah langsung dibuka, lalu para tentara yang pada waktu itu berjumlah empat orang, mengatakan akan “meminjam”-nya. Ayah Mimin terang saja menolak. Tetapi meski sangat keberatan, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya bisa menangis setelah pengambil paksaan dirinya itu. Mimin mengingat:
Mimin Sukartin, 2009
“Ibu mah teuing kumaha atuh, da era ibu mah. Nyaeta atuh… sedih pisan (nangis… matanya menerawang, terbata-bata). Tos ngaos we biasa. Biasa lah, bapa aya, bapa tos netepan isya. Mun inget kadinya teh,… ibu mah pas ka, teu wani ka lembur, era, dikekeak..”
“Ibu tak tahu harus bagaimana lagi, ibu sangat malu. Ya bagaimana lagi … sangat sedih (nangis, .. mata menerawang, suara terbata-bata). Seperti biasa, (waktu itu), setelah mengaji, bapak ada, ia sudah sholat Isya. Kalau ingat pada waktu itu … ibu sudah tak berani pulang kampung, ibu merasa malu, dipermalukan…” (4)
Kepergian Mimin dari rumahnya pada malam itu tidak sendirian. Ia bersama dengan perempuan dari desa tempat tinggalnya pun “diangkut” pada malam itu. Nampaknya, para tentara sudah merencanakan “peminjaman” tersebut secara matang. Perempuan yang berangkat dari kampung Cijambe, desa Karang Timur, tempat Mimin berasal berjumlah empat orang. Pada malam itu juga ia langsung dibawa ke rumah Kipers. “Perekrutan” yang dilakukan oleh para tentara Jepang tak hanya dialami Mimin, ratusan perempuan di Sukabumi dan sekitarnya pada masa Jepang, telah menjadi korban perbudakan seksual.
“Perekrutan” yang dilakukan tentara Jepang di wilayah Sukabumi dan sekitarnya, berbeda dengan pola perekrutan di tempat lainnya. Modus yang biasa dilakukan tentara Jepang dalam merekrut secara “formal” yang terlacak selama ini adalah melalui bujuk-rayu, seperti akan diberi pekerjaan ataupun akan disekolahkan (5). Tetapi, pola-pola “penangkapan” dan “peminjaman” para perempuan di Sukabumi hampir banyak dilakukan dengan cara paksa. Sebagaimana yang terjadi pada Mimin, hal tersebut terjadi pula dengan keluarga Christin Peters, seorang peranakan Indo Belanda-Sunda yang memiliki empat orang putri. Umi Aisyah, bungsu dari keluarga Christin Peters, bercerita mengenai kekerasan yang dilakukan pihak Jepang terhadap keluarganya. Ketiga kakaknya telah menjadi korban perbudakan seksual di rumah Kipers. Mereka “diambil” untuk “dipinjam” di rumah Kipers. Cukup dekat jarak rumah keluarga ini dengan rumah Kipers, sekitar setengah kilometer. Agaknya kedekatan tempat tidak menjadikan pertimbangan melakukan “perekrutan”. Kakak-kakak Umi Aisyah diangkutnya, sementara ia saat itu masih tergolong kecil. Seringkali sewaktu malam, Umi Aisyah mendengar teriakan para tentara yang meminta perempuan. Berikut adalah penuturan Umi Kultsum atas “pengambilan” ketiga kakaknya:
“Dapet juga kakak. ‘Pinjem ona we’, puluhan ngider tiap malam. Iya tiap malam ngontrol. Di sini mah kakak ibu. Tah markasnya di situ. Bawa samurai. Ibu teh sok pipiluan we ngobrol. Itu mah kan totok. Pinjem ona, pinjem awewe, jadi kepaksa, ngasih wae bapak. Dipinjem ajah… jadi masih keneh, SR kelas hiji, dua,… dijagaan… ”
