Larangan penulisan bahkan periwayatan hadis telah membuka peluang lebar-lebar bagi pemalsuan Sunnah hal mana menimbulkan dampak negatif bagi kemurnian ajaran agama. Para umara’/penguasa berdiri tegak dalam tindak kejahatan atas agama ini, dan ulama penjual agama bergabung dalam gerbong mereka.
Sejarah mencatat peran aktif para penguasa, khususnya Mu’awiyah dalam merusak kemurnian sunah suci Nabi saw.. Para sejarahwan Islam membocorkan kepada kita beberapa data penting tentang hal itu. Abu Al Hasan Al Madaini –sebagaimana dikutip Ibnu Abi Al Hadid Al Mu’tazili Asy Syafi’i’- melaporkan bahwa Mu’awiyah meluncurkan enam surat kebijakan resmi rezimnya agar dijadikan kurikulum Negara dalam menyikapi agama Rasulullah saw. Di bawah ini akan saya sebutkan:
Surat Pertama:
Mu’awiyah menulis surat keputusan yang dikirimkan kepada para gubenur dan kepala daerah segera setelah ia berkuasa:
أن برِئَت الذمة مِمن روى شيئا فِي فَضْلِ أبِي تُراب و أهْلِ بَيْتِهِ .
“Lepas kekebalan bagi yang meriwayatkan sesuatu apapun tentang keutamaan Abu Thurab (Imam Ali as. maksudnya-pen) dan Ahlulbaitnya.”[1]
Maka setelah itu para penceramah di setiap desa dan di atas setiap mimbar berlomba-lomba melaknati Ali dan berlepas tangan darinya serta mencaci makinya dan juga Ahlulbaitnya. Masyarakat paling sengsara saat itu adalah penduduk kota Kufah sebab banyak dari mereka adalah Syi’ah Ali as. Dan untuk lebih menekan mereka, Mu’awiyah mengangkat Ziyad ibn Sumayyah sebagai gubeneur kota tersebut dengan menggabungkan propinsi Basrah dan Kufah. Ziyad menyisir kaum Syiah –dan ia sangat mengenali mereka, sebab dahulu ia pernah bergabung dengan mereka di masa Khilafah Ali as.. Ziyad membantai mereka di manapun mereka ditemukan, mengintimidasi mereka, memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka, menusuk mata-mata mereka dengan besi mengangah dan menyalib mereka di atas batang-batang pohon kurma. Mereka juga diusir dari Irak, sehingga tidak ada lagi dari mereka yang tekenal.[2]
Surat Kedua:
Kemudian Mu’awiyah menulis surat keputusan kedua yang ia kirimkan kepada para pejabat daerahnya:
ألاَّ يُجِيْزُوْا ِلأَحَدٍ مِنْ شِيْعَةِ عَلِيٍّ وَ أهْلِ بيْتِه شَهَادَةً .
“Jangan bolehkan siapapun dari Syiah Ali dan Ahlulbaitnya untuk memberikan kesaksian apapun!”[3]
Surat Ketiga:
Ia juga menulis:
أنْظُرُوا مَنْ قِبَلكُمْ مِن شِيْعَة عُثْمان وَ مُحِبِّيْهِ وَ أهْلِ وِلاَيَتِهِ وَ الَّذِيْنَ يَرْوُوْنَ فَضائِلَهُ وَ مَناقِبَهُ فَأَدْنُوا مَجالِسَهُم وَ قَرِّبُوْهُم وَ أكْرِمُوْهُم، وَ اكْتُبُوا لِيْ بِكُلِ مَا يَرْوِيْ كُلُّ رَجُلٍ مِْنهُم اسْمَهُ و اسْمَ أبِيْهِ وَ عَشِيْرَتِهِ.
“Perhatikan siapa saja dari syi’ah Utsman, yang mencintainya dan berwilayah dengannya serta yang meriwayatkan keutamaannya maka dekatkan majlis mereka, hormati mereka dan tuliskan untukku apa saja yang mereka riwayatkan berikut nama-nama mereka dan nama-nama ayah-ayah mereka.”
Setelah itu, kata Al Madaini, mereka berlomba-lomba memperbanyak keutamaan dan manaqib Utsman, karena iming-iming insentif menggiurkan yang diberikan Mu’awiyah berupa uang, baju dan tanah lahan, serta pemberian yang ia obral untuk orang-orang Arab maupun non Arab. Sehingga dalam waktu singkat di setiap daerah banjir hadis keutamaan Utsman, masing-masing berlomba-lomba mendapatkan kedudukan dunia. Tidak seorang pun yang datang menemui aparat Mu’awiyah dengan meriwayatkan keutamaan Utsman kecuali namanya dicatat, ia dimuliakan dan diberi kemudahan pelayanan negara.Yang demikian berlangsung beberapa waktu sebelum kemudian Mu’awiyah menyusulnya dengan surat kebijakan ketiga.
