Silakan para pembaca melihat terlebih dahulu
1. Tulisan Muhammad ‘Abdurrahman Al ‘Amiriy dalam situsnya disini, http://www.alamiry.net/2015/02/shalat-3-waktu-sehari-hari-dengan.html
2. MUI Jatim: “Shalat ‘Tiga Waktu’ Itu Ajaran Syiah”, http://www.salam-online.com/2015/02/mui-jatim-shalat-tiga-waktu-itu-ajaran-sesat-syiah.html
Shalat 3 Waktu Sehari-Hari Dengan Alasan Jama’? Kritik Untuk Sebuah Pondok Pesantren
Post: 2/19/2015 05.41.00 AM 5 Fiqh
Akhir-akhir ini banyak tersebar stiker yang menghimbau untuk shalat 3 waktu. Jujur saja, stiker ini sangat meresahkan ummat dan sangat tidak patut untuk diedarkan terutama yang mengedarkannya adalah sebuah pondok pesantren. Karena shalat 3 waktu ini, akan menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama para kaum yang tamak akan dunia disebabkan slogan dan stiker yang diedarkan oleh pondok pesantren tersebut.
Mungkin pihak pondok pesantren tersebut sudah mengklarifikasikan bahwa stiker itu maksudnya adalah boleh menjama’ shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya karena alasan pekerjaan seperti pegawai, sopir, tukang becak, dan buruh tani. Tapi klarifikasi merekapun tetap tidak benar dan tidak sesuai syari’at. Saya tidak bisa membayangkan, jika suatu saat nanti, kebiasaan tukang becak adalah shalat 3 waktu dan selalu menjama’ shalat karena himbauan pondok pesantren tersebut.
Mari kita masuk ke pembahasan.
Pembahasan pertama: Apakah patut untuk menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani, dll adalah shalat 3 waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?
Sebenarnya pertanyaan ini “patut ataukah tidak” sangat mudah dijawab oleh seorang muslim yang masih ta’at kepada Allah. Mengapa? Karena orang muslim yang ta’at, dia akan mendahulukan perkara Rabbnya dari perkara dirinya sendiri. Tentu seorang muslim yang ta’at tidak akan lalai dari waktu shalat hanya karena alasan pekerjaan. Sungguh malu, seorang muslim tidak bisa menyisihkan 10 menit saja untuk Rabbnya sedangkan Allah telah memberinya waktu 24 jam. 10 menit saja untuk shalat dzuhur tidak bisa dia sisakan untuk Rabbnya sedangkan Allah telah memberinya waktu 24 jam? Mana rasa syukur kita?
Kita harus ingat.. Banyak para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi petani, pedagang, atau profesi lainnya. Tapi apakah kebiasaan mereka adalah shalat 3 waktu alias menjama’ shalat karena alasan pekerjaan? Tentu tidak.. Mengapa? Karena mereka adalah muslim sejati yang ta’at. Taat kepada firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban atas kaum mukminin yang telah ditentukan waktunya” (QS. An-Nisa:103)
Para sahabat tidak ada yang selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan. Hal itu disebabkan, karena mereka mendahulukan agama diatas pekerjaan dan karena mereka taat kepada firman Allah diatas. Mereka tahu bahwasanya Jibril telah mengajari rasulullah tentang waktu-waktu shalat, dan begitu pula Rasulullah shallalalahu alaihi wa sallam telah mengajari sahabat-sahabatnya tentang waktu shalat. Maka mereka tinggal meletakkan waktu shalat pada tempatnya dan tidak main-main dengan syari’at.
Sangat tidak wajar bagi seorang muslim sejati, shalatnya tidak dikerjakan pada waktunya hanya karena alasan pekerjaan. Kemudian mencari alasan agar bisa menjama’nya.
Wahai kaum muslimin, mari kita simak firman Allah tentang kaum mukminin yang mana firmanNya sangat menyindir hamba-hambanya yang lalai yang ingin mencari alasan. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang mana perdagangan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari dzikir kepada Allah dan dari menegakkan shalat dan menunaikan zakat” (QS.An-Nur 37)
Kalau kita adalah muslim sejati, apa layak bagi kita tidak bisa melaksanakan shalat pada waktunya hanya karena menarik becak dan menanam padi atau pekerjaan lainnya? Maka bacalah berkali-kali firman Allah diatas agar kita tidak mudah untuk mecari-cari alasan, yang mana sejatinya hal tersebut karena rasa malas saja.
Masih wajar jika menjama’ shalat hanya sesekali karena kebutuhan yang sangat mendesak, namun sangat memalukan jika selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan seperti menarik becak, dan menanam padi. Apa iya, profesi narik becak menyita begitu banyak waktu sehingga 10 menit saja tidak bisa disisakan untuk Allah? Apa iya, bercocok tanam menyita begitu banyak waktu sehingga tidak bisa menyisakan 10 menit saja untuk Allah?
Justru dalam 10 menit itu, mintalah rezeki sebanyak-banyaknya kepada Allah. Karena Dialah yang Maha pemberi rezeki. Ketika kita sudah main-main dengan perkara Allah, maka jangan salahkan jika Allah murka. Sekarang tinggal kita yang menentukan, apakah kita ingin menjadi muslim sejati atau muslim yang malas hanya mencari-cari alasan??
Jangan jadikan kebiasaanmu untuk menjama’ shalat tanpa ada udzur, hati-hatilah dari memainkan syari’at Allah.
Patut ataukah tidaknya menjama’ shalat karena pekerjaan sudah kita bahas. Mari sekarang kita membahas hukumnya.
Pembahasan Kedua: Apa hukum dari menjama’ shalat itu sendiri karena alasan pekerjaan tanpa ada udzur syari’ seperti udzur safar, udzur hujan, dan udzur keadaan yang mendesak seperti sakit?
Jawabannya adalah haram. Hal tersebut karena pekerjaan bukanlah sebab atau udzur untuk menjama’ shalat. Dan ini adalah yang dipegang oleh para ulama. Syaikh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum menjama’ shalat karena pekerjaan.
Penanya: Saya adalah seorang perempuan yang bersandar kepada sebuah perkantoran. Dan perkantoran ini bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 3 ashar. Dan terkadang saya menggabungkan shalat dzuhur bersama shalat ashar, maka bagaimana nasihatmu untukku?
Jawab: Wajib bagi bagi orang mukmin dan mukminah agar melaksanakan shalat pada waktunya. Maka shalat ashar dilaksanakan pada waktunya dan shalat dzuhur dilaksanakan pada waktunya. Dan tidak boleh menjama’ shalat kecuali karena sebab yang dibolehkan seperti hujan menurut pendapat yang shohih, sakit, dan safar. Maka jika disana ada sebab yang syar’i maka tidak mengapa untuk menjama’ shalat, jika tidak maka setiap shalat harus dilaksanakan pada setiap waktunya. Shalat dzuhur dilaksanakan pada waktunya , dan shalat ashar dilakukan pada waktunya. Dan pelajaran bukanlah udzur untuk diperbolehkan menjama’ shalat. Maka wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktunya. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya untuk ummat dan menerangkannya untuk ummat. Maka kewajiban ummat adalah mendengar dan ta’at kepada apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan begitu pula ummat harus istiqamah diatasnya dan jangan mencari-cari rukhsah sesuatu kecuali rukhsah syar’i yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam” (Fatawa Nur Ala Ad-Darb Syaikh Bin Baz 7/25)
Bahkan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah mewanti-wanti pekerjanya untuk tidak bermudah-mudahan menjama’ shalat tanpa adanya udzur. Saya ulangi, Umar berkata demikian kepada pekerjanya. Dan tentu pegawai-pegawai Umar juga sibuk bahkan sangat sibuk. Akan tetapi mengapa Umar mewanti pegawainya untuk tidak bermudah-mudahan dalam menjama’? Karena pekerjaan bukanlah udzur untuk menjama’ shalat. Disebutkan dalam Sunan Al-Kubra milik Imam Baihaqi:
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menulis surat kepada pegawainya: “3 perkara termasuk dosa besar adalah menjama’ shalat kecuali adanya udzur, dan lari dari peperangan, dan perampokan” HR Baihaqi
Bahkan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin bahwasanya hukum menjama’ shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa sebab hujan, dan kebutuhan mendesak adalah haram.
Hak tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:
“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:
“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)
Ketika adanya ijma’ maka kita harus mengikuti ijma’ dan tidak boleh menyelisihinya.
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan pekerjaan sebagai udzur untuk menjama’ shalat.
è Mungkin ada yang bertanya, lantas bagaimana dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaiahi wa sallam yang menjama’ shalat bukan karena peperangan, hujan, dan safar? Dan perbuatan Rasul ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
è Maka jawabannya dari 2 sisi jawaban.
1- Jawaban pertama: Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar, antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan.” (HR. Muslim)
Tapi apakah yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah Rasulullah menjama’ shalat beneran?? Atau bukan??
Maka perlu diketahui, bahwasanya Jama’ shalat Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ beneran. Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah Rasulullah shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat ashar di awal waktu,maka seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut. Begitupula Rasulullah shalat maghrib di akhir waktu dan shalat isya di awal waktu, maka seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut padahal tidak.Beliau tidaklah menjama’nya karena Rasul tetap melaksanakan setiap shalat pada waktunya masing-masing. Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
“Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” (HR.Nasa'i)
Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seakan-seakan menjama’ shalat padahal tidak. Rasulullah tetap melaksanakan masing-masing shalat pada waktunya. Jadi hal ini adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ sebenarnya. “Seakan-akan Rasulullah menjama’”.
Imam Syaukani Rahimahullah berkata:
“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
2- Jawaban kedua: Apa kamu yakin Rasul menjama’ shalat tanpa satu udzur pun?. Betul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ shalat bukan karena waktu genting, begitu pula bukan karena safar, dan begitu pula bukan karena hujan. Tapi tentu ada sebab yang lain. Hendaklah kita menyempurnakan riwayat tersebut. Riwayatnya tersebut adalah:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar, antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan. Dalam sebuah riwayat: tanpa melakukan safar. Maka ditanya kepada Ibnu Abbas mengenai hal itu, maka dia menjawab: Yang Nabi inginkan adalah agar tidak memberatkan seseorang dari ummatnya”. (HR. Muslim)
Jadi, tatkala kita sedang dalam keadaan yang berat dan mendesak, maka kita boleh untuk menjama’ shalat karena Rasul tidak ingin memberatkan ummatnya. Akan tetapi kalau kita tidak berada dalam keadaan yang berat dan mendesak maka tidak boleh bagi kita untuk menjama’ shalat.
Sehingga tidak ada satu ulamapun dari madzhab manapun yang mengisyaratkan atau menafsirkan riwayat diatas akan bolehnya membiasakan untuk menjama’ shalat karena alasan pekerjaan. Maka dari itu Abdurrahman bin Muhammad Al-Hanbali rahimahullah berkata:
“Dan hadits ini dengan kandungannya menunjukkan akan bolehnya menjama’ shalat karena sakit, hujan dan keadaan genting. Dan seseungguhnya berbeda dari dzahir apa yang diucapkan mengenai menjama’ shalat tanpa ada udzur karena adanya ijma’ (keharaman menjama’ shalat tanpa ada udzur) dan karena ada hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat yang sudah ditentukan” Hasyiah Ar-Raud Al-Murbi’ 2/399
Maka Jika kita dalam keadaan terdesak seperti sakit, maka boleh bagi kita untuk menjama’ shalat sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ada sedikit ulama yang membolehkan menjama’ shalat tanpa adanya hujan, safar, dan sakit. Tapi mereka memberikan taqyid (pengkhususan) dan tidak memutlakkannya sebagaimana yang dimutlakkan oleh pondok pesantren pengedar stiker himbauan shalat 3 waktu. Taqyid tersebut adalah “Tidak menjadikan jama’ shalat sebagai kebiasaan, alias hanya sekali-sekali saja”. Adapun himbauan shalat 3 waktu tanpa adanya taqyid, ditakutkan orang akan bermudah-mudahan dan akan membiasakan untuk selalu menjama’ shalat padahal hal tersebut tidaklah boleh.
Penting yang harus digaris bawahi: Bedakan keadaan mendesak dengan keadaan malas. Jangan cari-cari alasan untuk menyamakan antara keadaan mendesak dengan pekerjaan agar bisa menjama shalat hanya karena rasa malas. Banyak dan sangat banyak dari pegawai muslim atau pedagang muslim atau petani muslim yang selalu dan bisa menjaga waktu shalatnya tanpa mencari-cari alasan. Kalau mereka saja bisa untuk menempatkan waktu shalat pada tempatnya tanpa mencari-cari alasan, mengapa kamu tidak bisa? Banyak waktu yang kita miliki dan apa mungkin bagi kita yang berakal untuk mendahulukan pekerjaan dari pada perintah Allah?
