Oleh: DR. Umar Shahab
Dunia kembali dikejutkan dengan peristiwa pengeboman dan penembakan terhadap jamaah salat Jumat di masjid Imam Ridha, Mahasin, Ahsa’, Saudia Timur, Jumat, 28 Januari lalu. Berdasarkan info dari pihak berwenang, korban tewas berjumlah lima orang sedangkan yang luka-luka 18 orang. Kelompok ISIS wilayah Saudi mengklaim bertangung jawab atas peledakan ini. Masjid Imam Ridha di Mahasin, Ahsa’ milik penganut Syiah.
Dua bulan yang lalu, tepatnya tanggal 26 Nopember 2015, kelompok ISIS juga melakukan kejahatan yang sama, meledakkan masjid kaum Syiah di Dakka, Bangladesh, yang menewaskan satu orang dan melukai tiga jamaah masjid. Demikian pula pada tanggal 16 Oktober 2015, ISIS kembali menyasar masjid Syiah di kota Saihat, Saudi Timur, setelah sebelumnya pada tanggal 26 Juni 2015 meledakkan masjid Imam Ja’far Shadiq di Kuwait, yang menyebabkan 27 orang tewas dan 227 luka-luka.
Sepanjang tahun 2015 lalu, tercatat setidaknya ada sepuluh masjid Syiah yang disasar bom bunuh diri kelompok ISIS yang telah menyebabkan jatuhnya ratusan korban meninggal dan luka-luka. Korban terbesar terjadi di Ibu Kota Yaman, Sanaah, pada tanggal 20 Maret 2015 yang menyebabkan 137 orang tewas dan 257 orang luka-luka. Jumlah di atas tidak termasuk masjid dan Husainiyah (semacam Langgar atau Surau di Indonesia) milik kaum Syiah di Irak dan Pakistan yang disasar oleh ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya seperti al-Qaidah dan Sepahi Sahabeh. Di kedua negara itu, jumlahnya pasti jauh di atas itu.
Tapi masalahnya apa salah masjid-masjid Syiah dan Husainiyah sehingga menjadi target pengeboman kelompok-kelompok radikal tersebut? Apa karena tempat-tempat ibadah tersebut dianggap sebagai pusat-pusat kemusyrikan dan atau pusat-pusat penyimpangan sehingga boleh dihancurkan dan orang-orang yang ada di dalamnya boleh dimusnahkan?
Tentu hanya orang-orang yang sakit saja yang menganut pemikiran seperti itu. Seandainya pun kelompok-kelompok radikal tersebut meyakini bahwa Syiah sesat dan atau kafir, tetap saja Islam tidak pernah membenarkan praktik-praktik kekerasan terhadap orang yang berbeda paham, apalagi merusak tempat-tempat peribadatan. Jangankan terhadap masjid, gereja pun tidak boleh dihancurkan.
Konon, ketika Khalifah Umar Ibn al-Khattab ra masuk ke kota Yerusalem setelah pasukan Islam berhasil menaklukkan kota tersebut, ia menolak melaksanakan salat Zuhur di dalam gereja Makam Suci padahal Uskup Yerusalem, Patriarch, sendirilah yang menawarkannya untuk salat di dalam gereja. Umar lebih memilih salat di luar gereja. Ketika ditanya apa alasan sang Khalifah melakukan itu, Umar menjawab bahwa dia khawatir orang-orangnya akan mengira bahwa hal itu adalah isyarat untuk menjadikan tempat itu sebagai masjid sehinggamereka akan mengambil alih gereja tersebut, merusaknya dan mengubahnya menjadi masjid. Untuk menghindari hal itu dan supaya gereja tersebut tetap eksis, Umar memilih salat di luar.
Luar biasa. Tapi mengapa kelompok-kelompok radikal itu tetap melakukan perusakan masjid-masjid, padahal Umar Ibn al-Khattab adalah tokoh dan panutan mereka yang paling utama? Bahkan mereka sangat meyakini bahwa Umar Ibn al-Khattab telah mencapai maqam kenabian, yang jika saja masih ada nabi sesudah Nabi Muhammad saw maka Umarlah yang akan mejadi nabi.