Surat Keempat:
Mu’awiyah menulis surat ketiga kepada para gubenur dan kepala daerah:
إن الحديث في عثمان قد كثر و فشا في كل مصر و في كل وجهٍ و ناحية، فإذا جاءكم كتابي هذا فادعوا الناس إلى الرواية في فضائل الصحابة مفتعلة ، فإن هذا أحب إلَيَّ و أقر لعيني و أدحض لحجة أبي تراب و شيعته و أشد عليهم من مناقب عثمان و فضله.
“Sesungguhnya hadis tentang Utsman telah banyak dan tersebar di seluruh penjuru negeri. Maka apabila datang suratku ini kepadamu ajaklah orang-orang untuk meriwayatkan tentang keutamaan sahabat dan para khalifah terdahulu. Dan jangan biarkan sebuah hadis pun yang diriwayatkan kaum Muslim tentang keutamaan Abu Thurab melainkan datangkan kepadaku tandingannya untuk sahabat lain.[4] Yang demikian itu lebih aku sukai dan lebih mendinginkan mataku serta dapat mematahkan hujjah Abu Thurab dan Syi’ahnya, dan lebih menyakitkan mereka dari pada keutamaan Utsman!”
Setelah dibacakan surat tersebut di hadapan masyarakat, mereka berlomba-lomba meriwayatkan hadis-hadis palsu tentang keutamaan sahabat yang tidak ada hakikatnya. Orang-orang pun bersungguh-sungguh dalam meriwayatkannya sampai-sampai mimbar-mimbar menjadi ajang penyampaiannya. Para guru di sekolah-sekolah dibekali dengannya, dan mereka menyampaikan-nya kepada anak-anak didik mereka banyak dari hadis produk tersebut, sampai-sampai mereka meriwayatkannya dan mempelajarinya seperti mereka mempelajari Alquran. Mereka juga mengajarkannya kepada anak-ana perempuan dan istri-istri mereka di rumah-rumah, bahkan kepada para budak dan pembantu rumah tangga mereka. Kondisi ini terlangsung cukup lama.
Surat Kelima:
Mu’awiyah melengkapi kebijakannya dengan melayangkan surat ketetapan:
انْظُرُوْا إِلَى مَن قَامَتْ عليهِ الْبَيِّنَةُ أنَّهُ يُحِبُّ عَلِيًّا وَ أهْلَ بَيْتِهِ فَامْحُوْهُ مِنَ الدِّيوَانِ وَ أسْقِطُوا عَطَاءَهُ وَ رِزْقَهُ.
“Perhatikan siapa yang terbukti mencintai Ali dan Ahlulbaitnya maka hapuslah namanya dari catatan sipil negara, gugurkan uang pemberian untuknya!”
Surat Keenam:
Surat kelima itu, ia susul dengan surat susulan:
مَنْ اتَّهَمْتُمُوْهُ بِمُوَالاَةِ هَؤُلاَءِ القَوْمِ فَنَكِّلُوْا بِهِ وَ اهْدِمُوْا دَارَهُ.
“Barang siapa yang kamu curigai mencintai Ali dari mereka maka jatuhkan sangsi berat atasnya! Hancurkan rumahnya!”
Maka tidak ada yang menderita lebih dari penduduk Irak, khususnya kota Kufah, sampai-sampai seorang dari Syi’ah didatangi temannya yang ia percayai lalu masuk ke rumahnya dan ia menyampaikan beberapa rahasia, ia takut dari pembantu dan budaknya. Dan ia tidak menyampaikannya sebelum ia meminta sumpah dengan sumpah yang berat untuk tidak menyebarkannya.