Maka diakhir pembahasan, jangan gara-gara rasa malas kita memainkan syari’at Allah ta’ala. Karena kita akan terjatuh di dalam 2 kategori dosa: 1- Malas shalat pada waktunya. 2- Memainkan syari’at Allah.
Allahu ta’ala a’lam, semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol follow pada akun FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
MUI Jatim: “Shalat ‘Tiga Waktu’ Itu Ajaran Syiah”
Redaksi Salam-Online – Kamis, 29 Rabiul Akhir 1436 H / 19 Februari 2015 19:31
SURABAYA (SALAM-ONLINE): A’wan Syuriah PWNU Jatim Habib Achmad Zein Alkaf menanggapi stiker ‘shalat tiga waktu’ yang beredar di Jombang, Jatim.
Menurut anggota Bidang Ukhuwah Islamiyah MUI Jatim ini, polisi harus segera turun tangan dan memeriksa penyebar stiker ‘shalat tiga waktu’ tersebut.
“Di samping meresahkan, menurut saya, itu adalah salah satu ajaran aliran sesat Syiah. Dan itu salah satu alasan mengapa MUI Jatim mengeluarkan fatwa mengenai kesesatan ajaran Syiah,” katanya saat dikonfirmasi beritajatim.com, Rabu (18/2/2015).
Seperti diberitakan sebelumnya, stiker berisi ajakan ‘shalat tiga waktu’ menyebar luas di Jombang sejak sepekan terakhir ini. Stiker yang bisa ditempel ini diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo (PPUW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang.
Sumber: beritajatim.com
salam-online
Sebagai Jawaban Sconprince:
Perkara yang dipermasalahkan adalah shalat jama’ dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dengan alasan pekerjaan seperti pegawai, sopir, tukang becak, dan petani. Sayang sekali pembahasan Al Amiriy tersebut tidak ilmiah dan banyak mengandung syubhat.
Pembahasan pertama dimulai dari pertanyaan apakah patut menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani dan lain-lain untuk shalat tiga waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?.
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana, patut ataukah tidak itu harus ditimbang dengan kacamata Syari’at. Kalau syari’at membolehkan hal tersebut maka ya tidak ada masalah. Tidak perlu ngalor ngidul bicara soal lalai dalam shalat atau dimana rasa syukur kita. Shalat itu perkara yang diatur tatacaranya, nah kalau memang ada aturan syari’at yang membolehkan shalat jama’ karena ada hajat atau keperluan maka melaksanakannya bukan berarti lalai atau tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika perkara menjama’ shalat ini dianggap mempermainkan Syari’at agama justru ucapan seperti ini hanya muncul dari orang yang tidak mengerti syari’at agama.
Pembahasan kedua apakah hukumnya menjama’ shalat dengan alasan pekerjaan tanpa adanya uzur?. Jawabannya boleh, sedangkan orang yang mengatakan haram maka ia telah menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang jelas dan terang benderang.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur Ashar dan Maghrib Isya’ [Shahih Muslim 1/490 no 705].
Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy membuat-buat syubhat bahwa shalat jama’ yang dimaksud adalah jama’ shuri bukan jama’ yang sebenarnya. Maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di akhir waktu Zhuhur kemudian shalat Ashar di awal waktu, seolah-olah kelihatan menjamak tetapi sebenarnya dilakukan pada waktunya sendiri-sendiri. Begitu pula Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat Maghrib di akhir waktu kemudian shalat Isya’ di awal waktu. Al Amiriy berhujjah dengan riwayat berikut, ia berkata
Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” HR. Bukhari Muslim
Sebenarnya kami cukup heran dengan penukilan hadisnya. Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy telah berdusta atas sumber nukilan hadis tersebut. Kami tidak menemukan adanya riwayat Bukhariy dan Muslim dengan lafaz yang demikian. Riwayat yang dinukil Al Amiriy adalah riwayat Nasa’iy bukan riwayat Bukhariy dan Muslim:
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’ [Sunan Nasa’iy Al Kubra no 375].
Riwayat ini sanadnya shahih tetapi lafaz “Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa” bukan bagian dari perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraj [sisipan] dari perawi hadis. Buktinya ada pada riwayat berikut:
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru yang berkata aku mendengar Abul Sya’tsaa’ Jaabir yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. ‘Amru berkata “wahai Abul Sya’tsaa’ aku mengira Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’. [Abu Sya’tsaa’] berkata “aku juga mengiranya demikian” [Shahih Bukhariy 2/58 no 1174].
Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya.
Imam Syaukani Rahimahullah berkata:
“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
Lafaz yang dijadikan hujjah oleh Asy Syaukaniy tersebut bukanlah perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraaj [sisipan] dari perawi hadis yaitu zhan [dugaan] sang perawi terhadap hadis tersebut. Dan zhan atau prasangka tidak menjadi hujjah. Apalagi di saat yang lain Abu Sya’tsaa’ Jabir bin Zaid perawi tersebut menyebutkan zhan atau dugaan yang lain:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dia Ibnu Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Maka Ayuub berkata “mungkin karena malam berhujan”. [Jabir bin Zaid] berkata “bisa jadi” [Shahih Bukhariy 1/114 no 543].
Di saat lain perawi mengira itu jamak shuriy dan di saat lain perawi yang sama mengira jama’ itu karena hujan. Dugaan tidak menjadi hujjah dan terdapat riwayat Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa jama’ tersebut memang betul jama’ shalat sebenarnya bukan jama’ shuriy.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata Ibnu ‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan nampak bintang-bintang maka orang-orang pun mulai menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya [Ibnu ‘Abbas] [Shahih Muslim 1/490 no 705].
Zhahir lafaz riwayat Muslim di atas memang menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Kemudian apa yang dilakukan Ibnu ‘Abbas belum mengerjakan shalat maghrib sampai nampaknya bintang-bintang menunjukkan bahwa ia akan shalat jama’ takhir maghrib isyaa’ maka bisa dipastikan hal itu bukan jama’ shuriy.
Perbuatan Ibnu ‘Abbaas yang menjama’ shalat maghrib dan isya’ karena sibuk berkhutbah [menyampaikan ilmu] menjadi dasar untuk menolak zhan [dugaan] perawi hadis yang menganggap jama’ tersebut adalah jama’ shuriy atau zhan [dugaan] yang menganggap hal itu adalah jama’ karena hujan.
Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy kemudian membawakan hadis lain yang menurut anggapannya menjadi hujjah bahwa jama’ tersebut dilakukan karena terdapat uzur perkara berat yang mendesak. Berikut riwayat yang dimaksud:
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus dan ‘Aun bin Salaam keduanya dari Zuhair. Ibnu Yuunus berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula dalam perjalanan. Abu Zubair berkata maka aku bertanya kepada Sa’id “mengapa Beliau melakukannya?”. [Sa’id] berkata aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Maka ia menjawab “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” [Shahih Muslim 1/489 no 705].
Dalam hadis di atas tidak ada disebutkan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ karena uzur perkara berat atau mendesak. Lafaz hadis “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” adalah tujuan dari syari’at shalat jama’ tersebut bukan sebagai keterangan yang menunjukkan adanya uzur. Secara zhahir hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ tersebut tanpa adanya uzur, Beliau ingin memberikan keluasan kepada umatnya sehingga tidak ada satupun dari umatnya yang akan merasa kesulitan dalam melaksanakan shalat.
Al Baghawiy memahami hadis riwayat Muslim tersebut sebagai dalil bolehnya menjama’ shalat tanpa adanya uzur. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Syarh As Sunnah, ia berkata:
Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit dari ahlul hadis, dihikayatkan dari Ibnu Siriin bahwa ia berkata “tidak mengapa menjama’ dua shalat jika memiliki hajat atau sesuatu keperluan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan” [Syarh As Sunnah Al Baghawiy 4/199 no 1044].
Ibnu ‘Abbaas sendiri selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut telah mengamalkan menjama’ shalat bukan karena ada perkara berat yang mendesak sebagaimana dikatakan Al Amiriy. Apakah berkhutbah atau menyampaikan ilmu termasuk perkara berat mendesak?. Bukankah begitu mudah untuk berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat. Kalau Al Amiriy menganggap shalat jama’ tersebut mempermainkan syari’at atau lalai maka itu berarti ia menuduh Ibnu ‘Abbaas telah mempermainkan syari’at.
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Haruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat delapan rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab tertentu [uzur] [Mu’jam Al Kabir 12/177 no 12807].
Riwayat Ath Thabraniy di atas para perawinya tsiqat dan shaduq, berikut keterangan tentangnya:
1. Muusa bin Haaruun seorang hafiz tsiqat kabiir [Taqrib At Tahdzib 2/230]
2. Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/281]
3. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy seorang yang shaduq sering keliru dari sisi hafalannya [Taqrib At Tahdzib 2/133]. Dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Muslim seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6293]
4. ‘Amru bin Dinar Al Makkiy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/734]
5. Jabir bin Zaid seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdziib 1/152]
Riwayat Ath Thabraniy di atas adalah qarinah kuat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat tersebut tanpa adanya uzur.
Kesimpulan:
Dalam perkara ini, pendapat yang rajih adalah apa yang dikatakan sebagian ulama bahwa menjama’ shalat dibolehkan secara mutlak asal tidak dijadikan kebiasaan. Ibnu Hajar berkata:
Dan sungguh sekelompok dari para imam telah mengambil zhahir hadis ini, maka mereka membolehkan secara mutlak shalat jama’ ketika mukim karena ada keperluan tetapi dengan syarat tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Sirin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnu Mundzir, Al Qaffaal Al Kabiir dan dihikayatkan oleh Al Khaththaabiy dari jama’ah ahli hadis. Dan mereka telah berdalil dengan hadis ini riwayat Muslim dari jalan Sa’iid bin Jubair yang berkata maka aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas “mengapa Beliau melakukannya?”. Ibnu ‘Abbaas berkata “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya “ [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 2/24].
Pernyataan para ulama yang dinukil Ibnu Hajar tersebut telah sesuai dengan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbaas. Pernyataan para ulama ini sekaligus membatalkan klaim ijma’ dalam mengharamkan shalat jama’ tanpa adanya uzur. Bagaimana bisa dikatakan ijma’ kalau terdapat sekelompok ulama yang mengingkarinya.
Perkara shalat jama’ tanpa adanya uzur ini telah menjadi keluasan Syari’at yang memberikan kemudahan bagi umat islam. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan waham orang-orang bodoh yang menuduh hal itu mempermainkan syari’at atau lalai dalam shalat. Orang yang menuduh perkara sunnah sebagai mempermainkan syari’at maka orang tersebut telah melakukan kemungkaran yang besar. Semoga Allah SWT melindungi kita dari kemungkaran orang-orang tersebut.
Jawaban Tambahan AHLUL BAIT NABI SAW:
Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah
Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah,
Solat dalam lima waktu dibolehkan seperti mana solat dalam tiga waktu; meskipun begitu jikalau tiada masalah yang timbul akibat kerja-kerja mustahak, maka lebih baik ia solat dalam lima waktu. Tentang perkara ini, mazhab Syiah mempunyai dalil-dalil kukuh dan muḥkam dari kitab-kitab mereka sendiri termasuk dari sumber-sumber ṣaḥīḥ Ahlusunnah.
Oleh kerana perkara ini mendapat perhatian dan kemusykilan daripada saudara-saudara kita Ahlusunnah, maka kami bawakan dalil-dalil dari sumber ṣaḥīḥ mereka. Kitab Bukhārī dan Muslim mempunyai martabat ṣaḥīḥ setelah al-Qur’ān di kalangan Ahlusunnah, Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad Ṭayālisī di dalam musnadnya meriwayatkan:
Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) di Madīnah solat Zuhur, ʽAsar, Maghrib dan ʽIshā’ sebanyak 8 dan 7 rakaat.
Referensi:
- Ṣaḥīḥ Bukhārī, fasal 9 Mawāqīt al-Ṣalāh, bab Ta’khīr al-Zuhr ilā al-ʽAṣr, jilid 2 halaman 428.
- (Bahasa Arab) Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris) Narrated Ibn 'Abbas: "The Prophet prayed eight Rakat for the Zuhr and 'Asr, and seven for the Maghrib and 'Isha prayers in Medina."; “The Prophet prayed seven Rakat together and eight Rakat together”.
