Oleh: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Miqat-bentuk jamaknya ialah mawaqit- ialah waktu yang ditetapkan untuk suatu perjanjian. Di antara arti yang demikian itu ialah firman Allah Swt,
(40) إِنَّ يَوْمَ ٱلْفَصْلِ مِيقَٰتُهُمْ أَجْمَعِينَ
“Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya,” Q.S. Ad-dukhon ; 40.
Yaitu hari dimana ditegaskan di situ antara yang hak dan yang batil. Yang demikian itu tidak lain ialah hari kiamat. Kadang-kadang kata miqat digunakan untuk menun- jukkan arti suatu tempat yang telah ditetapkan baginya waktu tertentu. Di antaranya ialah firman Allah Swt,
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا
“Dan ketika Musa datang untuk miqat Kami.”Q.S. Al-A’rof 143.
Maksudnya ialah tempat yang telah Kami (Allah) tentukan waktunya agar ia datang ke tempat tersebut.
Haji mempunyai miqat-miqat yang berkenaan dengan waktu dan yang berkenaan dengan tempat. Yang pertama (yaitu miqat waktu) ialah yang disinggung di dalam ayat 197 surat Al-Baqarah :
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ
“Haji itu ada pada bulan-bulan yang diketahui.”Bulan-bulan tersebut ialah Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah.
Sedangkan miqat yang berkenaan dengan tempat bermula dari batas-batas dimana seorang yang berhaji tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan berihram dari tempat itu atau dari tempat yang sejajar dengan itu.
Miqat-miqat
Imam Shadiq a.s. berkata, “Di antara kesempurnaan haji dan umroh ialah berihram dari beberapa miqat yang telah Rasulullah saw tentukan.
Janganlah Anda melewatinya kecuali dalam keadaan berihram”. (Wasail, 11: 234).
Diriwayatkan dari Abi Abdillah a.s. : “Di antara kesempurnaan haji dan umroh hendaklah berihram dengan miqot-miqot yang sudah ditentukan oleh Rasulullah saw janganlah berhaji dan umroh kecuali berihrom, beliau saw menentukan miqat untuk orang Irak, padahal belum ada Irak saat itu (maksudnya belum ada seorang Muslim pun di sana) yaitu sebuah tempat yang bernama Bathnu ‘Irq.
Sedangkan untuk orang Yaman ialah Yalamlam. Untuk orang Maghrib ialah Juhfah, yaitu Mahya’ah. Untuk orang Madinah, beliau menentukan Dzul-Hulaifah sebagai miqat-nya.
Adapun orang yang rumahnya berada sesudah tempat-tempat tersebut kearah Mekah, maka miqatnya ialah rumahnya.” (Tahzibul Ahkam, 5:284).
Para Ahli fikih sepakat seorang yang berhaji tidak boleh berihram untuk haji sebelum bulannya. Sebagaimana telah kami sebutkan di muka bahwa bulan-bulan haji itu ialah Syawal, Zulkaidah, sampai akhir hari ketiga belas dari bulan Zulhijjah.
Demikian pula dia tidak boleh melampaui miqat-miqat yang telah disebutkan oleh Rasulullah saw kecuali dalam keadaan berihram.
Miqat-miqat tersebut ialah:
Masjid Asy-Syajarah di Dzūl Hulaifah. Juga disebut Ābār ‘Alī atau Ābyar ‘Alī, terletak 8 kilometer dari Madinah.
Rasūl saw mulai haji dari sini yang berjarak 492 km dari Mekah, merupakan miqat penduduk Madinah dan yang melewatinya.
Qarn al-Manazil, yang berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat penduduk Tha’if dan yang melewatinya.
Wadil ‘Aqiq, yang berjarak sekitar 100 km dari Mekah. Ini adalah miqat penduduk Irak dan Najed dan mereka yang melewati tempat tersebut menuju Mekah.
Yalamlam, yang berjarak 94 km dari Mekah. Ini adalah miqat penduduk Yaman dan mereka yang melewatinya menuju Mekah.
Juhfah, yang berjarak 187 km dari Mekah, merupakan miqat penduduk Mesir, Syam, termasuk Libanon, Yordan, dan Palestina serta yang melewati tempat tersebut.
Orang-orang Mekah sendiri, atau orang-orang yang tinggal di antara miqat dan Mekah, maka miqat-nya adalah rumahnya sendiri.
Untuk Umroh Mufrodah ketika sudah di Mekah maka Miqatnya adalah (Tan’im atau Ji’ronah, atau Hudaibiyah).
Untuk Haji Tamattuk maka Miqatnya adalah Mekah atau Masjidil Harom dan afdholnya di Maqom Ibrahim atau di bawah Mizabur rohmah (Pancuran Ka’bah).
Garis Sejajar
Barangsiapa berhaji tanpa melewati salah satu miqat di atas maka dia boleh berihram di suatu tempat yang ia yakini sejajar (satu jarak ke Mekah) dengan salah satu miqat tersebut.