“Yang diambil kakak. ‘Pinjam ona’ (nona—pen), setiap malam berkeliling (sambil memanggil-manggil nona). Iya tiap malam ngontrol. Di sini kakak saya (yang diambil—pen). Markasnya di situ. Bawa samurai. Ibu (Umi—pen) sering ikut-ikutan saja mengobrol. Mereka itu totok. Pinjam ona, pinjam perempuan, jadi terpaksa, bapak memberikan (kakaknya—pen). Lalu dipinjam… jadi masih saja, waktu itu sekolah Rakyat kelas satu, kelas dua,.. dijagain (tempat kakaknya—pen)” (6)
Menelusuri dua kisah para penyintas di atas, tentunya menguak tanda tanya mengenai bagaimana sebetulnya “operasi” rumah “bordir” ini. Dalam ingatan Umi Aisyah rumah itu dijaga dengan sangat ketat. Namun ia dapat keluar masuk dengan mudah dan mengajak ngobrol para penjaga. Ia merasa para tentara yang menjaga tidak “tertarik” pada dirinya karena masih kecil. Namun tatkala sudah menjadi besar, ia pun menjadi korban para tentara penjaga, sementara kakaknya telah masuk ke rumah Kipers dahulu. Umi dijadikan budak seks di sebuah tangsi yang dekat rumahnya (7). Sebelum itu, ia dapat keluar-masuk rumah Kipers untuk memberi makanan bagi kakak-kakaknya. Selama itu, ia dapat melihat ”isi” rumah Kipers ini. Rumah ini dijaga oleh empat orang secara bergantian. Dihalangi oleh pagar yang berkawat tinggi. Para penghuni di gedung itu kurang lebih ada sekitar 50-an orang. Semuanya ditempatkan begitu saja tanpa adanya penempatan ruangan khusus dan yang layak bagi mereka (8). Para perempuan yang berada di dalam gedung itu mengalami penderitakan fisik maupun psikis. Mereka mengalami eksploitasi seksual secara brutal dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Rumah Tuan Kipers, sekarang menjadi kantor Inspektorat (foto: AM)
Kipers mewujud menjadi tempat “horor” bagi para perempuan yang dimasukkan ke dalam gedung tersebut. Mereka harus berbagi ruangan, sehingga kondisi mereka berdesak-desakan satu sama lain. Mereka tidak mendapatkan, setidaknya, tempat yang layak untuk “merebahkan” diri dari kepenatan, dan segala sedu sedan mereka sebagaimana “bordir” ala Jepang lainnya. Berbeda dengan beberapa “bordir”/ianjo yang ada di tempat-tempat lain, yang sangat “rapi” sebagai “rumah bordir”, rumah Kipers dapat dikatakan sangat tidak manusiawi.
“Operasi” yang harus dihadapi oleh para perempuan di rumah Kipers di luar nalar, setiap orang yang masuk kedalam gedung itu tidak memiliki aturan—sebagaimana biasanya bordir Jepang yang menyediakan karcis maupun kapocis (kondom)—ketika berada di dalam “rumah” itu. Para perempuan harus mengalami penderitaan fisik maupun psikis akibat pemerkosaan yang brutal. Tanpa basa-basi para tentara dapat masuk menyerbu begitu saja, seperti segerombolan hewan, tanpa ada rasa malu. Ketika para perempuan ini dipaksa untuk melayani para tentara, mereka berhubungan tanpa ada sekat ataupun masuk kamar tersembunyi, sehingga mereka dapat melihat satu sama lain (9). Kadang kala para tentara itu dalam kondisi mabuk berat sehingga tak sungkan untuk menyiksa para perempuan itu.