Ini bermaksud himpunan solat Zuhur dan ʽAsar adalah 8 rakaat (iaitu solat Zuhur 4 rakaat dan salam, kemudian solat Aṣar 4 rakaat, bukan solat 8 rakaat sekaligus), Maghrib dan ‘Ishā’ pula 7 rakaat (iaitu solat Maghrib 3 rakaat dan salam, kemudian barulah menunaikan solat ʽIshā’ 4 rakaat) sebagaimana solat di dalam mazhab Syiah Imamiyah.
Berdasarkan Ḥadīth tersebut, Ayyūb mengatakan mungkin pada malam tersebut hujan. Namun menurut Ḥadīth yang lain, RasūluLlah menunaikan solat demikian bukan kerana hujan atau perjalanan mahupun peperangan. Ṣaḥīḥ Muslim, Mālik bin Anas pemimpin mazhab Māliki di dalam kitab Muwaṭṭā’, Abū Dāwūd, Nasā’ī dan Bayhaqī di dalam sunan mereka serta Aḥmad bin Ḥanbal melaporkan:
Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) solat Zuhur bersama Asar, Maghrib bersama ‘Ishā’ bukan dalam situasi ketakutan dan bukan dalam perjalanan.
Referensi:
- Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, jilid 4 halaman 384, Ḥadīth 1953; Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaymah, jilid 4 halaman 62 ḥadīth 923; dan banyak lagi rujukannya.
Namun sayang sekali golongan Ahlusunnah tidak mengizinkan solat seperti ini meskipun terlalu banyak riwayat ṣaḥīḥ didapati dari kitab-kitab mereka. Jikalau diizin pun hanyalah kepada mereka yang memerlukan tumpuan yang lebih kepada kerjanya seperti doktor yang membedah pesakit selama berjam-jam dan melebihi satu waktu solat. Kerana masalah ini juga kita dapati ramai remaja-remaja yang mengabaikan solat kerana tersibuk dengan banyak berbagai pekerjaan dan karenah.
Jikalau sunnah ini dipraktikkan, kemungkinan besar tidak akan timbul masalah kerana mereka dapat menghimpunkan solat-solat tersebut dalam waktu-waktunya. Dengan ini tidak ada alasan lagi untuk para remaja dan seluruh lapisan masyarakat menghindari solat.
Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) menghimpunkan solatnya Zuhur dan Aṣar, ʽIshā’ dan Maghrib bukan kerana ketakutan, bukan kerana hujan. Di dalam Hadīth Wakīʽ berkata, saya bertanya kepada Ibnu ʽAbbās: Mengapakah baginda solat seperti itu? Beliau menjawab: Supaya tidak menyusahkan ummatnya.
Referensi:
- Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab Ṣolāh al-Musāfirīn wa Qaṣr ha, Bāb al-Jamʽ Bayn al-Ṣālatayn fi al-Ḥaḍar, jilid 1 halaman 489.
- (Bahasa Arab) Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris); Book 004, Number 1520: Ibn 'Abbas reported that the Messenger of Allah (may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the 'Isha' prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki' (the words are):" I said to Ibn 'Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his (Prophet's) Ummah should not be put to (unnecessary) hardship."
Ini menunjukkan RasūluLlah (s.a.w) telah melihat seluruh masalah masa depan ummatnya. Tatkala sunnah Rasūl memboleh solat seperti ini, apa lagi alasan yang timbul kepada remaja kita untuk bermalas-malasan dan berkeras kepala dalam menunaikan kewajiban ini?
Meskipun begitu, tidak ada halangan buat sesiapa yang mampu mendirikan solat dalam lima waktu dan kemungkinan pahalanya besar. Begitu tidak ada halangan juga buat sesiapa yang mendirikan solat dalam tiga waktu kerana riwayat seperti ini terlalu banyak didapati di dalam kitab Ahlusunnah, namun memadailah disebut sehagian kecil daripadanya.
Shalat Tiga Waktu, Sehari Lima Kali Picu Kontroversi di Turki
SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT.
Seorang profesor bidang studi Islam di Turki memicu kontroversi, setelah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh sholat hanya tiga kali dalam sehari, dan bukan lima kali asalkan memperbanyak doa.Fatwa itu dikeluarkan oleh Profesor Muhammad Nour Dugan, dan ia mendapat dukungan dari sejumlah profesor bidang hukum Islam lainnya, sehingga menimbulkan perdebatan yang panas di media massa Turki.Para cendekiawan Islam yang mendukung fatwa tersebut antara lain Dr. Ali Kusa. Ia beralasan, Nabi Muhammad Saw dalam kasus-kasus khusus menggabungkan dua waktu sholat..
SHALAT DALAM MAZHAB AHLULBAIT.
Jika anda membaca Qs. 17:78 dan Qs. 11:114 maka jelaslah maka shalat 5 kali sehari dalam 3 waktu :
* Zuhur dan ashar
* Maghrib dan isya
* Subuh
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the “Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
Now, what did the Prophet (PBUH&HF) do? Here’s what Ibn Abbas, one of the most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of the books of tradition):
“The Prophet (PBUH&HF) prayed in Madina, while residing there, NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and `Asr combined).” Musnad al-Imam Ibn Hanbal, vol. 1, page 221.
Also, in the Muwatta’ of Malik (Imam of Maliki sect), vol. 1, page 161, Ibn Abbas says:
“The Prophet (PBUH&HF) prayed Zuhr and `Asr in combination and Maghrib and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”
As for Sahih Muslim, see the following under the chapter of “Combination of prayers, when one is resident”:
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset and Isha prayers together without being in a state of fear or in a state of journey Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1515
Ibn Abbas reported that the messenger of Allah(may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.” Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1520
Abdullah b. Shaqiq reported: Ibn Abbas one day addressed us in the afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b. Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1523
Abdullah b. Shaqiq al-Uqaili reported: A person said to Ibn Abbas(as he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and said: May you be deprived of your mother, do you teach us about prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the messenger of Allah(may peace be upon him). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1524
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and afternoon prayers together in Medina without being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to [unnecessary] hardship. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1516
Ibn Abbas reported that the Messenger of Allah(may peace be upon him) observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset and Isha prayers(seven Rakahs). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1522.
Wudhu syi’ah.
Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.
Sebagaimana diketahui, pada tertib ritual wudhu, madzhab ahlusunnah mewajibkan membasuh kaki.
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [5]
Sedang hadits-hadits seputar hal itu juga diriwayatkan, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi’ah. Namun, larangan sebagian ulama ahlusunnah untuk mengusap kaki dikarenakan hadits-hadits yang memerintahkan membasuh kaki; yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash, Urwah, dan lain-lain [6]. Dan sejarah membuktikan bahwa keempat orang tersebut adalah orang-orang yang tidak menyukai, bahkan memerangi Ahlul Bait as. Sementara hadits-hadits dari jalur ahlusunnah, yang memerintahkan untuk mengusap kaki, sebagai berikut :
1. Baihaqi meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Rifa’ah bin Rafi’, yang mengatakan bahwa Rasulullah (saww) bersabda : “Sungguh tidaklah kalian mengerjakan sholat, hingga kalian mengerjakan wudhu sebagaimana perintah Allah, yakni “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.” [7]
2. Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa ayat “usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” mengandung makna “mengusap”. [8]
3. Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata : “Orang-orang telah membasuh, padahal tidak aku jumpai dalam Kitabullah kecuali mengusap.” [9]
4. dan lain-lain.
Sementara dari jalur Ahlul Bait as (syi’ah), terdapat banyak sekali riwayat yang memerintahkan untuk mengusap kaki, seperti :
1. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika menerangkan wudhu Rasulullah saww, mengatakan bahwa Rasul saww mengusap kakinya sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan : “Usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [10]
2. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa ayat : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” termasuk ayat muhkam, yang tidak memerlukan takwil lagi. Adapun batasan (hukum) wudhu adalah membasuh muka dan kedua tangan, serta mengusap kepala dan kedua kaki. [11]
3. Imam Ali al-Ridha as, ketika ditanya seseorang, mengatakan bahwa surat al-Maidah tersebut sudah jelas, yaitu mengusap kepala dan kedua kaki. [12]
4. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika ditanya tentang darimana perintah untuk mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut tercantum dalam al-Qur’an : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [13]
Referensi:
[5] QS. al-Maidah: 6
[6] Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 1, bab “Sifat Wudhu”; Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[7] Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 1, hal. 389, riwayat 1022.
[11] Ibid, hal. 399, riwayat 1042.
[12] Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 80, hal. 283, riwayat 32.
[13] Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jilid 3, hal. 30, riwayat 4.
PERBAHASAN WUDHU’
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Maidah:6).
Di dalam ayat di atas, dua bentuk ayat perintah digunakan:
(i) “faghsilu” yang berarti “basuh”
(ii) “wamsuhu” yang berarti “sapu/usap”.
Adalah jelas bahawa bentuk ayat perintah “basuh” merujuk pada dua objek iaitu mukamu (wujuhakum) dan kedua tanganmu (aidiyakum) manakala bentuk perintah kedua pula (sapu/usap) merujuk pada dua objek lainnya iaitu bagian kepalamu (bi ru’usikum) dan kedua kakimu (arjulakum).
Perkataan “muka” berarti bagian depan kepala, bermula dari bagian dahi dan bawah dagu, dan dari telinga ke telinga. Dalam artinya yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis2 para A’immah as,ia merangkumi bagian muka dari batas anak rambut ke bagian hujung dagu, dan sebatas sejengkal dari sisi ke sisi.
Perkataan tangan berarti organ yang digunakan untuk menggenggam, dan merangkumi bagian atas antara bahu dan hujung jari. Maka, dari sudut bahasa, perkataan “yad” adalah umum bagi lengan,lengan bawah dan tangan. Apabila sesuatu perkataan itu digunapakai secara umum dalam lebih dari satu maksud, adalah penting untuk pembicara menjelaskan maksud katanya…dengan ini, kita lihat perkataan ‘ill ‘l marafiq “sehingga dengan siku” dalam ayat ini, menjelaskan hingga batas manakah wudu’ itu harus dilakukan.
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’).
Kini kita sampai pada satu perbedaan utama antara Syiah dan Sunni dalam cara melakukan wudu’. Sunni membasuh lengan mereka dari hujung jari ke siku, manakala Syiah pula, membasuh lengan mereka dari siku ke hujung jemari. Seperti yang dinyatakan di atas, perkataan “hingga dengan siku” tidak menjelaskan kepada kita untuk membasuh lengan dari hujung jari hingga ke siku, malah, perkataan ini semata mata memberitahu bagian tangan yang manakah yang termasuk dalam bagian wudu’.
Lalu, bagaimana kita melakukan wudu’ dari siku ke hujung jemari? Jawaban pada persoalan ini terkandung di dalam sunnah. Salah satu dari tanggungjawab Rasul saaw adalah untuk menjelas dan menunjukkan tatacara sebenar berwudu’, dan ini kita peroleh lewat hadis para A’immah as.
Zurarah bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata “Mahukah aku perlihatkan pada kalian cara wudu’nya Rasulullah saaw?” Kami menjawab, “Ya”. Apabila air dibawakan ke hadapan Imam, Imam lalu membasuh tangannya, setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana, menceduk air dgn tangannya dan mencurahkannya ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian, beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air dan menceduknya dengan tangannya dan menuangkannya ke ke siku tangan kanannya turun ke hujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke hujung jemarinya.
Lalu setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan muka kakinya dengan sisa air dari tangan kanan dan kirinya”( Wasa’il jilid 1 hlm 272).
Dalam hadis yang lain Imam Muhammad al-Baqir (a.s) meriwayatkan cara berwudu yang serupa dari Amirul Mukminin as yang menunjukkan cara berwudu Rasulullah saaw saat diminta seseorang (Wasa’il jilid 1 hlm 272).
Kata perintah “wamsahu “usap/sapu” berarti menyapukan tangan dsb pada sesuatu. Bila perkataan seperti ini digunakan dalam bentuk kata transitif, ia menandakan penyempurnaan dan keseluruhan perbuatan (sebagai contoh maksudnya “basuh seluruh kepalamu”).
Namun, setiap kali verb ini diikuti oleh huruf “ba”, ia menandakan sebagian darinya (bermakna, “basuhlah sebagian dari kepalamu”) Dalam ayat wudu’ ini, huruf “ba” telah digunakan dalam ayat perintah wudu’ yang berarti, terjemahannya yang tepat adalah “basuhlah sebagian dari kepalamu”
Bagian kepala yang manakah yang harus dibasuh saat berwudu’? Al Quran tidak menyebutkannya, namun hal ini bisa kita temukan di dalam sunnah Rasul saaw. Terdapat banyak hadis dari para A’immah as yang menjelaskan hal ini, bahawa “sebagian dari kepala” adalah bagian depannya (Wasa’il jilid 1 hlm 289).
