Pesan Rahbar

Home » » Mengingat bahwa kebanyakan hadis di kalangan Ahlusunnah dikumpulkan pasca masa pemerintahan Bani Umayyah lantas bagaimana Anda orang-orang Syiah memandang bahwa “Muawiyah telah mendirikan pabrik pembuatan hadis-hadis?” Berikut Penjelasannya

Mengingat bahwa kebanyakan hadis di kalangan Ahlusunnah dikumpulkan pasca masa pemerintahan Bani Umayyah lantas bagaimana Anda orang-orang Syiah memandang bahwa “Muawiyah telah mendirikan pabrik pembuatan hadis-hadis?” Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Thursday 12 November 2015 | 19:53:00


Pertanyaan:
Kalian orang-orang Syiah berpandangan bahwa “Muawiyah – yang diangkat menjabat khalifah Syam oleh Umar – telah mendirikan pabrik pembuatan hadis dan alih-alih bersandar pada seluruh sanad dan bukti-bukti yang terdapat pada al-Qur’an dan sejarah Ahlusunnah bersandar pada hadis-hadis seperti ini. Padahal ucapan Anda ini menunjukkan bahwa di samping Anda sama sekali tidak memiliki informasi tentang sejarah Islam, Anda juga tidak memiliki secuil informasi pun tentang Ushul Fikih, Ilmu Dirayah, Riwayat dan Hadis. Karena itu ada baiknya Anda ketahui bahwa kebanyakan hadis-hadis dikumpulkan dan diklasifikasikan pada masa pasca Bani Umayyah. Pemerintahan Bani Umayyah juga pada tahun 132 H telah mengalami keruntuhan sementara Bukhari (wafat 256 H) dan Imam Malik (wafat 150 H) dan yang lainnya pasca keruntuhan Bani Umayyah. Karena itu kitab-kitab hadis ditulis pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang naik tampuk kekuasaan dengan slogan (pembelaan) terhadap Ahlulbait.

Jawaban Global:
Seusai dengan beberapa laporan sejarah yang tidak mengandung secuil pun keraguan bahwa Umar melarang adanya penulisan hadis. Karena itu, tiada sanad tertulis di kalangan kaum Muslimin dan dari sisi lain, terdapat juga beberapa motivasi yang diperlukan untuk memalsukan pelbagai keutamaan-keutaman palsu dan mereka banyak menyediakan fasilitas harta benda untuk hal ini, pasar pembuatan hadis merajalela dan hadis-hadis juga setelah itu telah dikodifikasi berdasarkan riwayat-riwayat yang disebarkan oleh Bani Umayyah. Para penguasa Bani Abbasiyah juga meski meraih tampuk kekuasaan dengan dalih pembelaan terhadap Ahlulbait namun pada kelanjutannya arah yang ditujunya sama dengan arah yang dilalui oleh Bani Umayyah lantaran kalau tidak demikian seharusnya mereka menyerahkan pemerintahan dan kekuasaan kepada Ahlulbait dan para pengikutnya, bahkan sebagian ulama meyakini bahwa kejahatan Bani Abbasiyah jauh lebih besar ketimbang kejahatan Bani Umayyah.

Jawaban Detil:
Menyimak beberapa poin berikut ini akan dapat membantu kita menyelesaikan persoalan yang ada:
1. Penulisan hadis dilarang atas perintah Umar bin Khattab [1] dan karena itu kaum Muslimin tidak memiliki sebuah sanad yang tertulis. Di samping itu, terdapat banyak motivasi di kalangan penguasa Bani Umayyah dalam menciptakan pelbagai keutamaan buatan dan mereka banyak menyediakan fasilitas untuk teralisirinya tujuan ini. Pasar hadis tumbuh berkembang dan hadis-hadis yang setelah itu mengalami kodifikasi adalah hadis-hadis yang berdasarkan riwayat-riwayat yang disebarkan oleh Bani Umayyah.