Para perempuan yang tinggal di Kipers, tidak hanya yang berasal dari daerah Sukabumi dan sekitarnya, namun, ada pula yang berasal dari luar pulau Jawa, seperti Palembang. Mereka “bekerja” hanya pada malam hari. Meski kehidupan yang serba sulit itu, tidak menyebabkan mereka tidak mengenal satu sama lain, sesekali mereka saling bertukar cerita mengenai asal mereka pada saat siang hari, ketika mereka merehatkan raga mereka. Sayangnya, satu sama lain tak ada yang berani untuk menceritakan bagaimana perasaan hati mereka, karena tanpa mereka harus mengutarakan pun jiwa mereka sudah sangat terluka, begitu menurut pengakuan Mimin.
Penuturan Mimin di atas menunjukkan ketidak-teraturan dan “ketidak disiplinan” para tentara Dai Nippon saat “mengunjungi” gedung tersebut. Minimal peraturan berkunjung dengan antri ataupun bergiliran. Para tentara masuk dengan tanpa malu lagi melakukan pemaksaan seksual walaupun dilihat oleh pihak lain. Kipers merupakan saksi bisu bagaimana kebrutalan para tentara ketika memenuhi kebutuhan seksualnya berdimensi politik, yakni melakukan proses pemerkosaan massal yang diorganisir dan diakui keberadaannya oleh negara. Bagaimana tidak, keberadaan Kipers mewujud dalam hiruk pikuk peperangan dengan memanfaatkan “tubuh” perempuan yang dieksploitasi tidak hanya fisik, namun juga hal ekonomi. Kisah mereka bukan cerita tentang prostitusi. Para perempuan ini “bekerja” tanpa dibalas imbalan, sebab dilakukan dengan kekerasan dan paksaan ekspolitasi seksual dalam waktu lama. Tindakan tentara Jepang ini adalah suatu perbudakan seksual.
Dalam sistem keruangan atas perbudakan seksual yang tak manusiawi itu, para perempuan di dalam rumah Kipers berada dalam titik tertendah kehormatannya. Mereka menjadi “budak” dalam arti yang sebenarnya ketika sudah tidak ada lagi hal yang dapat ditutupi dari penghinaan secara massal tersebut. Dapat disimpulkan dari ingatan penyintas, apa yang terjadi di dalam rumah itu lebih dari sekadar “bordir”, namun disebut sebagai “tempat pemerkosaan massal”, untuk menunjukkan bahwa tempat itu memang diorganisir dan bukan “liar” begitu saja. Ini terlihat mulai dari pengambilan paksa korban, adanya “perlindungan” dari para penjaga yang melindungi praktek perbudakan seksual tersebut, adanya juru masak yang biasa melayani kebutuhan pangan para gadis yang berada di sana, dan normalisasi keberadaan mereka sebagai “peliharaan Jepang” di saat kondisi sosial ekonomi begitu memprihatinkan masa itu.
Keadaan rumah Kipers pada saat tidak dikunjungi para tentara, lebih banyak diisi oleh kegiatan harian para korban rampasan. Aktivitas para perempuan ini hanya diisi untuk mandi, beristirahat, makan, minum dan kebutuhan harian belaka. Mereka tidak diperkenankan untuk keluar dari rumah. Tidak ada kebebasan dan pemenjaraan diperketat. Terkadang dikarenakan “tugas” mereka pada aktivitas malam hari yang sangat tak manusiawi, pada akhirnya membuat hubungan para penguhuni sangat kaku dan intensitas interaksi yang sekadarnya. Sebagian besar sikap para penghuni hanyalah termangu menyesali nasib tanpa bersesapa satu sama lain. Perbincangan yang panjang lebar mengenai asal muasal dan keadaan satu sama lain secara akrab tidak pernah terjadi (10).