Perkataan “arjulukum ” berarti “kaki, keseluruhan kaki”. Untuk mengkhususkan maksudnya, adalah penting untuk menambahkan perkataan “illa ‘l-ka’bayn”, “hingga kedua mata kaki”. Kata “ar-julakum” adalah berhubung kepada “bi ru’usikum” “sebagian dari kepalamu” oleh kata sendi “wa=dan “. Dengan ini, ayat tersebut berarti “usap/sapu sebagian dari kakimu”.
Sekali lagi, di sini, kita temukan perbedaan di antara Syiah dan Sunni. Sunni membasuh keseluruhan kaki mereka sedangkan Syiah hanya mengusap bagian atas kaki mereka hingga ke mata kaki. Sekaitan hal ini, al Quran dan hadis hadis para A’immah as, menjelaskan bahawa “mengusap sebagian dari kakimu” itulah yang benar, dan tafsir inilah yang juga diterima oleh mufassir kenamaan Sunni Imam Fakhru ‘d-Din ar-Razi in his Tafsir al-Kabir.( ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol.3, p.370).
Satu satunya asas bagi Sunni dalam “membasuh kaki” adalah sebagian hadis yang terakam dalam kitab2 hadis mereka.
Hadis2 ini tidak valid karena:
Pertamanya, terdapatnya percanggahan dengan perintah al Quran. Rasul saaw bersabda “Jika hadisku disampaikan padamu, maka letakkannya di hadapan al Quran, jika ia sejalan dengan kitab Allah, ambillah, dan jika sebaliknya, tolaklah”.
Keduanya, mereka menentang sunnah Rasul saaw, sebagaimana yang dijelaskan oleh para A’immah as, yang diterima oleh semua kaum Muslimin. Bahkan sebagian dari sahabat yang mengatakan adalah salah untuk menisbahkan “membasuh kaki” kepada Rasul saaw.
Sebagai contohnya, sahabat Ibn Abbas berkata, “Allah telah menetapkan dua basuh dan dua usap dalam berwudu’. Tidakkah engkau perhatikan, saat Allah memerintahkan bertayyamum, Allah telah meletakkan duausapan pada dua basuhan (muka dan tangan) dan menghilangkan dua usapan (kepala dan kaki) ( Muttaqi al-Hindi, Kanzu ‘l-Ummal, jil. 5, hlm. 103 (hadith 2213).Juga Musnad Ibn Hanbal, jil. 1, hlm.108).
Ketiga, hadis Sunni dalam hal ini (wudu’) adalah saling bertentangan. Sebagian hadis menyebutkan “membasuh kaki” seperti hadis Humran yang dikutip oleh Bukhari dan oleh Ibn ‘Asim yang dikutip oleh Muslim. Manakala sebagian dari hadis pula mengatakan bahawa Nabi saaw “mengusap kaki”, seperti hadis Ibad bin Tamim yang berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw melakukan wudu’, dan Baginda mengusap kakinya”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Ta’rikh of al-Bukhari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan Ibn Abi Shaybah, dan Mu’jamu ‘l-Kabir at-Tabarani; dan semua perawinya adalah tsiqah. ( al-’Asqalani, al-’lsabah, jil. 1, hlm. 193; juga Tahdhib at-Tahdhib).
Dan adalah suatu kesepakatan bahawa di dalam kaedah (usulu ‘l-fiqh) jika ada hadis2 yang bertentangan, maka yang sejalan dengan al Quran diterima dan selainnya ditolak.
Diriwayatkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’ bahawa beliau bersama dengan Rasul saaw lalu Baginda saaw bersabda, “Hakikatnya, tiada solat yang diterima sehinggalah seseorang itu menyempurnakan wudu’nya sebagaiman yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Perkasa, iaitu membasuh muka dan tangan hingga ke siku dan mengusap kepala dan kedua kaki hingga ke mata kaki” . (Sunan Ibn Majah. jil. 1, bag 57, hadis 460, No. 453; Sunan Abi Dawud, No. 730; Sunan Al-Nisa’i, No. 1124; Sunan Al-Darimi 1295).
Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi Umar, Al-Baghawi, Al-Tabarani, Al-Bawirdi dan yang lainnya meriwayatkan dari Abbad Ibn Tamim Al-Mazani yang meriwayatkan bahawa bapanya berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw berwudu’ dan mengusap kakinya dengan air”(Al-Isaba, jil. 1, hlm. 185, No. 843).
Abu Malik Ash’ari memberitahu kerabatnya, “Mari, biar aku tunjukkan cara berwudu’nya Rasulullah saaw” Beliau meminta air untuk berwudu’. Beliau menghidu air tersebut lalu membasuh mukanya tiga kali dan membasuh tangannya dari siku tiga kali dan mengusap kepala dan muka atas kakinya. Kemudian mereka solat (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, No. 21825).
Diriwayatkan dari Rubayyi’ bahawa dia berkata, “Ibn Abbas datang kepadaku dan bertanyakan tentang hadis yang aku riwayatkan dari Rasul saaw yang menceritakan tentang Nabi saaw membasuh kakinya saat berwudu’. Lalu Ibn Abbas berkata, “Manusia mengelak apa sahaja kecuali basuh, sedang aku tidak melihat di dalam kitab Allah kecuali menyapu” (Sunan Ibn Majah, jil. 1, hlm. 156, No. 458, No. 451; Musnad Ahmad, No. 25773 ).
Ulama Syi’ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia (mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah atas.(Al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil arba’ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain; Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42.).
Fukaha Syi’ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.( Wasâ’il as-Syi’ah, jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa jumlatin min ahkamihi).
Dan berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.(. Surat al-Maidah (5): 6).
Riwayat tersebut berbunyi: “Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah”( Wasa’il as-Syi’ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1.).
Adapun mengenai redaksi “ila” yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku” (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu itu hingga bagian siku.( Kata “marâfiq” adalah bentuk plural dari kata “mirfaq” yang bermakna siku).
Untuk memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: “Uknus al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb” (sapulah masjid dari pintu sampai ke mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut tidak terdapat kata “min” (dari). Dengan demikian bahwa kata “ila” yang terdapat pada ayat di atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh para Imam suci Ahlulbait As.
Dengan demikiian bahwa makna kata “ila” adalah ghayat ( Maknanya: ke, hingga), tetapi menunjukkan tangan yang dibasuh ( Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh adalah sampai siku). dan bukan untuk cara membasuhnya.( Yakni bukan berarti basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara membasuhnya itu harus ke arah siku). Atau bermakna “min” ( Bermakna: dari) atau bermakna “ma’a” ( Bermakna: beserta, bersama). sebagaimana pandangan Syaikh Thusi.( Wasâil as-Syi’ah, jilid 1, hal. 406).
Tatacara berwudu’ dalam mazhab Ahlul Bayt as.
Wudu’ dilaksanakan secara empat tahap:
1. Membasuh muka. Selepas berniat, curahkan air dari atas arah anak rambut. Dengan menggunakan tangan kanan, basuhlah muka itu dari atas ke bawah, hingga air itu sampai ke seluruh wajah dari anak rambut ke dagu dan dari sisi ke sisi(bagian yg tidak ditumbuhi janggut)
Bacalah doa ini sebelum mulakan wudu’:
Bis mail-lahi wa bil-lahi ; wal hamdu lil-lahi lazi ja’ala ma’a tahuran wa lam yaj’alu najisa
dan doa ini saat membasuh muka:
Allahumma bayyiz wajhiy yawma tusawwidul wujuh; wa la tusawwid wajhiy yawma tubyyizul wujuh
2. Membasuh tangan dari siku ke hujung jemari. Lurutkan tangan ke bawah dan tidak boleh naik ke atas saat membasuh tangan ke bawah. Mulakan pada tangan kanan dahulu baru diikuti oleh tangan kiri.
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kanan:
Allahumma ‘atiniy kitabi bi yaminiy, wal khuda fil jinani bi yasariy, wa hasibniy hisaban yasira
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kiri:
Allahumma la tu’tiniy kitabiy bi shimaliy, wa la min wara’i zahriy, wa la taj’alha maghluqatan ila ‘unuqi; wa a ‘uzu bika min muqatta ‘atin niyran
3. Mengusap kepala. Dengan sisa air wudu’ itu (tidak perlu mengambil air lagi), usapkan kepala dari bagian atas kepala turun ke anak rambut. Gunakan tangan kanan, bisa dgn satu jari sahaja, namun sebaik baiknya 3 jari.
Bacalah doa ini saat mengusap kepala:
Allahumma ghash-shiniy bi rahmatika wa barakatika wa ‘afwika
4. Mengusap muka kaki. Seperti kepala tadi, air yg masih tersisa pada tangan tadi di usapkan pada kaki, bermula dari hujung jari kaki hingga ke atas (menggunakan tapak tangan), iaitu pada mata kaki(pergelangan kaki). Kaki tidak boleh digerakkan saat mengusap, hanya tangan sahaja yg digerakkan (kaki juga bisa diusap dari mata kaki ke hujung jari) Gunakan tapak tangan kanan utk kaki kanan dan tapak tangan kiri utk kaki kiri.
Bacalah doa ini saat mengusap kaki:
Allahumma thab-bitniy ‘alas sirati yawma tuzillu fiyhil aqdam ; waj’al sa’iy fi ma urziyka ;anniy ; ya zul jalali wal ikram.
**Adalah penting untuk memperhatikan bahawa saat menyapu kepala dan kaki, kedua dua bagian itu harusnya tidak basah, pastikan keduanya tidak berair.
di sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.
Ibn Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, ‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’
2. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij , dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.
3. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).
Yang aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”.
Apa hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…
Ada 3 Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan mengusap:
1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum).
Perbedaan qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti dicontohkan pada perintah “mengusap muka”.
Sunni sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.
Bagi saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30).
Alasan Syiah menggabung shalat dhuhur-asar dan maghrib-isya’
Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:[1]
Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur, sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu isya’.
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar, begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu bersama:
Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i; yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh dilakukan oleh seseorang.
Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu di antara keduanya.
Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit) sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini, jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu yang telah ditentukan.
Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.
Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis ini:
Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.
Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.
Referensi:
[1] Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat, seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2] Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat, bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan (Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).
(Hauzah-Maya/Syiah-Ali/Scondprince/ABNS)
1. Tulisan Muhammad ‘Abdurrahman Al ‘Amiriy dalam situsnya disini, http://www.alamiry.net/2015/02/shalat-3-waktu-sehari-hari-dengan.html
2. MUI Jatim: “Shalat ‘Tiga Waktu’ Itu Ajaran Syiah”, http://www.salam-online.com/2015/02/mui-jatim-shalat-tiga-waktu-itu-ajaran-sesat-syiah.html
_______________________________
Shalat 3 Waktu Sehari-Hari Dengan Alasan Jama’? Kritik Untuk Sebuah Pondok Pesantren
Post: 2/19/2015 05.41.00 AM 5 Fiqh
Akhir-akhir ini banyak tersebar stiker yang menghimbau untuk shalat 3 waktu. Jujur saja, stiker ini sangat meresahkan ummat dan sangat tidak patut untuk diedarkan terutama yang mengedarkannya adalah sebuah pondok pesantren. Karena shalat 3 waktu ini, akan menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama para kaum yang tamak akan dunia disebabkan slogan dan stiker yang diedarkan oleh pondok pesantren tersebut.
Mungkin pihak pondok pesantren tersebut sudah mengklarifikasikan bahwa stiker itu maksudnya adalah boleh menjama’ shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya karena alasan pekerjaan seperti pegawai, sopir, tukang becak, dan buruh tani. Tapi klarifikasi merekapun tetap tidak benar dan tidak sesuai syari’at. Saya tidak bisa membayangkan, jika suatu saat nanti, kebiasaan tukang becak adalah shalat 3 waktu dan selalu menjama’ shalat karena himbauan pondok pesantren tersebut.
Mari kita masuk ke pembahasan.
Pembahasan pertama: Apakah patut untuk menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani, dll adalah shalat 3 waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?
Sebenarnya pertanyaan ini “patut ataukah tidak” sangat mudah dijawab oleh seorang muslim yang masih ta’at kepada Allah. Mengapa? Karena orang muslim yang ta’at, dia akan mendahulukan perkara Rabbnya dari perkara dirinya sendiri. Tentu seorang muslim yang ta’at tidak akan lalai dari waktu shalat hanya karena alasan pekerjaan. Sungguh malu, seorang muslim tidak bisa menyisihkan 10 menit saja untuk Rabbnya sedangkan Allah telah memberinya waktu 24 jam. 10 menit saja untuk shalat dzuhur tidak bisa dia sisakan untuk Rabbnya sedangkan Allah telah memberinya waktu 24 jam? Mana rasa syukur kita?