Ibnu Abi al-Hadid menukil dari Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abu Saif Madaini dalam kitab “Al-Ihdâts” [2] bahwa Muawiyah setelah ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan) mengumumkan dalam sebuah surat kepada para gubernurnya bahwa ia tidak memiliki perjanjian terkait dengan siapa saya yang menyampaikan keutamaan-keutamaan Abu Turab (Baginda Ali bin Abi Thalib As) dan Ahlulbaitnya. Hingga ia berkata, “(Muawiyah) menulis kepada para gubernurnya untuk menyeru kepada masyarakat untuk menukil riwayat ihwal keutamaan Utsman, sahabat dan tiga khalifah pertama dan terkait dengan hadis yang memuji Ali As maka diajukan hadis yang bertentangan dengannya yang memuji para sahabat lainnya. Surat Muawiyah telah dibacakan kepada masyarakat, harta dibagikan untuk keperluan ini dan banyak hadis buatan yang menyebutkan keutamaan mereka diriwayatkan dan secara luas diajarkan kepada anak-anak dan putra-putra mereka dan mereka sebagaimana belajar al-Qur’an, juga belajar tentang hadis-hadis buatan tersebut. Para juris, hakim dan pemangku jabatan melanjutkan metode ini. Seburuk-buruk manusia yaitu para pembaca yang riya dan orang-orang mustadh’afin yang menyatakan zuhud dan khusyu serta membuat hadis-hadis sehingga mendapatkan kedudukan di hadapan para pemangku jabatan dan memperoleh harta melalui jalan ini sehingga riwayat-riwayat ini sampai di tangan orang-orang beragama yang memandang haram dusta dan tuduhan, lalu menerima dan meriwayatkan hadis-hadis (buatan) tersebut. Kemudian berkata, “Ibnu ‘Arafah yang dikenal dengan Nafthuyah [3] yang merupakan pembesar dan muhaddis paling pandai dalam sejarahnya, juga menukil hal-hal seperti ini. [4]

Dengan memperhatikan masalah-masalah seperti ini, mayoritas keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As tertutup, kendati sebagian dari keutaman tersebut tidak terjangkau oleh para musuh dan mereka tidak dapat menghalangi kaum Muslimin untuk menjangkaunya, hal ini merupakan inayah Tuhan kepada wali-Nya dan agama hanif Islam. Apa yang ditunjukkan dari penyembunyian selaksa keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As adalah masalah yang dinukil Bukhari dari Abu Ishak, “Seseorang bertanya kepada Bara’a - pada waktu itu juga saya mendengarnya - : Apakah Ali hadir pada waktu perang Badar? Katanya, “Terang dan nyata.” [5] Apa engkau mengira kedudukan Amirul Mukminin pada perang Badar, tersembunyi sebagaimana pada awal-awal kemunculan Islam sehingga harus ditanyakan? Perang Badar di pundak Ali dan berkat pedangnyalah tercapai kemenangan.” Hal ini menunjukkan usaha orang-orang untuk menyembunyikan selaksa keutamaan Imam Ali yang berada pada tataran semaksimal mungkin untuk menutupinya dan apabila mereka meriwayatkannya dalam hal ini maka riwayat tersebut tidak sempurna dan menyeluruh. [6]

Sebagai contoh peritistiwa ini dapat dijadikan sebagai contoh, Muawiyah menyerahkan sebanyak empat ratus ribu Dirham dari Baitul Mal kepada Samra bin Jundab supaya ia berceramah di hadapan masyarakat Syam (Suriah) dan berkata kepada mereka bahwa ayat, “ Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling pergi (darimu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan. ” (Qs. Al-Baqarah [2]:204-205) Diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As dan demikian juga Samrah harus berkata bahwa ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang rela menjual (mengurbankan) dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:207) diturunkan berhubungan dengna Ibnu Muljam.” [7]

Dalam hal ini ada baiknya Anda, pengguna budiman, merujuk pada dua kitab [8] Mahmud Abu Rayyah yang merupakan ulama terkemuka Ahlusunnah di Universitas al-Azhar, dan menelaah dua kitab tersebut dengan baik. Beliau dalam kitab “Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah menulis, “Para peneliti bersepakat bahwa permulaan penetapan hadis dilakukan pada akhir-akhir masa pemerintahan Utsman dan karena khilafah jatuh di tangan Ali As maka penetapan hadis mencapai puncaknya pada masa pemerintahan bani Umayyah.” [9]