Boleh jadi mereka tidak tahu dan tidak pernah mendengar atau malah tidak percaya cerita Umar Ibn al-Khattab di atas. Tapi itu bukan alasan. Kelompok-kelompok radikal tersebut tidak peduli dengan segala sesuatu yang berbau kelembutan dan kasih sayang. Jangankan Umar Ibn al-Khattab, ayat-ayat Alquran sekalipun yang mempunyai kandungan kelembuatan dan kasih sayang, mereka singkirkan. Mereka adalah orang-orang yang digambarkan Alquran sebagai memiliki hati yang lebih keras dari batu gunung. Karena itu, meski bukan mustahil, mengharapkan mereka berubah hanya akan menghabiskan waktu. Mereka akan berubah dan bahkan umat ini akan selalu dalam kedamaian jika landasan teologi dan ideologi kejumudan berpikir mereka yaitu Wahabisme Salafisme dapat dieliminir. Saat itu, umat Islam akan damai, sejahtera dan sentosa.
Faktor lain yang membuat kelompok-kelompok radikal itu terus melakukan perbuatan-perbuatan biadab ini adalah diamnya sebagian besar kaum Sunni atas kejahatan-kejahatan mereka terhadap penganut Syiah, sesuatu yang mereka tafsirkan sebagai pertanda setuju atas tindakan-tindakan kekerasan mereka terhadap penganut Syiah. Lihat saja peristiwa pengeboman terhadap masjid Syiah di Ahsa, Saudi, yang baru terjadi Jumat 28 Januari yang lalu. Adakah, atau lebih tepatnya siapa saja tokoh atau lembaga penting Sunni yang mengutuk pengeboman itu? Hanya satu dua lembaga saja. Selainnya, lebih memilih diam. Bahkan untuk tingkat Indonesia, sampai saat ini, penulis belum mengetahui ada seorang tokoh Islam atau lembaga Islam yang mengutuk perbuatan biadab tersebut, kecuali kutukan yang dikeluarkan oleh ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI).
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa kutukan atau paling tidak kecaman atas tindakan kelompok radikal tersebut adalah pembenaran terhadap Syiah dan mendiskreditkan Sunni karena betapapun kelompok-kelompok radikal itu menganut paham Sunni. Ini adalah kerancuan berpikir yang parah. Kelompok-kelompok radikal itu memang Sunni, tapi bukan Sunnisme yang membuat mereka berpikir radikal karena Asyarisme yang merupakan rujukan teologi Sunni tidak mengajarkan radikalisme bahkan cenderung fatalistik.
Sejatinya yang membuat mereka radikal adalah teologi Wahabi Salafi yang mengajarkan ideologi takfiri dan kekerasan. Dengan demikian sebetulnya mereka tidak layak dikategorikan sebagai Sunni.
Ya, Wahabisme Salafisme tidak layak disebut Ahlussunnah Wal Jamaah, karena perbedaan antara Ahlussunnah Wal Jamaah dengan Wahabisme Salafisme, memakai istilah Gus Dur ra, seperti perbedaan antara sama’ (langit) dan sumur.
Jika demikian, mengapa harus ragu mengecam perbuatan terkutuk mereka? Ingat! Mengecam perbuatan terkutuk. Justru ketika Sunni diam, apalagi terkesan memaklumi atau malah membenarkan tindakan kekerasan kelompok-kelompok radikal itu dengan dalih terdapat pihak Syiah yang megecam Sahabat Abubakar dan Umar, seperti yang sering diungkapkan oleh oknum-oknum yang anti Syiah, sikap diam itu justru akan mendiskreditkan Sunni.
Karena betapa pun, hati kecil seseorang, fitrah manusia, sangat membenci perbuatan zalim dan tindakan semena-mena. Dan kita semua tahu, tidak ada perbuatan yang lebih biadab dari perbuatan membunuh orang-orang yang sedang beribadah di rumah-rumah Allah.
Jika Kaum Sunni terus bungkam maka jangan salahkan, atau menuduh penganut Syiah melakukan syiahisasi jika banyak penganut Sunni yang tertarik kepada Syiah.
Wallahu a’lam.
(ABI-Press/ABNA/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email