Kita harus ingat.. Banyak para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi petani, pedagang, atau profesi lainnya. Tapi apakah kebiasaan mereka adalah shalat 3 waktu alias menjama’ shalat karena alasan pekerjaan? Tentu tidak.. Mengapa? Karena mereka adalah muslim sejati yang ta’at. Taat kepada firman Allah ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban atas kaum mukminin yang telah ditentukan waktunya” (QS. An-Nisa:103)
Para sahabat tidak ada yang selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan. Hal itu disebabkan, karena mereka mendahulukan agama diatas pekerjaan dan karena mereka taat kepada firman Allah diatas. Mereka tahu bahwasanya Jibril telah mengajari rasulullah tentang waktu-waktu shalat, dan begitu pula Rasulullah shallalalahu alaihi wa sallam telah mengajari sahabat-sahabatnya tentang waktu shalat. Maka mereka tinggal meletakkan waktu shalat pada tempatnya dan tidak main-main dengan syari’at.
Sangat tidak wajar bagi seorang muslim sejati, shalatnya tidak dikerjakan pada waktunya hanya karena alasan pekerjaan. Kemudian mencari alasan agar bisa menjama’nya.
Wahai kaum muslimin, mari kita simak firman Allah tentang kaum mukminin yang mana firmanNya sangat menyindir hamba-hambanya yang lalai yang ingin mencari alasan. Allah berfirman:
رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
“Dan orang-orang yang mana perdagangan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari dzikir kepada Allah dan dari menegakkan shalat dan menunaikan zakat” (QS.An-Nur 37)
Kalau kita adalah muslim sejati, apa layak bagi kita tidak bisa melaksanakan shalat pada waktunya hanya karena menarik becak dan menanam padi atau pekerjaan lainnya? Maka bacalah berkali-kali firman Allah diatas agar kita tidak mudah untuk mecari-cari alasan, yang mana sejatinya hal tersebut karena rasa malas saja.
Masih wajar jika menjama’ shalat hanya sesekali karena kebutuhan yang sangat mendesak, namun sangat memalukan jika selalu menjama’ shalat karena alasan pekerjaan seperti menarik becak, dan menanam padi. Apa iya, profesi narik becak menyita begitu banyak waktu sehingga 10 menit saja tidak bisa disisakan untuk Allah? Apa iya, bercocok tanam menyita begitu banyak waktu sehingga tidak bisa menyisakan 10 menit saja untuk Allah?
Justru dalam 10 menit itu, mintalah rezeki sebanyak-banyaknya kepada Allah. Karena Dialah yang Maha pemberi rezeki. Ketika kita sudah main-main dengan perkara Allah, maka jangan salahkan jika Allah murka. Sekarang tinggal kita yang menentukan, apakah kita ingin menjadi muslim sejati atau muslim yang malas hanya mencari-cari alasan??
Jangan jadikan kebiasaanmu untuk menjama’ shalat tanpa ada udzur, hati-hatilah dari memainkan syari’at Allah.
Patut ataukah tidaknya menjama’ shalat karena pekerjaan sudah kita bahas. Mari sekarang kita membahas hukumnya.
Pembahasan Kedua: Apa hukum dari menjama’ shalat itu sendiri karena alasan pekerjaan tanpa ada udzur syari’ seperti udzur safar, udzur hujan, dan udzur keadaan yang mendesak seperti sakit?
Jawabannya adalah haram. Hal tersebut karena pekerjaan bukanlah sebab atau udzur untuk menjama’ shalat. Dan ini adalah yang dipegang oleh para ulama. Syaikh Bin Baaz rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum menjama’ shalat karena pekerjaan.
س: أنا منتسبة إلى إحدى الدوائر، وهذه الدوائر تعمل من الثامنة صباحا وحتى الثالثة عصرا، وأحيانا أصلي الظهر مع العصر، فكيف تنصحونني؟
Penanya: Saya adalah seorang perempuan yang bersandar kepada sebuah perkantoran. Dan perkantoran ini bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 3 ashar. Dan terkadang saya menggabungkan shalat dzuhur bersama shalat ashar, maka bagaimana nasihatmu untukku?
ج: الواجب على المؤمن والمؤمنة أداء الصلاة في الوقت، فالعصر تؤدى في وقتها، والظهر تؤدى في وقتها، ولا يجوز الجمع إلا من علة، كالمطر على الصحيح، وكالمرض، وكالسفر، فإذا كان هناك علة شرعية فلا بأس بالجمع، وإلا فالواجب أن تصلى كل صلاة في وقتها: الظهر في وقتها، والعصر في وقتها، والدراسة ليست عذرا في الجمع، فالواجب عليك، وعلى كل مسلم وكل مسلمة أداء الصلوات في أوقاتها؛ لأن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وضحها للأمة وبينها للأمة فعلى الأمة أن تسمع وتطيع لما بينه عليه الصلاة والسلام، وأن تستقيم على ذلك، وألا تترخص في شيء إلا برخصة شرعية ثابتة عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم
Jawab: Wajib bagi bagi orang mukmin dan mukminah agar melaksanakan shalat pada waktunya. Maka shalat ashar dilaksanakan pada waktunya dan shalat dzuhur dilaksanakan pada waktunya. Dan tidak boleh menjama’ shalat kecuali karena sebab yang dibolehkan seperti hujan menurut pendapat yang shohih, sakit, dan safar. Maka jika disana ada sebab yang syar’i maka tidak mengapa untuk menjama’ shalat, jika tidak maka setiap shalat harus dilaksanakan pada setiap waktunya. Shalat dzuhur dilaksanakan pada waktunya , dan shalat ashar dilakukan pada waktunya. Dan pelajaran bukanlah udzur untuk diperbolehkan menjama’ shalat. Maka wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktunya. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya untuk ummat dan menerangkannya untuk ummat. Maka kewajiban ummat adalah mendengar dan ta’at kepada apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan begitu pula ummat harus istiqamah diatasnya dan jangan mencari-cari rukhsah sesuatu kecuali rukhsah syar’i yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam” (Fatawa Nur Ala Ad-Darb Syaikh Bin Baz 7/25)
Bahkan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah mewanti-wanti pekerjanya untuk tidak bermudah-mudahan menjama’ shalat tanpa adanya udzur. Saya ulangi, Umar berkata demikian kepada pekerjanya. Dan tentu pegawai-pegawai Umar juga sibuk bahkan sangat sibuk. Akan tetapi mengapa Umar mewanti pegawainya untuk tidak bermudah-mudahan dalam menjama’? Karena pekerjaan bukanlah udzur untuk menjama’ shalat. Disebutkan dalam Sunan Al-Kubra milik Imam Baihaqi:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ: " ثَلَاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ إِلَّا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْب
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pernah menulis surat kepada pegawainya: “3 perkara termasuk dosa besar adalah menjama’ shalat kecuali adanya udzur, dan lari dari peperangan, dan perampokan” HR Baihaqi
Bahkan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin bahwasanya hukum menjama’ shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa sebab hujan, dan kebutuhan mendesak adalah haram.
Hak tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ
“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:
وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ
“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)
Ketika adanya ijma’ maka kita harus mengikuti ijma’ dan tidak boleh menyelisihinya.
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan pekerjaan sebagai udzur untuk menjama’ shalat.
è Mungkin ada yang bertanya, lantas bagaimana dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaiahi wa sallam yang menjama’ shalat bukan karena peperangan, hujan, dan safar? Dan perbuatan Rasul ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
è Maka jawabannya dari 2 sisi jawaban.
1- Jawaban pertama: Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar, antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan.” (HR. Muslim)
Tapi apakah yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah Rasulullah menjama’ shalat beneran?? Atau bukan??
Maka perlu diketahui, bahwasanya Jama’ shalat Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ beneran. Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah Rasulullah shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat ashar di awal waktu,maka seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut. Begitupula Rasulullah shalat maghrib di akhir waktu dan shalat isya di awal waktu, maka seakan-akan Rasulullah menjama’ kedua shalat tersebut padahal tidak.Beliau tidaklah menjama’nya karena Rasul tetap melaksanakan setiap shalat pada waktunya masing-masing. Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ
“Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” (HR.Nasa'i)
Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seakan-seakan menjama’ shalat padahal tidak. Rasulullah tetap melaksanakan masing-masing shalat pada waktunya. Jadi hal ini adalah jama’ shuuri dan bukan jama’ sebenarnya. “Seakan-akan Rasulullah menjama’”.
Imam Syaukani Rahimahullah berkata:
وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ
“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
2- Jawaban kedua: Apa kamu yakin Rasul menjama’ shalat tanpa satu udzur pun?. Betul, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ shalat bukan karena waktu genting, begitu pula bukan karena safar, dan begitu pula bukan karena hujan. Tapi tentu ada sebab yang lain. Hendaklah kita menyempurnakan riwayat tersebut. Riwayatnya tersebut adalah:
جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَر وفي رواية: وَلَا سَفَرٍ فقيل لابن عباس: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjama’ antara shalat dzuhur dan ashar, antara shalat maghrib dan isya di Madinah tanpa ada waktu genting, dan tanpa adanya hujan. Dalam sebuah riwayat: tanpa melakukan safar. Maka ditanya kepada Ibnu Abbas mengenai hal itu, maka dia menjawab: Yang Nabi inginkan adalah agar tidak memberatkan seseorang dari ummatnya”. (HR. Muslim)
Jadi, tatkala kita sedang dalam keadaan yang berat dan mendesak, maka kita boleh untuk menjama’ shalat karena Rasul tidak ingin memberatkan ummatnya. Akan tetapi kalau kita tidak berada dalam keadaan yang berat dan mendesak maka tidak boleh bagi kita untuk menjama’ shalat.
Sehingga tidak ada satu ulamapun dari madzhab manapun yang mengisyaratkan atau menafsirkan riwayat diatas akan bolehnya membiasakan untuk menjama’ shalat karena alasan pekerjaan. Maka dari itu Abdurrahman bin Muhammad Al-Hanbali rahimahullah berkata:
ودل الحديث بفحواه على الجمع للمرض والمطر والخوف، وإنما خولف ظاهر منطوقه في الجمع لغير عذر للإجماع، وأخبار المواقيت
“Dan hadits ini dengan kandungannya menunjukkan akan bolehnya menjama’ shalat karena sakit, hujan dan keadaan genting. Dan seseungguhnya berbeda dari dzahir apa yang diucapkan mengenai menjama’ shalat tanpa ada udzur karena adanya ijma’ (keharaman menjama’ shalat tanpa ada udzur) dan karena ada hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat yang sudah ditentukan” Hasyiah Ar-Raud Al-Murbi’ 2/399
Maka Jika kita dalam keadaan terdesak seperti sakit, maka boleh bagi kita untuk menjama’ shalat sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ada sedikit ulama yang membolehkan menjama’ shalat tanpa adanya hujan, safar, dan sakit. Tapi mereka memberikan taqyid (pengkhususan) dan tidak memutlakkannya sebagaimana yang dimutlakkan oleh pondok pesantren pengedar stiker himbauan shalat 3 waktu. Taqyid tersebut adalah “Tidak menjadikan jama’ shalat sebagai kebiasaan, alias hanya sekali-sekali saja”. Adapun himbauan shalat 3 waktu tanpa adanya taqyid, ditakutkan orang akan bermudah-mudahan dan akan membiasakan untuk selalu menjama’ shalat padahal hal tersebut tidaklah boleh.
Penting yang harus digaris bawahi: Bedakan keadaan mendesak dengan keadaan malas. Jangan cari-cari alasan untuk menyamakan antara keadaan mendesak dengan pekerjaan agar bisa menjama shalat hanya karena rasa malas. Banyak dan sangat banyak dari pegawai muslim atau pedagang muslim atau petani muslim yang selalu dan bisa menjaga waktu shalatnya tanpa mencari-cari alasan. Kalau mereka saja bisa untuk menempatkan waktu shalat pada tempatnya tanpa mencari-cari alasan, mengapa kamu tidak bisa? Banyak waktu yang kita miliki dan apa mungkin bagi kita yang berakal untuk mendahulukan pekerjaan dari pada perintah Allah?
Maka diakhir pembahasan, jangan gara-gara rasa malas kita memainkan syari’at Allah ta’ala. Karena kita akan terjatuh di dalam 2 kategori dosa: 1- Malas shalat pada waktunya. 2- Memainkan syari’at Allah.
