Ahlul bait (sa) dan Ahlussunnah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
الدعاء سلاح المؤمن
“Doa adalah senjata orang mukmin.”
Rasululah saw bersabda dalam hadis qudsi:
يا موسى سلني كل ما تحتاج إليه حتى علف شاتك وملح عجينك
“Hai Musa, mohonlah kepada-Ku semua apa yang kamu butuhkan makanan untuk kambingmu dan garam untuk adonanmu.” (kitab ‘Uddatud da’i)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) dan Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Berdoa lebih utama daripada membaca Al-Qur’an, karena Allah azza wa jalla berfirman:
قل ما يعبؤ بكم ربي لو لا دعائكم
“Katakan: Tuhanku tidak memperhatikan kamu sekiranya bukan karena doamu.” (Al-Furqan: 77). (kitab Makarimul Akhlaq)
Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata dari bapak-bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:
أوحى الله إلى بعض انبيائه في بعض وحيه: وعزتي وجلالي لاقطعن امل كل آمل امل غيري بالاياس ولاكسونه ثوب المذلة في الناس ولابعدنه من فرجي وفضلي، ايأمل عبدي في الشدائد غيري، والشدائد بيدي ويرجو سوائي وأنا الغني الجواد، بيدي مفاتيح الابواب وهي مغلقة، وبابي مفتوح لمن دعاني؟ الحديث
“Allah mewahyukan kepada sebagian nabi-nabi-Nya dalam sebagian wahyunya: ‘Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan putuskan keinginan setiap yang bercita-cita kepada selain-Ku dengan keputusasaan, menutupinya dengan pakaian kehinaan di tengah-tengah manusia, menjauhkan dari kebahagiaan dan karunia-Ku. Apakah hamba-Ku bercita-cita kepada selain-Ku dalam kesusahan, sementara kesusahan ada di tangan-Ku, akankah ia berharap kepada selain-Ku, padahal Aku Maha Kaya dan Maha Dermawan, di tanganKu semua kunci pintu-pintu, sementara semua pintu terkunci, dan pintu-Ku selalu terbuka bagi orang yang berdoa kepada-Ku?…” (kitab ‘Uddatud da’i)
Rasulullah saw bersabda:
ما من مخلوق يعتصم بمخلوق دوني الا قطعت اسباب السموات واسباب الارض من دونه فان سئلني لم أعطه وان دعاني لم أجبه، وما من مخلوق يعتصم بي دون خلقي الا ضمنت السموات والارض رزقه، فإن دعاني اجبته وان سألني اعطيته وان استغفرني غفرت له
“Tidak ada seorangpun manusia yang bergantung kepada makhluk selain-Ku kecuali Aku putuskan dari yang selain-Ku sebab-sebab langit dan sebab-sebab bumi. Sehingga ketika ia memohon kepada-Ku Aku tidak mengijabah doanya. Dan tidak seorangpun manusia yang bergantung pada-Ku kecuali Aku jaminkan langit dan bumi sebagai rizkinya; sehingga ketika ia berdoa kepada-Ku Aku ijabah doanya, ketika memohon kepada-Ku Aku memberinya, dan ketika ia memohon ampunan kepada-Ku Aku mengampuninya.” (kitab ‘Uddatud da’i)
Penulis mengatakan: Makna yang terkadung dalam dua riwayat tersebut menunjukkan pada keikhlasan dalam berdoa, tidak meniadakan sebab-sebab lahiriyah, yang telah dijadikan oleh Allah swt sebagai wasilah untuk memperoleh rizki dan kebutuhan manusia. Tetapi sebab-sebab itu sebagai anugerah Ilahi tidak mandiri tanpa Allah swt.
Manusia sebagai makhluk yang punya pengenaan batin, dengan fitrahnya ia dapat merasakan bahwa kebutuhannya memiliki penyebab yang memberi, dan perbuatannya tidak menyalahinya. Ia juga akan merasakan bahwa sebab-sebab lahitiyah yang datang padanya, pengaruhnya mungkin tidak sesuai dengan keinginan fitrahnya sehingga ia merasakan bahwa hanya dari Allahlah berawal segala sesuatu, hanya kepada-Nya bersandar hakikat semua kebutuhan, bukan pada sebab-sebab lahiriyah.
Tujuannya adalah agar manusia tidak bersandar kepada sebab-sebab lahiriyah secara mandiri, memutuskan ketergantungan pada Penyebab yang sebenarnya, hanya bergantung pada sebab-sebab lahiriyah; dan agar manusia mengalihkan padangannya kepada Penyebab yang sebenarnya. Sehingga ia lebih dekat dalam menghadap kepada-Nya ketika ia memohon dan mengharap kebutuhan-kebutuhannya, supaya apa yang diharapkan itu dapat mengungkapkan rahasia ini.
Yakni, ia memohon kepada Allah swt dan menghubungkan kepada-Nya kebutuhan yang dikenal oleh batinnya melalui sebab-sebab lahiriyah, lalu ia memohon karunia dari-Nya. Jika ia mengharapkan kebutuhannya dari sebab-sebab lahiriyah, itu jelas bukan suatu yang fitri kecuali khayalan yang digambarkan oleh daya khayalnya tentang sebab-sebab lahiriyah. Itulah hanyalah khayalan yang dimunculkan daya khayali, bukan dari keinginan nurani yang fitri. Inilah di antara keinginan khayali yang tidak sesuai dengan keinginan nurani yang fitri.
Dalam hal inilah, betapa banyak manusia menyenangi sesuatu yang menarik baginya, tetapi ketika ia hampir memperolehnya ternyata baginya mudharratnya lebih besar dari manfaatnya, bahayanya lebih besar dari keinginan dan perhatiannya. Pada awalnya ia ingin meninggalkannya tapi kemudian ia mengambilnya. Kadang-kadang juga terjadi, ia merasa khawatir, awalnya ia ingin mengambilnya tetapi kemudian ia meninggalkannya.
Hal ini seperti anak kecil yang sedang sakit. Ketika obat yang pahit ditunjukkan padanya ia tidak mau meminumnya, padahal ia ingin sehat; fitrahnya mendambakan kesehatan karenanya ia mengharapkan obat walaupun bahasa lisannya mengharapkan sebaliknya.
Di sini jelas bahwa kehidupan punya aturan: sesuai dengan keinginan yang fitri dan pengenalan nurani, dan ada yang sesuai dengan daya khayali. Aturan yang fitri tidak mengalami kesalahan dan tidak pernah membahayakan kehidupan manusia. Sedangkan aturan khayali umumnya menyimpan kesalahan. Kadang-kadang manusia berdoa dan berharap sesuai dengan keinginan khayalinya. Karena itu, ia harus merujuk pada makna hadis-hadis, seperti yang terkadung dalam makna ucapan Imam Ali bin Abi Thalib (sa):
أن العطية على قدر النية
“Sesungguhnya pemberian itu sesuai kadar niatnya.”
Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, jilid 2: 36.
(Tafsir-Tematis/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email