Kiai Soleh Darat dan RA Kartini (Foto: Okezone)
Konon Guru RA Kartini adalah Muhamad Shalih yang mashur disebut Mbah Soleh Darat, yang merupakan tokoh yang menggelorakan semangat nasionalisme usai perang Pangeran Diponegoro. Saat itu semangat juang masyarakat Jawa mulai pudar karena Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda.
RA Kartini atau Raden Ajeng Kartini Djoyohadiningrat lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Kartini anak keempat dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati Jepara, dari rahim istri pertamanya, Mas Ajeng Ngasirah.
Kartini sejak kecil merupakan pribadi riang, tapi cerdas yang sewaktu-waktu bisa berulah nakal lazimnya anak-anak. Meski begitu, Kartini punya pemikiran-pemikiran cemerlang yang melampaui zamannya. Dari surat-surat Kartini, betapa istri Bupati Rembang, RM Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, terlihat kartini kritis melihat persoalan di kaumnya, persoalan di sekitarnya, bahkan persoalan agama.
Kartini mendapat penjelasan yang memuaskan dari Mbah Soleh Darat mengenai persoalan kegamaan yang menurutnya banyak mengganggu pikiran kritisnya.
Hubungan antara Kartini dengan Mbah Soleh Darat dikisahkan oleh Fadhila yang merupakan cucu Mbah Soleh Darat. Hubungan keduanya terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Dikisahkan oleh Fadhila, ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Soleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Soleh Darat.
Kiai Soleh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Kartini galau lantaran selama ini dia hanya tahu membaca Alquran tapi tidak mengetahui maknanya. Kegalauan Kartini tentang keberagamaan terungkap sebagaimana surat yang dia kirimkan kepada Stella Zeehandelaar bertanggal 6 November 1899. Stella merupakan sahabat pena Kartini dari negeri Belanda. Stella anggota Kelompok Sosialis Belanda yang bekerja di Kantor Pos.
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Setelah mendengar pengajian Kiai Soleh Darat dengan seksama, Kartini meminta pamannya untuk dipertemukan. Dalam pertemuan itu, Kartini menanyakan sesuatu yang cukup mengejutkan.
Kartini membuka dengan kalimat “Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?”
Kiai Sholeh penasaran dengan pertanyaan ini. Dia lantas menanyakan balik apa alasan Kartini bertanya demikian. Kartini mengaku tersentuh dengan penjelasan tentang Al-Fatihah. Kartini mengaku baru kali ini mendengar makna yang terkandung dalam Al-Fatihah.
“Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan menafsirkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” lanjut Kartini.
Diceritakan setelah mendengar pernyataan Kartini itu, Kiai Soleh hanya mengucapkan “Subhanallah.” Kartini membuka jalan agar Al-Fatihah dan ayat-ayat suci lain diterjemahkan agar masyarakat Jawa dapat mengerti makna di dalamnya.
Menurut Kartini, tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Mbah Soleh Darat melanggar larangan ini, Kiai Soleh menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”.
Melalui terjemahan Mbah Soleh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
“Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kyai Soleh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Soleh Darat keburu wafat.
Kyai Soleh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Kartini mulai menekuni mistisisme (baca tasawuf) yang membawanya memiliki pandangan dunia yang utuh terhadap tauhid. Pandangan Kartini tentang Eropa pun berubah. Hal ini terlihat dari surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai”.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
Adapun tentang sosok Mbah Soleh Darat seorang waliyullah yg menjadi guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta), selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini
Kiai Soleh Darat adalah ulama kondang penyiar agama Islam di sekitar kota Walisongo yaitu sekitar kerajaan Demak. Konon, Kiai Soleh diyakini oleh warga Kota Semarang dan sekitarnya mempunyai dua makam.
Satu makam berada di sekitar wilayah Pelabuhan Tanjung Mas Kota Semarang. Kemudian versi lainnya kiai Sholeh Darat dimakamkan di Tempat pemakaman Umum Bergota Jl. Veteran, Kota Semarang. Kedua tempat makam itu kini banyak dikunjungi dan diziarahi oleh kaum muslimin, baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Jawa.
Kiai Soleh Darat memiliki nama Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani. Lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820. Dia hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bin Abdul Latif Bangkalan Madura.
Karya-karyanya, antara lain, Kitab Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyah li al-’Awam yang membicarakan ilmu-ilmu syariat untuk orang awam, Kitab Munjiyat, tentang tasawuf, Kitab Latha’if at-Thaharah, tentang hukum bersuci, dan Kitab Manasik al-Hajj, tentang tata cara mengerjakan haji.
(Oke-Zone/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email