Allahu ta’ala a’lam, semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol follow pada akun FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
_______________________________
MUI Jatim: “Shalat ‘Tiga Waktu’ Itu Ajaran Syiah”
Redaksi Salam-Online – Kamis, 29 Rabiul Akhir 1436 H / 19 Februari 2015 19:31
Stiker ‘shalat tiga waktu’ yang beredar di Jombang
SURABAYA (SALAM-ONLINE): A’wan Syuriah PWNU Jatim Habib Achmad Zein Alkaf menanggapi stiker ‘shalat tiga waktu’ yang beredar di Jombang, Jatim.
Menurut anggota Bidang Ukhuwah Islamiyah MUI Jatim ini, polisi harus segera turun tangan dan memeriksa penyebar stiker ‘shalat tiga waktu’ tersebut.
“Di samping meresahkan, menurut saya, itu adalah salah satu ajaran aliran sesat Syiah. Dan itu salah satu alasan mengapa MUI Jatim mengeluarkan fatwa mengenai kesesatan ajaran Syiah,” katanya saat dikonfirmasi beritajatim.com, Rabu (18/2/2015).
Seperti diberitakan sebelumnya, stiker berisi ajakan ‘shalat tiga waktu’ menyebar luas di Jombang sejak sepekan terakhir ini. Stiker yang bisa ditempel ini diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqo (PPUW) Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang.
Sumber: beritajatim.com
salam-online
_______________________________
Sebagai Jawaban Sconprince:
Perkara yang dipermasalahkan adalah shalat jama’ dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dengan alasan pekerjaan seperti pegawai, sopir, tukang becak, dan petani. Sayang sekali pembahasan Al Amiriy tersebut tidak ilmiah dan banyak mengandung syubhat.
Pembahasan pertama dimulai dari pertanyaan apakah patut menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani dan lain-lain untuk shalat tiga waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?.
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana, patut ataukah tidak itu harus ditimbang dengan kacamata Syari’at. Kalau syari’at membolehkan hal tersebut maka ya tidak ada masalah. Tidak perlu ngalor ngidul bicara soal lalai dalam shalat atau dimana rasa syukur kita. Shalat itu perkara yang diatur tatacaranya, nah kalau memang ada aturan syari’at yang membolehkan shalat jama’ karena ada hajat atau keperluan maka melaksanakannya bukan berarti lalai atau tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika perkara menjama’ shalat ini dianggap mempermainkan Syari’at agama justru ucapan seperti ini hanya muncul dari orang yang tidak mengerti syari’at agama.
Pembahasan kedua apakah hukumnya menjama’ shalat dengan alasan pekerjaan tanpa adanya uzur?. Jawabannya boleh, sedangkan orang yang mengatakan haram maka ia telah menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang jelas dan terang benderang.
وحدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد بن زيد عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى بالمدينة سبعا وثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur Ashar dan Maghrib Isya’ [Shahih Muslim 1/490 no 705].
Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy membuat-buat syubhat bahwa shalat jama’ yang dimaksud adalah jama’ shuri bukan jama’ yang sebenarnya. Maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di akhir waktu Zhuhur kemudian shalat Ashar di awal waktu, seolah-olah kelihatan menjamak tetapi sebenarnya dilakukan pada waktunya sendiri-sendiri. Begitu pula Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat Maghrib di akhir waktu kemudian shalat Isya’ di awal waktu. Al Amiriy berhujjah dengan riwayat berikut, ia berkata
Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ
Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” HR. Bukhari Muslim
Sebenarnya kami cukup heran dengan penukilan hadisnya. Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy telah berdusta atas sumber nukilan hadis tersebut. Kami tidak menemukan adanya riwayat Bukhariy dan Muslim dengan lafaz yang demikian. Riwayat yang dinukil Al Amiriy adalah riwayat Nasa’iy bukan riwayat Bukhariy dan Muslim:
أخبرنا قتيبة بن سعيد ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَان , عَنْ عمرو , عَنْ جابر بن زيد عَنِ ابن عباس , قَالَ : صليت مع النبي بالمدينة ثمانيًا جميعًا وسبعًا جميعًا ؛ أخر الظهر وعجل العصر , وأخر المغرب وعجل العشاء
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’ [Sunan Nasa’iy Al Kubra no 375].
Riwayat ini sanadnya shahih tetapi lafaz “Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa” bukan bagian dari perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraj [sisipan] dari perawi hadis. Buktinya ada pada riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا قُلْتُ يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ قَالَ وَأَنَا أَظُنُّهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru yang berkata aku mendengar Abul Sya’tsaa’ Jaabir yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. ‘Amru berkata “wahai Abul Sya’tsaa’ aku mengira Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’. [Abu Sya’tsaa’] berkata “aku juga mengiranya demikian” [Shahih Bukhariy 2/58 no 1174].
Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya.
Imam Syaukani Rahimahullah berkata:
وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ
“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
Lafaz yang dijadikan hujjah oleh Asy Syaukaniy tersebut bukanlah perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraaj [sisipan] dari perawi hadis yaitu zhan [dugaan] sang perawi terhadap hadis tersebut. Dan zhan atau prasangka tidak menjadi hujjah. Apalagi di saat yang lain Abu Sya’tsaa’ Jabir bin Zaid perawi tersebut menyebutkan zhan atau dugaan yang lain:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dia Ibnu Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Maka Ayuub berkata “mungkin karena malam berhujan”. [Jabir bin Zaid] berkata “bisa jadi” [Shahih Bukhariy 1/114 no 543].
Di saat lain perawi mengira itu jamak shuriy dan di saat lain perawi yang sama mengira jama’ itu karena hujan. Dugaan tidak menjadi hujjah dan terdapat riwayat Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa jama’ tersebut memang betul jama’ shalat sebenarnya bukan jama’ shuriy.
وحدثني أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد عن الزبير بن الخريت عن عبدالله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة ؟ لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبدالله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata Ibnu ‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan nampak bintang-bintang maka orang-orang pun mulai menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya [Ibnu ‘Abbas] [Shahih Muslim 1/490 no 705].
Zhahir lafaz riwayat Muslim di atas memang menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Kemudian apa yang dilakukan Ibnu ‘Abbas belum mengerjakan shalat maghrib sampai nampaknya bintang-bintang menunjukkan bahwa ia akan shalat jama’ takhir maghrib isyaa’ maka bisa dipastikan hal itu bukan jama’ shuriy.
Perbuatan Ibnu ‘Abbaas yang menjama’ shalat maghrib dan isya’ karena sibuk berkhutbah [menyampaikan ilmu] menjadi dasar untuk menolak zhan [dugaan] perawi hadis yang menganggap jama’ tersebut adalah jama’ shuriy atau zhan [dugaan] yang menganggap hal itu adalah jama’ karena hujan.
Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy kemudian membawakan hadis lain yang menurut anggapannya menjadi hujjah bahwa jama’ tersebut dilakukan karena terdapat uzur perkara berat yang mendesak. Berikut riwayat yang dimaksud:
وحدثنا أحمد بن يونس وعون بن سلام جميعا عن زهير قال ابن يونس حدثنا زهير حدثنا أبو الزبير عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر والعصر جميعا بالمدينة في غير خوف ولا سفر قال أبو الزبير فسألت سعيدا لم فعل ذلك ؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتني فقال أراد أن لا يحرج أحدا من أمته
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus dan ‘Aun bin Salaam keduanya dari Zuhair. Ibnu Yuunus berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula dalam perjalanan. Abu Zubair berkata maka aku bertanya kepada Sa’id “mengapa Beliau melakukannya?”. [Sa’id] berkata aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Maka ia menjawab “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” [Shahih Muslim 1/489 no 705].
Dalam hadis di atas tidak ada disebutkan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ karena uzur perkara berat atau mendesak. Lafaz hadis “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” adalah tujuan dari syari’at shalat jama’ tersebut bukan sebagai keterangan yang menunjukkan adanya uzur. Secara zhahir hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ tersebut tanpa adanya uzur, Beliau ingin memberikan keluasan kepada umatnya sehingga tidak ada satupun dari umatnya yang akan merasa kesulitan dalam melaksanakan shalat.
Al Baghawiy memahami hadis riwayat Muslim tersebut sebagai dalil bolehnya menjama’ shalat tanpa adanya uzur. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Syarh As Sunnah, ia berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بِلا عُذْرٍ ، لأَنَّهُ جَعَلَ الْعِلَّةَ أَنْ لا تَحْرَجَ أُمَّتُهُ ، وَقَدْ قَالَ بِهِ قَلِيلٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا بِالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِذَا كَانَتْ حَاجَةٌ أَوْ شَيْءٌ ، مَا لَمْ يَتَّخِذَهُ عَادَةً
Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit dari ahlul hadis, dihikayatkan dari Ibnu Siriin bahwa ia berkata “tidak mengapa menjama’ dua shalat jika memiliki hajat atau sesuatu keperluan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan” [Syarh As Sunnah Al Baghawiy 4/199 no 1044].
Ibnu ‘Abbaas sendiri selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut telah mengamalkan menjama’ shalat bukan karena ada perkara berat yang mendesak sebagaimana dikatakan Al Amiriy. Apakah berkhutbah atau menyampaikan ilmu termasuk perkara berat mendesak?. Bukankah begitu mudah untuk berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat. Kalau Al Amiriy menganggap shalat jama’ tersebut mempermainkan syari’at atau lalai maka itu berarti ia menuduh Ibnu ‘Abbaas telah mempermainkan syari’at.
حدثنا موسى بن هارون ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا محمد بن مسلم الطائفي عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس قال : صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ثمان ركعات جميعا وسبع ركعات جميعا من غير مرض ولا علة
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Haruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat delapan rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab tertentu [uzur] [Mu’jam Al Kabir 12/177 no 12807].
Riwayat Ath Thabraniy di atas para perawinya tsiqat dan shaduq, berikut keterangan tentangnya:
1. Muusa bin Haaruun seorang hafiz tsiqat kabiir [Taqrib At Tahdzib 2/230]
2. Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/281]
3. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy seorang yang shaduq sering keliru dari sisi hafalannya [Taqrib At Tahdzib 2/133]. Dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Muslim seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6293]
4. ‘Amru bin Dinar Al Makkiy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/734]
5. Jabir bin Zaid seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdziib 1/152]
Riwayat Ath Thabraniy di atas adalah qarinah kuat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat tersebut tanpa adanya uzur.
Kesimpulan:
Dalam perkara ini, pendapat yang rajih adalah apa yang dikatakan sebagian ulama bahwa menjama’ shalat dibolehkan secara mutlak asal tidak dijadikan kebiasaan. Ibnu Hajar berkata:
وقد ذهب جماعة من الأئمة إلى الأخذ بظاهر هذا الحديث ، فجوزوا الجمع في الحضر للحاجة مطلقا لكن بشرط أن لا يتخذ ذلك عادة ، وممن قال به ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث ، واستدل لهم بما وقع عند مسلم في هذا الحديث من طريق سعيد بن جبير قال : فقلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أحدا من أمته
Dan sungguh sekelompok dari para imam telah mengambil zhahir hadis ini, maka mereka membolehkan secara mutlak shalat jama’ ketika mukim karena ada keperluan tetapi dengan syarat tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Sirin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnu Mundzir, Al Qaffaal Al Kabiir dan dihikayatkan oleh Al Khaththaabiy dari jama’ah ahli hadis. Dan mereka telah berdalil dengan hadis ini riwayat Muslim dari jalan Sa’iid bin Jubair yang berkata maka aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas “mengapa Beliau melakukannya?”. Ibnu ‘Abbaas berkata “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya “ [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 2/24].
Pernyataan para ulama yang dinukil Ibnu Hajar tersebut telah sesuai dengan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbaas. Pernyataan para ulama ini sekaligus membatalkan klaim ijma’ dalam mengharamkan shalat jama’ tanpa adanya uzur. Bagaimana bisa dikatakan ijma’ kalau terdapat sekelompok ulama yang mengingkarinya.
Perkara shalat jama’ tanpa adanya uzur ini telah menjadi keluasan Syari’at yang memberikan kemudahan bagi umat islam. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan waham orang-orang bodoh yang menuduh hal itu mempermainkan syari’at atau lalai dalam shalat. Orang yang menuduh perkara sunnah sebagai mempermainkan syari’at maka orang tersebut telah melakukan kemungkaran yang besar. Semoga Allah SWT melindungi kita dari kemungkaran orang-orang tersebut.