Untuk telaah lebih jauh atas orang-orang yang membuat hadis, silahkan lihat, Indeks: Keperibadian Abu Hurairah dalam Pandangan Sahabat, Pertanyaan dan Baca: Apakah Umar Menghukum Abu Hurairah karena merekayasa hadis?
_______________________

Pertanyaan:
Saya mendengar bahwa Umar menghukum dan menghajar Abu Hurairah perawi Sunni lantaran merekayasa hadis. Apakah hal ini benar adanya? Apabila memungkinkan tolong Anda sebutkan literatur dan referensinya supaya kami mudah merujuknya.

Jawaban Global:
Bukhari, Muslim, Dzahabi, Imam Abu Ja’far Iskafi, Muttaqi Hindi dan yang lainnya menukil bahwa Khalifah Kedua Umar bin Khattab mencemeti Abu Hurairah karena menyandarkan beberapa riwayat yang tak berdasar kepada Rasulullah Saw dan melarang keras Abu Hurairah untuk tidak meriwayatkan hadis hingga akhir pemerintahannya.

Sebab-sebab kecurigaan Umar terhadap Abu Hurairah dapat ditelusuri melalui beberapa faktor berikut ini:
Pertama, pertemanannya dengan Ka’ab al-Ahbar Yahudi dan nukilan riwayat Abu Hurairah darinya.
Kedua, menukil sebagian riwayat tanpa dasar yang umumnya senada dengan hadis-hadis Israiliyyat bahkan tergolong hadis-hadis Israiliyyat.
Ketiga, menukil sebagian riwayat yang bertentangan dengan beberapa riwayat yang dinukil dari para sahabat
Keempat, penentangan para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib As dan Abu Bakar terhadap Abu Hurairah.

Jawaban Detil:
Kita tidak banyak memiliki literatur dan referensi terkait dengan kehidupan Abu Hurairah sebelum Islam kecuali apa yang sendiri ia nukil. Dari biografi tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah semenjak kecil bermain dengan seekor kucing kecil. Abu Huraira adalah seorang anak yatim dan miskin sehingga untuk menghindar dari kelaparan ia bekerja pada masyarakat.

Dainawari dalam kitab “Al-Ma’ârif” menyebutkan bahwa Abu Hurairah berasal dari suku Dus di Yaman, hidup sebagai seorang yatim dan anak miskin yang berhijrah. Pada usia tiga puluh tahun, ia datang ke Madinah dan lantaran kemiskinannya ia memilih jalan ahli Suffah yang merupakan tempat kaum Muhajirin fakir berkumpul.[1]

Abu Hurairah sendiri secara tegas mengungkapkan alasannya memeluk Islam dan beriman kepada Rasulullah Saw adalah untuk mengenyangkan perutnya yang kosong dan untuk lari dari kemiskinan bukan untuk keperluan lainnya.[2]

Ia sendiri berkata bahwa saya senantiasa ingin mengisi perut saya sedemikian sehingga sebagian sahabat lantaran karena makanan aku pergi ke rumahnya mereka semuanya kabur dariku, tapi ada seseorang yang bernama Ja’far bin Abi Thalib lantaran keramahannya dan sikapnya yang memuliakan tamu ia adalah orang kedua paling ramah setelah Rasulullah Saw dalam pandangan Abu Hurairah. Ia bercerita epik dan heroik tentang Ja’far bin Abi Thalib.[3]

Tsa’labi dalam kitab Tsimâr al-Qulûb berkata bahwa Abu Huraira menyantap makanan dengan Muawiyah dan mengerjakan shalat di belakang Ali bin Abi Thalib. Abu Huraira sendiri berkata terkait dengan perbuatannnya bahwa bubur Muawiyah lebih lezat dan berlemak namun shalat di belakang Ali lebih utama.[4]