Berdasarkan ucapan Imam Shadiq as, “Barangsiapa tinggal di Madinah selama satu bulan dan ia ingin haji, kemudian muncul niat bahwa ia akan pergi tidak melalui jalan yang biasa dilalui oleh penduduk Madinah, maka hendaknya ia berihram dari jarak perjalanan enam mil (ke arah Mekah). Maka saat itu dia akan berada pada suatu tempat, di padang pasir, yang sejajar dengan tempat miqat masjid Syajarah.”(Wasail, 11: 318).
Sesuatu yang tidak diragukan ialah bahwa tinggal selama satu bulan, Masjid Syajarah, enam mil, dan sebagainya (seperti yang disebutkan dalam hadis di atas), semua itu tidak menandakan kekhususan. Dan tidak ada bedanya dalam hal kesejajaran itu, baik kepergian itu melalui darat ataupun melalui laut.
Adapun bepergian melalui udara, maka kesejajaran itu tidak akan terjadi. Sebab, yang dimaksud bahwa Anda berada sejajar dengan sesuatu ialah bahwa sesuatu itu berada di sebelah kiri atau kanan Anda, bukan di bawah atau di atas Anda.
Jadi miqat yang ingin naik pesawat dari Madinah ke Jeddah adalah di Jeddah.
Ihram Sebelum Miqat
Imam Shadiq a.s. berkata: “Ihram dilakukan dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Seorang yang berhaji, juga yang berumroh, tidak boleh berihram sebelum miqat atau sesudahnya.”(Wasail 11: 323).
Dan beliau berkata, “Dan barangsiapa berihram sebelum miqat maka tidak sah ihramnya.” (Wasail 11:321 ).
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa : ”Tidak dibolehkan bagi sesorang berihrom selain di miqot yang sudah ditentukan Rasulullah saw, perumpamaan yang berihrom selain di miqot seperti dia sholat saat bepergian 4 rakaat (yang semestinya cuma dua rakaat).”. (Wasail, ,juz 11: 324).
Para Ahli fikih sepakat bahwa tidak boleh ihram sebelum miqat kecuali dalam dua keadaan:
1. Jika seseorang ingin berumroh mufradah pada bulan Rajab, tetapi dia takut jika dia undurkan ihramnya sampai dia berada di miqat maka bulan Rajab akan habis, lalu masuk bulan Sya’ban. Dalam keadaan begini maka dibolehkan baginya untuk berihram sebelum miqat dan berniat umroh bulan Rajab selama masih ada satu hari atau beberapa hari dari bulan Rajab.
Imam Shadiq as ditanya tentang seseorang yang berumroh dengan niat umroh Rajab. Akan tetapi hilal bukan Sya’ban akan sudah muncul sebelum dia tiba di miqat. Bolehkan dia berihram sebelum miqat dan menjadikan umrohnya itu umroh Rajab, ataukah dia harus menundanya dan menjadikannya umroh Sya’ban?
Beliau menjawab, “Dia boleh berihram sebelum miqat. Maka umrohnya itu menjadi umroh Rajab yang mengandung keutamaan baginya, sesuai dengan yang ia niatkan.”(Wasail, ,juz 11).
2. Jika seseorang bernazar untuk berihram sebelum miqat. Imam Shadiq as ditanya tentang seseorang yang bersyukur dengan bernazar untuk Allah bahwa ia akan berihram dari Kufah; bolehkah? Beliau menjawab, “Jika demikian maka dia harus berihram dari Kufah untuk memenuhi apa yang ia nazarkan itu ….” (Wasail 11:327 ).
Jelas sekali bahwa tidak ada kekhususan pada Kufah dalam hal ini, walaupun yang disebutkan di dalam hadis itu adalah Kufah. Artinya, jika seseorang bernazar bahwa ia akan berihram dari suatu tempat selain Kufah maka ia harus berihram dari tempat tersebut untuk memenuhi nazarnya.
Ihram Setelah Miqat
Setiap orang yang berhaji atau berumroh melalui miqat maka ia harus berihram dari sana, baik ia penduduk tempat tersebut ataupun penduduk lain yang melewati tempat tersebut, baik secara kebetulan ataupun karena memang seharusnya. Apabila dia melewatinya tanpa berihram dengan sengaja, maka “Ihramnya tidak sah, sampai dia kembali ke miqat dan berihram dari sana.
Seandainya ada sesuatu yang menghalanginya untuk kembali ke miqat dan berihram dari sana setelah ia tinggalkan hal itu dengan sengaja, maka ihramnya tetap tidak sah, sesuai dengan pendapat masyhur.
Bahkan dapat dipahami dari banyak ucapan ulama bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini. Yang demikian itu adalah sebagai balasan atasnya akibat kesalahannya itu.
Apabila seseorang meninggalkan ihram dari miqat karena lupa atau karena tidak tahu, dan dia bisa kembali ke miqat dan berihram dari sana, maka hal itu wajib baginya. Jika tidak bisa kembali maka dia harus ber- ihram dari miqat yang ada di depannya lagi kalau bisa. Jika tidak bisa, maka dia harus berihram sebisanya dari Mekah atau luar Mekah, dengan mendahulukan yang kedua (luar Mekah) daripada yang pertama.
