Oleh: Darmawan Sepriyossa
Bangsa mana pun yang hendak belajar kebulatan hati, tampaknya harus menengok Teluk Parsi. Kepada Iran, bangsa kita terutama, bisa belajar apa arti mandiri.
Tentu saja, itu bukanlah sekadar pelajaran tata bahasa. Warga negeri itu mendapatkan pemahaman akan kata itu tidak melalui cara laduni, alias serta merta bagai para darwis dan sufi menangkap pencerahan. Tidak pula dari meditasi ala Sidharta di bawah Bodh Gaya. Orang-orang Iran benar-benar mengerti dan merasakan makna kata itu karena mencernanya dari hidup mereka sehari-hari lebih dari tiga puluh tahun ini.
Tengoklah 11 Februari 35 tahun lalu. Hari itu jutaan warga Teheran tumpah ruah ke jalanan. Bergembira mereka memenuhi jalanan, memadatkan udara dengan aneka teriakan kemenangan atas apa yang mereka yakini sebagai Revolusi Islam.
Hari itu, sebuah kekuasaan monarki yang mencekik Parsi selama lebih dari 2.500 tahun lebih tak lagi mampu berdiri. Rakyat, yang sekian lama diam pun bergerak. Mereka berteriak serak. Menyuarakan negasi, suara yang —sebagaimana kata pemenang Nobel Susastra Josep Brodsky, datang dari kerongkongan yang telah lama tercekik kehidupan. Suasana itu setara dengan situasi Jakarta pada 21 Mei 1998, saat rakyat gumbira setelah sebuah kekuasaan yang menghimpit dada ditumbangkan.
Syah Reza Pahlevi yang despotik pun jeri. Sambil tak lupa menggondol harta rakyat senilai 5 miliar dolar AS, ia terbirit lari ke luar negeri.
Tapi hari itu pun menandai perjuangan panjang rakyat Iran. Pendukung Syah Reza, sebuah negara adidaya, merasa berhak menentukan nasib mereka. Dengan beragam cara, berjuta alasan mengada-ada, mereka mencoba benamkan Iran menjadi negeri yang papa. Boikot minyak, blokade ekonomi, dan segala cara dan nama yang bisa menjembatani ambisi mereka menghancurkan negeri baru itu pun dilakukan.
Tak ada rakyat Iran yang akan menafikan beratnya hidup laksana orang buangan. Tak pernah ada masyarakat yang senang ketika dirinya diasingkan, apalagi dari hubungan antarbangsa hanya gara-gara mempertahankan sikap.
Lalu, semua ternganga ketika berpuluh tahun kemudian Iran tak juga lantas hilang dari peta peradaban. Bahkan Dahlan Iskan yang mengunjunginya tiga tahun lalu pun terpesona dan heran.
“Bagaimana Iran bisa mendapatkan semua teknologi itu di saat mereka diisolasi dunia barat?” tulis Dahlan Iskan dalam bloggnya. Dahlan melihat kilang minyak, kilang petrokimia,kilang etanol Iran sudah beroperasi dalam skala raksasa. “Mereka bahkan bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tapi membuat keseluruhannya. Bahkan sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin,” Dahlan melanjutkan. Ia menulis, saat itu Iran sudah memproduksi 225 buah turbin dari berbagai ukuran dan mulai melakukan ekspor turbin ke Libanon, Syria, Iraq dan India. Lebih jauh, negeri para mullah itu sudah dipercaya Siemens untuk memasok perusahaan Jerman itu.
“Kami hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun pertama,” kata seorang CEO Iran, dalam tulisan Dahlan itu. Dan kesulitan itu tidak pernah mereka sikapi dengan merengek dan mengemis. Semua derita dan kondisi terpepet itu justru membuat Iran bangkit.
Sikap warga Iran itu mengingatkan saya akan petikan di sebuah novel. “Ajal hanya kejam kepada mereka yang takut kepadanya”, tulis Yasmine Gatha dalam novelnya, ‘Seniman Kaligrafi Terakhir’. Dan karena warga Iran begitu kukuh mempertahankan kehendak mereka untuk hidup, sang ajal pun tampaknya terpaksa harus sering bernegosiasi.
Gambaran itu sebenarnya menyesakkan dada. Betapa rakyat Indonesia sebenarnya punya pendiri negara yang mencoba membangun karakter bangsa. Indonesia, kata Bung Karno, seharusnya menjadi bangsa besar yang menghargai perjuangan. Sebab hanya bangsa yang menghargai kepedihanlah, yang punya peluang memimpin dunia. “Kita harus berani hidup dengan menyerempet-nyerempet bahaya,” kata Bung Karno
“Berani ber-vivere pericoloso.”
Sayang, kita menyaksikan para penerusnya tak memiliki hati sebesar Sang Putra Fajar itu.
Kini, memang kita menyaksikan Iran belum sepenuhnya tegak berdiri dari resesi. Wajar saja, karena bahkan negara yang tak diisolasi seperti Yunani, Portugal dan Spanyol pun mengalami.
Namun berbeda dengan mereka, Iran tercatat memiliki kekayaan gas alam tak terkira. Tidak hanya memiliki cadangan besar, Iran juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tak seperti Indonesia, yang untuk menyuling minyak pun selalu harus bergantung kepada Singapura. Sumber gas alam di dekat wilayah Qatar itu disebut-sebut sangat melimpah.
“Seluruh gas Iran di situ harganya USD 12 triliun,” tulis Dahlan. Estimasinya, gas itu baru habis setelah disedot setiap hari selama 200 tahun.
Sumber: inilah.com , Rabu 12/2/2014
(Inilah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email