Adapun terkait dengan bahwa apakah Khalifah Kedua mencambuk Abu Huraira karena telah banyak merekayasa hadis dan karena itu ia melarang Abu Huraira untuk tidak menukil hadis? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa persoalan ini merupakan konsensus (kesepakatan) bahwa Abu Huraira meski hanya satu tahun sembilan bulan bersama Rasulullah Saw namun ia melebih sahabat lainnya dalam menukil hadis.[5]

Ibnu Hazm mencatat grafik hadis-hadis yang dinukil Abu Huraira dan menulis, “Musnad Buqayy bin Mukhallid menukil 5374 hadis hanya dari Abu Huraira dan Bukhari menukil 446 hadis.”[6]

Abu Huraira sendiri sebagaimana yang dinukil Bukhari berkata, “Tidak satu pun sahabat Rasulullah Saw yang seukuran aku dalam menukil hadis dari Rasulullah kecuali Abdullah bin Umar yang menulis hadis-hadis namun aku tidak menulisnya.”[7]

Banyaknya hadis yang dinukil Abu Huraira telah membuat Umar bin Khattab takut sehingga ia mencambuknya atas alasan ini dan berkata kepadanya, Wahai Abu Huraira! Engkau banyak menukil riwayat. Aku takut engkau akan menyandarkan dusta kepada Rasulullah Saw. Kemudian Umar mengancam Abu Hurairah bahwa apabila ia tidak meninggalkan periwayatan dari Rasulullah maka ia akan mengansingkannya ke negerinya.[8] Atas dasar itu, riwayat yang dinukil Abu Hurairah kebanyakan pasca wafatnya Umar bin Khattab lantaran tiada yang ditakutinya selain Umar.[9] Ia melanjutkan, “Aku menukil hadis-hadis untuk kalian yang apabila aku nukil pada masa Umar tentu ia akan mencambukku.”[10]

Zuhri menukil dari Ibnu Salma yang mendengar Abu Hurairah yang berkata, “Aku tidak dapat berkata Rasulullah Saw bersabda (menukil hadis dari Rasulullah) demikian hingga Umar wafat. Apakah kami dapat menukil hadis-hadis ini selagi Umar masih hidup? Demi Allah sekarang ini aku takut atas janji-janji Umar yang ingin mencabuk bokongku.[11]

Untuk menjustifikasi seluruh riwayat yang ia nukil dari Rasulullah Saw itu tetap memiliki standar, Abu Hurairah membuat sebuah kaidah, “Sepanjang sebuah riwayat tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal maka tidak ada masalah menyandarkan riwayat tersebut kepada Rasulullah Saw.” Dengan standar yang dibuatnya, hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw itu diberi corak syar’i di antaranya sebuah hadis yang dinukil Thabarani dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw: “Sepanjang engkau tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan engkau telah sampai kepada kebenaran maka tidak ada masalah engkau menyandarkan (sebuah riwayat) kepadaku.” Demikian juga disebutkan bahwa dari Rasulullah Saw terdengar bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang meriwayatkan sebuah hadis yang mengandung keridhaan Tuhan di dalamnya maka sesungguhnya aku berkata demikian meski (sebenarnya) aku tidak berkata demikian.”[12]

Padahal apa yang pasti dari Rasulullah Saw adalah sabdanya, “Barang siapa yang menukil hadis dariku yang aku tidak katakan maka tempatnya adalah neraka jahannam.”[13]

Lantaran Umar melihat Abu Hurairah banyak menukil hadis, ia menandaskan untuk senantiasa memperdengarkan hadis ini kepadanya.”[14]

Abu Hurairah dan Tadlis

Tadlis artinya Anda bertemu dengan seseorang dan menukil sebuah kisah yang tidak Anda dengar darinya atau semasa dengannya Anda mengutip sebuah persoalan yang tidak ia sebutkan dan dalam menukil persoalan tersebut sedemikian Anda tunjukkan seolah Anda mendengar darinya dan ia seolah mengatakan hal ini.[15] Jelas bahwa seluruh jenis tadlis adalah tercela dan haram serta dipandang sebagai saudara dengan dusta.[16]