Jawaban Tambahan AHLUL BAIT NABI SAW:
Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah
Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah,
Solat dalam lima waktu dibolehkan seperti mana solat dalam tiga waktu; meskipun begitu jikalau tiada masalah yang timbul akibat kerja-kerja mustahak, maka lebih baik ia solat dalam lima waktu. Tentang perkara ini, mazhab Syiah mempunyai dalil-dalil kukuh dan muḥkam dari kitab-kitab mereka sendiri termasuk dari sumber-sumber ṣaḥīḥ Ahlusunnah.
Oleh kerana perkara ini mendapat perhatian dan kemusykilan daripada saudara-saudara kita Ahlusunnah, maka kami bawakan dalil-dalil dari sumber ṣaḥīḥ mereka. Kitab Bukhārī dan Muslim mempunyai martabat ṣaḥīḥ setelah al-Qur’ān di kalangan Ahlusunnah, Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad Ṭayālisī di dalam musnadnya meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ ... صحيح البخاري ، 9 مواقيت الصلاة، باب تَأْخِيرِ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ، ج 2 ، ص 428،
Referensi:
- Ṣaḥīḥ Bukhārī, fasal 9 Mawāqīt al-Ṣalāh, bab Ta’khīr al-Zuhr ilā al-ʽAṣr, jilid 2 halaman 428.
- (Bahasa Arab) Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris) Narrated Ibn 'Abbas: "The Prophet prayed eight Rakat for the Zuhr and 'Asr, and seven for the Maghrib and 'Isha prayers in Medina."; “The Prophet prayed seven Rakat together and eight Rakat together”.
Ini bermaksud himpunan solat Zuhur dan ʽAsar adalah 8 rakaat (iaitu solat Zuhur 4 rakaat dan salam, kemudian solat Aṣar 4 rakaat, bukan solat 8 rakaat sekaligus), Maghrib dan ‘Ishā’ pula 7 rakaat (iaitu solat Maghrib 3 rakaat dan salam, kemudian barulah menunaikan solat ʽIshā’ 4 rakaat) sebagaimana solat di dalam mazhab Syiah Imamiyah.
Berdasarkan Ḥadīth tersebut, Ayyūb mengatakan mungkin pada malam tersebut hujan. Namun menurut Ḥadīth yang lain, RasūluLlah menunaikan solat demikian bukan kerana hujan atau perjalanan mahupun peperangan. Ṣaḥīḥ Muslim, Mālik bin Anas pemimpin mazhab Māliki di dalam kitab Muwaṭṭā’, Abū Dāwūd, Nasā’ī dan Bayhaqī di dalam sunan mereka serta Aḥmad bin Ḥanbal melaporkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ .
مسند أحمد ، وَمِنْ مُسْنَدِ بَنِي هَاشِمٍ، بِدَايَة مُسْنَد عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ، ج 4 ، ص 384 ، ح 1953 صحيح ابن خزيمة، جماع أبواب المواضع التي تجوز الصلاة عليها ، والمواضع التي زجر عن الصلاة عليها، جماع أبواب الفريضة في السفر، ج 4 ،ص 62 ، ح 923
Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) solat Zuhur bersama Asar, Maghrib bersama ‘Ishā’ bukan dalam situasi ketakutan dan bukan dalam perjalanan.
Referensi:
- Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, jilid 4 halaman 384, Ḥadīth 1953; Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaymah, jilid 4 halaman 62 ḥadīth 923; dan banyak lagi rujukannya.
_______________________________
Namun sayang sekali golongan Ahlusunnah tidak mengizinkan solat seperti ini meskipun terlalu banyak riwayat ṣaḥīḥ didapati dari kitab-kitab mereka. Jikalau diizin pun hanyalah kepada mereka yang memerlukan tumpuan yang lebih kepada kerjanya seperti doktor yang membedah pesakit selama berjam-jam dan melebihi satu waktu solat. Kerana masalah ini juga kita dapati ramai remaja-remaja yang mengabaikan solat kerana tersibuk dengan banyak berbagai pekerjaan dan karenah.
Jikalau sunnah ini dipraktikkan, kemungkinan besar tidak akan timbul masalah kerana mereka dapat menghimpunkan solat-solat tersebut dalam waktu-waktunya. Dengan ini tidak ada alasan lagi untuk para remaja dan seluruh lapisan masyarakat menghindari solat.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ . صحيح مسلم ،6 - كتاب صلاة المسافرين وقصرها ، باب الجمع بين الصلاتين في الحضر ، 1 ، ص 894
Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) menghimpunkan solatnya Zuhur dan Aṣar, ʽIshā’ dan Maghrib bukan kerana ketakutan, bukan kerana hujan. Di dalam Hadīth Wakīʽ berkata, saya bertanya kepada Ibnu ʽAbbās: Mengapakah baginda solat seperti itu? Beliau menjawab: Supaya tidak menyusahkan ummatnya.
Referensi:
- Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab Ṣolāh al-Musāfirīn wa Qaṣr ha, Bāb al-Jamʽ Bayn al-Ṣālatayn fi al-Ḥaḍar, jilid 1 halaman 489.
- (Bahasa Arab) Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris); Book 004, Number 1520: Ibn 'Abbas reported that the Messenger of Allah (may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the 'Isha' prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki' (the words are):" I said to Ibn 'Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his (Prophet's) Ummah should not be put to (unnecessary) hardship."
Ini menunjukkan RasūluLlah (s.a.w) telah melihat seluruh masalah masa depan ummatnya. Tatkala sunnah Rasūl memboleh solat seperti ini, apa lagi alasan yang timbul kepada remaja kita untuk bermalas-malasan dan berkeras kepala dalam menunaikan kewajiban ini?
Meskipun begitu, tidak ada halangan buat sesiapa yang mampu mendirikan solat dalam lima waktu dan kemungkinan pahalanya besar. Begitu tidak ada halangan juga buat sesiapa yang mendirikan solat dalam tiga waktu kerana riwayat seperti ini terlalu banyak didapati di dalam kitab Ahlusunnah, namun memadailah disebut sehagian kecil daripadanya.
Shalat Tiga Waktu, Sehari Lima Kali Picu Kontroversi di Turki
_______________________________
SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT.
Seorang profesor bidang studi Islam di Turki memicu kontroversi, setelah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh sholat hanya tiga kali dalam sehari, dan bukan lima kali asalkan memperbanyak doa.Fatwa itu dikeluarkan oleh Profesor Muhammad Nour Dugan, dan ia mendapat dukungan dari sejumlah profesor bidang hukum Islam lainnya, sehingga menimbulkan perdebatan yang panas di media massa Turki.Para cendekiawan Islam yang mendukung fatwa tersebut antara lain Dr. Ali Kusa. Ia beralasan, Nabi Muhammad Saw dalam kasus-kasus khusus menggabungkan dua waktu sholat..
SHALAT DALAM MAZHAB AHLULBAIT.
Jika anda membaca Qs. 17:78 dan Qs. 11:114 maka jelaslah maka shalat 5 kali sehari dalam 3 waktu :
* Zuhur dan ashar
* Maghrib dan isya
* Subuh
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the “Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
Now, what did the Prophet (PBUH&HF) do? Here’s what Ibn Abbas, one of the most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of the books of tradition):
“The Prophet (PBUH&HF) prayed in Madina, while residing there, NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and `Asr combined).” Musnad al-Imam Ibn Hanbal, vol. 1, page 221.
Also, in the Muwatta’ of Malik (Imam of Maliki sect), vol. 1, page 161, Ibn Abbas says:
“The Prophet (PBUH&HF) prayed Zuhr and `Asr in combination and Maghrib and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”
As for Sahih Muslim, see the following under the chapter of “Combination of prayers, when one is resident”:
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset and Isha prayers together without being in a state of fear or in a state of journey Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1515
Ibn Abbas reported that the messenger of Allah(may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.” Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1520
Abdullah b. Shaqiq reported: Ibn Abbas one day addressed us in the afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b. Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1523
Abdullah b. Shaqiq al-Uqaili reported: A person said to Ibn Abbas(as he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and said: May you be deprived of your mother, do you teach us about prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the messenger of Allah(may peace be upon him). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1524
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and afternoon prayers together in Medina without being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to [unnecessary] hardship. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1516
Ibn Abbas reported that the Messenger of Allah(may peace be upon him) observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset and Isha prayers(seven Rakahs). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1522.
_______________________________
Wudhu syi’ah.
Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.
Sebagaimana diketahui, pada tertib ritual wudhu, madzhab ahlusunnah mewajibkan membasuh kaki.
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [5]
Sedang hadits-hadits seputar hal itu juga diriwayatkan, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi’ah. Namun, larangan sebagian ulama ahlusunnah untuk mengusap kaki dikarenakan hadits-hadits yang memerintahkan membasuh kaki; yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash, Urwah, dan lain-lain [6]. Dan sejarah membuktikan bahwa keempat orang tersebut adalah orang-orang yang tidak menyukai, bahkan memerangi Ahlul Bait as. Sementara hadits-hadits dari jalur ahlusunnah, yang memerintahkan untuk mengusap kaki, sebagai berikut :
1. Baihaqi meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Rifa’ah bin Rafi’, yang mengatakan bahwa Rasulullah (saww) bersabda : “Sungguh tidaklah kalian mengerjakan sholat, hingga kalian mengerjakan wudhu sebagaimana perintah Allah, yakni “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.” [7]
2. Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa ayat “usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” mengandung makna “mengusap”. [8]
3. Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata : “Orang-orang telah membasuh, padahal tidak aku jumpai dalam Kitabullah kecuali mengusap.” [9]
4. dan lain-lain.
Sementara dari jalur Ahlul Bait as (syi’ah), terdapat banyak sekali riwayat yang memerintahkan untuk mengusap kaki, seperti :
1. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika menerangkan wudhu Rasulullah saww, mengatakan bahwa Rasul saww mengusap kakinya sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan : “Usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [10]
2. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa ayat : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” termasuk ayat muhkam, yang tidak memerlukan takwil lagi. Adapun batasan (hukum) wudhu adalah membasuh muka dan kedua tangan, serta mengusap kepala dan kedua kaki. [11]
3. Imam Ali al-Ridha as, ketika ditanya seseorang, mengatakan bahwa surat al-Maidah tersebut sudah jelas, yaitu mengusap kepala dan kedua kaki. [12]
4. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika ditanya tentang darimana perintah untuk mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut tercantum dalam al-Qur’an : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [13]
Referensi:
[5] QS. al-Maidah: 6
[6] Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 1, bab “Sifat Wudhu”; Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[7] Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 1, hal. 389, riwayat 1022.
[11] Ibid, hal. 399, riwayat 1042.
[12] Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 80, hal. 283, riwayat 32.
[13] Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jilid 3, hal. 30, riwayat 4.
_______________________________
PERBAHASAN WUDHU’
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْديكُمْ مِنْهُ ما يُريدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Maidah:6).
Di dalam ayat di atas, dua bentuk ayat perintah digunakan:
(i) “faghsilu” yang berarti “basuh”
(ii) “wamsuhu” yang berarti “sapu/usap”.
Adalah jelas bahawa bentuk ayat perintah “basuh” merujuk pada dua objek iaitu mukamu (wujuhakum) dan kedua tanganmu (aidiyakum) manakala bentuk perintah kedua pula (sapu/usap) merujuk pada dua objek lainnya iaitu bagian kepalamu (bi ru’usikum) dan kedua kakimu (arjulakum).
Perkataan “muka” berarti bagian depan kepala, bermula dari bagian dahi dan bawah dagu, dan dari telinga ke telinga. Dalam artinya yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis2 para A’immah as,ia merangkumi bagian muka dari batas anak rambut ke bagian hujung dagu, dan sebatas sejengkal dari sisi ke sisi.
Perkataan tangan berarti organ yang digunakan untuk menggenggam, dan merangkumi bagian atas antara bahu dan hujung jari. Maka, dari sudut bahasa, perkataan “yad” adalah umum bagi lengan,lengan bawah dan tangan. Apabila sesuatu perkataan itu digunapakai secara umum dalam lebih dari satu maksud, adalah penting untuk pembicara menjelaskan maksud katanya…dengan ini, kita lihat perkataan ‘ill ‘l marafiq “sehingga dengan siku” dalam ayat ini, menjelaskan hingga batas manakah wudu’ itu harus dilakukan.
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’).
Kini kita sampai pada satu perbedaan utama antara Syiah dan Sunni dalam cara melakukan wudu’. Sunni membasuh lengan mereka dari hujung jari ke siku, manakala Syiah pula, membasuh lengan mereka dari siku ke hujung jemari. Seperti yang dinyatakan di atas, perkataan “hingga dengan siku” tidak menjelaskan kepada kita untuk membasuh lengan dari hujung jari hingga ke siku, malah, perkataan ini semata mata memberitahu bagian tangan yang manakah yang termasuk dalam bagian wudu’.