Perihal sikap kaku itu dapat dimaklumi, dikarenakan para perempuan yang dinistakan kehormatannya itu harus mengalami perlakuan eksploitasi seksual yang sama dengan aktivitas seksual sekelompok kaum binatang! Bagi para perempuan yang tidak kuat dengan kondisi tersebut, terkadang bunuh diri adalah jalan yang terbaik untuk mengakhiri penderitaan yang mengerikan tersebut. Berikut adalah tambahan gambaran kondisi perbudakan seksual yang terjadi:
“Di tempat itu berjajar tapang atau dipan, tempat tidur. Di sana sudah ada perempuan dengan keadaan yang sama. Bahkan keadaan mereka jauh lebih parah sebab mereka diperlakukan pelecehan pada kamar yang sama berjajar sesuai banyaknya tempat tidur/tapang. “Kamu bisa bayangkan sakit ibu, hati dan badan sudah dilecehkan juga satu kamar ramai-ramai!” Begitu ibu berkisah. Kalau ada yang menolak, kadang ibu dan teman-teman harus membantu memegang yang menolak itu.” (11)
Catatan Yati di atas adalah kisah yang dialami ibu angkat-nya yang bernama Tuti Maryani, yang menjadi korban di rumah Kipers. Catatan ini menambah daftar ingatan para penyintas mengenai keberadaan rumah Kipers yang menjadi rumah “pemerkosaan massal” rutin pada masa pendudukan Jepang. Ingatan Tuti yang dicatat Yati selanjutnya adalah:
“Jika tentara datang satu rombongan penuh truk, begitu turun mereka berlomba berebutan masuk sambil berteriak; ‘ona!’ ona’!! ‘ona’!!! Maksud dari panggilan itu adalah nona-nona-nona. Dari luar pintu, celananya sudah mereka lepas begitu saja. Bedil yang masih menemplok di punggung juga tidak mereka pedulikan. Yang paling penting adalah mereka tidak kehabisan ona!!! (nona!).“ (12)
Gambaran mengenai rumah Kipers yang penuh kekerasan dan eksploitasi seksual itu, dapat diungkapkan dalam peribahasa berikut: ”Tak ada rotan, akar pun jadi!” Tak ada “bordir” untuk menampung beratus-ratus tentara, maka gedung-gedung yang lain haruslah dijadikan “bordir”! Bila perlu, seluruh tempat dijadikan sebagai “bordir”! Bagi para tentara Jepang, pemerkosaan atas tubuh perempuan tidak harus dalam ruangan yang disediakan khusus, dengan kamar-kamar tertutup dan tersembunyi, apalagi memberi “bayaran” yang layak. Bagi mereka, perempuan adalah “barang mainan” yang dapat diambil sesuka hati. Kondisi tempat-tempat semacam ini, dapat ditemui dengan sangat mudah pada masa pendudukan Jepang.
Banyaknya perempuan yang menjadi korban itu, saat Jepang hengkang bukan berarti penderitaan mereka turut sirna. Sebagaimana yang terjadi pada Mimin, Umi, Tuti dll., mereka harus menjalani masa tuanya, dengan kepedihan yang menyisakan trauma. Banyak dari mereka yang tidak menikah, atau menikah namun tidak bisa memiliki anak. Jikapun menikah, mereka umumnya diperistri oleh lelaki yang masih tergolong saudaranya. Normalisasi yang dilakukan pihak Jepang dengan menganggap mereka sebagai “simpanan Jepang” di masa krisis, berakibat pada munculnya penilaian diskriminatif dari sesama kalangan “korban Jepang” seperti heiho dan romusha. Tidak dipungkiri bahwa mereka terekslusi dari perkumpulan “veteran” dan korban Jepang sebab dianggap sebagai “bekas Jepang” yang dinilai mendapat jaminan survivalitas kala itu.