Para ahli hadis berkata bahwa apabila telah ditetapkan seseorang menukil sebuah riwayat dengan tadlis maka tiada satu riwayat pun yang harus diterima dari orang tersebut meski kita tahu bahwa ia hanya sekali melakukan tadlis.[17] Dainawari dan Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Sa’ad yang berkata, “Takutlah kepada Allah dan janganlah menukil hadis. Demi Allah! Aku berada di samping Abu Hurairah yang menukil hadis dari Rasulullah Saw dan riwayat dari Ka’ab Ahbar. Kemudian sebagian orang yang bersama dengan kami berkata hadis Rasulullah Saw kami sandarkan kepada Ka’ab dan hadis Ka’ab itu kami sandarkan kepada Rasulullah Saw.”[18]

Para ahli hadis bersepakat bahwa Abu Hurairah, Ubaidillah, Mu’awiyah dan Anas menukil riwayat dari Ka’ab al-Ahbar Yahudi. Ka’ab al-Ahbar yang secara lahir menampakkan Islam untuk mengecoh kaum Muslimin akan tetapi batinnya adalah Yahudi. Dan di antara mereka keempat orang tersebut, Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menukil hadis dari Ka’ab al-Ahbar dan mempercayainya melebihi yang lain.[19] Tindakan licik Ka’ab atas Abu Hurairah dilakukan sehingga ia dapat memasukkan khurafat dan takhayul apa pun ke dalam agama Islam. Dari sela-sela ucapan yang disampaikan ihwal Ka’ab menjadi jelas bahwa Ka’ab memiliki cara khusus, Dzahabi dalam Thabaqât al-Huffâzh menulis ihwal Abu Hurairah: “Ka’ab berkata tentang Abu Hurairah, aku tidak melihat seorang pun yang tidak membaca Taurat lebih alim dari Abu Hurairah.”[20] Coba Anda perhatikan pendeta ini menipu Abu Hurairah, bagaimana Abu Hurairah dapat memahami apa yang terdapat dalam Taurat padahal ia tidak mengenal Taurat. Apabila ia mengenalnya maka ia tidak akan mampu membacanya karena Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani dan Abu Hurairah bahkan tidak mengenal bahasa Arab (dengan baik) karena ia bukanlah seorang terpelajar.[21]

Bukhari menukil dari Abu Hurairah bahwa Ahli Kitab membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan menafsirkannya untuk kaum Muslimin dalam bahasa Arab. Dan apabila saya mengetahui bahasa Ibrani maka aku pun akan menjadi penafsirnya.[22]

Dainawari menulis tentang Abu Hurairah: “Karena Abu Hurairah menukil banyak riwayat yang tidak satu pun dinukil dari orang-orang dekatnya atau para pembesar dari kalangan sahabat mereka menudingnya dan mengingkari riwayat-riwayat yang dinukilnya dan berkata bagaimana mungkin hanya ia yang mendengar hadis-hadis ini dari Rasulullah Saw sementara ia sekali-kali tidak pernah berdua-duaan dengan Rasulullah Saw.”[23]

Dainawari berkata, “Aisyah mengingkarinya dengan sengit[24] dan termasuk orang yang menuding Abu Hurairah sebagai pendusta demikian juga Umar, Utsman, Ali dan selain mereka.

Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw, “Meramal buruk dibenarkan pada wanita, hewan dan rumah.” Tatkala hadis ini dinukil untuk Aisyah, ia berkata, “Demi Yang menurunkan al-Qur’an kepada Abul Qasim! Siapa pun yang menyandarkan hadis ini kepada Rasulullah Saw maka sesungguhnya ia telah berkata dusta; sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang jahil berkata, ramalan buruk terdapat pada hewan, wanita dan rumah.”