Imam Shadiq a.s. pernah ditanya tentang seseorang yang melewati miqat dimana orang-orang berihram dari sana. Tetapi dia lupa atau tidak tahu, sehingga dia tidak berihram sampai dia masuk ke Mekah. Sementara itu, dia takut jika kembali ke salah satu miqat maka waktu untuk haji akan habis. Apa yang harus ia lakukan? Beliau menjawab, “Dia harus keluar dari Mekah dan berihram dari situ; maka hal itu cukup baginya.” (Wasail 11:328).
Beliau juga ditanya tentang seseorang yang lupa ihram padahal dia sudah masuk ke Mekah. Apa yang harus ia lakukan? Beliau menjawab, “Dia harus kembali ke miqat sesama penduduk negerinya. Tetapi jika dia khawatir waktu haji akan habis maka dia ber-ihram dari tempatnya (di Mekah). Dan jika bisa, hendaknya dia keluar dari Mekah dan berihram dari situ.” (Wasail 11:328 ).
Hukum-hukum Miqot
Adapun hukum-hukum berkenaan dengan Miqat dan berpakaian Ihram menurut para ulama mujtahid sebagai berikut:
1. Berpakaian Ihram sebelum Miqot
Hukumnya berpakaian Ihram wajib dari Miqat dan tidak boleh berihram sebelum miqat, kecuali ada beberapa hal antara lain :
Bernazar untuk mulai berpakaian Ihram di tempat sebelum sampai di Miqat dengan niat : Lillâhi ‘alayya an uhrima min maudhi’i ….qurbatan iallahi ta’âlâ.
Karena Allah saya niat (bernazar) berpakaian Ihram dari tempat ……(sebut tempatnya) demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Niat berihram dengan nazar tersebut kalau berpakaian Ihram di tempat miqat menyulitkan maka nazar berihram tersebut sah.
Atau khawatir bulan Rajab segera berakhir sedangkan kita berniat untuk umroh Rajab maka kita berihram di luar miqat dibolehkan dengan nazar. Dan Umroh kita dihitung sebagai umroh Rajab. Walaupun sebagian amalan umroh kita lakukan di bulan Sya’ban.
2. Tidak berihrom di Miqat
Bila meninggalkan berpakaian ihram untuk umroh atau haji dengan sengaja hingga habis waktunya maka batal hajinya. Bila tempatnya berubah ada beberapa hukumnya .Antara lain :
a. Mengakhirkan ihram di Miqot yang lain.
Tidak dibenarkan mengakhirkan tempat berihram (miqot) dari Dzulhulaifah ke Juhfa kecuali darurat karena sakit atau lemah atau alasan lainnya berupa uzur.
b. Meninggalkan ihram dengan sengaja dan mengetahui. Kalau meninggalkan ihram dari miqot karena tahu atau sengaja. Kalau tidak bisa kembali ke miqot karena waktunya tidak memungkinkan, maka batal ihramnya dan hajinya.
c. Meninggalkan ihram karena tidak tahu atau lupa.
Bila meninggalkan ihram karena tidak tahu atau lupa atau karena uzur (halangan), hendaknya kembali ke tempat miqot. Bila waktu tidak memungkinkan hendaknya keluar sekedarnya dari kota haram (mekkah) bila tidak mampu maka berihram dari tempat tersebut.
3. Berihrom dari Jeddah
Kebanyakan para jamaah haji berhentinya di terminal Jeddah. Sedang diketahui bahwa Jeddah bukanlah salah satu tempat Miqot. Apakah boleh berihrom dari Jeddah? Mayoritas para ahli fiqih ahlul bayt Nabi saw tidak membolehkan berihrom dari Jeddah. (Ahkamul Manâ- sik, hal. 54 -57).
Adapun tempat selainnya semisal Jeddah bila dia bernazar untuk berihrom di tempat tersebut dia boleh melakukannya. Bernazar untuk mulai berpakaian Ihram di tempat sebelum sampai di Miqat dengan niat : Lillâhi alayya an uhrima min maudhi’i Jeddah qurbatan iallahi ta’âlâ.
Karena Allah saya niat (bernazar) berpakaian Ihram dari Jeddah demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Niat di Miqat
Sebaiknya niat diucapkan dengan lidah (diikrarkan) agar dapat masuk ke dalam hati untuk memantapkan perbuatan yang akan dikerjakan.
Hamba berniat di miqat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian yang terjahit yang terlarang bagi orang yang sedang mengerjakan haji.
Hamba berniat di miqat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian maksiat dan, sebagai gantinya, mengenakan pakaian taat?”
Hamba berniat di miqat untuk berhenti dan menanggalkan dari diri hamba semua sifat riya’, nifaq, serta segala yang diliputi syubhat.
Hamba berniat di miqat untuk berziarah menuju keridhoan Allah Swt?” []
(Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email