Di masa tuanya itu pula, tabir masa lalunya mulai diungkap dengan maksud agar penderitaannya bersama rekan-rekan yang lain dapat ditebus walaupun “hanya” dengan permintaan maaf yang tulus dari pemerintah Jepang, ataupun kompensasi yang seharusnya mereka dapatkan. Namun, hingga detik ini, perjuangan mereka tidak segera terwujud, entah sampai kapan. Lebih dari itu, cerita bahwa kekerasan rezim fasis Jepang atas tubuh perempuan, dan kekuasaan brutal laki-laki atas manusia perempuan di suatu zaman, haruslah diungkap dan menjadi keprihatinan bersama. [ ]
(Anna Mariana, Juli 2011)
Catatan:
(1) Wawancara dengan Ibu Yayat, tanggal 30 Juni 2009. Mengenai kisah rumah Kipers, Yati memeperoleh keterangan dari penuturan ibu angkatnya Tati Maryani,
......yang pernah menjadi korban kekerasan seksual di rumah Kipers tersebut. Nama-nama orang yang disebut dalam tulisan ini adalah pseudonym. Penulis bisa
......dihubungi di: ava_gillian@yahoo.com
2. “Bordir“ ala Jepang itu sering disebut sebagai asrama. Biasanya tempat tersebut memiliki aturan jam kunjungan, kamar penempatan bagi para perempuan,
.......hingga pemeriksaan kesehatan. Sebut saja asrama Cimahi yang pernah menjadi “tempat tinggal” Mamah Karsim selama tiga tahun, selama masa pendudukan
.......Jepang. Mamah selama di tempat itu seringkali “melayani” tentara Jepang dalam jumlah yang banyak setiap hari. Mamah menuturkan para “pengunjung”
.......berhak memilih para perempuan yang diinginkan melalui sebuah potret seluruh “penghuni” asrama yang dipajang di ruang tamu. Lihat lebih lanjut dalam
.......Hilde Janssen, Schaamte en Onschuld: Het Verdrongen Oorlogsverleden van Troostmeisje in Indonesie, (Amsterdam: Niuew Amsterdam Uitgevers, 2010).
.......Begitu pula kisah asrama Telawang di Kalimantan. Tempat itu telah menjadikan Mardiyem sebagai pekerja paksa seksual selama pendudukan Jepang.
.......Asrama ini memiliki beragam aturan seperti antrian, sistem karcis, pemeriksaan kesehatan hingga penggunaan kapocis/ kondom. Lebih lanjut simak Eka
.......Hindra dan Koichi Kimura, Momoye mereka memanggilku, (Jakarta: Erlangga, 2007); dan A. Budi Hartono dan Dadang Juliantara, Budak Napsu Bangsa
.......Jepang (Kisah Momoye, Perempuan Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945), (Yogyakarta: LBH Yogyakarta dan Lapera Indonesia, 1996).
3. Anna Mariana, “Negeri Bahagia di (Kota) Kamp Konsentrasi Sukabumi”, dalam Budi Susanto S. J. (ed.), Ge(mer)lap Nasionalitas Poskolonial, (Yogyakarta:
......Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008), hlm. 247-248.
4. Wawancara dengan Mimin Sukartin, 30 Juni 2009.
5. Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, (Jakarta: KPG, 2006), hlm. 10-14.
6. Wawancara dengan Umi Aisyah, 2 Juli 2009. Yang cukup mengagumkan adalah, ia mengajak penulis ke lokasi tangsi itu dan menunjukkan dari luar sebuah
......bangunan berpagar dimana ia diperkosa tentara. Ia mendekati, menunjuk, dan menceritakan bangunan dan kisah keluarganya itu secara tanpa tertekan,
......seakan telah mengatasi traumatisme-nya. Anak-anaknya juga telah mengetahui kisahnya.
7. ibid.
8. Penuturan Mimin, 30 Juni 2009, Wawancara dengan Umi Kultsum, 2 Juli 2009.
9. Penuturan Mimin, Ibid.
10. Wawancara dengan Mimin, 30 Juni 2009.
11. Yati Sumiyati, tanpa judul, catatan “laporan intisari hasil wawancara Jugun Ianfu asal Sukabumi dan sekitarnya, tidak diterbitkan.
12. Ibid.
(Etno-Histori/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email