Ali As bersabda, “Abu Hurairah adalah orang paling pendusta.” Dan di tempat lain berkata, “Orang yang paling pendusta atas Rasulullah Saw adalah Abu Hurairah.” Suatu hari Abu Hurairah berkata, “Haddatsani khalili (kekasihku berkata kepadaku).” Baginda Ali segera menimpali dalam menjawab ucapannya: “Mata kana al-Nabi Khaliluk.” (Sejak kapan Nabi menjadi kekasihmu).”[25]

Abu Ja’far Iskafi menukil, “Muawiyah memprovokasi sebagian sahabat dan thabi’in sehingga mereka merekayasa hadis-hadis keji melawan Ali As. Sebagian sahabat ini adalah Abu Hurairah, Amru bin Ash, Mughairah bin Syu’bah dan dari kalangan Thabi’in Urwah bin Zubair.”[26]

Dalam hal ini terdapat dua buku yang secara khusus ditulis berkenaan dengan Abu Hurairah:
1. Abu Hurairah, karya Sayid Syarafuddin ‘Amili, yang dapat dijadikan rujukan terkait dengan pertanyaan di atas pada halaman 136, 160, 186.
2. Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, karya Mahmud Abu Ruyya Mesri.

Referensi:
[1]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 103. Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 195. Sayid Syarafuddin Musawi ‘Amili, Abu Hurairah, hal. 136.
[2]. Ibid.
[3]. Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 62.
[4]. Tsa’labi, Tsimâr al-Qulûb fi al-Mudhâf wa al-Mansûb, hal. 76-87.
[5]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 200.
[6]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 120.
[7]. Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, jil. 2, hal. 167. Ia berkata telah terbukti bahwa Abu Hurairah tidak menulis hadis juga tidak menghafal al-Qur’an.
[8]. Shahih Bukhâri, jil. 2, Kitab Badâ’ al-Khalq, hal. 171. Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Shahih Muslim, jil. 1, hal. 34. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahj al-Balâghah, hal. 360. Dzahabi, Siyar I’lâm al-Nublâ, jil. 2, hal. 433 & 434. Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummâl, jil. 5, hal. 239 Hadis 4857. Imam Abu Ja’far Iskafi, sesuai dengan nukilan dari Syarh Nahj al-Hamidî jil. 1, hal. 360.
[9]. Ibid.
[10]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 201.
[11]. Ibid.
[12]. Syathibi, Al-Muwâfaqât, jil.2, hal. 23.
[13]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202.
[14]. Sayid Syarafuddin Musawi al-‘Amili, Abu Hurairah, hal. 140.
[15]. Syaikh Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi, hal. 35.
[16]. Ibid.
[17]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202-203.
[18]. Ibnu Katsir, al-Bidâyah al-Nihâyah, jil. 8, hal. 109. Ibnu Qutaibah Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 48-50.
[19]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[20]. Dzahabi, Thabaqât al-Huffâzh, sesuai nukilan dari Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[21]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[22]. Ibid.
[23]. Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.
[24]. Ibid, hal. 48.
[25]. Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 204.
[26]. Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 358.


__________________________
2. Para penguasa Bani Abbasiyah juga meski meraih tampuk kekuasaan dengan dalih “pembelaan” terhadap Ahlulbait namun pada kelanjutannya arah yang ditujunya sama dengan arah yang dilalui oleh Bani Umayyah lantaran kalau tidak demikian seharusnya mereka menyerahkan pemerintahan dan kekuasaan kepada Ahlulbait dan para pengikutnya, bahkan sebagian ulama meyakini bahwa kejahatan Bani Abbasiyah jauh lebih besar ketimbang kejahatan Bani Umayyah. [10]

Akhir kata ada baiknya kita ketahui bahwa Allamah Amini Ra, dalam kitabnya Al-Ghadir, jil. 10, mengemukakan pembahasan yang menarik dan menyeluruh. Beliau menghitung kurang lebih tujuh ratus orang periwayat Ahlusunnah yang merupakan pendusta dan pembuat hadis (palsu). Dan hanya empat puluh tiga orang dari mereka telah menukil sebanyak lima ratus ribu hadis buatan. [11]