Lalu, bagaimana kita melakukan wudu’ dari siku ke hujung jemari? Jawaban pada persoalan ini terkandung di dalam sunnah. Salah satu dari tanggungjawab Rasul saaw adalah untuk menjelas dan menunjukkan tatacara sebenar berwudu’, dan ini kita peroleh lewat hadis para A’immah as.
Zurarah bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata “Mahukah aku perlihatkan pada kalian cara wudu’nya Rasulullah saaw?” Kami menjawab, “Ya”. Apabila air dibawakan ke hadapan Imam, Imam lalu membasuh tangannya, setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana, menceduk air dgn tangannya dan mencurahkannya ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian, beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air dan menceduknya dengan tangannya dan menuangkannya ke ke siku tangan kanannya turun ke hujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke hujung jemarinya.
Lalu setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan muka kakinya dengan sisa air dari tangan kanan dan kirinya”( Wasa’il jilid 1 hlm 272).
Dalam hadis yang lain Imam Muhammad al-Baqir (a.s) meriwayatkan cara berwudu yang serupa dari Amirul Mukminin as yang menunjukkan cara berwudu Rasulullah saaw saat diminta seseorang (Wasa’il jilid 1 hlm 272).
Kata perintah “wamsahu “usap/sapu” berarti menyapukan tangan dsb pada sesuatu. Bila perkataan seperti ini digunakan dalam bentuk kata transitif, ia menandakan penyempurnaan dan keseluruhan perbuatan (sebagai contoh maksudnya “basuh seluruh kepalamu”).
Namun, setiap kali verb ini diikuti oleh huruf “ba”, ia menandakan sebagian darinya (bermakna, “basuhlah sebagian dari kepalamu”) Dalam ayat wudu’ ini, huruf “ba” telah digunakan dalam ayat perintah wudu’ yang berarti, terjemahannya yang tepat adalah “basuhlah sebagian dari kepalamu”
Bagian kepala yang manakah yang harus dibasuh saat berwudu’? Al Quran tidak menyebutkannya, namun hal ini bisa kita temukan di dalam sunnah Rasul saaw. Terdapat banyak hadis dari para A’immah as yang menjelaskan hal ini, bahawa “sebagian dari kepala” adalah bagian depannya (Wasa’il jilid 1 hlm 289).
Perkataan “arjulukum ” berarti “kaki, keseluruhan kaki”. Untuk mengkhususkan maksudnya, adalah penting untuk menambahkan perkataan “illa ‘l-ka’bayn”, “hingga kedua mata kaki”. Kata “ar-julakum” adalah berhubung kepada “bi ru’usikum” “sebagian dari kepalamu” oleh kata sendi “wa=dan “. Dengan ini, ayat tersebut berarti “usap/sapu sebagian dari kakimu”.
Sekali lagi, di sini, kita temukan perbedaan di antara Syiah dan Sunni. Sunni membasuh keseluruhan kaki mereka sedangkan Syiah hanya mengusap bagian atas kaki mereka hingga ke mata kaki. Sekaitan hal ini, al Quran dan hadis hadis para A’immah as, menjelaskan bahawa “mengusap sebagian dari kakimu” itulah yang benar, dan tafsir inilah yang juga diterima oleh mufassir kenamaan Sunni Imam Fakhru ‘d-Din ar-Razi in his Tafsir al-Kabir.( ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol.3, p.370).
Satu satunya asas bagi Sunni dalam “membasuh kaki” adalah sebagian hadis yang terakam dalam kitab2 hadis mereka.
Hadis2 ini tidak valid karena:
Pertamanya, terdapatnya percanggahan dengan perintah al Quran. Rasul saaw bersabda “Jika hadisku disampaikan padamu, maka letakkannya di hadapan al Quran, jika ia sejalan dengan kitab Allah, ambillah, dan jika sebaliknya, tolaklah”.
Keduanya, mereka menentang sunnah Rasul saaw, sebagaimana yang dijelaskan oleh para A’immah as, yang diterima oleh semua kaum Muslimin. Bahkan sebagian dari sahabat yang mengatakan adalah salah untuk menisbahkan “membasuh kaki” kepada Rasul saaw.
Sebagai contohnya, sahabat Ibn Abbas berkata, “Allah telah menetapkan dua basuh dan dua usap dalam berwudu’. Tidakkah engkau perhatikan, saat Allah memerintahkan bertayyamum, Allah telah meletakkan duausapan pada dua basuhan (muka dan tangan) dan menghilangkan dua usapan (kepala dan kaki) ( Muttaqi al-Hindi, Kanzu ‘l-Ummal, jil. 5, hlm. 103 (hadith 2213).Juga Musnad Ibn Hanbal, jil. 1, hlm.108).
Ketiga, hadis Sunni dalam hal ini (wudu’) adalah saling bertentangan. Sebagian hadis menyebutkan “membasuh kaki” seperti hadis Humran yang dikutip oleh Bukhari dan oleh Ibn ‘Asim yang dikutip oleh Muslim. Manakala sebagian dari hadis pula mengatakan bahawa Nabi saaw “mengusap kaki”, seperti hadis Ibad bin Tamim yang berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw melakukan wudu’, dan Baginda mengusap kakinya”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Ta’rikh of al-Bukhari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan Ibn Abi Shaybah, dan Mu’jamu ‘l-Kabir at-Tabarani; dan semua perawinya adalah tsiqah. ( al-’Asqalani, al-’lsabah, jil. 1, hlm. 193; juga Tahdhib at-Tahdhib).
Dan adalah suatu kesepakatan bahawa di dalam kaedah (usulu ‘l-fiqh) jika ada hadis2 yang bertentangan, maka yang sejalan dengan al Quran diterima dan selainnya ditolak.
Diriwayatkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’ bahawa beliau bersama dengan Rasul saaw lalu Baginda saaw bersabda, “Hakikatnya, tiada solat yang diterima sehinggalah seseorang itu menyempurnakan wudu’nya sebagaiman yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Perkasa, iaitu membasuh muka dan tangan hingga ke siku dan mengusap kepala dan kedua kaki hingga ke mata kaki” . (Sunan Ibn Majah. jil. 1, bag 57, hadis 460, No. 453; Sunan Abi Dawud, No. 730; Sunan Al-Nisa’i, No. 1124; Sunan Al-Darimi 1295).
Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi Umar, Al-Baghawi, Al-Tabarani, Al-Bawirdi dan yang lainnya meriwayatkan dari Abbad Ibn Tamim Al-Mazani yang meriwayatkan bahawa bapanya berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw berwudu’ dan mengusap kakinya dengan air”(Al-Isaba, jil. 1, hlm. 185, No. 843).
Abu Malik Ash’ari memberitahu kerabatnya, “Mari, biar aku tunjukkan cara berwudu’nya Rasulullah saaw” Beliau meminta air untuk berwudu’. Beliau menghidu air tersebut lalu membasuh mukanya tiga kali dan membasuh tangannya dari siku tiga kali dan mengusap kepala dan muka atas kakinya. Kemudian mereka solat (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, No. 21825).
Diriwayatkan dari Rubayyi’ bahawa dia berkata, “Ibn Abbas datang kepadaku dan bertanyakan tentang hadis yang aku riwayatkan dari Rasul saaw yang menceritakan tentang Nabi saaw membasuh kakinya saat berwudu’. Lalu Ibn Abbas berkata, “Manusia mengelak apa sahaja kecuali basuh, sedang aku tidak melihat di dalam kitab Allah kecuali menyapu” (Sunan Ibn Majah, jil. 1, hlm. 156, No. 458, No. 451; Musnad Ahmad, No. 25773 ).
Ulama Syi’ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia (mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah atas.(Al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil arba’ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain; Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42.).
Fukaha Syi’ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.( Wasâ’il as-Syi’ah, jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa jumlatin min ahkamihi).
Dan berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.(. Surat al-Maidah (5): 6).
Riwayat tersebut berbunyi: “Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah”( Wasa’il as-Syi’ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1.).
Adapun mengenai redaksi “ila” yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku” (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu itu hingga bagian siku.( Kata “marâfiq” adalah bentuk plural dari kata “mirfaq” yang bermakna siku).
Untuk memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: “Uknus al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb” (sapulah masjid dari pintu sampai ke mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut tidak terdapat kata “min” (dari). Dengan demikian bahwa kata “ila” yang terdapat pada ayat di atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh para Imam suci Ahlulbait As.
Dengan demikiian bahwa makna kata “ila” adalah ghayat ( Maknanya: ke, hingga), tetapi menunjukkan tangan yang dibasuh ( Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh adalah sampai siku). dan bukan untuk cara membasuhnya.( Yakni bukan berarti basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara membasuhnya itu harus ke arah siku). Atau bermakna “min” ( Bermakna: dari) atau bermakna “ma’a” ( Bermakna: beserta, bersama). sebagaimana pandangan Syaikh Thusi.( Wasâil as-Syi’ah, jilid 1, hal. 406).
_______________________________
Tatacara berwudu’ dalam mazhab Ahlul Bayt as.
Wudu’ dilaksanakan secara empat tahap:
1. Membasuh muka. Selepas berniat, curahkan air dari atas arah anak rambut. Dengan menggunakan tangan kanan, basuhlah muka itu dari atas ke bawah, hingga air itu sampai ke seluruh wajah dari anak rambut ke dagu dan dari sisi ke sisi(bagian yg tidak ditumbuhi janggut)
Bacalah doa ini sebelum mulakan wudu’:
Bis mail-lahi wa bil-lahi ; wal hamdu lil-lahi lazi ja’ala ma’a tahuran wa lam yaj’alu najisa
dan doa ini saat membasuh muka:
Allahumma bayyiz wajhiy yawma tusawwidul wujuh; wa la tusawwid wajhiy yawma tubyyizul wujuh
2. Membasuh tangan dari siku ke hujung jemari. Lurutkan tangan ke bawah dan tidak boleh naik ke atas saat membasuh tangan ke bawah. Mulakan pada tangan kanan dahulu baru diikuti oleh tangan kiri.
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kanan:
Allahumma ‘atiniy kitabi bi yaminiy, wal khuda fil jinani bi yasariy, wa hasibniy hisaban yasira
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kiri:
Allahumma la tu’tiniy kitabiy bi shimaliy, wa la min wara’i zahriy, wa la taj’alha maghluqatan ila ‘unuqi; wa a ‘uzu bika min muqatta ‘atin niyran
3. Mengusap kepala. Dengan sisa air wudu’ itu (tidak perlu mengambil air lagi), usapkan kepala dari bagian atas kepala turun ke anak rambut. Gunakan tangan kanan, bisa dgn satu jari sahaja, namun sebaik baiknya 3 jari.
Bacalah doa ini saat mengusap kepala:
Allahumma ghash-shiniy bi rahmatika wa barakatika wa ‘afwika
4. Mengusap muka kaki. Seperti kepala tadi, air yg masih tersisa pada tangan tadi di usapkan pada kaki, bermula dari hujung jari kaki hingga ke atas (menggunakan tapak tangan), iaitu pada mata kaki(pergelangan kaki). Kaki tidak boleh digerakkan saat mengusap, hanya tangan sahaja yg digerakkan (kaki juga bisa diusap dari mata kaki ke hujung jari) Gunakan tapak tangan kanan utk kaki kanan dan tapak tangan kiri utk kaki kiri.
Bacalah doa ini saat mengusap kaki:
Allahumma thab-bitniy ‘alas sirati yawma tuzillu fiyhil aqdam ; waj’al sa’iy fi ma urziyka ;anniy ; ya zul jalali wal ikram.
**Adalah penting untuk memperhatikan bahawa saat menyapu kepala dan kaki, kedua dua bagian itu harusnya tidak basah, pastikan keduanya tidak berair.
_______________________________
di sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.
Ibn Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, ‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’
2. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij , dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.
3. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).
Yang aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”.
Apa hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…
Ada 3 Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan mengusap:
1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum).
Perbedaan qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti dicontohkan pada perintah “mengusap muka”.
Sunni sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.
Bagi saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30).
Alasan Syiah menggabung shalat dhuhur-asar dan maghrib-isya’
Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:[1]
Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur, sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu isya’.
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar, begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu bersama:
Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i; yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh dilakukan oleh seseorang.
Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu di antara keduanya.
Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit) sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini, jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu yang telah ditentukan.
Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.
Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis ini:
Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.
Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.
Referensi:
[1] Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat, seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2] Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat, bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan (Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).
(Hauzah-Maya/Syiah-Ali/Scondprince/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email