Dampak Politik Mu’awiyah
Ibnu Abi al Hadid dan Al Madaini melanjutkan, “Maka muncullah banyak hadis palsu dan kebohongan menyebar. Dan atasnya para fukaha dan jaksa (qadhi) serta para pejabat berjalan. Dan dampak paling berbahaya adalah yang dilakonkan oleh para qari’ yang berpura-pura khusyu’ dan kaum intelektual lemah (bodoh) yang menampakkan kekhusyu’an dan rajin ibadah, mereka membuat-buat hadis untuk mendapatkan hadiah dan kedudukan di sisi para penguasa. Dengannya mereka mendapatkan uang, tanah lahan dan rumah-rumah. Sampai-sampai hadis-hadis tersebut berpindah kepada orang-orang yang lurus dalam agamanya yang tidak membolehkan berbohong dan memalsu, mereka menerimanya serta meriwayatkannya dengan prasangka baik bahwa ia adalah benar (sabda Nabi saw.). Andai mereka tahu bahwa ia palsu pasti mereka tidak sudi meriwayatkannya dan tidak menganggapnya bagian dari agama. Kondisi ini berjalan hingga kesyahidan Imam Hasan ibn Ali as.. Maka bertambahlah kesengsaraan atas orang-orang baik, mereka khawatir atas keselamatan diri mereka atau mereka melarikan diri ke tempat terpencil yang aman. Kemudian kondisi semakin memburuk dengan kesyahidan Imam Husain ibn Ali as…. Abdul Malik ibn Marwan berkuasa ia bersikap sangat bengis terhadap Syi’ah, ia menunjuk Hajjaj ibn Yusuf sebagai gubenur, maka berlomba-lomba para ahli nusuk dan ibadah mendekatkan diri kepadanya dengan menampakkan kebencian kepada Ali dan mencintai musuh-musuhnya dan mencintai orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh Ali. Lalu mereka berlomba-lomba membuat riwayat tentang keutamaan dan jasa-jasa mereka, dan berlomba-lomba menjatuhkan Ali as., mencacatnya, sampai-sampai ada seorang berdiri menghadap Hajjaj dan melapor, “Wahai Amir, keluargaku telah mendurhakaiku dengan memberiku nama Ali. Aku orang yang fakir, sengsara, aku butuh bantuan sang Amir.” Maka Hajjaj pun tertawa terbahak-bahak seraya mengatakan, “Sungguh indah caramu meminta bantuan!. Aku telah angkat kau menjadi pejabat di daerah itu ( untuk daerah yang ia sebutkan)”.
Ibnu Abi al Hadid menegaskan bahwa riwayat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Arafah (yang dikenal dengan nama Nafthawaih), seorang tokoh dan pembesar Ahli Hadis, ia juga mengatakan bahwa “Kebanyakan hadis palsu tentang keutamaan sahabat itu diproduksi di masa kekuasaan rezim Umayyah, sebagai upaya orang-orang mendekatkan diri kepada mereka dengan anggapan bahwa hal demikian menyakitkan Bani Hasyim (keluarga besar Nabi saw.)”
Demikianlah gambaran ringkas situasi dan kondisi periwayatan hadis.
Mu’awiyah Membentuk Lembaga Pemalsuan Hadis (LPH)
Tidak puas hanya dengan memerintah masyarakat Muslim melaknati Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw. dalam berbagai kesempatan, tidak terkecuali ketika salat Jum’at, Mu’awiyah membentuk sebuah lembaga pemalsuan hadis untuk memutarbalikkan agama dan untuk mencoreng nama harum Ali dan Ahlulbait Nabi as. Ibnu Abi Al Hadid juga melaporkan bahwa “Sesungguhnya Mu’awiyah telah membentuk sebuah lembaga yang beranggotakan beberapa sahabat dan tabi’in yang bertugas memproduksi hadis-hadis palsu yang menjelek-jelekkan Ali as, agar orang mengecam dan mencelanya. Ia (Mu’awiyah) mengupah mereka dengan upah yang sangat besar, dan mereka pun memproduksi hadis-hadis sesuai dengan kehendak Mu’awiyah. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, Amr bin Al ‘Ash, dan Mughirah bin Syu’bah. Sedangkan dari kalangan tabi’in adalah Urwah bin Zubair.
Catatan Kaki:
[1] Ada kekhawatiran dari sebagian pemerhati bahwa sikap sebagian muhaddis kita terilhami oleh kebijakan Mu’awiyah di atas.
[2] Syarah Nahj al Balâghah, jilid III/juz 11/14-17.
[3] Bandingkan dengan sikap para muhaddis kita dalam menyikapi syi’ah Ali as. Ada kekhwatiran bahwa sikap itu adalah menifestasi dari politik Mu’awiyah!
[4] Contoh masalah ini banyak sekali, dapat Anda temukan pada hampir setiap hadis keutamaan Imam Ali as. ada hadis tandingan, seperti hadis Manzilah dll. Tetapi anehnya, meskipun ia dirangsang dengan rangsangang menggiurkan tetap saja ia tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur-jalur lemah. “Mereka berkeherndak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya walaupn kaum Kâfir tidak menyukainya!”
(Jakfari/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email