Di samping itu, mereka menukil kurang lebih seratus hadis palsu melalui jalur Ahlusunnah yang di dalamnya, tidak hanya khilafah dan pelbagai keutamaan para khalifah, so called, al-rasyidun, tetapi juga kedudukan mulia Muawiyah, Yazid, Manshur Dawaniqi dan para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah lainnnya mendapatkan penghormatan dan pengagungan!!! [12]

Referensi:
[1] . Rincian peristiwa ini Anda dapat telaah pada Kitab al-Ghadir, jil. 6, hal. 417-428, Karya Allamah Amini atau terjemahan al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 12, hal. 192-208. Silahkan lihat software Nur al-Wilâyah, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami.
[2] . Siyar A’lâm al-Nubalâ’i, 10/400. Târikh Baghdâd, 12/54, Mirât al-Jinân, 2/83, Mu’jam al-Âdâb, 14/124. Al-Kâmil fi al-Târikh, 6/516 dan sebagainya.
[3] . Siyar A’lâm al-Nubalâ’i, 15/75. Juga pada Târikh Baghdâd, 6/159, Wafayât al-A’yân, 1/47, al-Muntazhim 6/277, al-Wâfi bil Wafayât, 6/130, Mu’jam al-Âdâb, 1/254 dan sebagainya.
[4] . Syarh Nahj al-Balâghah Ibnu Abi al-Hadid, jil. 11, hal. 44, Software Manhaj al-Nur, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami. Terjemahan Persia al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 21, hal. 43-46. ‘Abaqât al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athar, jil. 12, hal. 24. Software Nur al-Wilâyah Markaz Tahqiqat.
[5] . Shahih Bukhâri, jil. 3, Kitâb al-Maghâzi, Bâb Qatl Abi Jahl.
[6] . Terjemahan Dalâil al-Shidq, jil. 1, hal. 5 & 6.
[7] . Syarh Nahj al-Balâghah Ibnu Abi al-Hadid, jil. 4, hal. 72.
[8] . Silahkan lihat surat-surat pada Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah dan Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah.
[9] . Adhwâ’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 118-119 dan 126-135, al-Thaba’at al-Khamisah, Muassasah Mathbu’ati Ismailiyyan, Iran, tanpa tahun. Imam Muhammad Abduh dalam “Risâlah Tauhid,” hal. 7 dan 8, cetakan pertama, juga menekankan masalah ini.
[10] . Allamah Mir Hamid Husain Ra dalam hal ini berkata:

و لم یزل الأمر على ذلک سائر خلافة بنی أمیّة حتى جاءت الخلافة العباسیة، فکانت أدهى و أمرّ و أضرى و أضرّ، و ما لقیه أهل البیت علیهم السّلام و شیعتهم من دولتهم أعظم ممّا مضوا به فی الخلافة الامویة کما قیل: و اللّه ما فعلت أمیّة فیهم معشار ما فعلت بنو العباس‏ ثمّ شبّ الزمان و هرم، و الشأن مضطرب و الشنآن مضطرم، و الدهر لا یزداد إلّا عبوسا، و الأیام لا تبدی لأهل الحق إلّا بؤسا، و لا معقل للشیعة من هذه الخطّة الشنیعة فی أکثر الأعصار و معظم الأمصار إلّا الانزواء فی زوایا التقیّة، و الانطواء على الصبر بهذه البلیة ”.

Silahkan lihat al-Darajât al-Râfi’ah fi Thabaqât al-Syiah, hal. 5-8. ‘Abaqât al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athar, jil. 12, hal. 24. Nafahât al-Azhâr fi Khulâsha ‘Abaqât al-Anwâr, jil. 15, hal. 42-45.
[11] . Namun hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fath al-Bâri, hal. 4 mengatakan, Aba Ali Ghasani meriwayatkan dari Bukhari bahwa ia berkata, “Aku mengeluarkan riwayat ini dari kumpulan 600 Ribu hadis dan saya tahu bahwa jumlah riwayat tanpa pengulangan Shahih Bukhâri seluruhnya tidak melebihi 2761 riwayat.
[12] . Terjemahan Persia al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 10, hal. 8.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: